BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anak merupakan potensi dan penerus untuk mewujudkan kualitas dan keberlangsungan bangsa. Sebagai manusia anak berhak untuk mendapatkan pemenuhan, perlindungan serta penghargaan akan hak asasinya. Sebagai generasi penerus bangsa, anak harus dipersiapkan sejak dini dengan upaya yang tepat, terencana, intensif dan berkesinambungan agar tercapai kualitas tumbuh kembang fisik, mental, sosial, dan spiritual tertinggi. Salah satu upaya mendasar untuk menjamin pencapaian tertinggi kualitas tumbuh kembangnya sekaligus memenuhi hak anak adalah pemberian makan yang terbaik sejak lahir hingga usia dua tahun. Makanan yang tepat bagi bayi dan anak usia dini adalah Air Susu Ibu (ASI) eksklusif yakni pemberian ASI saja segera setelah lahir sampai usia 6 bulan yang diberikan sesering mungkin. Setelah usia 6 bulan, selain ASI bayi diberi makanan pendamping ASI (MP-ASI). Selanjutnya pada usia 1 tahun anak sudah diberi makanan keluarga dan ASI masih tetap diberikan sampai anak usia 2 tahun. Balita merupakan masa pertumbuhan tubuh dan otak yang sangat pesat dalam pencapaian keoptimalan fungsinya. Periode tumbuh kembang anak adalah masa balita, karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan memengaruhi dan menentukan perkembangan kemampuan berbahasa, kreatifitas, kesadaran sosial, emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan perkembangan berikutnya (Supartini, 2004). 1
Pola pemberian makan mendukung pertumbuhan optimal bagi anak. Pada usia 0-6 tahun terjadi pertumbuhan otak hingga mencapai sekitar 75%, masa ini disebut periode emas atau golden period. Pemberian makan yang optimal pada usia 0-2 tahun memberikan kontribusi bermakna pada pertumbuhan otak anak. Pemberian ASI saja sejak bayi lahir hingga usia 6 bulan (ASI eksklusif enam bulan) dapat memenuhi seluruh kebutuhan gizi bayi, serta melindungi bayi dari berbagai penyakit seperti diare yang merupakan penyebab utama kematian balita di Indonesia (Kementerian Kesehatan RI, 2010). Diare adalah keadaan frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali pada bayi dan lebih dari 3 kali pada anak, dengan konsisten feses encer, dapat berwarna hijau atau dapat pula bercampur lendir dan darah (Ngastiyah, 1997). Hal ini terjadi karena secara fisiologis sistem pencernaan pada balita belum cukup matur (organ-organnya belum matang), sehingga rentan sekali terkena penyakit saluran pencernaan. Penyakit saluran pencernaan ini dapat disebabkan oleh virus, bakteri dan amoeba atau parasit melalui makanan yang masuk ke dalam tubuh dan juga malabsorpsi serta alergi zat makanan tertentu (Markum, 1998). WHO (2008) menyatakan bahwa setiap tahun 1,5 juta anak balita meninggal dunia akibat penyakit diare, hal ini menyebabkan diare sebagai penyebab kematian terbesar kedua pada anak balita. Di Negara ASEAN, anak-anak balita mengalami rata-rata 3-4 kali kejadian diare per tahun atau hampir 15-20% waktu hidup anak dihabiskan untuk diare (Soebagyo, 2008). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) tahun 2007, menunjukkan bahwa diare telah menyebabkan kematian 25,2% anak usia
satu tahun hingga empat tahun. Bahkan pada tahun 2008, diare merupakan penyumbang kematian bayi terbesar di Indonesia, yaitu mencapai 31,4% dari total kematian bayi. Di Provinsi Sumatera Utara, penyakit diare merupakan penyakit endemis dan sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB). Hasil pengumpulan data dari kabupaten/kota selama tahun 2007 jumlah kasus penyakit diare pada balita yang ditemukan di sarana kesehatan adalah sejumlah 1.146 penderita dengan angka kesakitan penyakit diare 28,43 per 1.000 penduduk. KLB diare yang tersebar di 10 Kabupaten/Kota dengan total penderita 2.819 orang dan kematian 23 orang (CFR 0,81%). Berdasarkan laporan Program Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit, pada tahun 2008 tingkat kematian pada penyakit diare mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Tahun 2008 CFR akibat diare sebesar 4,78% dengan 10 penderita meninggal dari 209 kasus. Angka ini naik dari tahun sebelumnya yaitu dengan CFR 1,31% dengan 4 penderita meninggal dari 304 kasus. Berdasarkan data profil dari kab/kota tahun 2008, diperoleh bahwa jumlah penderita diare di Sumatera Utara tahun 2008 adalah 208.024 penderita, dari jumlah tersebut 98.768 (47,48%) adalah kasus pada balita ( Profil Dinkes Sumut, 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Simanjuntak (2007) tentang pengetahuan ibu dalam pola pemberian ASI, MP-ASI dan pola penyakit pada bayi usia 0-12 bulan di Desa Limau Manis Kabupaten Deli Serdang Kecamatan Tanjung Morawa diketahui tingkat pengetahuan ibu masih kurang dengan persentase 43,3% dalam pola pemberian ASI sedangkan untuk pemberian MP-ASI tingkat
pengetahuannya cukup dengan persentase 50%. Hal ini disebabkan karena ibu yang memiliki bayi 0-12 bulan masih berpegang pada prinsip bahwa makanan pendamping ASI biasanya sudah diberikan sangat dini yang justru menyebabkan banyak penyakit infeksi pada bayi. Mereka memberikan makanan pendamping pada bulan pertama setelah lahir berupa nasi yang dikunyah terlebih dahulu oleh ibunya, campuran bubur beras dan pisang yang diulek, madu dan sebagainya. Hasil dari penelitian di atas dapat memberi gambaran bahwa cara ibu dalam memberikan makanan pada bayi di Kabupaten Deli Serdang belum tepat sehingga meningkatkan risiko bayi terkena diare. Hal ini didukung dengan data laporan STP Puskesmas dan Program Diare Kabupaten Deli Serdang tahun 2010 tentang jumlah penderita diare dari tahun 2004-2007 yang terus meningkat. Pada tahun 2007 jumlah penderita diare sebesar 1.094, kemudian menurun pada tahun 2008 menjadi 1.000 kejadian diare. Namun, pada tahun 2009 kembali meningkat menjadi 1.100 kejadian diare. Berdasarkan laporan Kejadian Diare Puskesmas Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang juga menunjukkan data peningkatan dari tahun 2009 yaitu 2.208 menjadi 2.250 kejadian diare pada tahun 2010. Di Kecamatan Tanjung Morawa terdapat 2 Puskesmas Induk yaitu Puskesmas Tanjung Morawa Pekan dan Puskesmas Dalu Sepuluh. Dari data Puskesmas Tanjung Morawa Pekan bulan April-Juni Tahun 2011 ditemukan 163 kasus diare pada kelompok umur balita, sedangkan pada Puskesmas Dalu Sepuluh ditemukan kasus 13 diare pada balita. Dengan banyaknya kasus diare pada balita tersebut peneliti mengasumsikan bahwa salah satu faktor
risiko kejadian diare adalah perilaku ibu dalam pemberian ASI (Air Susu Ibu), PASI (Pengganti ASI), dan MP ASI (Makanan Pendamping ASI) pada anak bawah lima tahun atau balita. Hal ini didukung dari hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang diuraikan berikut ini. Kejadian diare pada bayi dapat disebabkan karena kesalahan dalam pemberian makan, dimana bayi sudah diberi makan selain ASI sebelum berusia 4 bulan. Perilaku tersebut sangat berisiko bagi bayi untuk terkena diare karena alasan sebagai berikut; (1) pencernaan bayi belum mampu mencerna makanan selain ASI, (2) bayi kehilangan kesempatan untuk mendapatkan zat kekebalan yang hanya dapat diperoleh dari ASI serta yang ke (3) adanya kemungkinan makanan yang diberikan bayi sudah terkontaminasi oleh bakteri karena alat yang digunakan untuk memberikan makanan atau minuman kepada bayi tidak steril (Hidayat, 2008). Penyebab diare lainnya adalah makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh serangga atau kontaminasi oleh tangan yang kotor, bermain dengan mainan yang terkontaminasi, apalagi pada bayi yang sering memasukan tangan/ mainan/apapun ke dalam mulut karena virus ini dapat bertahan di permukaan udara sampai beberapa hari. Penggunaan sumber air yang sudah tercemar dan tidak memasak air dengan benar, pencucian dan pemakaian botol susu yang tidak bersih, tidak mencuci tangan dengan bersih setelah selesai buang air besar atau membersihkan tinja anak yang terinfeksi, sehingga mengkontaminasi perabotan dan alat-alat yang dipegang (Suririnah, 2006). Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa penyakit diare mudah menular pada bayi dan anak-anak khususnya anak bawah lima tahun (balita)
karena adanya penerapan pola hidup yang tidak benar dan pemberian makanan yang tidak sehat pada bayi dan anak-anak. Perilaku ibu dalam pemberian makanan sangat berperan dalam membentuk pola konsumsi makanan dalam keluarga. Perilaku ini meliputi pengetahuan, sikap dan praktik/tindakan terhadap pengelolaan makanan dan pemilihan makanan yang bergizi yang akan memengaruhi status gizi anak. Balita termasuk golongan rentan sehingga sangat membutuhkan perhatian khusus dalam pemberian makanan. Pada masa balita seorang anak masih benar-benar bergantung pada perawatan dan pengasuhan oleh ibunya, termasuk pengaturan pola makan. Untuk tumbuh dengan baik, tidak cukup hanya dengan memberinya makan, asal dalam memilih menu makanan dan asal menyuapi makanan. Akan tetapi orang tua juga perlu menerapkan sikap yang baik dalam memberikan makan. Misalnya, ibu membentuk pola makan anak sejak dini antara lain dengan pengenalan jam-jam makan dan variasi makanan. Kadang-kadang orang tua memaksakan bayi untuk banyak memakan makanan padat agar tidur lelap di malam hari. Akan tetapi, hal ini tidak akan berhasil dan bisa menimbulkan masalah pemberian makanan dikemudian hari (Ronald, 2010). Untuk mencapai tumbuh kembang optimal, di dalam Global Strategy for Infant and Young Child Feeding, WHO/UNICEF merekomendasikan empat hal penting yang harus dilakukan yaitu; pertama memberikan air susu ibu kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir, kedua memberikan hanya air susu ibu (ASI) saja atau pemberian ASI secara eksklusif sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, ketiga memberikan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) sejak bayi
berusia 6 bulan sampai 24 bulan, dan keempat meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan atau lebih (Depkes RI, 2006). Pemberian cairan dan makanan dapat menjadi sarana masuknya bakteri patogen. Bayi usia dini sangat rentan terhadap bakteri penyebab diare, terutama di lingkungan yang kurang higienis dan sanitasi buruk. Penelitian di Filipina menegaskan tentang manfaat pemberian ASI Eksklusif dan dampak negatif pemberian cairan tambahan tanpa nilai gizi terhadap timbulnya penyakit diare. Seorang bayi (tergantung usianya) yang diberi air putih, teh, atau minuman herbal lainnya akan berisiko terkena diare 2-3 kali lebih banyak dibanding bayi yang diberi ASI Eksklusif (Yuliarti, 2010). Bayi yang diberi susu formula mengalami diare 10 kali lebih banyak yang menyebabkan angka kematian bayi juga 10 kali lebih banyak, infeksi usus karena bakteri dan jamur 4 kali lipat lebih banyak, sariawan mulut karena jamur 6 kali lebih banyak. Penelitian di Jakarta memperlihatkan persentase kegemukan atau obesitas terjadi pada bayi yang mengkonsumsi susu formula sebesar 3,4% dan kerugian lain menurunnya tingkat kekebalan terhadap asma dan alergi (Depkes RI, 2006). Hal ini juga didukung oleh pernyataan UNICEF tahun 2006 yang menyebutkan bukti ilmiah terbaru, yang juga dikeluarkan oleh Journal Paediatrics bahwa bayi yang diberikan susu formula memiliki kemungkinan untuk meninggal dunia pada bulan pertama kelahirannya. Dan peluang itu 25 kali lebih tinggi dibandingkan bayi yang disusui oleh ibunya secara eksklusif (Journal Pediatrics, 2006).
Menurut Narendra (2002), ibu bisa melakukan pencegahan diare dengan mempertahankan pemberian ASI atau memberikan pengganti air susu/susu formula dengan melakukan pengenceran. Jika terlalu kental, maka asupan susu formula bisa menyebabkan berbagai gangguan pencernaan. Takaran susu formula umumnya sudah dibuat sedemikian rupa dengan memerhatikan osmolaritas (tingkat kekentalan) yang disesuaikan dengan kemampuan fungsi pencernaan bayi. Berat ringannya diare ditentukan oleh beberapa faktor antara lain umur balita dan tingkat status gizi balita, makin muda usia balita yang terkena diare maka makin parah akibatnya, balita yang diare di bawah umur 1 tahun mempunyai resiko yang paling besar jika diberi makanan pendamping ASI. Pemberian makanan padat atau tambahan yang terlalu dini dapat mengganggu pemberian ASI Eksklusif serta meningkatkan angka kesakitan pada bayi. Berdasarkan latar belakang dan data-data kejadian diare, khususnya di Kecamatan Tanjung Morawa yang telah diuraikan di atas, maka perlu dilakukan penelitian terkait dengan perilaku ibu tentang pola makan pada anak balita terhadap kejadian diare di Kecamatan Tanjung Morawa tahun 2011. 1.2. Permasalahan Bagaimana pengaruh perilaku ibu tentang pola makan anak balita terhadap kejadian diare di Kecamatan Tanjung Morawa tahun 2011. 1.3. Tujuan Penelitian Untuk menganalisis pengaruh perilaku ibu tentang pola makan anak balita terhadap kejadian diare di Kecamatan Tanjung Morawa tahun 2011.
1.4. Hipotesis Ada pengaruh perilaku ibu tentang pola makan anak balita terhadap kejadian diare di Kecamatan Tanjung Morawa tahun 2011. 1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Dinas Kesehatan Sebagai bahan masukan dan informasi kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Deli serdang dalam upaya penanggulangan diare pada anak khususnya anak balita. 1.5.2. Puskesmas Sebagai masukan dan pertimbangan dalam merencanakan program pencegahan penyakit infeksi khususnya diare pada anak balita di Kecamatan Tanjung Morawa pada masa yang akan datang. 1.5.3. Keluarga Dapat meningkatkan pemahaman ibu tentang pengaturan pola makan anak balita sehingga diharapkan angka kejadian diare dapat berkurang di Kecamatan Tanjung Morawa. 1.5.4. Ilmu Pengetahuan Dapat memperkaya khasanah keilmuan dan pengembangan penelitian selanjutnya yang terkait dengan perilaku ibu dalam pengaturan pola makan anak terhadap kejadian diare.