I. PENDAHULUAN. Pangan adalah bahan-bahan yang dimakan sehari-hari untuk memenuhi. tubuh yang rusak (Harper, Deaton, Driskel, 1986).

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I. PENDAHULUAN. pembangunan Nasional. Ketersediaan pangan yang cukup, aman, merata, harga

I. PENDAHULUAN. suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan. terjangkau dan aman dikonsumsi bagi setiap warga untuk menopang

BAB I PENDAHULUAN. balita yang cerdas. Anak balita salah satu golongan umur yang rawan. masa yang kritis, karena pada saat itu merupakan masa emas

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

II. TINAJUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap makhluk hidup

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat

I. PENDAHULUAN. Kesejahteraan masyarakat adalah tujuan utama suatu negara, tingkat

I. PENDAHULUAN. yang mendasar atau bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang penyelenggaraannya

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lainnya gizi kurang, dan yang status gizinya baik hanya sekitar orang anak

BAB I PENDAHULUAN. memasuki era globalisasi karena harus bersaing dengan negara-negara lain dalam

BAB 1 : PENDAHULUAN. diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. (1) anak, baik pada saat ini maupun masa selanjutnya serta dapat menyebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

I. PENDAHULUAN. potensi sumber daya alam yang besar untuk dikembangkan terutama dalam

I. PENDAHULUAN. sebagai manusia sehat yang cerdas, produktif dan mandiri. Upaya peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. adalah masalah gizi, yaitu kurang energi protein (KEP). Adanya gizi

BAB 1 PENDAHULUAN. cerdas dan produktif. Indikatornya adalah manusia yang mampu hidup lebih lama

BAB I PENDAHULUAN. penurunan tingkat kecerdasan. Pada bayi dan anak, kekurangan gizi akan menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia yang baik. Menciptakan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. sakit). Bila kurangnya pengetahuan tentang zat gizi pemberian terhadap anak-anak

KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI

Buletin IKATAN Vol. 3 No. 1 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. mendapat perhatian, karena merupakan kelompok yang rawan terhadap

1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Esa Unggul

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG KADARZI DENGAN ASUPAN ENERGI DAN STATUS GIZI ANAK BALITA DI DESA JAGAN KECAMATAN BENDOSARI KABUPATEN SUKOHARJO

HUBUNGAN ANTARA UMUR PERTAMA PEMBERIAN MP ASI DENGAN STATUS GIZI BAYI USIA 6 12 BULAN DI DESA JATIMULYO KECAMATAN PEDAN KABUPATEN KLATEN

I. PENDAHULUAN. Salah satu kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk hidup adalah kebutuhan

KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Memiliki anak yang sehat dan cerdas adalah dambaan setiap orang tua. Untuk

BAB PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Perkembangan harga Pangan Tingkat Pedagang Eceran

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. gizi yang baik ditentukan oleh jumlah asupan pangan yang dikonsumsi.

BAB 1 PENDAHULUAN. gizi pada ibu hamil dapat menyebabkan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan dapat

I. PENDAHULUAN. Produk hortikultura memiliki peranan penting bagi pembangunan pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Prevalensi gizi buruk pada batita di Indonesia menurut berat badan/umur

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan dan kualitas sumber daya manusia. merupakan faktor yang menentukan untuk meningkatan kesejahteraan

PERBEDAAN POLA PANGAN HARAPAN DI PEDESAAN DAN PERKOTAAN KABUPATEN SUKOHARJO (Studi di Desa Banmati dan Kelurahan Jetis)

perluasan kesempatan kerja di pedesaan, meningkatkan devisa melalui ekspor dan menekan impor, serta menunjang pembangunan wilayah.

BAB I PENDAHULUAN. usia dini sangat berdampak pada kehidupan anak di masa mendatang. Mengingat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan zat gizi yang jumlahnya lebih banyak dengan kualitas tinggi.

TINJAUAN PUSTAKA Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi khususnya balita stunting dapat menghambat proses

I. PENDAHULUAN. bahan baku pangan, dan bahan lain. Ketersediaan pangan yang cukup jumlahnya,

BAB 1 PENDAHULUAN. yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk

PROPORSI PENGELUARAN DAN KONSUMSI PANGAN PADA DAERAH RAWAN BANJIR DI KABUPATEN BOJONEGORO MENUJU EKONOMI KREATIF BERBASIS KETAHANAN PANGAN WILAYAH

METODE PENELITIAN. No Data Sumber Instansi 1 Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada pertengahan tahun 2008 karena penurunan ekonomi global.

PENDAHULUAN. Setiap manusia mengalami siklus kehidupan mulai dari dalam. kandungan (janin), berkembang menjadi bayi, tumbuh menjadi anak,

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

Keluarga Sadar Gizi (KADARZI)

BAB I PENDAHULUAN. depan bangsa, balita sehat akan menjadikan balita yang cerdas. Balita salah

BAB I PENDAHULUAN. Anak yang sehat semakin bertambah umur semakin bertambah tinggi

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam peningkatan kualitas

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan

BAB 1 PENDAHULUAN. yang masih belum bergizi-seimbang. Hasil Riskesdas (2007) anak balita yang

PENDAHULUAN Latar Belakang

PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN CADANGAN PANGAN PEMERINTAH KABUPATEN PELALAWAN I. PENDAHULUAN

BAB 1 : PENDAHULUAN. dalam jumlah yang tepat dan berkualitas baik. lingkungan kotor sehingga mudah terinfeksi berbagai penyakit.

METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional mencakup semua pengertian yang

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas Sumber Daya Manusia. (SDM), karena keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh

ISSN InfoDATIN PUSAT DATA DAN INFORMASI KEMENTERIAN KESEHATAN RI SITUASI GIZI. di Indonesia. 25 Januari - Hari Gizi dan Makanan Sedunia

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang

Gambar 1 Hubungan pola asuh makan dan kesehatan dengan status gizi anak balita

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

1

BAB 1 PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu masalah utama dalam tatanan kependudukan dunia.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ganda, yaitu masalah gizi kurang dan masalah gizi lebih dengan risiko

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masalah gizi pada hakikatnya adalah masalah kesehatan

Nurlindah (2013) menyatakan bahwa kurang energi dan protein juga berpengaruh besar terhadap status gizi anak. Hasil penelitian pada balita di Afrika

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2016 ISBN:

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

BAB I PENDAHULUAN. yaitu sesuai standar pertumbuhan fisik anak pada umumnya. Manusia

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN IBU TENTANG MP-ASI DENGAN SIKAP DAN PERILAKU PEMBERIAN MP-ASI DI KELURAHAN JEMAWAN, KECAMATAN JATINOM, KABUPATEN KLATEN

TINGKAT KERAWANAN PANGAN WILAYAH KABUPATEN TUBAN PENDAHULUAN

BAB 28 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian sebagai bagian integral dari pembangunan

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Ketahanan Pangan dan Gizi adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan

TINGKAT PENGHUNIAN KAMAR NOVEMBER 2015 PROVINSI LAMPUNG, HOTEL BERBINTANG 50,38% DAN AKOMODASI LAINNYA 37,26%

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KETAHANAN PANGAN DAN GIZI

BAB I PENDAHULUAN. dapat dijamin dalam kualitas maupun kuantitas yang cukup untuk pemenuhan aspirasi

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. harapan hidup yang merupakan salah satu unsur utama dalam penentuan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pangan adalah bahan-bahan yang dimakan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan bagi pemeliharaan, pertumbuhan kerja, dan pengganti jaringan tubuh yang rusak (Harper, Deaton, Driskel, 1986). Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk dapat tumbuh, bekerja, dan memperoleh keturunan secara normal. Kualitas sumber daya manusia sangat ditentukan oleh pangan yang dikonsumsinya. Ketahanan pangan nasional sangat penting artinya karena berkaitan dengan stabilitas politik, ekonomi, dan keamanan, oleh sebab itu salah satu program Departemen Pertanian adalah menciptakan ketahanan pangan nasional. Terciptanya ketahanan pangan nasional salah satu ukuran kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu ketahanan pangan mempunyai arti penting dalam pembangunan nasional (Zakia, 2004). Ketahanan pangan tidak hanya berkaitan dengan kuantitas tetapi mencakup ragam, kualitas, dan jumlah yang cukup sepanjang waktu baik melalui peningkatan produksi dalam negeri atau impor, mendistribusikannya secara efisien dan merata dengan tingkat harga yang terjangkau oleh daya beli

masyarakat luas dalam rangka mendukung pertumbuhan konsumsi pangan dan gizi yang wajar untuk dapat hidup dan tumbuh secara sehat dan produktif (Suryana, Rusastra, dan Suhartini, 1997). Kualitas sumber daya manusia dan kehidupan masyarakat umumnya dipengaruhi oleh keadaan gizinya. Keadaan gizi pada dasarnya ditentukan oleh konsumsi pangan dan kemampuan tubuh untuk menggunakan zat gizi. Situasi konsumsi pangan di tingkat rumah tangga menurut Susenas 1999 2005 meningkat dibandingkan tahun 2004. Rata-rata energi yang dikonsumsi penduduk Indonesia pada tahun 2005 mencapai 1997 kkal/kap/hari atau 99,8 % dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII 2004 yaitu sebesar 2000 kkal/kap/hari. Sementara konsumsi protein penduduk telah mencapai 55,27 gram/kapita/hari atau sudah melampaui 52 gram dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) Protein yang dianjurkan Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII tahun 2004. Berdasarkan survei konsumsi pangan tahun 2009, konsumsi energi aktual Propinsi Lampung adalah sebesar 1776, 2 kkal/kapita/hari, yang berarti lebih rendah dibandingkan dengan standar angka kecukupan energi rata-rata nasional sebesar 2000 kkal/kapita/hari. Konsumsi, kecukupan, dan tingkat energi (%AKE) berdasarkan survei konsumsi pangan Propinsi Lampung tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Konsumsi, kecukupan, dan tingkat kecukupan energi (% TKE) di Propinsi Lampung Tahun 2009

Kabupaten/Kota Konsumsi Energi (Kkal/Kapita/Hr) Kecukupan Energi (Kkal/Kapita/Hr) Tingkat Kecukupan Energi (%) Bandar Lampung 1676,4 2081,9 80,5 Way Kanan 1697,7 2089,4 81,3 Kota Metro 1594,6 2032,3 78,5 Lampung Tengah 1858,3 2068,0 89,9 Lampung Barat 1953,7 2039,4 95,8 Tulang Bawang 1764,3 2042,2 86,4 Lampung Utara 1691,8 1986,7 85,2 Lampung Timur 1927,4 2051,6 93,9 Lampung Selatan 1782,3 2059,6 86,5 Pesawaran 1814,9 2022,6 89,7 Tanggamus 1776,9 1987,8 89,4 Propinsi Lampung 1776,2 2042,0 87,0 Sumber : Survei Konsumsi Pangan Propinsi Lampung, 2009 Pada Tabel 1, terlihat bahwa berdasarkan survei konsumsi pangan tahun 2009 secara keseluruhan konsumsi pangan penduduk Propinsi Lampung baru mencapai 1776,2 kkal dan masih berada dibawah angka kecukupan energinya sebesar 2042,0 kkal. Dengan demikian konsumsi energi ini baru mencapai tingkat kecukupan energi sebesar 87,0 %. Demikian juga jika dibandingkan dengan konsumsi energi rata-rata yang dianjurkan secara nasional sebesar 2000 kkal, maka tingkat konsumsi energi rata-rata yang dicapai penduduk Propinsi Lampung mencapai 87,0 %. Jika ditinjau per kabupaten, konsumsi energi dan tingkat kecukupan energi terendah berada di Kota Metro yaitu sebesar 1594,6 kkal dan 78,5 %. Berdasarkan survei konsumsi pangan tahun 2009 menurut karakteristik agroekologi tipologi wilayah, terdiri dari wilayah pertanian, perikanan dan lainnya. Tingkat konsumsi energi menurut karakteristik agroekologi wilayah berdasarkan survei konsumsi pangan Propinsi Lampung tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Tingkat konsumsi energi menurut karakteristik agroekologi wilayah di Propinsi Lampung Tahun 2009. Karakteristik Agroekologi Konsumsi Energi (Kkal/Kap/Hari) Kecukupan Energi (Kkal/Kap/Hari) Tingkat Konsumsi Energi (% AKE) Wilayah 1893,7 2049,3 92,9 Pertanian Wilayah 1784,4 2041,7 88,0 Perikanan Wilayah Lainnya 1650.5 2034,8 81,5 Total rata-rata 1776,2 2042,0 87,4 Sumber : Survei Konsumsi Pangan Propinsi Lampung, 2009 Berdasarkan Tabel 2, terlihat bahwa wilayah pertanian memiliki konsumsi energi tertinggi sebesar 1893, 7 kkal dibandingkan dengan wilayah lainnya, sedangkan konsumsi energi terendah ditemukan diwilayah lainnya yaitu sebesar 1650,5 kkal. Hal ini juga ditunjukkan dengan tingkat kecukupan energi yang dicapai oleh wilayah pertanian yang tertinggi yaitu sebesar 92,9 % dan terendah wilayah lainnya sebesar 81,5 %. Pada tingkat konsumsi protein menurut karakteristik agroekologi wilayah berdasarkan survei konsumsi pangan Propinsi Lampung tahun 2009 hasilnya tidak berbeda dengan energi dimana secara umum baik konsumsi, kecukupan dan tingkat kecukupan untuk protein menunjukkan bahwa wilayah pertanian memiliki nilai tertinggi yang diikuti berturut-turut oleh wilayah perikanan dan lainnya. Tingkat konsumsi protein menurut karakteristik agroekologi wilayah berdasarkan survei konsumsi pangan Propinsi Lampung tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Tingkat konsumsi protein menurut karakteristik agroekologi wilayah di Propinsi Lampung Tahun 2009. Karakteristik Agroekologi Konsumsi Protein (Gram/Kap/Hari) Kecukupan Protein (Gram/Kap/Hari) Tingkat Konsumsi Protein (% AKP)

Wilayah 56,3 52,6 107,7 Pertanian Wilayah 55,8 52,4 107,1 Perikanan Wilayah Lainnya 54,4 52,2 104,6 Total rata-rata 55,5 52,4 106,5 Sumber : Survei Konsumsi Pangan Propinsi Lampung, 2009 Jika ditinjau per kabupaten, maka untuk rumah tangga wilayah pertanian di Kota Metro konsumsi energi dan tingkat kecukupan energi berada pada urutan terendah ke tiga setelah Lampung Utara dan Pesawaran, yaitu sebesar 1676, 9 kkal/kap/hari dan 80,8 %, dan masih berada dalam angka kecukupan energi sebesar 2074,5 kkal/kap/hari tahun 2009 sebaran rumah tangga wilayah pertanian dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Sebaran rumah tangga menurut konsumsi energi, kecukupan energi, dan tingkat kecukupan energi di wilayah pertanian di Propinsi Lampung Tahun 2009. Kabupaten/Kota Konsumsi Energi (Kkal/Kapita/Hr) Kecukupan Energi (Kkal/Kapita/Hr) Tingkat Kecukupan Energi (%) Bandar Lampung 1853,6 2082,2 89,0 Way Kanan 1862,8 2082,8 89,4 Kota Metro 1676,9 2074,5 80,8 Lampung Tengah 2034,5 2099,6 96,9 Lampung Barat 2442,5 2001,4 122,0 Tulang Bawang 1853,8 2009,6 92,2 Lampung Utara 1614,2 2010,6 80,3 Lampung Timur 1946,0 2062,2 94,4 Lampung Selatan 1886,1 2100,9 89,8 Pesawaran 1614,3 2029,3 79,6 Tanggamus 2045,9 1989,3 102,8 Propinsi Lampung 1893,7 2049,3 92,5 Sumber : Survei Konsumsi Pangan Propinsi Lampung, 2009. Sebagaimana telah diketahui bahwa konsumsi pangan merupakan faktor yang berhubungan langsung dengan status gizi selain infeksi penyakit. Seperti yang dikemukakan oleh Indriani (2007) bahwa seseorang yang mempunyai status gizi baik berarti telah mencukupi zat gizi yang dikonsumsinya. Menurut

Setyobudi, dkk (2005), kelompok yang rentan terhadap kurang energi, protein dan masalah-masalah kesehatan adalah kelompok anak usia bawah dua tahun (baduta) dan lima tahun (balita). Anak usia di bawah dua tahun merupakan anggota rumah tangga yang memerlukan perhatian khusus dari orang tuanya atau orang yang dekat dengannya dan sangat bergantung baik secara fisik maupun emosi sehingga memerlukan pertolongan dalam berbagai kegiatan. Namun yang terpenting bahwa pertumbuhan otak seorang anak sangat ditentukan pada masa awal (baduta). Apabila anak pada usia tersebut mengalami kurang gizi maka dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan otak yang mempengaruhi kualitas dan tingkat kecerdasannya (Wahidah, 2004). Masalah gangguan tumbuh kembang pada anak usia dibawah dua tahun (baduta) merupakan masalah yang perlu ditanggulangi dengan serius. Usia 6 12 bulan merupakan masa yang amat penting sekaligus masa kritis dalam proses tumbuh kembang bayi karena setiap anak bayi pada masa ini harus memperoleh asupan gizi sesuai dengan kebutuhannya (Bahar, dkk., 2006). Prevelensi gizi kurang dan buruk pada anak usia dibawah dua tahun (baduta) semakin meningkat setelah melewati masa pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif (6 bulan), yaitu 10 %, 20%, dan 30% berturut-turut pada usia 6, 12, 24 bulan. Kecenderungan pola peningkatan jumlah anak usia dibawah dua tahun (baduta) yang berstatus gizi kurang dan buruk ini tidak berubah selama sepuluh tahun terakhir (Jahari et.al., 2000 dalam Krisnatuti, dkk, 2006). Menurut Riyadi (2004), terhadap masalah gizi pada anak usia 6 24 bulan (baduta) bahwa ada kecenderungan status gizi yang semakin memburuk

dengan meningkatnya umur anak. Hal ini mengindikasikan bahwa gangguan pertumbuhan pada anak usia dibawah dua tahun dimulai pada bulan-bulan pertama kehidupannya. Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2009 di Kota Metro, persentase gizi buruk meningkat dibandingkan tahun 2008. Hasil PSG tahun 2009 menunjukkan bahwa persentase balita yang berstatus gizi lebih 2,09 persen, berstatus gizi baik sebesar 86,53 persen, berstatus gizi kurang 10,77 persen, dan yang berstatus gizi buruk sebesar 0,61. Data lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Prevalensi status gizi balita per kecamatan di Kota Metro Tahun 2009. Kecamatan Status Gizi (%) Gizi Buruk Gizi Kurang Gizi Baik Gizi Lebih Metro Timur 3 65 698 9 (0,39 %) (8,39 %) (90,06 %) (1,18 %) Metro Barat 2 31 220 7 (0,77 %) (11,92 %) (84,62 %) (2,69 %) Metro Pusat 2 64 363 11 (0,45 %) (14,55 %) (82,50 %) (2,50 %) Metro Selatan 3 29 319 6 (0,84 %) (8,12 %) (89,36 %) (1,68 %) Metro Utara 4 58 385 15 (0,87 %) (12,55 %) (83,33 %) (3,25 %) Kota Metro 14 247 1985 48 (0,61 %) (10,77 %) (86,53 %) (2,09 %) Sumber : Dinas Kesehatan Kota Metro, 2009 Berdasarkan Tabel 5, menunjukkan bahwa Kecamatan Metro Utara merupakan salah satu daerah yang memiliki masalah gizi buruk yang tertinggi dengan presentase 0,87 persen. Masalah gizi buruk berkaitan dengan bagaimana tingkat ketahanan pangan di rumah tangga petani yang memilki anak usia dibawah dua tahun. Masalah konsumsi pangan dan gizi bukanlah masalah yang berdiri sendiri, tapi

merupakan bagian dari suatu sistem yang ditentukan oleh berbagai faktor yang saling terkait. Ketahanan pangan sangat ditentukan oleh kemampuan rumah tangga untuk memperoleh pangan baik produksi sendiri maupun membeli dari pasar. Dengan tidak tersedianya pangan, rendahnya daya beli, pengetahuan pangan maka akan menyebabkan timbulnya ancaman ketahanan pangan. Ancaman ketahanan pangan ada dua macam yaitu ancaman kronis dan ancaman peralihan yang dalam praktiknya saling tumpang tindih. Ancaman ketahanan pangan kronis adalah keadaan kekurangan pangan dan gizi yang terus menerus akibat kurang atau tidak adanya akses terhadap pangan baik melalui pasar maupun produksi sendiri, karena kemiskinan. Adapun ancaman ketahanan pangan peralihan atau transisi, kekurangan pangan dan gizi akibat gejolak sementara sehingga akses pada makanan terganggu (Soekirman, 1996). Ancaman ketahanan pangan ini dialami oleh rumah tangga petani yang memiliki anak usia dibawah dua tahun. Hal ini dilihat dari rendahnya ketersediaan pangan untuk di konsumsi yang dipengaruhi oleh tingkat pendapatan rumah tangga umumnya yang didapatkan dari profesi sebagai petani dan banyaknya masalah gizi buruk pada anak usia dibawah dua tahun. Dengan melihat rendahnya pendapatan yang diterima oleh petani untuk pengeluaran pangan rumah tangga petani maka hal ini menjadi pertanyaan bagaimana kondisi ketahanan pangan rumah tangga yang memiliki anak usia dibawah dua tahun sebenarnya sehingga diperlukan penilaian ketahanan pangan rumah tangga petani yang memiliki anak usia dibawah dua tahun yang dapat dilihat dari konsumsi pangan yang dampaknya dicerminkan oleh status

gizi anggota rumah tangganya. Ketahanan pangan juga dipengaruhi oleh pola konsumsi pangan yang dipengaruhi oleh besar rumah tangga petani, pendidikan formal ibu, dan pengetahuan gizi ibu. Besarnya rumah tangga petani, pendidikan formal ibu, dan pengetahuan gizi ibu akan berdampak pada pola pangan rumah tangga yang sangat menentukan kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi. Menurut Badan Pusat Statistik (2007), pola konsumsi atau pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator yang dapat menggambarkan keadaan kesejahteraan rumah tangga. Tingkat kesejahteraan rumah tangga dapat dilihat dari persentase pengeluaran rumah tangganya baik pengeluaran untuk kebutuhan pangan maupun kebutuhan nonpangan. Tingkat pengeluaran rumah tangga akan berbeda satu dengan yang lainnya, berdasarkan pada golongan tingkat pendapatan, jumlah anggota keluarga, status sosial, dan prinsip pangan. Pentahapan keluarga sejahtera menurut Badan Pusat Statistik dalam menghitung banyaknya jumlah keluarga sejahtera dari kabupaten/kota di Provinsi Lampung menggunakan istilah pra sejahtera, sejahtera I, sejahtera II, sejahtera III, dan sejahtera III -plus. Adapun jumlah keluarga sejahtera pada pentahapan keluarga dari kabupaten/kota di Provinsi Lampung dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Jumlah keluarga berdasarkan tingkat kesejahteraan per kabupaten/ kota di Propinsi Lampung Tahun 2008

Kab/Kota Pra Kel. Sejatera I Kel II Kel. Sejahera III Kel. III+ Jumlah KK Lampung 37.652 28.875 31.069 9.773 324 107.693 Barat Tanggamus 87.337 51.381 53.580 29.071 178 221.517 Lampung 103.865 53.191 43.318 25.643 1.477 227.494 Selatan Lampung 89.079 62.108 45.734 41.847 3.551 242.319 Timur Lampung 86.675 73.554 82.709 48.797 3.523 295.258 Tengah Lampung 68.678 39.158 30.157 10.700 373 149.068 Utara Way Kanan 55.061 25.698 17.165 5.928 17 103.869 Tulang 83.987 86.426 37.402 8.696 824 217.335 Bawang Bandar 62.710 40.284 38.585 28.741 9.176 179.496 Lampung Kota Metro 5.442 5.451 9.514 11.291 1.599 33.297 Jumlah 680.486 466.126 389233 220487 21042 1777346 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009 Tabel 6, menunjukkan bahwa keluarga pra sejahtera di Kota Metro dari jumlah 33.297 KK, dengan rincian jumlah keluarga pra sejahtera dan sejahtera I berurutan sebesar 5.442 dan 5.451 KK, jika dibandingkan dengan keluarga sejahtera III-plus hanya sebesar 1.599 KK. Hal ini menunjukkan Kota Metro belum dapat dikatakan berada pada tingkat sejahtera dengan melihat masih banyaknya keluarga pra sejahtera dan sejahtera I. Kecamatan Metro Utara merupakan salah satu daerah yang mempunyai presentase tingkat rumah tangga pra sejahtera yang tinggi. Pentahapan keluarga sejahtera Kecamatan Metro Utara dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Jumlah keluarga berdasarkan tingkat kesejahteraan per kecamatan di Kota Metro Tahun 2008 Kab/Kota Pra Keluarga Sejatera I Keluarga II Keluraga III Keluarga III+ Jumlah KK Metro Pusat 1.913 1.732 3.005 2.950 595 10.195 Metro Utara 1.106 703 1.205 2.737 154 5.905

Metro Barat 642 564 1.330 2.102 482 5.120 Metro Timur 1.187 1.648 2.733 1.693 414 7.675 Metro Selatan 445 260 840 1.606 135 3.288 Jumlah 5293 4907 9113 11088 1780 32183 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009 Tabel 7, menunjukkan bahwa Kecamatan Metro Utara merupakan daerah dengan presentase rumah tangga pra sejahtera dan sejahtera I terbesar ketiga setelah Metro Pusat dan Metro Timur yaitu sebesar 1106 KK (20,89 %) dan 703 KK (14,32 %). Dengan tingginya presentase rumah tangga tersebut akan mengakibatkan kemungkinan terjadinya masalah rawan pangan yang berdampak pada masalah gizi yang semakin besar. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas maka dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana tingkat ketahanan pangan rumah tangga petani yang memiliki anak usia dibawah dua tahun di Kecamatan Metro Utara Kota Metro? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat ketahanan pangan rumah tangga petani yang memiliki anak usia dibawah dua tahun di Kecamatan Metro Utara Kota Metro? 3. Bagaimana status gizi anak usia dibawah dua tahun di Kecamatan Metro Utara Kota Metro? 4. Bagaimana tingkat kesejahteraan rumah tangga petani yang memiliki anak usia dibawah dua tahun di Kecamatan Metro Utara Kota Metro? B. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan masalah yang ada, maka tujuan penelitian

adalah : 1. Mengetahui tingkat ketahanan pangan rumah tangga petani yang memiliki anak usia dibawah dua tahun di Kecamatan Metro Utara Kota Metro. 2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat ketahanan pangan rumah tangga petani yang memiliki anak usia dibawah dua tahun di Kecamatan Metro Utara Kota Metro. 3. Mengetahui status gizi anak usia dibawah dua tahun di Kecamatan Metro Utara Kota Metro. 4. Mengetahui tingkat kesejahteraan rumah tangga petani yang memiliki anak usia dibawah dua tahun di Kecamatan Metro Utara Kota Metro. C. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan berguna : 1. Sebagai bahan informasi dan masukan bagi rumah tangga dalam perbaikan gizi anggota rumah tangganya khususnya yang memiliki anak usia dibawah dua tahun. 2. Dinas atau instansi, sebagai bahan pertimbangan di dalam merumuskan kebijaksanaan pembangunan yang berkaitan dengan program perbaikan pangan dan gizi rumah tangga. 3. Peneliti lain yang ingin melakukan penelitian sejenis sebagai sumber kajian pustaka dan bahan pembanding di waktu yang akan datang.