BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN

I. PENDAHULUAN. yang mendayagunakan sumberdaya alam dan diharapkan dapat. menjamin kehidupan di masa yang akan datang. Sumberdaya alam yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. di tahun 2006 menjadi lebih dari 268,407 juta ton di tahun 2015 (Anonim, 2015).

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENDAHULUAN Latar Belakang

A.A Inung Arie Adnyano 1 STTNAS Yogyakarta 1 ABSTRACT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

Restorasi Organik Lahan. Aplikasi Organik Untuk Pemulihan Biofisik Lahan & Peningkatan Sosial Ekonomi Melalui Penerapan Agroforestri.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN PERTAMBANGAN TERHADAP LAHAN BEKAS TAMBANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG

INDIKATOR RAMAH LINGKUNGAN UNTUK USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN TERBUKA BATUBARA

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Tata Ruang Lahan Daerah Penelitian. Menurut penataan ruang Kaupaten Lebak lokasi penambangn ini

BAB I PENDAHULUAN. Sistem penambangan batubara pada umumnya di Indonesia adalah sistem

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.48/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN REKLAMASI HUTAN PADA AREAL BENCANA ALAM

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

EVALUASI KEBERHASILAN TANAMAN HASIL REVEGETASI DI LAHAN PASCA TAMBANG BATUBARA SITE LATI PT BERAU COAL KALIMANTAN TIMUR ALVI NADIA PUTRI

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA TENTANG REKLAMASI DAN PASCA TAMBANG

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ANALISA PerMenhut No. P.60 / Menhut-II / 2009 tentang Pedoman Penilaian Keberhasilan Reklamasi Hutan

TEKNIK REHABILITASI (REVEGETASI) LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI Sumbangsih Pengalaman dan Pembelajaran Restorasi Gambut dari Sumatera Selatan dan Jambi

meliputi pemilihan: pola tanam, tahapan penanaman (prakondisi dan penanaman vegetasi tetap), sistem penanaman (monokultur, multiple cropping), jenis

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipisahkan dari alam dan lingkungannya. Manusia selalu

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-undang No.41 Tahun 1999 hutan memiliki fungsi

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penambangan Batubara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. berhasil menguasai sebidang atau seluas tanah, mereka mengabaikan fungsi tanah,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 93

PRESIDEN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 39/Menhut-II/2010 TENTANG POLA UMUM, KRITERIA, DAN STANDAR REHABILITASI DAN REKLAMASI HUTAN

DAFTAR ISI... Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN...

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI LAHAN PASCA TAMBANG BATUBARA DI KALIMANTAN SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang dipengaruhi sifat-sifat

~ 1 ~ BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya perubahan kondisi lingkungan yang gradual. Hal ini kemudian akan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KAJIAN PENILAIAN KEBERHASILAN REKLAMASI TERHADAP LAHAN BEKAS PENAMBANGAN DI PT. SUGIH ALAMANUGROHO KABUPATEN GUNUNGKIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

I. PENDAHULUAN. Dampak penambangan yang paling serius dan luas adalah degradasi, kualitas

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

Menengok kesuksesan Rehabilitasi Hutan di Hutan Organik Megamendung Bogor Melalui Pola Agroforestry

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

Keputusan Menteri Kehutanan Dan Perkebunan No. 146 Tahun 1999 Tentang : Pedoman Reklamasi Bekas Tambang Dalam Kawasan Hutan

RINGKASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG

MODEL REKLAMASI LAHAN KRITIS PADA AREA BEKAS PENGGALIAN BATU BATA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hutan menurut Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan

Evaluasi Keberhasilan Tanaman Hasil Revegetasi Di Lahan Pasca Tambang Batubara Site Lati PT. Berau Coal Kalimantan Timur

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN EVALUASI PERTUMBUHAN SENGON DAN JABON DALAM REHABILITASI LAHAN TERDEGRADASI DI TLOGOWUNGU PATI. Tujuan

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR SK.159/MENHUT-II/2004 TAHUN 2004 TENTANG RESTORASI EKOSISTEM DI KAWASAN HUTAN PRODUKSI

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

> MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PEMULSAAN ( MULCHING ) Pemulsaan (mulching) merupakan penambahan bahan organik mentah dipermukaan tanah. Dalam usaha konservasi air pemberian mulsa

TASIKMALAYA 14 DESEMBER 2015

PENDAHULUAN. Latar Belakang

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat sebesar 11,78 persen menyumbang terhadap Pendapatan Domestik Bruto

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

Analisis Erosi lahan Pada Lahan Revegetasi Pasca Tambang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. hutan dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi atau ekosistem yang sangat. berguna bagi manusia (Soerianegara dan Indrawan. 2005).

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

cukup tua dan rapat, sedang hutan sekunder pada umumnya diperuntukkan bagi tegakantegakan lebih muda dengan dicirikan pohon-pohonnya lebih kecil.

Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1646); 3.

Peraturan Reklamasi dan Pascatambang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

PENDAHULUAN Latar Belakang

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

PROSES PENAMBANGAN EKSPLORASI METODE TAMBANG KAPAL KERUK TAMBANG GP PEMBERSIHAN KAWASAN PEMBERSIHAN KAWASAN PEMBUANGAN TANAH PENUTUP

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar

PERENCANAAN LANSKAP DALAM PEMBUKAAN TAMBANG

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

REKLAMASI DAN PASCATAMBANG

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD.

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN

Prosiding Teknik Pertambangan ISSN:

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pertambangan Permenhut Nomor 4 Tahun 2011 menjelaskan bahwa pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksploitasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan serta kegiatan pasca tambang (Kemenhut 2011). Metode penambangan batubara sangat tergantung pada keadaan geologi daerah (lapisan batuan penutup, batuan dasar batubara dan struktur geologi), keadaan lapisan batubara dan bentuk deposit. Metode penambangan batubara terdiri dari dua tipe, yaitu metode tambang bawah tanah dan metode tambang terbuka. Metode tambang bawah tanah dilakukan dengan jalan membuat lubang menuju ke lapisan batubara yang akan ditambang dan membuat lubang bukaan pada lapisan batubara. Metode tambang terbuka dilakukan dengan mengupas material penutup batubara (Sukandarrumidi 2010 dalam Permana 2010). Maryani (2007), menjelaskan bahwa dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh kegiatan penambangan dapat dilihat pada kerusakan lingkungan yang terjadi. Dampak kerusakan tersebut yaitu penurunan kualitas lahan yang ditunjukkan dengan adanya penurunan kualitas fisik, kimia dan biologi tanah. 2.2 Reklamasi Kata reklamasi berasal dari kata to reclaim yang bermakna to bring back to proper state, sedangkan arti umum reklamasi adalah the making of land fit for cultivation, membuat keadaan lahan menjadi lebih baik untuk dibudidayakan, atau membuat sesuatu yang sudah bagus menjadi lebih bagus, sama sekali tidak mengandung implikasi pemulihan ke kondisi asal, tetapi yang lebih diutamakan adalah fungsi dan asas kemanfaatan lahan. Arti tersebut juga dapat diterjemahkan sebagai kegiatan yang bertujuan mengubah peruntukan sebuah lahan atau mengubah kondisi sebuah lahan agar sesuai dengan keinginan manusia (Young dan Chan 1997 dalam Nusantara et al. 2004).

4 Reklamasi bekas tambang adalah usaha memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi dalam kawasan hutan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan dan energi agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya. Program reklamasi hutan meliputi penyiapan kawasan hutan, pengaturan bentuk lahan/penataan lahan, pengendalian erosi dan sedimentasi, pengelolaan lapisan tanah pucuk, revegetasi, dan pengamanan. Permenhut Nomor 4 Tahun 2011 menyebutkan bahwa rehabilitasi hutan dan lahan adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam menjaga sistem penyangga kehidupan tetap terjaga (Kemenhut 2011). Prinsip dasar kegiatan reklamasi, antara lain: 1) merupakan satu kesatuan yang utuh (holistic) dengan kegiatan penambangan; dan 2) dilakukan sedini mungkin tanpa menunggu proses penambangan secara keseluruhan selesai dilakukan. Reklamasi tidak berarti akan mengembalikan seratus persen sama dengan kondisi rona awal. Kawasan atau sumberdaya alam yang dipengaruhi oleh kegiatan pertambangan harus dikembalikan ke kondisi yang aman dan produktif melalui rehabilitasi. Kondisi akhir rehabilitasi dapat diarahkan untuk mencapai kondisi seperti sebelum ditambang atau kondisi lain yang telah disepakati. Kegiatan rehabilitasi merupakan kegiatan yang terus menerus dan berlanjut sepanjang umur pertambangan sampai dengan pasca tambang. Tujuan jangka pendek rehabilitasi adalah membentuk bentang alam (landscape) yang stabil terhadap erosi. Rehabilitasi juga bertujuan untuk mengembalikan lokasi tambang ke kondisi yang memungkinkan untuk digunakan sebagai lahan produktif. Bentuk lahan produktif yang akan dicapai menyesuaikan dengan tataguna lahan pasca tambang. Penentuan tataguna lahan pasca tambang sangat tergantung pada berbagai faktor, antara lain potensi ekologis lokasi tambang dan keinginan masyarakat serta pemerintah. Bekas lokasi tambang yang telah direhabilitasi harus dipertahankan agar tetap terintegrasi dengan ekosistem bentang alam sekitarnya. 2.3 Revegetasi Dampak perubahan dari kegiatan pertambangan, rekonstruksi tanah, revegetasi, pencegahan air asam tambang, pengaturan drainase, dan tataguna

5 lahan pasca tambang merupakan hal-hal yang secara umum harus diperhatikan dan dilakukan dalam mereklamasi lahan bekas tambang. Menurut Permenhut Nomor 60 Tahun 2009, revegetasi adalah usaha untuk memperbaiki dan memulihkan vegetasi yang rusak melalui kegiatan penanaman dan pemeliharaan pada lahan bekas penggunaan kawasan hutan (Kemenhut 2009). Setiadi (2006) menyatakan bahwa model revegetasi dalam rehabilitasi lahan yang terdegradasi terdiri dari beberapa model, yaitu restorasi (memiliki aksentuasi pada fungsi proteksi dan konservasi serta bertujuan untuk kembali ke kondisi awal), reforestrasi, dan agroforestri. Revegetasi sebagai salah satu teknik vegetatif yang dapat diterapkan dalam upaya merehabilitasi lahan pasca tambang bertujuan tidak hanya untuk memperbaiki lahan-lahan labil dan mengurangi erosi permukaan. Tujuan jangka panjang dari kegiatan ini yaitu agar dapat memperbaiki kondisi iklim mikro, biodivertitas, habitat satwa dan meningkatkan kondisi lahan kearah yang lebih protektif, konservatif, dan produktif sesuai dengan peruntukannya (Setiadi 2011). Kendala utama dalam pelaksanaan revegetasi di lahan pasca tambang adalah kondisi lahan yang marginal atau tidak mendukung bagi pertumbuhan tanaman. Kondisi ini secara langsung akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Tanaman tumbuh lambat, kerdil dan seringkali mengalami kematian. Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam kegiatan revegetasi untuk mengatasi masalah tersebut, antara lain pemilihan jenis pohon dan penyiapan lahan yang tepat sebelum penanaman dilakukan. Pemilihan jenis-jenis tanaman yang tepat baik berupa pohon, semak ataupun tumbuhan penutup tanah seperti rumput dan legume cover crops, sebagai bahan tanaman untuk kegiatan revegetasi, merupakan kunci utama dalam menunjang keberhasilan revegetasi di lahan pasca tambang (Setiadi 2011). Pemilihan spesies yang cocok dengan kondisi setempat perlu dilakukan karena secara ekologi, spesies tanaman lokal memang dapat beradaptasi dengan iklim setempat tetapi tidak untuk kondisi tanah. Pemilihan spesies ini terutama dilakukan pada spesies yang cepat tumbuh. Langkah-langkah seperti perbaikan lahan pra-tanam, pemilihan spesies yang cocok, dan penggunaan pupuk dilakukan untuk menunjang keberhasilan dalam mereklamasi lahan bekas tambang.

6 2.4 Evaluasi Keberhasilan Revegetasi Penilaian adalah pengamatan yang dilakukan secara periodik terhadap kegiatan reklamasi hutan untuk menjamin bahwa rencana kegiatan yang diusulkan, jadwal kegiatan, hasil yang diinginkan dan kegiatan lain yang diperlukan dapat berjalan sesuai dengan rencana dan dijadikan dasar perpanjangan, pengembalian izin penggunaan kawasan hutan dan untuk mengetahui kemajuan pelaksanaan reklamasi hutan. Kriteria keberhasilan reklamasi hutan yang ditetapkan dalam Permenhut Nomor 60 Tahun 2009, yaitu penataan lahan, pengendalian erosi dan sedimentasi, serta revegetasi atau penanaman pohon. Penilaian aspek revegetasi atau penanaman pohon terdiri dari luas areal penanaman, persentase tumbuh tanaman, jumlah tanaman per hektar, komposisi jenis tanaman dan pertumbuhan atau kesehatan tanaman (Kemenhut 2009). Setiadi (2006) menyebutkan beberapa faktor sebagai bahan evaluasi revegetasi, antara lain performa pertumbuhan dan kesesuaian jenis, kesinambungan dan tingkat pemenuhan kebutuhan diri oleh tanaman, peningkatan lingkungan mikro-habitat, pengurangan dampak terhadap lingkungan serta keuntungan bagi masyarakat sekitar. Evaluasi keberhasilan revegetasi adalah sebuah upaya untuk menjamin bahwa revegetasi tengah berjalan menuju arah yang diharapkan, yaitu kondisi asli sebelum terjadinya gangguan. Hal ini juga merupakan sebuah mekanisme untuk menentukan keberhasilan revegetasi yang telah dilakukan, berdasarkan parameter silvikultur dan ekologis juga sesuai dengan peraturan pemerintah yang mengikat bagi pelaksana kegiatan revegetasi, dalam hal ini perusahaan pertambangan. Status revegetasi dikatakan berhasil apabila status daya hidup (survival rate) dan kesehatan tumbuh (growth performance), masing-masing dapat mencapai lebih dari 80%. Status daya hidup tanaman ditunjukkan dengan nilai persentase tumbuh tanaman, sedangkan performa pertumbuhan tanaman ditunjukkan dengan nilai persentase kesehatan tanaman. Persentase tumbuh tanaman ditentukan oleh jumlah tanaman yang berhasil hidup dari kegiatan penanaman yang dilakukan pada suatu blok tanam. Ini menunjukkan kemampuan adaptasi tanaman terhadap lokasi tempat tumbuh. Semakin besar nilai persentase tumbuh tanaman maka

7 kemampuan adaptasi tanaman juga semakin tinggi. Persentase kesehatan tanaman dipengaruhi oleh jumlah tanaman yang tumbuh dengan sehat dari seluruh tanaman yang hidup dalam suatu blok tanam. Kesehatan tanaman dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan maupun tanah sebagai tempat tumbuh tanaman. Kondisi fisik tanaman dapat dilihat dari data kuantitatif berupa nilai rata-rata diameter dan tinggi tanaman. Tanaman sehat adalah tanaman yang tumbuh segar dengan batang relatif lurus, bertajuk lebat dengan tinggi minimal sesuai standar dan bebas dari hama dan penyakit atau gulma, sedangkan tanaman yang tidak sehat adalah tanaman yang tumbuhnya tidak normal atau terserang hama dan penyakit sehingga jika terus dipelihara akan memiliki kemungkinan yang kecil untuk tumbuh dengan baik. Tanaman yang tidak sehat juga ditunjukkan dengan adanya stagnasi pertumbuhan. Tanaman yang mengalami stagnasi memiliki penampakan fisik dengan rata-rata diameter dan tinggi yang lebih kecil dari tanaman sejenis yang seumur. Tanaman ini umumnya juga memiliki warna daun yang kekuningan (Kemenhut 2009). 2.5 Akasia (Acacia mangium Willd) Tanaman A. mangium, yang juga dikenal dengan nama mangium, merupakan salah satu jenis pohon cepat tumbuh yang paling umum digunakan dalam program pembangunan hutan tanaman di Asia dan Pasifik. Keunggulan dari jenis ini adalah pertumbuhan pohonnya yang cepat, kualitas kayunya yang baik, dan kemampuan toleransinya terhadap berbagai jenis tanah dan lingkungan. Jenis A. mangium tumbuh secara alami di hutan tropis lembab di Australia bagian timur laut, Papua Nugini dan Kepulauan Maluku kawasan Timur Indonesia (National Research Council 1983). Di Indonesia, jenis ini pertama kali diintroduksikan ke daerah lain selain Kepulauan Maluku pada akhir tahun 1970-an sebagai jenis pohon untuk program reboisasi (Pinyopusarerk dkk 1993 dalam Krisnawati et al. 2011). Tanaman A. mangium dapat beradaptasi dengan baik pada berbagai jenis tanah dan kondisi lingkungan. Tanaman ini dapat tumbuh cepat di lokasi dengan level nutrisi tanah yang rendah, bahkan pada tanah-tanah asam dan terdegradasi, namun jenis ini tidak toleran terhadap naungan dan lingkungan salin (asin).

8 Tanaman A. mangium akan tumbuh kerdil dan kurus di bawah naungan (National Research Council 1983). Jenis A. mangium biasanya ditemukan di daerah dataran rendah beriklim tropis yang dicirikan oleh periode kering yang pendek selama 4 bulan. Jenis ini dapat tumbuh pada ketinggian di atas permukaan laut sampai ketinggian 480 m bahkan A. mangium dapat tumbuh pada ketinggian hingga 800 m. Jumlah curah hujan tahunan pada areal tumbuh A. mangium bervariasi dari 1.000 mm sampai lebih dari 4.500 mm dengan rata-rata curah hujan tahunan antara 1.446 mm dan 2.970 mm. Suhu minimum dan suhu maksimum rata-rata pada habitat alami A. mangium yaitu berkisar 12 16ºC dan 31 34ºC. Jenis ini tidak tumbuh terus menerus sepanjang tahun, pertumbuhan tampak lambat atau berhenti sebagai respon terhadap kombinasi curah hujan yang rendah dan suhu yang dingin. Tanaman A. mangium bisa mengalami kematian jika terkena kekeringan yang parah atau musim dingin yang berkepanjangan (Krisnawati et al. 2011).