BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak gagasan mengenai kesehatan reproduksi lahir di Kairo tahun 1994. Permasalahan kesehatan reproduksi menurunkan agenda internasional dan pemerintah berbagai negara nampak enggan untuk menangani ancaman paling mendasar bagi kesehatan dan kesejahteraan manusia yang mempengaruhi kesehatan keluarga dan komunitas. Dengan adanya keragaman perilaku seksual dan reproduksi yang diungkapkan oleh hasil studi, kini perlu adanya pendekatan yang menggabungkan kombinasi peringatan dan strategi pencegahan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dengan cepat. Selain itu, juga dibutuhkan upaya yang lebih besar untuk menyelesaikan permasalahan kesehatan reproduksi dan seksual yang terkait dengan kemiskinan, ketidaksetaraan gender dan perilaku sosial yang negatif (Depkes, 2006). Meskipun tidak selalu dianggap yang menentukan dalam pembentukan kepribadian, keluarga tetap bertahan sebagai institusi penting bagi anak (Korchin, 1964). Untuk kondisi saat ini menurut Korchin faktor-faktor sosial dari luar keluarga (extrafamilia) turut mempengaruhi dan membentuk kepribadian dan neurosis yang dialami individu meskipun ada sedikit perbedaan peran keluarga sebagaimana dikemukakan penganut psikoanalisis dan Korchin, keduanya sama-sama menganggap penting peran keluarga bagi 1
2 individu, khususnya dalam sosialisasi. Karena itulah, tidak mungkin mengesampingkan aspek keluarga dalam memahami kesehatan mental anak atau individu (Moeljono Notosoedirdjo, 2005). Seperti ditunjukan oleh Majeres, banyak anggapan popular tentang remaja yang mempunyai arti yang bernilai dan seyogyanya cenderung bersifat negatif, merusak dan berprilaku menyimpang, sehingga perlu bimbingan dan pengawasan pada kehidupan remaja karena pada remaja takut pada tanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal. Meningkatnya minat seks pada remaja, berusaha mencari lebih banyak informasi mengenai seks. Hanya sedikit remaja yang berharap bahwa seluk beluk tentang seks dapat dipelajari dari orang tuanya. Remaja mencari dari berbagai sumber informasi yang mungkin dapat diperoleh, misalnya karena hygiene seks di sekolah atau perguruan tinggi, membahas dengan temanteman, buku-buku tentang seks, atau mengadakan percobaan dengan bercumbu, masturbasi, atau bersenggama, guna untuk memuaskan keingin tahuan mereka (Hurlock, 2001). Sebagai pendamping maka orang tua harus dapat menjadi panutan teladan dan orang yang istimewa bagi remaja, agar mereka tidak mudah tergoda untuk berperilaku seks bebas yang merugikan kehidupannya. Tugas orang tua adalah memberikan pendidikan kesehatan reproduksi yang benar sebagai upaya untuk mencegah terjadinya perilaku seks bebas akan terjadi kehidupan remaja berbudaya hidup sehat (Dianawati, 2003).
3 Peran orang tua untuk anak dalam memberikan pengertian yang benar pada anak-anak menjadi penting, karena minim pengetahuan seks masih ditambah lagi dengan mudahnya mendapatkan prasarana untuk melakukan seks bebas. Program pendidikan seksual komperehensif tidak hanya mencakup fakta-fakta biologi tapi juga menyuguhkan informasi dan ketrampilan praktis kepada peran remaja mengenai soal berkencan, hubungan seks, dan penggunaan kontrasepsi. Melihat dari kejadian itu, pendidikan seks secara intensif sejak dini hingga masa remaja tidak bisa ditawar tawar lagi. Apalagi mengingat, sebagian besar penularan AIDS dan PMS terjadi melalui hubungan seksual (Boyke, 2006). Beberapa alasan remaja melakukan hubungan seksual adalah untuk membuktikan bahwa mereka saling mencintai, takut hubungan mereka akan berakhir, rasa ingin tahu tentang seks, hubungan seks itu menyenangkan, dan pacar mengatakan hal itu tidak apa-apa. Cara-cara yang dilakukan remaja dalam menyalurkan dorongan seksualnya adalah bergaul dengan lawan jenis, berkhayal atau berfantasi tentang seksual dan menonton film pornografi, sehingga dapat menimbulkan resiko terjadinya kehamilan tidak diinginkan, tertular penyakit menular seksual (PMS), infeksi saluran reproduksi, aborsi dengan segala resikonya, hilangnya keperwanan dan keperjakaan, perasaan malu, bersalah, berdosa dan perasaan tidak berharga serta gangguan fungsi seksual (Imran, 1999).
4 Kurangnya pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi merupakan salah satu faktor yang mendorong remaja ke pergaulan seks bebas. Dalam hal ini perawat ikut berperan dalam memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi. Didalam program tersebut salah satunya adalah memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi kepada anak-anak, remaja dewasa dan lansia. Di sini perawat ikut berperan untuk memberikan pelayanan kesehatan reproduksi dan memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi (Menkes, 2002). Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (UI) mengadakan penelitian di Manado dan Bitung (1997) menujukkan bahwa 6% dari 400 pelajar sekolah menengah atas (SLTA) putri dan 20% dari 400 pelajar SLTA putra pernah melakukan hubungan seksual. Survei Departemen Kesehatan tahun (1995/1996) pada remaja usia 13 19 tahun di Jawa Barat (1189) dan Bali (992) mendapatkan 7% dan 5% remaja putri di Jawa Barat dan Bali mengakui pernah terlambat haid atau hamil. Di Yogyakarta menurut data sekunder tahun 1996/1997 dari 10981 pengunjung klinik Keluarga Berencana (KB) ditemukan 19,3% yang datang dengan kehamilan tidak dikehendaki dan telah melakukan tindakan pengguguran di sengaja sendiri secara tidak aman (Azwar, 2001). Sebagai suatu wadah pendidikan seksual bagi remaja. Hasil kegiatan konseling dan layanan PILAR sejak Januari s/d Desember 2004 didapatkan dari 500 mahasiswa yang pernah melakukan perilaku seksual atau intercource sebanyak 7,6% dari usia 18-20 tahun, beberapa siswa di Semarang pernah
5 melakukan ciuman antara usia 15-18 tahun sebanyak (58%) pria dan (52%) wanita, alasan utamanya adalah karena cinta, kehamilan tidak diinginkan (KTD) dipengaruhi oleh rendahnya pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi sebanyak 13,3%, kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak sebanyak 18,7%, pengaruh media cetak dan elektronik sebanyak 55,1% (PILAR PKBI Jateng, 2004). Di SMU 3 PGRI Randudongkal, berdasarkan wawancara dengan salah satu guru bahwa pernah ada kasus kehamilan diluar nikah yang dialami oleh siswa sekolah tersebut namun mengenai angka kejadiannya tidak dipublikasikan karena berkaitan dengan privasi sekolah, disamping itu dikatakan bahwa sekolah tersebut belum pernah diberikan informasi tentang kesehatan reproduksi oleh dinas kesehatan dan dari tiap tahunnya kurang lebih lima orang mengundurkan diri disebabkan oleh kenakalan remaja dan dua orang oleh faktor ekonomi dan jarak tempuh antara rumah dengan sekolah (Komunikasi personal, Rudiyanto, 08 Februari 2007). B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dari penelitian ini adalah Adakah hubungan peran orang tua dalam pendidikan kesehatan reproduksi dengan sikap tentang seks bebas pada siswa Kelas II Di SMU Randudongkal Kabupaten Pemalang tahun 2007.
6 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Mengetahui hubungan peran orang tua dalam pendidikan kesehatan reproduksi dengan sikap tentang seks bebas pada siswa kelas II di SMU Randudongkal Kabupaten Pemalang 2007. 2. Tujuan khusus a. Menggambarkan peran orang tua dalam pendidikan kesehatan reproduksi pada siswa kelas II di SMU Randudongkal Kabupaten Pemalang 2007. b. Menggambarkan sikap siswa kelas II di SMU Randudongkal tentang seks bebas. c. Menganalisis hubungan antara peran orang tua dengan sikap siswa kelas II tentang seks bebas di SMU Randudongkal Kabupaten Pemalang 2007. D. Manfaat 1. Bagi ilmu pengetahuan Dapat mengembangkan ilmu keperawatan khususnya dalam lingkup kesehatan reproduksi remaja dan dapat dijadikan referensi bagi para peneliti selanjutnya. 2. Bagi profesi Dapat sebagai masukkan sekaligus evaluasi bagi masing-masing petugas kesehatan ( profesi perawat, bidan dan tenaga kesehatan lainnya ),
7 diharapkan akan termotifasi untuk meningkatkan pengetahuan dalam upaya memberikan penyuluhan tentang kesehatan reproduksi untuk remaja. E. Bidang Ilmu Penelitian ini mengambil bidang ilmu keperawatan, khususnya keperawatan maternitas.