BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Budaya secara harfiah berasal dari Bahasa Latin yaitu Colere yang memiliki arti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang (Soerjanto Poespowardojo 1993). Selain itu menurut istilah Kebudayaan merupakan suatu yang agung dan mahal, tentu saja karena ia tercipta dari hasil rasa, karya, karsa, dan cipta yang semuanya merupakan sifat yang hanya ada pada manusia.tak ada mahluk lain yang memiliki anugrah itu sehingga ia merupakan sesuatuyang agung dan mahal. Menurut Koentjaraningrat(1996: 74) kebudayaan dibedakan sesuai dengan 4 wujud, yang secara simbolis dapat di gambrkan menjadi (i) nilai-nilai budaya, (ii) sistem budaya, (iii) sistem sosial, dan (iv) kebudayaan fisik. Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yaitu sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, 16
organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Di Indonesia sendiri terdapat banyak beranekaragam kebudayaan, yang setiap kebudayaan menjadi bagian dari etnis bangsa atau sub etnis bangsa tertentu. Kemajemukan kebudayaan itu sendiri tentu melahirkan orientasi yang majemuk pula, salah satu fungsi kebudayaan bagi masyarakat adalah sumber nilai yang menjadi objek orientasi. Bangsa Indonesia memiliki banyak suku bangsa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing suku bangsa tersebut memiliki adat istiadat dan kebudayaan yang berbeda satu sama lain, salah satunya etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa merupakan etnis perantauan yang datang dari negri China dan masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan pada abad ke-16 yang akhirnya menetap dan tinggal di Indonesia, meliputi daerah pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Etnis Tionghoa di Indonesia adalah masyarakat patrilineal yang terdiri dari atas marga atau suku yang tidak terkait secara geometris dan teritorial yang selanjutnya telah menjadi satu dengan sukusuku lainnya di Indonesia. Budaya Tionghoa di Indonesia adalah sebagian dari kebudayaan China. Bentuk-bentuk kebudayaan Tionghoa ini antara lain yaitu; kesusastraan, pengobatan tradisional, hari raya dan pesta rakyat (festival). Etnis Tionghoa merupakan masyarakat yang dalam kehidupannya memegang dan menjunjung adat-istiadat, satu di antaranya adalah upacara pernikahan. 17
Di Sumatera Utara orang-orang Cina lebih suka disebut dengan orang Tionghoa, yang menunjukkan makna kultural dibandingkan dengan penyebutan orang China, yang lebih menunjukkan makna geografis. Namun, dalam kehidupan sehari-hari kedua istilah ini sama-sama dipergunakan. Sementara bahasa yang umum digunakan adalah bahasa suku Hokkian bukan bahasa Mandarin. Namun kedua bahasa itu juga dipraktikkan dan diajarkan kepada generasi-generasi Tionghoa yang lebih muda. Dari kelima suku Tionghoa yang ada seperti Hokkian, Hakka, Kanton, Tiochiu dan Hainan mayoritas hanya tiga suku yang dominan terdapat di kota Medan yaitu Hokkian, Tiochu dan Hakka. Dan adapun bahasa yang di gunakan etnis Tionghoa di kota Medan adalah bahasa Hokkian, meskipun ada lima suku etnis Tionghoa di kota Medan tetapi bahasa yang mereka gunakan sehari-hari adalah bahasa Hokkian.(sumber:Halim LO) Para imigran Tionghoa yang tersebar ke Indonesia dimulai dari abad ke-16 sampai petengahan abad ke-19, adalah etnis Hokkian yang berasal dari propinsi Fukien bagian selatan. Daerah tersebut merupakan daerah yang sangat penting dalam pertumbuhan perdagangan orang-orang cina kesebrang selatan. Kepandaian berdagang ini yang ada dalam budaya etnis Hokkian telah terendap lamanya dan masih tanpak jelas pada orang Tionghoa di Indonesia. Dari tahun ke tahun orang hokkian di kota Medan terus bertambah, menurut harian Medan Bisnis, hingga saat ini sesuai dengan data yang di keluarkan badan pusat statistic (BPS) Sumatera Utara, jumlah masyarakat Tionghoa di Medan sekitar 202.839 jiwa (sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/tahun Baru Imlek) 18
Etnis Tionghoa di kota Medan mereka mempunyai suatu upacara tradisi dalam pernikahan yaitu tradisi Seserahan pernikahan adat Tionghoa yang dikenal dengan sebutan sangjit. Sangjit merupakan proses kelanjutan setelah lamaran dan sebelum pernikahan, berupa persembahan atau hantaran pernikahan sejumlah barang dari pihak mempelai pria kepada pihak mempelai wanita. Hal yang menarik adalah makna yang terkandung dari cara pihak wanita menerima seserahan pernikahan tersebut. Apabila pihak wanita menerima seluruh barang-barang dalam seserahan itu, maka tandanya pihak wanita menyerahkan calon mempelai wanita kepada pihak laki-laki sepenuhnya dan tidak ikut campur lagi atas kehidupan rumah tangga pengantin wanita. Namun apabila barang-barang seserahan pernikahan dikembalikan sebagian, berarti pihak keluarga wanita masih berhak untuk mencampuri urusan keluarga pengantin di masa yang akan datang. Secara harfiah, Sangjit dalam bahasa Indonesia berarti proses seserahan atau proses kelanjutan lamaran dari pihak mempelai pria dengan membawa persembahan ke pihak wanita. Prosesi ini biasanya dihadiri rombongan pria yang terdiri dari keluarga besar, saudara dari orang tua dan sepupu atau teman-teman dekat jika dibutuhkan, Sangjit biasanya diadakan antara 1 bulan atau 1 minggu sebelum acara resepsi pernikahan dan berlangsung siang hari antara jam 11.00 sampai dengan 13.00 WIB dilanjutkan dengan makan siang. Selain etnis Hokkian, di kota Medan juga terdapat beberapa etnis lain seperti Tiochiu,hakka dan kanton dari beberapa etnis tersebut mereka juga mempunyai tradisi lamaran atau sangjit sama halnya juga seperti etnis hokkian, tetapi dari setiap suku tersebut cara melakukan tradisi sangjit sama saja, 19
tetapi terdapat perbedaan di setiap jenis-jenis hantaran yang di berikan kepada mempelai wanita. Pjenis erbedaan itu terutama terlihat dari kue nya, jenis kue itu untuk di medan tidak di temukan lagi perbedaannya sehingga dari hasil wawancara di ketahui bahwa perbedaan ini juga tidak terlihat lagi untuk suku apapun di etnis Tionghoa. Disini penulis akan membahas tata cara tradisi sangjit pada suku Hokkian di kota Medan, sesuai dengan judul yang penulis angkat yaitu: Tata Cara Tradisi Sangjit Pada suku Hokkian di kota Medan di mulai dari tata cara melakukan tradisi sangjit sampai barang-barang seserahan yang akan di bawa pada saat melakukan tradisi sangjit dan makna dari setiap barang-barang seserahan. Penulis tertarik untuk memilih judul Tata Cara Tradisi Sangjit Pada suku Hokkian Di Kota Medan karena di kota Medan terdapat banyak penduduk etnis Tionghoa, hal ini lebih memudahkan penulis untuk meneliti tentang kebudayaan mereka yang salah satu di antara nya yaitu tradisi sangjit. Selain itu penelitian tentang upaacra tradisi sangjit bagi penulis sangatlah menarik untuk di bahas, karena belum banyak masyarakat Medan yang belum mengetahui tentang bagaimana tata cara tradisi sangjit pada suku Hokkian secara keseluruhan. Dari penulisan ini, penulis ingin mengetahui bagaimana tata cara tradisi sangjit secara menyeluruh dan benar. Selain itu penulis juga ingin menjelaskan tujuan dari penelitian ini agar masyarakat Tionghoa khususnya etnis Hokkian bisa mengetahui lebih jelas dan terperinci bagaimana tata cara tradisi sangjit bagi suku Hokkian. Agar tradisi ini 20
akan tetap terjaga dan tidak di lupakan pada setiap upacara adat pernikahan etnis Tionghoa di Kota Medan. 1.2 Batasan Masalah Setiap pelaksanaan penulisan karya ilmiah pasti selalu bertitik tolak dari adanya masalah yang dihadapi dan perlu segera di pecahkan. Supaya penulisan skripsi ini dapat terarah dan pembahasannya juga tidak mengambang serta tidak terjadi kesimpangsiuran dalam menafsirkannya, maka penulis akan membatasin permasalahan yang di paparkan. Sesuai dengan judul skripsi ini adalah Tata Cara Tradisi Sangjit Pada Etnis Hokkian Di Kota Medan, maka batasan penulisan ini adalah pada tata cara upacra tradisi sangjit tersebut. 1.3 Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan pembahasan latarbelakang yang telah dikemukakan dan diuraikan pada pendahuluan tersebut di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana tata cara tradisi sangjit pada suku Hokkian di kota Medan. 1.4 Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah, penelitian ini mempunyai tujuan. tujuan penulis menganalisa tentang tradisi sangjit pada etnis Hokkian di kota Medan adalah sebagai berikut: 21
1. Untuk mengetahui tata cara tradisi sangjit pada etnis Hokkian di kota Medan. 1.5 Manfaat penelitian : berikut : Adapun manfaat penelitian yang dapat diambil dari hasil penelitian adalah sebagai 1.5.1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, manfaat yang di peroleh dari hasil penelitian terhadap Tata Cara Tradisi Sangjit Pada Etnis Hokkian Di Kota Medan, adalah: 1. Dapat mengetahui tata cara upacara tradisi sangjit pada etnis Hokkian di kota Medan. 2. Menjadi sumber pengetahuan bagi penulis pada tema yang sama tetapi dengan pembahasan aspek yang berbeda. 3. Menjadi sumber rujukan bagi peneliti yang lain dalam mengungkapkan penelitian budaya melalui ilmu pengetahuannya. 1.5.2. Manfaat Praktis praktis adalah: Hasil penelitian Tata cara tradisi sangjit pada etnis Hokkian di kota Medan secara 1. Bagi masyarakat suku Hokkian di Kota Medan hasil penilitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai tradisi sangjit secara benar dan terperinci. 22
2. Untuk menggambarkan tradisi sangjit kepada masyarakat biasa di luar dari etnis Tionghoa. 23