3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Lele Sangkuriang (Clarias sp.) Ikan lele merupakan ikan yang hidup di air tawar. Secara alami ikan ini bersifat nocturnal, yang artinya aktif pada malam hari atau lebih menyukai tempat yang gelap (Blaxter, 1969). Ikan ini bersifat karnivor, mempunyai bentuk tubuh yang memanjang dan berkulit licin (Chen, 1976). Bentuk kepala pipih (depress) dan disekitar mulutnya terdapat empat pasang sungut. Pada sirip dadanya terdapat patil atau duri keras yang dapat digunakan untuk mempertahankan diri dan kadang-kadang dapat dipakai untuk berjalan di permukaan tanah (Huet,1972). Ikan lele mempunyai organ arborescent yang merupakan alat pernafasan tambahan dan memungkinkan ikan ini untuk mengambil oksigen dari udara di luar air (Viveen et al., 1977). Di Indonesia telah ditemukan beberapa jenis ikan lele yaitu Clarias batrachus, Clarias leicanthus, Clarias niewhofi, dan Clarias teesmani. Pada tahun 1986, terdapat jenis lain yang diintroduksi dari Taiwan, yaitu dikenal dengan sebutan lele dumbo (Clarias gariepinus) yang merupakan persilangan antara Clarias fuscus dengan Clarias mossambicus (Chen, 1976). Sebagai upaya perbaikan mutu ikan lele dumbo BBPBAT Sukabumi telah berhasil melakukan rekayasa genetik untuk menghasilkan lele dumbo strain baru yang diberi nama lele Sangkuriang (BBPBAT, 2005). Induk lele Sangkuriang merupakan hasil perbaikan genetik melalui cara silang balik antara induk betina generasi kedua (F 2 ) dengan induk jantan generasi keenam (F 6 ) (BBPBAT, 2005). Induk betina F 2 merupakan koleksi yang ada di Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi yang berasal dari keturunan kedua lele dumbo yang diintroduksi ke Indonesia tahun 1985. Induk jantan F 6 merupakan sediaan induk yang ada di Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi. Induk dasar yang didiseminasikan dihasilkan dari silang balik tahap kedua antara induk betina generasi kedua (F 2 ) dengan induk jantan hasil silang balik tahap pertama (F 6 ). Secara fisik antara ikan lele dumbo dan sangkuriang tidak berbeda, namun dari segi makan ikan lele sangkuriang lebih rakus dan pertumbuhannya juga lebih cepat jika dibandingkan dengan lele dumbo dengan perawatan yang sama
4 (BBPBAT, 2005). Berikut adalah data mengenai ikan lele sangkuriang dan lele dumbo (Tabel 1). Tabel 1. Data perbandingan ikan lele sangkuriang dengan ikan lele dumbo pada umur 5-26 hari (BBPBAT, 2005) Parameter Sangkuriang Dumbo Umur matang gonad (bulan) 8-9 11-12 Derajat penetasan (%) >90 >80 Fekunditas (butir) 40.000-60000 20.000-30.000 Laju pertumbuhan bobot harian (%) 29,26 20,38 FCR 0,8-1 >1 Sumber air yang digunakan untuk pemeliharaan ikan lele Sangkuriang dapat berasal dari aliran irigasi, air sumur (air permukaan atau sumur dalam), ataupun air hujan yang dikondisikan terlebih dahulu. Berikut adalah data mengenai kualitas air optimal untuk ikan lele pada beberapa penelitian (Tabel 2). Tabel 2. Kualitas air optimal untuk pertumbuhan lele pada beberapa penelitian. Parameter Nilai Satuan Sumber Suhu 22-32 0 C BBPBAT (2005) Oksigen terlarut >0,3 mg/l Rahman et al (1992) >0,1 mg/l BBPBAT (2005) ph 6,5-8,5 Boyd (1990) 6-9 Wedemeyer (2001) Amonia (NH 3 ) 0,05-0,2 mg/l Wedemeyer (2001) <0,1 mg/l Rahman et al (1992) Alkalinitas 50-500 mg/l CaCO 3 Wedemeyer (2001) 5-100 mg/l CaCO 3 Boyd (1990) Selain kualitas air, pakan juga merupakan faktor eksternal yang mendukung pertumbuhan ikan lele. Menurut Halver dan Hardy (2002), ikan Chanel catfish tumbuh maksimal pada pemberian pakan dengan kadar protein 24%-26% protein pakan dengan cara memberi pakan sebanyak pakan yang harus diberikan. Jika pemberian pakan lebih sedikit, maka diperlukan pakan dengan kadar protein yang lebih tinggi. Berikut adalah daftar kebutuhan nutrisi ikan lele untuk pertumbuhan (Tabel 3).
5 Tabel 3. Kebutuhan nutrisi ikan lele untuk tumbuh optimal dari beberapa penelitian. Parameter Nilai Sumber Keterangan Protein 25%-55% Webster dan Lim (2002) Umur 2-3 minggu Lemak 3%-6% Webster dan Lim (2002) Karbohidrat 10-20 Mokoginta (1986) Kebutuhan nutrisi perlu diperhatikan untuk mendapatkan pertumbuhan yang optimal pada ikan. Ikan lele merupakan ikan yang cenderung bersifat karnivor karena memakan berbagai jenis cacing, serangga air dan udang (Sidthimunka, 1972 ; Suyanto, 2008). Menurut Rustidja (1984), larva ikan lele mulai makan pada umur satu hari. Sehingga pada saat kuning telur habis ikan lele sebaiknya telah diberi pakan agar kelangsungan hidupnya dapat tinggi. Menurut Woynarovich & Horvath (1980), makanan yang cocok untuk larva catfish adalah dalam bentuk hidup seperti Artemia dan cacing sutra. Pemberian pakan umumnya hanya menggunakan satu jenis pakan saja. Ukuran pakan alami yang diberikan harus sesuai dengan bukaan mulut dan mempunyai kandungan gizi yang tinggi (NRC, 1993), serta memilki gerakan yang lambat sehingga mudah dimakan oleh ikan. Salah satu pakan yang baik untuk larva ikan lele adalah cacing sutra (Tubifex sp.). Ikan yang diberi pakan cacing sutra hidup memiliki pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang lebih baik dari pada diberi pellet. Cacing sutra relatif lebih cepat dicerna dalam usus ikan yaitu sekitar 2 jam sehingga dapat memacu pertumbuhan dari larva ikan lele (Hadiroseyani & Dana, 1994). Larva ikan dapat diberi pakan cacing sutera yang telah dicincang, dengan jumlah yang disesuaikan dengan kebutuhan sebanyak dua sampai tiga kali sehari (Khairuman, 2002). 2.2 Pengaruh Ketinggian Air Terhadap Produksi Peningkatan produktivitas benih ikan lele secara intensif dapat dilakukan melalui penambahan jumlah volume air melalui ketinggian media air dalam wadah pemeliharaan benih ikan lele. Semakin banyak volume air maka semakin besar ruang gerak dan dapat meningkatkan produktivitas melalui peningkatan jumlah penebaran ikan. Namun semakin banyak ikan yang dipelihara maka
6 buangan sisa metabolisme ikan semakin tinggi pula di perairan. Pada budidaya intensif hal tersebut dapat dicegah melalui perbaikan kualitas air dan pakan yang cukup sehingga produktivitas dapat terjaga dengan baik. Ikan lele merupakan ikan yang aktif bergerak pada malam hari atau pada keadaan yang gelap (Suyanto, 2008). Menurut Hadirini (1985), larva ikan lele mulai aktif bergerak naik-turun pada hari ke-10 dan memiliki kebiasaan bergerak bergerombol di dasar wadah. Ikan lele memiliki arborescent organ yang dapat mengambil oksigen langsung dari permukaan udara. Menurut Hadirini (1985), munculnya ikan lele ke permukaan merupakan suatu peristiwa yang berirama berhubungan dengan aktivitas atau kebiasaan, kandungan oksigen terlarut, dan umur ikan. Pada media pemeliharaan dengan ketinggian air yang besar menyebabkan semakin besar energi untuk melakukan gerak naik-turun mengambil oksigen dari permukaan air. Hal tersebut dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan benih ikan lele. Menurut Hepher & Pruginin (1981), pertumbuhan ikan salah satunya dipengaruhi oleh faktor eksternal yang berhubungan dengan pakan dan lingkungan. Faktor-faktor eksternal tersebut diantaranya adalah suhu, oksigen, komposisi kimia, bahan buangan metabolit dan ketersediaan pakan. Suhu merupakan faktor yang mempengaruhi laju metabolisme dan kelarutan gas dalam air (Zonneveld et al., 1991). Suhu yang semakin tinggi akan meningkatkan laju metabolisme ikan sehingga respirasi yang terjadi semakin cepat. Hal tersebut dapat mengurangi konsentrasi oksigen di air sehingga dapat menyebabkan stres bahkan kematian pada ikan. Dalam keadaan stres, larva ikan lele akan memerlukan oksigen lebih, sehingga mengakibatkan seringnya gerak naik-turun untuk mengambil oksigen langsung dari permukaan udara (Hadirini, 1985). Respon stres terjadi dalam tiga tahap yaitu tanda adanya stres, bertahan, dan kelelahan. Ketika ada stres dari luar ikan mulai mengeluarkan energinya untuk bertahan dari stres. Selama proses bertahan ini pertumbuhan menurun. Stres meningkat cepat ketika batas daya tahan ikan telah tercapai atau terlewati. Dampak stres ini mengakibatkan daya tahan tubuh ikan menurun dan selanjutnya terjadi kematian (Wedemeyer, 2001). Oksigen yang semakin berkurang dapat ditingkatkan dengan pergantian air dan pemberian aerasi (Goddard, 1996). Kandungan oksigen yang rendah
7 menyebabkan nafsu makan menurun, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap laju pertumbuhan ikan (Zonneveld et al., 1991). Menurut Stickney (1979) suplai oksigen di perairan sebaiknya berbanding lurus dengan kepadatan ikan dan jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ikan. Sehingga dengan semakin meningkatnya kandungan oksigen diperairan mengurangi peningkatan produktivitas ikan. Kandungan racun yang berbahaya dalam budidaya diantaranya adalah nitrogen. Nitrogen yang dibuang ikan ke perairan, 60-90% dalam bentuk amoniak, yang sangat toksik dan berbahaya bagi ikan bahkan dapat menyebabkan kematian ikan. Kadar ammonia sebaiknya berkisar < 0,1 mg/l, walaupun tingkat toleransi ikan terhadap amoniak (NH 3 ) pada umumnya adalah 0,0-2,0 mg/l (Boyd, 1990). Daya racun amoniak akan meningkat jika kadar oksigen dalam dalam air rendah atau menurun. Pada budidaya ikan konsentrasi amoniak bergantung pada kepadatan populasi, metabolisme ikan, pergantian air, dan suhu. Meningkatnya kandungan amoniak dalam air dapat menyebabkan ikan cepat mengalami stres dan ikan mudah terkena penyakit, serta terganggu pertumbuhannya (Boyd, 1990). 2.3 Pendederan Ikan Lele Pendederan adalah kegiatan pembesaran benih hasil pembenihan sampai ukuran yang aman untuk dibudidayakan di media pembesaran (Suyanto, 2008). Pendederan ikan lele dapat dibagi menjadi beberapa fase berdasarkan atas perbedaan dalam hal makanan, padat tebar dan kebutuhan lingkungan. Fase ukuran pendederan ikan lele yaitu produksi benih 2-3 cm yang sering disebut ukuran sedotan, benih ukuran mild yaitu 3-4 cm, 4-5 cm, 5-6 cm, 7-8 cm, ukuran super yaitu 9-10 cm, ukuran pentolan 11-12 cm dan ukuran > 12 cm yang biasa disebut ukuran bledugan (Anonim,2005). Perkembangan benih ikan lele afrika (C. gariepinus) antara satu dengan lainnya dapat berbeda, hal tersebut dapat disebabkan oleh kompetisi dan kanibalisme oleh benih yang berukuran lebih besar (Viveen et al., 1986). Pemisahan ukuran (grading) dilakukan 2 minggu setelah penebaran benih karena pada waktu tesebut sering terjadi kanibalisme. Penelitian Hecht & Appelbaum (1987), ditemukan bahwa mortalitas benih ikan lele akibat kanibalisme lebih besar dibandingkan penyebab lainnya.
8 Tabel 4. Rata-rata kematian benih lele dumbo (<1gram) dengan kepadatan yang berbeda dengan lama pemeliharaan 50 hari. Kepadatan ikan (ekor/liter) Kematian alami (%) Kematian akibat kanibalisme (%) Kematian Total (%) 20 5.67 27.8 33.43 10 4.33 19.6 23.93 5 6.00 14.2 20.20 Sumber : Hecht dan Appelbaum (1987) 2.4 Efisiensi Ekonomi Efisiensi ekonomi adalah analisis usaha yang dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kegiatan usaha mengalami keuntungan atau tidak, serta mengukur keberlanjutan usaha tersebut. Analisis usaha dalam bidang perikanan merupakan pemeriksaan keuangan untuk mengetahui keberhasilan usaha yang telah dicapai selama kegiatan usaha perikanan dilaksanakan. Beberapa parameter yang digunakan dalam analisis usaha adalah keuntungan, revenue-cost ratio (R/C), break even point (BEP), harga pokok produksi (HPP), dan payback periode (PP). Keuntungan adalah selisih dari pendapatan dan biaya total yang dikeluarkan. Menurut Rahardi (1998), keuntungan relatif usaha dapat diketahui dengan analisis imbang penerimaan dan biaya atau revenue-cost ratio (R/C). Analisis R/C digunakan untuk mengetahui setiap nilai rupiah biaya yang digunakan dalam kegiatan usaha dapat memberikan sejumlah nilai rupiah penerimaan. Kegiatan usaha yang menguntungkan memiliki nilai R/C yang besar. Rahardi (1998), menyatakan bahwa break even point (BEP) merupakan suatu nilai dimana hasil penjualan produksi sama dengan biaya produksi sehingga pengeluaran sama dengan pendapatan atau impas. Harga pokok produksi (HPP) digunakan untuk menentukan harga jual produk, jika ingin mendapatkan keuntungan, penjualan harus berada di atas HPP. Analisis payback periode (PP) digunakan untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk menutup biaya investasi.