BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pertambangan Permenhut Nomor 4 Tahun 2011 menjelaskan bahwa pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksploitasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan serta kegiatan pasca tambang (Kemenhut 2011). Metode penambangan batubara sangat tergantung pada keadaan geologi daerah (lapisan batuan penutup, batuan dasar batubara dan struktur geologi), keadaan lapisan batubara dan bentuk deposit. Metode penambangan batubara terdiri dari dua tipe, yaitu metode tambang bawah tanah dan metode tambang terbuka. Metode tambang bawah tanah dilakukan dengan jalan membuat lubang menuju ke lapisan batubara yang akan ditambang dan membuat lubang bukaan pada lapisan batubara. Metode tambang terbuka dilakukan dengan mengupas material penutup batubara (Sukandarrumidi 2010 dalam Permana 2010). Maryani (2007), menjelaskan bahwa dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh kegiatan penambangan dapat dilihat pada kerusakan lingkungan yang terjadi. Dampak kerusakan tersebut yaitu penurunan kualitas lahan yang ditunjukkan dengan adanya penurunan kualitas fisik, kimia dan biologi tanah. 2.2 Reklamasi Kata reklamasi berasal dari kata to reclaim yang bermakna to bring back to proper state, sedangkan arti umum reklamasi adalah the making of land fit for cultivation, membuat keadaan lahan menjadi lebih baik untuk dibudidayakan, atau membuat sesuatu yang sudah bagus menjadi lebih bagus, sama sekali tidak mengandung implikasi pemulihan ke kondisi asal, tetapi yang lebih diutamakan adalah fungsi dan asas kemanfaatan lahan. Arti tersebut juga dapat diterjemahkan sebagai kegiatan yang bertujuan mengubah peruntukan sebuah lahan atau mengubah kondisi sebuah lahan agar sesuai dengan keinginan manusia (Young dan Chan 1997 dalam Nusantara et al. 2004).
4 Reklamasi bekas tambang adalah usaha memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi dalam kawasan hutan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan dan energi agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya. Program reklamasi hutan meliputi penyiapan kawasan hutan, pengaturan bentuk lahan/penataan lahan, pengendalian erosi dan sedimentasi, pengelolaan lapisan tanah pucuk, revegetasi, dan pengamanan. Permenhut Nomor 4 Tahun 2011 menyebutkan bahwa rehabilitasi hutan dan lahan adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam menjaga sistem penyangga kehidupan tetap terjaga (Kemenhut 2011). Prinsip dasar kegiatan reklamasi, antara lain: 1) merupakan satu kesatuan yang utuh (holistic) dengan kegiatan penambangan; dan 2) dilakukan sedini mungkin tanpa menunggu proses penambangan secara keseluruhan selesai dilakukan. Reklamasi tidak berarti akan mengembalikan seratus persen sama dengan kondisi rona awal. Kawasan atau sumberdaya alam yang dipengaruhi oleh kegiatan pertambangan harus dikembalikan ke kondisi yang aman dan produktif melalui rehabilitasi. Kondisi akhir rehabilitasi dapat diarahkan untuk mencapai kondisi seperti sebelum ditambang atau kondisi lain yang telah disepakati. Kegiatan rehabilitasi merupakan kegiatan yang terus menerus dan berlanjut sepanjang umur pertambangan sampai dengan pasca tambang. Tujuan jangka pendek rehabilitasi adalah membentuk bentang alam (landscape) yang stabil terhadap erosi. Rehabilitasi juga bertujuan untuk mengembalikan lokasi tambang ke kondisi yang memungkinkan untuk digunakan sebagai lahan produktif. Bentuk lahan produktif yang akan dicapai menyesuaikan dengan tataguna lahan pasca tambang. Penentuan tataguna lahan pasca tambang sangat tergantung pada berbagai faktor, antara lain potensi ekologis lokasi tambang dan keinginan masyarakat serta pemerintah. Bekas lokasi tambang yang telah direhabilitasi harus dipertahankan agar tetap terintegrasi dengan ekosistem bentang alam sekitarnya. 2.3 Revegetasi Dampak perubahan dari kegiatan pertambangan, rekonstruksi tanah, revegetasi, pencegahan air asam tambang, pengaturan drainase, dan tataguna
5 lahan pasca tambang merupakan hal-hal yang secara umum harus diperhatikan dan dilakukan dalam mereklamasi lahan bekas tambang. Menurut Permenhut Nomor 60 Tahun 2009, revegetasi adalah usaha untuk memperbaiki dan memulihkan vegetasi yang rusak melalui kegiatan penanaman dan pemeliharaan pada lahan bekas penggunaan kawasan hutan (Kemenhut 2009). Setiadi (2006) menyatakan bahwa model revegetasi dalam rehabilitasi lahan yang terdegradasi terdiri dari beberapa model, yaitu restorasi (memiliki aksentuasi pada fungsi proteksi dan konservasi serta bertujuan untuk kembali ke kondisi awal), reforestrasi, dan agroforestri. Revegetasi sebagai salah satu teknik vegetatif yang dapat diterapkan dalam upaya merehabilitasi lahan pasca tambang bertujuan tidak hanya untuk memperbaiki lahan-lahan labil dan mengurangi erosi permukaan. Tujuan jangka panjang dari kegiatan ini yaitu agar dapat memperbaiki kondisi iklim mikro, biodivertitas, habitat satwa dan meningkatkan kondisi lahan kearah yang lebih protektif, konservatif, dan produktif sesuai dengan peruntukannya (Setiadi 2011). Kendala utama dalam pelaksanaan revegetasi di lahan pasca tambang adalah kondisi lahan yang marginal atau tidak mendukung bagi pertumbuhan tanaman. Kondisi ini secara langsung akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Tanaman tumbuh lambat, kerdil dan seringkali mengalami kematian. Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam kegiatan revegetasi untuk mengatasi masalah tersebut, antara lain pemilihan jenis pohon dan penyiapan lahan yang tepat sebelum penanaman dilakukan. Pemilihan jenis-jenis tanaman yang tepat baik berupa pohon, semak ataupun tumbuhan penutup tanah seperti rumput dan legume cover crops, sebagai bahan tanaman untuk kegiatan revegetasi, merupakan kunci utama dalam menunjang keberhasilan revegetasi di lahan pasca tambang (Setiadi 2011). Pemilihan spesies yang cocok dengan kondisi setempat perlu dilakukan karena secara ekologi, spesies tanaman lokal memang dapat beradaptasi dengan iklim setempat tetapi tidak untuk kondisi tanah. Pemilihan spesies ini terutama dilakukan pada spesies yang cepat tumbuh. Langkah-langkah seperti perbaikan lahan pra-tanam, pemilihan spesies yang cocok, dan penggunaan pupuk dilakukan untuk menunjang keberhasilan dalam mereklamasi lahan bekas tambang.
6 2.4 Evaluasi Keberhasilan Revegetasi Penilaian adalah pengamatan yang dilakukan secara periodik terhadap kegiatan reklamasi hutan untuk menjamin bahwa rencana kegiatan yang diusulkan, jadwal kegiatan, hasil yang diinginkan dan kegiatan lain yang diperlukan dapat berjalan sesuai dengan rencana dan dijadikan dasar perpanjangan, pengembalian izin penggunaan kawasan hutan dan untuk mengetahui kemajuan pelaksanaan reklamasi hutan. Kriteria keberhasilan reklamasi hutan yang ditetapkan dalam Permenhut Nomor 60 Tahun 2009, yaitu penataan lahan, pengendalian erosi dan sedimentasi, serta revegetasi atau penanaman pohon. Penilaian aspek revegetasi atau penanaman pohon terdiri dari luas areal penanaman, persentase tumbuh tanaman, jumlah tanaman per hektar, komposisi jenis tanaman dan pertumbuhan atau kesehatan tanaman (Kemenhut 2009). Setiadi (2006) menyebutkan beberapa faktor sebagai bahan evaluasi revegetasi, antara lain performa pertumbuhan dan kesesuaian jenis, kesinambungan dan tingkat pemenuhan kebutuhan diri oleh tanaman, peningkatan lingkungan mikro-habitat, pengurangan dampak terhadap lingkungan serta keuntungan bagi masyarakat sekitar. Evaluasi keberhasilan revegetasi adalah sebuah upaya untuk menjamin bahwa revegetasi tengah berjalan menuju arah yang diharapkan, yaitu kondisi asli sebelum terjadinya gangguan. Hal ini juga merupakan sebuah mekanisme untuk menentukan keberhasilan revegetasi yang telah dilakukan, berdasarkan parameter silvikultur dan ekologis juga sesuai dengan peraturan pemerintah yang mengikat bagi pelaksana kegiatan revegetasi, dalam hal ini perusahaan pertambangan. Status revegetasi dikatakan berhasil apabila status daya hidup (survival rate) dan kesehatan tumbuh (growth performance), masing-masing dapat mencapai lebih dari 80%. Status daya hidup tanaman ditunjukkan dengan nilai persentase tumbuh tanaman, sedangkan performa pertumbuhan tanaman ditunjukkan dengan nilai persentase kesehatan tanaman. Persentase tumbuh tanaman ditentukan oleh jumlah tanaman yang berhasil hidup dari kegiatan penanaman yang dilakukan pada suatu blok tanam. Ini menunjukkan kemampuan adaptasi tanaman terhadap lokasi tempat tumbuh. Semakin besar nilai persentase tumbuh tanaman maka
7 kemampuan adaptasi tanaman juga semakin tinggi. Persentase kesehatan tanaman dipengaruhi oleh jumlah tanaman yang tumbuh dengan sehat dari seluruh tanaman yang hidup dalam suatu blok tanam. Kesehatan tanaman dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan maupun tanah sebagai tempat tumbuh tanaman. Kondisi fisik tanaman dapat dilihat dari data kuantitatif berupa nilai rata-rata diameter dan tinggi tanaman. Tanaman sehat adalah tanaman yang tumbuh segar dengan batang relatif lurus, bertajuk lebat dengan tinggi minimal sesuai standar dan bebas dari hama dan penyakit atau gulma, sedangkan tanaman yang tidak sehat adalah tanaman yang tumbuhnya tidak normal atau terserang hama dan penyakit sehingga jika terus dipelihara akan memiliki kemungkinan yang kecil untuk tumbuh dengan baik. Tanaman yang tidak sehat juga ditunjukkan dengan adanya stagnasi pertumbuhan. Tanaman yang mengalami stagnasi memiliki penampakan fisik dengan rata-rata diameter dan tinggi yang lebih kecil dari tanaman sejenis yang seumur. Tanaman ini umumnya juga memiliki warna daun yang kekuningan (Kemenhut 2009). 2.5 Akasia (Acacia mangium Willd) Tanaman A. mangium, yang juga dikenal dengan nama mangium, merupakan salah satu jenis pohon cepat tumbuh yang paling umum digunakan dalam program pembangunan hutan tanaman di Asia dan Pasifik. Keunggulan dari jenis ini adalah pertumbuhan pohonnya yang cepat, kualitas kayunya yang baik, dan kemampuan toleransinya terhadap berbagai jenis tanah dan lingkungan. Jenis A. mangium tumbuh secara alami di hutan tropis lembab di Australia bagian timur laut, Papua Nugini dan Kepulauan Maluku kawasan Timur Indonesia (National Research Council 1983). Di Indonesia, jenis ini pertama kali diintroduksikan ke daerah lain selain Kepulauan Maluku pada akhir tahun 1970-an sebagai jenis pohon untuk program reboisasi (Pinyopusarerk dkk 1993 dalam Krisnawati et al. 2011). Tanaman A. mangium dapat beradaptasi dengan baik pada berbagai jenis tanah dan kondisi lingkungan. Tanaman ini dapat tumbuh cepat di lokasi dengan level nutrisi tanah yang rendah, bahkan pada tanah-tanah asam dan terdegradasi, namun jenis ini tidak toleran terhadap naungan dan lingkungan salin (asin).
8 Tanaman A. mangium akan tumbuh kerdil dan kurus di bawah naungan (National Research Council 1983). Jenis A. mangium biasanya ditemukan di daerah dataran rendah beriklim tropis yang dicirikan oleh periode kering yang pendek selama 4 bulan. Jenis ini dapat tumbuh pada ketinggian di atas permukaan laut sampai ketinggian 480 m bahkan A. mangium dapat tumbuh pada ketinggian hingga 800 m. Jumlah curah hujan tahunan pada areal tumbuh A. mangium bervariasi dari 1.000 mm sampai lebih dari 4.500 mm dengan rata-rata curah hujan tahunan antara 1.446 mm dan 2.970 mm. Suhu minimum dan suhu maksimum rata-rata pada habitat alami A. mangium yaitu berkisar 12 16ºC dan 31 34ºC. Jenis ini tidak tumbuh terus menerus sepanjang tahun, pertumbuhan tampak lambat atau berhenti sebagai respon terhadap kombinasi curah hujan yang rendah dan suhu yang dingin. Tanaman A. mangium bisa mengalami kematian jika terkena kekeringan yang parah atau musim dingin yang berkepanjangan (Krisnawati et al. 2011).