I PENDAHULUAN. hal ini Hukum Acara Pidana sebetulnya hanya dapat menunjukan jalan untuk mendekati

dokumen-dokumen yang mirip
II TINJAUAN PUSTAKA. untuk mencari dan mendapatkan kebenaran yang selengkap-lengkapnya dan masyarakat tidak

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

JUSTICE COLLABORATORS DALAM SEMA RI NOMOR 4 TAHUN 2011

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Selanjutnya disebut KUHP), dan secara

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. diperiksa oleh hakim mengenai kasus yang dialami oleh terdakwa. Apabila

Penetapan Pelaku Tindak Pidana Korupsi. Sebagai Justice Collaborator. Dalam Praktek. Oleh: Ahmad Yunus 1. Abstrak :

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA

ANALISIS TERHADAP PUTUSAN BEBAS MURNI OLEH JUDEX JURIST

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

Lex Crimen Vol. V/No. 6/Ags/2016

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana pemalsuan uang mengandung nilai ketidak benaran atau palsu atas

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) PADA PROSES PERADILAN PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

I. PENDAHULUAN. asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seorang yang didakwa. yang ada disertai keyakinan Hakim, padahal tidak benar.

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

PEREKAMAN PROSES PERSIDANGAN PADA PENGADILAN NEGERI DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ACARA PIDANA. Oleh: Hafrida 1. Abstrak

Presiden, DPR, dan BPK.

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

BAB I PENDAHULUAN. demokratis yang menjujung tinggi hak asasi manusia seutuhnya, hukum dan

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada Periode Sebelum dan Sesudah Berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Tesis Fakultas Hukum Indonesia:1999) hal.3.

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

Lex Privatum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini

I. PENDAHULUAN ), antara lain menggariskan beberapa ciri khas dari negara hukum, yakni :

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

I. PENDAHULUAN. kondisi sosial budaya dan politik suatu negara berkembang untuk menuju sistem

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

BAB I PENDAHULUAN. tidak mendapat kepastian hukum setelah melalui proses persidangan di

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah menunjukkan bahwa apa yang dinamakan tindak pidana akan

NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM

Praktek Pemidanaan Terhadap Saksi Pelaku Tindak Pidana Yang Bekerja Sama/

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA TERHADAP JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA NARKOTIKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

Transkripsi:

I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai mana kita ketahui dalam mencari dan mendapatkan kebenaran adalah suatu hal yang amat sulit karena berhubungan erat dengan cara pembuktian dari perkara atau peristiwa. Dalam hal ini Hukum Acara Pidana sebetulnya hanya dapat menunjukan jalan untuk mendekati sebanyak mungkin persesuaian antara keyakinan hakim dengan bukti yang ada untuk mewujudkan kebenaran yang materil. Agar ada kepastian hukum didalam hukum acara pidana diaturlah dengan tegas mengenai alat bukti yang sesuai. Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa yang termasuk alat-alat bukti yang sah adalah:keterangan Saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk, Keterangan Terdakwa. Suatu pembuktian merupakan hal yang sangat penting bagi setiap pihak yang terlibat termasuk alat bukti yang berupa keterangan saksi. Saksi yang dalam istilah adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan. Penyelidikan, Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri. Pada perkara penyertaan sering digunakannya istilah saksi mahkota yaitu terdakwa yang ditunjuk oleh penuntut umum sebagai saksi dengan pengecualian diberikannya mahkota atau keringan hukuman atau diberikannya kebebasan bagi terdakwa yang dijadikan saksi mahkota. Penggunaan

saksi mahkota diperbolehkan karena bertujuan untuk tercapainya rasa keadilan. Namun terkadang ada pihak-pihak yang berpendapat berbeda karena menurut pihak-pihak tersebut adanya keterangan saksi mahkota bertentangan dengan dengan hak asasi manusia dan rasa keadilan terdakwa. Keberadaan saksi mahkota tidak pernah disebutkan secara tegas dalam KUHAP namun keberadaan saksi mahkota tetap dianggap penting untuk melakukan suatu pembuktian. Adanya putusan Mahkamah Agung RI No. 1986 K/Pid/1989, 1 adalah teman terdakwa yang dilakukan secara bersama-sama yang diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan penuntut umum dimana hal ini perkaranya dipisahkan dikarenakan kurangnya alat bukti. Penggunaan alat bukti saksi mahkota hanya dapat dilihat dalam perkara pidana yang besifat penyertaan, dan terhadap perkara pidana tersebut telah dilakukannya pemisahan ( splitsing) sejak proses pemeriksaan pendahuluan ditingkat penyidikan. Selain itu munculnya dan digunakannya saksi mahkota dalam perkara pidana yang dilakukan pemisahan tersebut didasarkan pada alasan karena penuntut umum ingin melihat beban pertanggung jawaban yang dilakukan oleh masing-masing terdakwa. Pasal 1 butir 6 huruf a KUHAP menyatakan bahwa jaksa adalah pejabat yang berwenang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Akan tetapi terkadang Jaksa sebagai Penuntut Umum tidak dapat melaksanakan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikarenakan kurangnya alat bukti. 1 Putusan Mahkamah Agung No. 1989 K/Pid/1989 Tanggal 6 Agustus 1989.

Penunjukan saksi mahkota penuntut umum melakukan pemisahan berkas perkara dengan maksud agar Berdasarkan hal tersebut, maka pengajuan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana didasarkan pada kondisi-kondisi tertentu., yaitu dalam hal adanya perbuatan pidana dalam bentuk penyertaan dan terhadap perbuatan pidana bentuk penyertaan tersebut diperiksa dengan mekanisme pemisahan ( splitsing), 2 serta apabila dalam perkara pidana bentuk penyertaan tersebut masih terdapat kekurangan alat bukti, khususnya keterangan saksi. Hal ini tentunya bertujuan agar terdakwa tidak terbebas dari pertanggung jawabannya sebagai pelaku perbuatan pidana. Keberadaan saksi mahkota saat ini memang hanya digunakan jaksa penuntut umum sebagai alat untuk melihat seberapa besar pertanggung jawaban antar pelaku tindak pidana, walaupun keabsahan saksi mahkota bagi hakim masih kurang maksimal untuk diterima kesaksiannya namun saat ini untuk melakukan suatu pembelaan bagi terdakwa saat ini dikenal juga dengan istilah saksi kolabolator atau justice collabolator yang statusnya hampir sama dengan saksi mahkota namun kekuatan pembuktian dari saksi kolabolator ini lebih kuat dibandingkan dengan saksi mahkota karena memiliki kekutan hukum. Justice collabolator memang istilah yang diadopsi dari sistem hukum common law, seperti di Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Di Indonesia istilahnya sesungguhnya adalah pelaku sekaligus pelapor yang diatur dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan. Saksi Pelaku yang bekerjasama dapat didefinisikan sebagai orang yang juga pelaku tindak pidana yang membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap dan/atau mengembalikan aset- 2 Spiltsing dalam KUHAP Pasal 55 Ayat (1) adalah dipidana sebagai pelaku tindak pidana: mereka yang melakukan, yang menyuruh, dan yang turut serta malakukan tindak pidana. (Jakarta: Visi Media, 2010), hlm.18.

aset/hasil suatu tindak pidana serius dan terorganisir dengan memberikan kesaksian dalam proses peradilan. 3 Sedangkan menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Indonesia (SEMA) Nomor 04 tahun 2011, tanggal 10 Agustus 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborators) di dalam perkara tindak pidana tertentu, Justice Collaborators adalah saksi yang juga pelaku tindak pidana yang membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dan/atau pengembalian asset/ hasil suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum serta memberikan kesaksian di Persidangan. Pedoman untuk menentukan seseorang sebagai saksi Pelaku yang bekerjasama (Justice collaborators) adalah yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan. Ihwal justice collaborators secara rinci diatur dalam Konvensi PBB Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption) tahun 2003, Pasal 37 Ayat (2) meny ebutkan bahwa setiap negara peserta wajib mempertimbangkan, memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu mengurangi hukuman seorang pelaku yang bekerja sama dalam penyelidikan dan penuntutan suatu kejahatan secara substansial. Ketentuan serupa juga terdapat dalam Pasal 26 Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi (United Nations Convention Against Transnasional Organized Crimes 2000). Negara Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 telah meratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003 dan berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2009 telah pula meratifikasi Konvensi PBB Anti 3 Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, Perlindungan terhadap saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborators), Satgas PMH, Cetakan Kedua, 2011, hlm. 10.

Kejahatan Transnasional yang terorganisasi. Karena itu nilai-nilai moralitas hukum dari konvensi tersebut selayaknya diadopsi dalam peraturan perundang-undangan sebagai langkah menghadapi darurat korupsi. 4 Hal tersebut penulis sajikan dalam bentuk penelitian Penulisan Hukum yang berjudul Tinjauan Yuridis mengenai kedudukan saksi mahkota dihadapan jaksa penuntut umum pada saat persidangan. B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka yang menjadi pokok permasalahan yang akan dibahas adalah: 1. Bagaimanakah kedudukan saksi mahkota dihadapan jaksa penuntut umum pada saat persidangan? 2. Mengapa diperlukan saksi mahkota dalam persidangan pidana pada kasus penyertaan? C. Ruang Lingkup Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan tersebut diatas, maka yang menjadi ruang lingkup penelitian ini mengenai kedudukan saksi mahkota dihadapan jaksa penuntut umum pada saat persidangan. D. Tujuan dan Kegunaan Penulisan 1. Tujuan Penulisan Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah : 4 Achmad Fauzi, Hakim Pengadilan Agama Kotabaru, Kalimantan Selatan, www.hukumonline.com.

a. Untuk mengetahuikedudukan saksi mahkota dihadapan jaksa penuntut umum pada saat persidangan? b. Untuk mengetahui mengapa diperlukannya saksi mahkota dalam kasus penyertaan? E. Kegunaan Penulisan kegunaan dari penelitian ini adalah : a. Secara Teoritis, penelitian ini berguna sebagai bahan pustaka dalam mengadakan penelitian selanjutnya, serta sebagai bahan informasi dan bahan bacaan bagi pihak yang memerlukan. b. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan penulis mengenai eksistensi kedudukan saksi mahkota dihadapan jaksa penuntut umum pada saat persidangan. F. Kerangka Teori dan Konseptual 1. Kerangka Teori Kerangka teori adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti. 5

Sebagai analisis dalam penulisan ini, penulis menggunakan teori pembuktian Menurut Undangundang Secara Negatif ( Negatif Wettlijk Stelsel). Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut Undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim atau conviction in time. 6 Hasil penggabungan kedua sistem tersebut mendapat rumusan yang berbunyi salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh ketentuan hakim yang didasarkan pada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Berdasarkan rumusan diatas, untuk menyatakan salah atau tidak seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan keyakinan hakim semata-mata. Atau hanya semata-mata didasarkan atas keterbuktian menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan itu disertakan dengan keyakinan hakim. Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undangundang secara negatif, terdapat dua komponen : i. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat bukti yang sah ii. dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Kedua sistem ini memadukan unsur objektif dan subjektif dalam menentukan salah satu atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yanng paling dominan diantara kedua unsur tersebut. Jika salah satu diantara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa. 2. Teori Pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (Teori Pembuktian yang objektif murni) M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar Grafika,2002), hlm.257.

Teori ini dikenal juga dengan ajaran positif dan dianut oleh hakim gereja katolik serta terdapat pula dalam hukum Romawi. Teori pembuktian ini didasarkan pada perundangundangan secara mutlak tanpa harus memperhatikan keyakinan menurut hati nurani seorang hakim. Hal ini mengakibatkan hakim sangat terikat oleh peraturan undang-undang serta alatalat dan dasar pembuktian yang dinyatakan dan ditentukan oleh undang-undang. 3. Teori Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu (Teori Pembuktian yang subjektif murni) Berbeda halnya dengan teori pembuktian yang positif atau objektif murni, maka dalam teori pembuktian yang subjektif murni seorang hakim diberikan kebebasan mutlak tanpa harus terikat oleh undang-undang. Berdasarkan teori ini yang ditekankan adalah keyakinan seorang hakim untuk menilai segala sesuatunya secara subyektif, yang terkadang mengeyampingkan yang telah ditentukan oleh undang-undang. G. Konseptual Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah-istilah yang ingin diteliti atau ingin diketahui 7 Agar lebih memahami lagi dalam penulisan skripsi ini, penulis memberikan beberapa definisi dari beberapa istilah yang digunakan antaralain: 1. Tinjauan adalah 1. Hasil meninjau, pandangan, pendapat (sesudah menyelidiki, mempelajari, dsb) 2. Perbuatan meninjau 8 7 Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press), hlm. 132.

Dalam kaitannya dengan judul skripsi yang ditulis mengenai Tinjauan yuridis mengenai kedudukan saksi mahkota dihadapan Jaksa Penuntut Umum pada saat persidangan, maka tinjauan diartikan hasil meninjau, pandangan, pendapat (sesudah menyelidiki, mempelajari, dsb). 2. Yuridis adalah Menurut hukum secara hukum 9 3. Kedudukan adalah status (keadaan atau tingkatan orang, badan atau negara, dan sebagainya) 4. Saksi Mahkota adalah Saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau Terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana. 10 5. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetep. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang Undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim 6. Sidang perkara pidana adalah serangkaiantindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutuskan perkara pidana berdasarkan azas bebas dan menurut cara yang diatur dalam Undangundang hukum pidana. E.Sistematika Penulisan Untuk mempermudah dalam memahami skripsi secara keseluruhan, maka disusun sistematika penulisan sebagai berikut: 1. Pendahuluan 8 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), hlm.354. 9 Ibid., hlm.487. 10 Putusan Mahkamah Agung No. 1986 K/Pid.Sus/1989), Tanggal 6 Agustus 1989.

Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah dalam penulisan skripsi, sehingga dapat dirumuskan permasalahan serta ruang lingkup penulisan. Selain itu bab ini juga membahas tentang tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika penulisan. II. Tinjauan Pustaka Bab ini menguraikan tentang pengertian, eksistensi mengenai kedudukan saksi mahkota dihadapan jaksa penuntut umum pada saat persidangan III. Metode Penelitian Bab ini dibahas tentang metode penelitian yang dilakukan guna menjawab permasalahan dalam skripsi ini. Adapun langkah-langkah penelitian yang dilakukan sebagai berikut: pendekatan masalah; sumber data; populasi dan sampel pengumpulan dan pengolahan data; serta analisis data. IV. Hasil dan Pembahasan Dalam bab ini hasil penelitian akan diuraikan berupa analisis terhadap kedudukan saksi mahkota dihadapan jaksa penuntut umum pada saat persidangan V. Penutup Bab penutup ini berisikan kesimpulan terhadap penelitian yang dilakukan dan diakhiri denngan memberikan saran sebagai bahan masukan bagi instasi yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.