9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbagai ragam kejahatan yang dapat terjadi dan ditemui di masyarakat pada setiap saat maupun pada semua tempat. Para pelaku kejahatan selalu berusaha memanfaatkan waktu yang luang dan tempat yang memungkinkan untuk menjalankan aksinya. Tujuan yang ingin mereka capai hanya satu yaitu memperoleh benda atau uang yang diinginkan dengan kejahatannya. Kriminalitas bukan merupakan peristiwa herediter (bawaan sejak lahir, warisan), juga bukan merupakan warisan biologis. 1 Tingkah laku kriminal itu bisa dilakukan siapapun juga, baik wanita maupun pria, dapat berlangsung pada usia anak, dewasa atau lanjut usia. Untuk menanggulangi kejahatan dan tindak pidana demikian itu dibutuhkan kebijakan penindakan dan antisipasi yang menyeluruh. Tindak pidana dan kejahatan yang semakin pelik dan rumit dengan dampak yang luas, dewasa ini menuntut penegak hukum oleh aparat yang berwenang menerapkan sanksi hukum dan kebijakan penegkalan yang tepat guna, sesuai hukum yang berlaku yang dampaknya diharapkan dapat mengurangi sampai batas minimum tindak pidana dan pelanggaran hukum. Penegakan hukum terhadap ketentuan undang-undang hukum pidana tujuannya untuk mendukung kesejahteraan masyarakat dengan menekan semaksimal mungkin adanya 1 Kartini Kartono, Pathologi Sosial, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2003, hal.139
10 pelanggaran hukum dan tindak pidana yang merugikan masyarakat, baik moril maupun materiil bahkan jiwa seseorang. Pelaku kejahatan dapat melakukan aksinya dengan berbagai upaya dan dengan berbagai cara. Keadaan seperti itu menyebabkan sering didengar modus operandi (model pelaksanaan kejahatan) yang berbeda -beda antara kejahatan satu dengan lainnya. Dengan kemajuan teknologi dewasa ini, modus operandi para penjahat juga mengarah kepada kemajuan ilmu dan teknologi. Kejahatan yang ada di masyarakat memang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana khusus dan kejahatan umum. Walaupun dalam prakteknya, tidak jarang pula terjadi tumpang tindih pada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Terdapat berbagai hukum yang berlaku di Indonesia, dan salah satunya adalah hukum pidana. Hukum pidana bertujuan untuk mencegah perbuatanperbuatan masyarakat yang tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, karena bentuk hukum pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, serta meletakan dasar-dasar dan aturan dengan tujuan: 1. Menentukan perbuatan mana yang tidak dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. 2. Menentukan kapan dan dalam hal apa, kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan. 3. Menentukan dengan cara bagaimana penanganan itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. 2 Hukum Pidana tercakup beragam delik atau tindak pidana salah satunya adalah delik pencurian. Delik pencurian atau tindak pidana pencurian diatur dalam 2 Bambang Waluyo, Pidana dan Pembinaan. Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal.7.
11 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Buku II Bab XXII Pasal 362 sampai dengan Pasal 367. Pasal 362 memberi pengertian tentang pencurian yang dalam pengertian tersebut memiliki salah satu unsur untuk dikatakan sebagai tindak pidana pencurian, yaitu mengambil sesuatu barang. Pengertian barang disini adalah segala sesuatu yang berwujud termasuk binatang, uang, baju, kalung, daya listrik, dan gas. Tindak pidana pencurian yang terjadi dalam lingkungan masyarakat akan mewujudkan moral rendah, diakibatkan tekanan ekonomi sehingga menimbulkan reaksi-reaksi., atau juga dari kebiasaan jiwa seseorang yang mengalami kelainan jiwa. Sering sekali suatu kejahatan khususnya kasus pencurian terjadi dari kerja sama yang sedemikian rupa. Terjadinya hal ini dimungkinkan karena ada kesempatan dan niat yang telah direncanakan. Kejahatan pencurian merupakan tindak pidana yang paling sering terjadi di kalangan masyarakat, salah satunya adalah tindak pidana pencurian listrik. Listrik telah menjadi kebutuhan yang penting bagi masyarakat sejalan dengan meningkatnya pembangunan di segala bidang. Pemerintah terus berusaha meningkatkan sarana dan prasarana pembangkit tenaga listrik untuk menjangkau wilayah yang sangat luas hingga ke pelosok-pelosok desa karena tenaga listrik sudah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat, tidak terkecuali bagi kalangan ekonomi lemah sampai kalangan ekonomi atas semua membutuhkan listrik. Di balik semua itu kita masih dihadapkan pada persoalan pelik karena terlalu banyak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pemakai jasa listrik atau pelanggan listrik yang sering disebut sebagai pencurian listrik.
12 Pencurian arus listrik adalah salah satu objek kejahatan yang sekarang sering terjadi dengan berbagai modus operandi. Pencurian arus listrik, akhir-akhir ini sudah sangat sering didengar. Pencurian arus listrik yang terjadi dalam masyarakat adalah salah satu fenomena yang sering terjadi, baik yang dilakukan oleh orang perorangan maupun badan hukum yang dijalankan oleh perseorangan atau organisasi tertentu. Listrik merupakan salah satu hajat hidup yang sangat vital, baik bagi masyarakat umum, apalagi bagi kegiatan ekonomi yang mengandalkan tenaga listrik sebagai pendukung kelangsungan usaha atau penggerak utama bagi kegiatan produksinya. Keadaan yang demikian tentunya sangat ironi jika dihubungkan dengan semakin banyaknya pencurian listrik yang dilakukan oleh berbagai oknum, baik dari kalangan pemakai rumah tangga maupun dari kalangan pengusaha yang mengoperasikan perusahaan dengan menggunakan tenaga listrik yang diperoleh secara illegal yakni melalui tindakan pencurian. Delik pencurian listrik biasanya dilakukan oleh berbagai oknum baik dari kalangan rumah tangga, pemilik industri-industri kecil maupun dari kalangan pengusaha besar. Hal itu dapat terjadi dikarenakan berbagai macam faktor yang tentunya dapat merugikan keuangan negara serta bertentangan dengan kepentingan masyarakat dan konsumen lainnya, karena dapat mengurangi voltage yang menyebabkan turunnya tegangan listrik sehingga masyarakat tidak dapat menikmati listrik sebagaimana mestinya. Adapun motif dan tujuan dari pencurian listrik pada umumnya adalah untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara merubah, merusak, maupun tindakan lain yang bertentangan dengan
13 ketentuan-ketentuan yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis memilih judul skripsi tentang Analisis Yuridis Terhadap Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Pencurian Arus Listrik (Putusan Nomor 1770/Pid.B/2014/PN.MDN). B. Perumusan Masalah Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah: 1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya kejahatan pencurian aliran listrik? 2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku yang melakukan tindak pidana pencurian arus listrik? 3. Bagaimana analisis kasus perkara tindak pidana pencurian listrik berdasarkan Putusan Nomor 1770/Pid.B/2014/PN.MDN? C. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan pencurian aliran listrik 2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku yang melakukan tindak pidana pencurian arus listrik. 3. Untuk mengetahui analisis kasus perkara tindak pidana pencurian listrik berdasarkan Putusan Nomor 1770/Pid.B/2014/PN.MDN. D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
14 1. Secara teoritis, hasil penelitian ini akan memberikan sumbang saran dalam khasanah ilmu pengetahuan hukum, khususnya di bidang hukum pidana. 2. Secara Praktis: a. Bermanfaat kepada masyarakat umum khususnya kepada masyarakat mengenai pesatnya perkembangan kejahatan pencurian listrik yang akan ditinjau dari faktor atau latar belakang yang mendorong seseorang sehingga melakukan kejahatan tersebut serta usaha yang dilakukan untuk menanggulangi kejahatan tersebut. b. Mengungkapkan berbagai permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan serta alternatif solusi permasalahan tersebut. E. Keaslian Penulisan. Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai Analisis Yuridis Terhadap Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Pencurian Arus Listrik (Putusan Nomor 1770/Pid.B/2014/PN.MDN) belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata yang sama, maka penulis akan bertanggungjawab sepenuhnya. F. Tinjauan Kepustakaan 1. Tindak Pidana Pencurian.
15 Pengertian Tindak Pidana Pencurian Pencurian di dalam bentuknya yang pokok diatur di dalam Pasal 362 KUHP yang berbunyi: Barang siapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hak, maka ia dihukum karena kesalahannya melakukan pencurian dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda setinggi-tingginya enam puluh rupiah. Melihat dari rumusan Pasal tersebut dapat diketahui, bahwa kejahatan pencurian itu merupakan delik yang dirumuskan secara formal dimana yang dilarang dan diancam dengan hukuman, dalam hal ini adalah perbuatan yang diartikan mengambil. Menerjemahkan perkataan zich toe eigenen dengan menguasai, oleh karena didalam pembahasan selanjutnya pembaca akan dapat memahami, bahwa zich toeeigenen itu mempunyai pengertian yang sangat berbeda dari pengertian memiliki, yang ternyata sampai sekarang banyak dipakai di dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, meskipun benar bahwa perbuatan memiliki itu sendiri termasuk di dalam pengertian zich toeeigenen seperti yang dimaksudkan di dalam Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut. 3 2. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana. Pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pengertian pertanggungjawaban pidana. Perbuatan pidana hanya menunjuk pada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu ancaman pidana. Pertanggungjawaban dalam konsep hukum pidana merupakan sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. 3 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2007, hal.49
16 Dalam bahasa Latin ajaran kesalahan dikenal dengan dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. 4 Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. 5 Dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undangundang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggungjawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan. Berdasarkan hal tersebut maka pertanggung jawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat yaitu: 4 Mahrus Ali. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 155 5 Pertanggungjawaban Pidana (Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif), melalui http://www.kompas.wordpress.com diakses tanggal 25 Mei 2016 Pukul 10. 00 Wib
17 a. Dapat dipertanggungjawabkan kepada si pembuat atau kemampuan bertanggungjawab dari si pembuat. b. Ada hubungan tertentu dalam batin orang yang berbuat, baik dalam bentuk kesengajaan maupun kealpaan. c. Tidak ada dasar alasan yang menghapus pertanggungjawaban si pembuat atau tidak ada alasan penghapusan kesalahan. 6 Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. 7 Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya dan yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu. 8 3. Pengertian Pidana dan Pemidanaan. Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat diartikan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan/dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana. Para ahli hukum di Indonesia membedakan istilah hukuman dengan pidana. Istilah 6 Ibid. 7 Mahrus Ali, Op.Cit, hal.156 8 Chairul Huda. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hal. 68
18 hukuman adalah istilah umum yang dipergunakan untuk semua jenis sanksi baik dalam ranah hukum perdata, administratif, disiplin dan pidana, sedangkan istilah pidana diartikan secara sempit yaitu hanya sanksi yang berkaitan dengan hukum pidana. Berikut pengertian pidana menurut para ahli: a. Pengertian pidana menurut Van Hamel: Pidana adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara. b. Pengertian pidana menurut Simons: Pidana adalah suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah. c. Pengertian pidana menurut Sudarto: Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. d. Pengertian pidana menurut Roeslan Saleh: Pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu. e. Pengertian Pidana Menurut Ted Honderich: Pidana adalah suatu penderitaan dari pihak yang berwenang sebagai hukuman yang dikenakan kepada seseorang pelaku karena sebuah pelanggaran. f. Pengertian pidana menurut Alf Ross: Pidana adalah tanggung jawab sosial yang : 1) Terdapat pelanggaran terhadap aturan hukum. 2) Dijatuhkan atau dikenakan oleh pihak berwenang atas nama perintah hukum terhadap pelanggar hukum. 9 Menurut Amir Ilyas bahwa tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan 9 Muhammad Ekaputra dan Abdul Kahir. Sistem Pidana di Dalam KUHP dan Pengaturannya Menurut Konsep KUHP Baru. Usu Press, Medan, 2010, hal.24
19 dengan jelas untuk memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat. 10 Menurut Adami Chazawi, tindak pidana itu dikenal dalam hukum pidana Belanda sebagai strafbaarfeit. Strafbaarfeit terdiri dari 3 (tiga) kata yaitu straf, baar, dan feit. Straf diartikan sebagai pidana dan hukum, baar diartikan sebagai dapat dan boleh, feit diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan. Bahasa Inggrisnya adalah delict, artinya, suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman (pidana). 11 Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa sistem pemidanaan (thesentencing system) adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi dan pemidanaan (the statutory rules relating to penal sanctionand punishment). 12 Menurut Barda Nawawi Arief, apabila pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhisanksi (hukum pidana). Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai hukum pidana substantif, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan. 13 4. Putusan Hakim. 10 Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana. Rangkang Education dan PuKap. Yogyakarta. 2012, hal. 18 11 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Cetakan Keenam. Sinar Grafika. Jakarta, 2009, hal.23. 12 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 23 13 Ibid, hal.129.
20 Perihal putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Dengan demikian, dapatlah dikonklusikan lebih jauh bahwasanya putusan hakim di satu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh kepastian hukum (rechtszekerheids) tentang statusnya dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan hakim tersebut. Sedangkan di lain pihak, apabila ditelaah melalui visi hakiki yang mengadili perkara, putusan hakim adalah mahkota dan puncak pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, hak asasi manusia, penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan. 14 Putusan menurut buku Peristilahan Hukum dan Praktik yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung RI 1985 adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis ataupun lisan. 15 Leden Marpaung memberikan pengertian putusan hakim adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasakmasaknya yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan. 16 G. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang mengarah kepada penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang bertitik tolak dari pemasalahan dengan melihat kenyataan yang terjadi di lapangan, kemudian 14 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, Bandung: Alumni, 2007, hal.119. 15 Ibid, hal.120. 16 Leden Marpaung. Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal.9.
21 menghubungkannya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah menghasilkan gambaran yang akurat tentang sebuah kelompok, menggambarkan sebuah proses atau hubungan, menggunakan informasi dasar dari suatu hubungan teknik dengan definisi tentang penelitian ini dan berusaha menggambarkan secara lengkap 17 yaitu tentang pertanggungjawaban pelaku tindak pidana pencurian arus listrik. 2. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini adalari data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari penelitian di Pengadilan Negeri Medan. Data sekunder diperoleh melalui: a. Bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan, dalam penelitian ini dipergunakan yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan sebagai landasan hukum pencurian listrik. b. Bahan hukum sekunder yaitu berupa buku bacaan yang relevan dengan penelitian ini. 3. Alat Pengumpul Data Mengingat penelitian ini adalah penelitian yang bersifat yuridis normatif yang memusatkan perhatian pada data sekunder, maka pengumpulan data utama ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan dan studi dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian. Untuk melengkapi data yang berasal dari studi kepustakaan tersebut, maka pada penelitian ini hal.16. 17 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2003,
22 dilakukan wawancara terhadap pimpinan/staf pada PT. PLN (Peersero) Cabang Medan. 4. Analisis Hasil Data yang terkumpul tersebut akan dianalisa dengan seksama dengan menggunakan analisis kualitatif atau dijabarkan dengan kalimat. Analisis kualitatif adalah analisa yang didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan. H. Sistematika Penulisan BAB I : Pendahuluan, yang menjadi sub bab terdiri dari, yaitu Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian Penelitian, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan BAB II : Pengaturan Hukum Tentang Pencurian Arus Listrik di Indonesia meliputi : Pengertian Pencurian dalam KUHP, Pengertian Pencurian di Luar KUHP : Dalam Arrest, Perma Nomor 2 Tahun 2012, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009. BAB III Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Pencurian Arus Listrik Menurut UU No. 30 Tahun 2009 meliputi : Perkembangan Pencurian Listrik di Medan, Faktor Penyebab Terjadinya Pencurian Listrik, Konsep Pertanggungjawaban Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009, Upaya Penanggulangan Pencurian Listrik. BAB IV Analisis Kasus Perkara Tindak Pidana Pencurian Arus Listrik (Studi Kasus Putusan Nomor 1170/Pid.B/2014/PN.Mdn) meliputi : Posisi Kasus :
23 Dakwaan JPU, Tuntutan JPU, Fakta-Fakta Hukum, Putusan Hakim, Analisis Kasus : Berdasarkan Hukum Acara, Berdasarkan Hukum Pidana Materiil, Aspek Keadilan Putusan Hakim. BAB V Kesimpulan dan Saran.