BAB I PENDAHULUAN. dengan segala daya upayanya akan selalu melakukan hal-hal yang membuatnya

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. yang kaya, miskin, tua, muda, besar, kecil, laki-laki, maupun perempuan, mereka

BAB II LANDASAN TEORI. Istilah adult atau dewasa awal berasal dari bentuk lampau kata adultus yang

BAB I PENDAHULUAN. hambatan untuk melakukan aktivitas dalam kehidupannya sehari-hari. Akan

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap manusia ingin terlahir sempurna, tanpa ada kekurangan,

BAB I PENDAHULUAN. juga disebabkan oleh bawaan sejak lahir (Somantri, 2007). Tunadaksa sendiri dapat digolongkan dalam beberapa macam.

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan tubuhnya secara efektif. Lebih lanjut Havighurst menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. istri (Mangunsong, 1998). Survei yang dilakukan Wallis (2005) terhadap 900

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga

BAB 1 PENDAHULUAN. ketidakberdayaan. Menurut UU No.13 tahun 1998, lansia adalah seseorang yang telah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. yang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik kebutuhan secara

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB II LANDASAN TEORI. Teori tentang psychological well-being dikembangkan oleh Ryff. Ryff

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. telah membina keluarga. Menurut Muzfikri (2008), anak adalah sebuah anugrah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. impian setiap orang. Ketikamenikah, tentunya orang berkeinginan untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dihindari. Penderitaan yang terjadi pada individu akan mengakibatkan stres dan

BAB I PENDAHULUAN. adalah kebahagiaan yang menjadi tujuan seseorang. Kebahagiaan autentik

BAB I PENDAHULULUAN. di masyarakat terhambat. Seseorang dikatakan mengalami ketunadaksaan apabila

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Autis merupakan suatu gangguan perkembangan yang kompleks yang

BAB I PENDAHULUAN. berbagai umur dan lapisan masyarakat. Kebahagiaan bukan hanya berkisar pada

BAB I PENDAHULUAN. manuisia bertujuan untuk melihat kualitas insaniah. Sebuah pengalaman

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Setiap orang dilahirkan berbeda dimana tidak ada manusia yang benar-benar sama

BAB V PEMBAHASAN. A. Rangkuman Hasil Seluruh Subyek Hasil penelitian dengan mengunakan metode wawancara, tes

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa manusia lain dan

BAB I PENDAHULUAN. Difabel atau kecacatan banyak dialami oleh sebagian masyarakat, baik

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. strategis di era globalisasi. Dengan adanya kemajuan tersebut, sesungguhnya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mengalami kecacatan dalam fisik menetap. Menurut Assjari, istilah tuna daksa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang bahagia. Kebahagiaan menjadi harapan dan cita-cita terbesar bagi setiap

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu yang hidup di dunia ini pasti selalu berharap akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan peralihan antara masa kanak-kanak menuju

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan.

ROMANTISME CINTA PADA PASANGAN SUAMI ATAU ISTERI YANG MENYANDANG TUNADAKSA

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut salah satu teori utama pemilihan pasangan, Developmental

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

2016 MINAT SISWA PENYANDANG TUNANETRA UNTUK BERKARIR SEBAGAI ATLET

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. emosional yang positif karena telah terpenuhinya kondisi-kondisi yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA PENYANDANG TUNA DAKSA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. pernikahan (Papalia, et. la., 2007). Setelah menikah laki-laki dan perempuan akan

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

KEBAHAGIAAN DAN KETIDAKBAHAGIAAN PADA WANITA MENIKAH MUDA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

Hubungan antara Persepsi Anak Terhadap Perhatian Orang Tua dan Intensitas Komunikasi Interpersonal dengan Kepercayaan Diri pada Remaja Difabel

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Wangi Citrawargi, 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan manusia dengan kemampuan berbeda-beda dengan rencana yang. kesialan atau kekurangan dengan istilah cacat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. baik dari faktor luar dan dalam diri setiap individu. Bentuk-bentuk dari emosi yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Remaja tidak dapat dikatakan sebagai anak-anak dan belum termasuk pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dukungan sosial merupakan keberadaan, kesediaan, keperdulian dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

Perilaku Koping pada Penyandang Epilepsi

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. salah satunya adalah kecelakaan. Ada berbagai jenis kecelakaan yang dialami oleh

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang. Anak yang dilahirkan secara sehat baik dalam hal fisik dan psikis

1. PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Gambaran Stres..., Muhamad Arista Akbar, FPSI UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional

BAB I PENDAHULUAN. yang dikenal dengan istilah adolescence merupakan peralihan dari masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mendapatkan kesempurnaan yang diinginkan karena adanya keterbatasan fisik

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup

BAB I PENDAHULUAN. adanya perbedaan kondisi dengan kebanyakan anak lainnya. Mereka adalah yang

BAB I PENDAHULUAN. tergantung bagaimana cara mereka mengembangkan kepercayaan. dirinya (Havighurst dalam Monks, dkk., 2002, h.22).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kehadiran anak umumnya merupakan hal yang dinanti-nantikan

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

BAB II TINJAUAN TEORITIS

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP INTERAKSI SOSIAL PADA PENDERITA EPILEPSI DI KECAMATAN MANYARAN DAN KECAMATAN JATIPURNO KABUPATEN WONOGIRI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sifatnya subjektif. Kebahagiaan, kesejahteraan, dan rasa puas terhadap hidup yang

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

5. DISKUSI, KESIMPULAN, DAN SARAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. dan berkembang secara normal terutama anak, namun itu semua tidak didapatkan

BAB V. KESIMPULAN, DISKUSI, dan SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke fase remaja. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. untuk kebahagiaan dirinya dan memikirkan wali untuk anaknya jika kelak

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari

BAB I PENDAHULUAN. Manusia terlahir di dunia dengan kekurangan dan kelebihan yang berbedabeda.

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN. hendak diteliti dalam penelitian ini, yaitu mengenai gambaran psychological wellbeling

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebahagiaan adalah keadaan yang sangat diidamkan setiap orang dalam rentang kehidupannya (Carr, 2004). Untuk mencapai hal tesebut tentu saja manusia dengan segala daya upayanya akan selalu melakukan hal-hal yang membuatnya bahagia atau menuntunnya pada kebahagiaan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa memang terdapat hubungan antara kesejahteraan dengan berkurangnya kemampuan menikmati kesenangan atau kebahagiaan. Adapun kesenangan atau kebahagiaan yang dimaksud adalah perasaan sukacita, kegembiraan, kagum, bangga, terimakasih, dan sebagainya. Sebuah survey yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 87% partisipan hidup dalam dunia matrealistis. Dalam dunia matrealisme individu membeli barang tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk membuat dirinya terlihat lebih baik dimata orang lain. Hal tersebut (membeli barang untuk dilihat orang lain) ternyata juga mempengaruhi kebahagiaan, individu yang melakukan hal tesebut hanya mendapat kesenangan sesaat saja, tidak lama kemudian mereka mencari barang lain untuk dilihat orang lain (Nova, 2010). Beberapa orang menganggap bahwa kebahagiaan sangat berhubungan dengan materi. Semakin banyak harta yang dimiliki, maka semakin bahagia. Uang bisa memberikan kesenangan, uang bisa mendatangkan teman, dan yang paling penting adalah uang bisa membeli cinta. Pernyataan Roosevelt puluhan tahun yang lalu

ternyata mendekati teori flow dari Positive Psychology di abad ke duapuluh. Kebahagiaan itu bukan selalu materi, melainkan ketika tercapainya kepuasan diri akan suatu pencapaian diri sejati melalui kreativitas ( Nova, 2010). Berbeda dengan orang yang mengalami kecacatan. Orang-orang yang cacat fisik seperti tuna daksa adalah mereka yang tubuhnya tidak normal sehingga sebagian besar kemampuannya untuk berfungsi di masyarakat terhambat. Tuna daksa, yaitu individu yang mengalami kelainan anggota tubuh sebagai akibat dari luka, penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk sehingga mengakibatkan turunnya kemampuan normal untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu, misalnya kelainan pada bagian tulang-tulang, otot-otot tubuh maupun daerah persendian dan kelainan yang disebabkan oleh gangguan pada urat syaraf (Mangunsong, 1998). Ada bagian-bagian tertentu yang tidak sanggup mereka lakukan, ada juga bagian-bagian lain yang masih sanggup mereka lakukan. Cacat genetik (bawaan) adalah suatu kelainan/cacat yang dibawa sejak lahir baik fisik maupun mental. Cacat bawaan dapat disebabkan akibat kejadian sebelum kehamilan, selama kehamilan dan saat melahirkan atau masa prenatal. Cacat ini dapat disebabkan oleh penyakit genetik, pengaruh lingkungan baik sebelum pembuahan (bahan mutagenik) maupun setelah terjadi pembuahan (bahan teratogenik) (Faradz, 2001). UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat, Pasal. 1 menyebutkan bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan hambatan baginya untuk melakukan

kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari : penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental, serta penyandang cacat fisik dan mental (ganda). Individu-individu yang mengalami cacat tubuh biasanya harus dapat mencapai penyesuaian-penyesuaian mental yang tidak pernah dihadapi oleh mereka yang normal. Misalnya, penyesuaian dalam hubungan dengan sikap orang-orang lain terhadap dirinya. Anak-anak kecil melihat mereka dengan pandangan yang penuh perhatian, sedangkan orang-orang dewasa mengekspresikannya secara lebih tersembunyi dengan menghindarkan diri dari keterlibatan dengan mereka (http://www.sabda.org/publikasi/e-konsel/144). Keadaan rendah diri dan merasa tertolak oleh lingkungan yang dirasakan seseorang yang mengalami kecacatan (apalagi setelah usianya beranjak dewasa) menyebabkan ia sulit menerima kondisi yang dialaminya. Hubungan dengan orang lain seringnya tidak baik dikarenakan ia merasa kecewa dengan dirinya dan merasa tidak puas dengan keadaannya (Ryff & Singer, 2008). Ia juga menjadi orang yang sangat sensitif terhadap evaluasi ataupun harapan dari luar, tidak mampu membuat keputusan sendiri dan cenderung conform terhadap orang lain/grup karena adanya tekanan grup yang akhirnya membuatnya tidak percaya diri. Karena keterbatasannya melakukan aktivitas, ia seringkali tidak mampu mengatur kegiatan sehari-hari, mengabaikan kesempatan yang hadir, dan tidak mampu mengontrol pengaruh dari luar; kurang memiliki keberartian hidup, sedikit memiliki tujuan hidup, tidak menganggap tujuan hidupnya di masa lalu, dan tidak memiliki keyakinan dalam hidup; mengalami personal stagnation, tidak dapat meningkatkan dan

mengembangkan diri, merasa jenuh dan tidak tertarik dengan kehidupan, merasa tidak mampu untuk mengembangkan sikap atau tingkah laku yang baru (Ryff & Singer, 2008). Seperti yang dinyatakan oleh seorang Penyandang Tuna Daksa: "Terus terang saya dari keluarga yang broken home dari dua bersaudara, kebetulan saudara saya ini tidak cacat sehingga itu membuat keluarga saya memberi perlakuan berbeda. Ketika orang tua saya bepergian, mereka selalu membawa saudara saya karena dianggap tidak memalukan, sementara saya kan cacat pastinya mereka malu," (Komunikasi personal, 8 juni 2010) Masa dewasa awal adalah masa bagi kehidupan seseorang yang berusia antara 20 40 tahun. Manusia melewati tahap demi tahap perkembangan dalam kehidupannya. Pada setiap tahap perkembangan terdapat tugas-tugas perkembangan yang menurut Havighurst (Hurlock, 1999) diartikan sebagai tugas yang muncul pada saat atau sekitar periode tertentu dari kehidupan individu. Setiap individu yang telah memasuki masa kedewasaannya dituntut untuk melaksanakan tugas-tugas perkembangan sesuai usianya yang salah satunya adalah mulai bekerja dan menemukan calon pasangan hidup (Havighurst dalam Dariyo, 2003). Havighurst (dalam Dariyo, 2003) juga mengatakan masa dewasa awal adalah masa untuk mencapai puncak prestasi. Dengan semangat yang menyala-nyala dan penuh idealisme, mereka bekerja keras dan bersaing dengan teman sebaya (atau kelompok yang lebih tua) untuk menunjukkan prestasi kerja. Dengan mencapai prestasi kerja yang terbaik, mereka akan mampu memberi kehidupan yang makmur-sejahtera bagi keluarganya.

Kehidupan beberapa orang yang mengalami cacat fisik adalah beberapa atlet yang telah banyak mengikuti pertandingan-pertandingan meskipun ia mengalami kecacatan. Di antara para atlet tersebut pasti ada yang mengalami cacat sejak lahir, sedangkan yang lain mendapatkan cacat fisik ketika masih kecil atau saat remaja. Untuk yang mempunyai cacat bawaan, penerimaan lingkungan terhadap kondisi mereka dan bimbingan yang diterima sejak kecil akan menjadi arah perkembangan diri mereka. Artinya, kalau lingkungan (orangtua, saudara dan teman-teman) menerima kondisi yang ada dan menyemangati yang bersangkutan untuk "tetap maju", walau tahu kalau mempunyai keterbatasan, mereka akan dapat berkembang menjadi orang yang tidak berbeda dengan orang yang fisiknya lengkap (Adi, 2005). Sikap lingkungan membuat mereka menyesali kondisi yang tidak sama dengan orang-orang lain pada umumnya, mereka akan tumbuh dengan perasaan sedih, sadar betul bahwa mempunyai kelainan dibandingkan orang sehat. Kelainan itu akan selalu disesali dan akan mempengaruhi arah perkembangan di masa mendatang. Sedangkan mereka yang mengalami cacat setelah sempat mempunyai keadaan tubuh lengkap, pendapat mereka sendiri tentang kondisi yang menimpa akan sangat besar pengaruhnya untuk perkembangan berikut. Awalnya, biasanya mereka mempunyai perasaan tidak berdaya. Kalau yang timbul kemudian adalah penyesalan terhadap kondisi yang diderita dan ini terus terus-menerus, perkembangan di masa berikutnya lebih banyak ke arah yang negatif. Kalau mereka dapat menerima kondisi yang ada, perkembangan ke arah hal yang positif pun akan lebih mudah timbul (Adi, 2005).

Di antara mereka ada juga yang dapat melakukan penyesuaian diri dengan baik, dimana mereka menemukan hal yang positif di lingkungannya. Mereka merasa bangga apabila dapat melakukan sesuatu atau melewati gangguan yang dihadapi, sehingga mereka mendapatkan penghargaan dan penerimaan bahkan dapat dijadikan contoh oleh masyarakat (Somantri, 2006), seperti menjadi pelukis, penyanyi, aktivis dan lain sebagainya. Diskriminasi dan pengucilan dari masyarakat yang kerap diterima sesama penyandang cacat lebih banyak bergantung pada sikap penyandang cacat sendiri. Seseorang yang mengalami cacat genetik mempunyai perbedaan yang penting bila dibandingkan dengan orang yang mengalami kecacatan setelah lahir (dewasa). Walaupun orang yang mengalami cacat bawaan mengalami perasaan tertolak oleh lingkungan, rendah diri, dan mendapatkan stereotype negatif dari masyarakat tetapi mereka sudah dapat menerima keadaan/kondisi fisik mereka yang cacat. Adanya dukungan keluarga, saudara, dan teman-teman sebaya membuat mereka lebih dapat menerima kondisi fisiknya, lebih tabah, hal yang positif, semangat mereka untuk lebih siap menghadapi lingkungan bahkan mereka sudah mempersiapkan cita-cita dari awal (Faradz, 2001).

Seperti yang dialami oleh Gufroni yang sempat dihinggapi perasaan sedih, dan minder (dalam Grufoni Sakaril Ingin Memotivasi Penyandang Cacat Lainnya ) : Waktu itu saya masih kecil. Teman-teman di kampung selalu ngejek saya. Mereka bilang kok kedua tangan saya kecil ya. Diejek terus-menerus, saya nangis. Saya shock luar biasa. Bahkan sempat mengunci diri di kamar. Beruntung hal itu tidak berlangsung lama. Berkat ketegaran orangtua yang begitu menyayangi dan tulus mendidik saya, saya akhirnya bangkit. Saya bersyukur punya orangtua yang tegar melihat kondisi anaknya. Saya juga bersyukur mereka menyekolahkan saya di sekolah umum, bukan di sekolah penyandang cacat atau sejenisnya. Hal ini seperti yang di ungkapkan oleh Barus yang mengalami cacat tubuh: Meski hidup dalam kondisi fisik yang tidak sempurna layaknya orang lain, saya masih tetap memiliki kebanggan pada diri saya. Salah satu kebahagiaan yang saya rasakan adalah karena saya tidak pernah menyusahkan orang tua untuk biaya sekolah. Kebahagiaan lain yang saya rasakan karena saya mampu mengangkat kembali semangat hidup yang sempat runtuh. Diskriminasi dan pengucilan yang sering saya terima membuat pembelajaran hidup yang berharga bagi kematangan dan kedewasaan saya. (Komunikasi Personal, 9 Juni 2010) Adanya semangat hidup untuk menjalani kehidupan membuat seseorang menjadi merasa bahagia. Merasa bahagia dan selalu berpikir positif adalah salah satu kunci penting dalam menjalani kehidupan. Orang-orang percaya bahwa kebahagiaan adalah tujuan hidup manusia. Menurut Myers dan Diener (dalam Duffy dan Atwater, 2005) kebahagiaan merujuk pada banyaknya pikiran positif tentang kehidupan yang dijalani seseorang. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Carr (2004) menyatakan bahwa kebahagiaan adalah keadaan psikologis yang positif yang terlihat dari

tingginya tingkat kepuasan hidup, tingkat perasaan positif, dan rendahnya tingkat perasaan negatif. Seligman (2005) menjelaskan kebahagiaan merupakan konsep yang mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas positif yang yang tidak mempunyai komponen perasaan sama sekali. Selanjutnya dia mengkategorikan emosi yang terkait dengan masa lalu, sekarang dan masa depan. Kebahagiaan merupakan konsep yang subjektif karena setiap individu memiliki tolak ukur yang berbeda-beda. Setiap individu juga memiliki faktor yang berbeda sehingga bisa mendatangkan kebahagiaan untuknya. Faktor-faktor itu antara lain uang, status pernikahan, kehidupan sosial, usia, kesehatan, emosi negatif, pendidikan, iklim, ras, dan jenis kelamin, serta agama atau tingkat religiusitas seseorang (Seligman, 2005). Selain itu, Carr (2004) berpendapat bahwa pada dasarnya keinginan yang cukup besar dalam diri manusia ialah keinginan untuk hidup secara baik, dalam arti semua proses hidup manusia seperti sekolah, bekerja, dan menikah dapat berjalan sebagaimana mestinya. Menurut Seligman (2002), kebahagiaan bisa tentang masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Kebahagiaan masa lalu mencakup kepuasan, kelegaan, kesuksesan, kebanggaan, dan kedamaian. Kebahagiaan masa sekarang mencakup kenikmatan dan gratifikasi. Sedangkan kebahagian masa depan mencakup optimisme, harapan, keyakinan, dan kepercayaan. Ketika ada penyandang cacat dan orang normal yang memiliki kemampuan sama maka penghargaan lebih justru di berikan kepada penyandang cacat. Rasa bangga dan bahagia walau sebagian orang selalu melihat dengan sebelah mata karena

ketidaksempurnaan pada penyandang cacat bukan halangan apalagi menimbulkan kesedihan untuk mereka. Kecacatan selalu membuat kuat, tegar dan bahagia walau tanpa dipungkiri sebagai makhluk sosial perasaan malu pasti ada, tapi ternyata nikmat ini tidak pudar begitu saja. Dengan kecacatan itu, mereka masih bisa berbuat yang terbaik untuk keluarga, suami dan orang lain. Semua terasa begitu sempurna, diluar apa yang terlihat sebagai fisik yang aneh, dengan kaki kecil sebelah dan jalan yang timpang atau tidak mempunyai tangan ( Marlinda, 2008). Berdasarkan pemaparan diatas, terlihat bahwa tidak semua orang cacat menjadi percaya diri, hubungan dengan orang lain pun terganggu dan selalu memandang negatif terhadap mereka. Orang-orang cacat yang dapat hidup dengan semangat dan bahagia mampu menjalani hidup dengan positif. Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk melihat bagaimana gambaran kebahagiaan pada penyandang tuna daksa dewasa awal. B. Perumusan Masalah Adapun perumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimanakah gambaran kebahagiaan pada penyandang tuna daksa dewasa awal. C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran kebahagiaan pada penyandang tuna daksa dewasa awal.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Manfaat dari adanya penelitian ini adalah memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang Psikologi, khusunya Psikologi Klinis. 2. Manfaat Praktis 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang membangkitkan semangat para penyandang tuna daksa untuk menunjukkan kemampuan yang dimiliki. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan pada keluarga dan masyarakat untuk mengakomodasikan para penyandang tuna daksa untuk menyalurkan pikiran, wawasan dan keahliannya. E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan proposal penelitian ini adalah: BAB I : Pendahuluan Berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat peneltian serta sistematika penulisannya. Bab II : Landasan Teori Memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam permasalahan. Teori-teori yang dimuat adalah teori dewasa awal termasuk di dalamnya definisi dewasa awal, tugas perkembangan masa dewasa awal. Teori penyandang cacat termasuk definisi kecacatan, tuna

daksa, faktor-faktor penyebab kecacatan dan hambatan- hambatan kecacatan. Teori kebahagiaan termasuk didalamnya defines kebahagiaan, aspek-aspek kebahagiaan, karakteristik orang yang bahagia dan faktor-faktor kebahagiaan. Bab III : Metode Penelitian Berisi mengenai metode penelitian yang berisikan tentang metode kualitatif, metode pengumpulan data, karakteristik responden, alat bantu pengumpulan data, teknik pengambilan data, prosedur penelitian dan pengolahan data. Bab IV : Analisa Data dan Interpretasi Mendeskripsikan data responden, analisa dan interpretasi data yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori yang relevan. Bab V : Kesimpulan dan Saran Menjelaskan kesimpulan dari peneltian ini serta saran-saran yang dianjurkan mengenai penelitian ini.