Tawaran Baru Format Pendidikan Islam Pasca UU Sisdiknas 2003

dokumen-dokumen yang mirip
Membangun Integrasi Keilmuan Syari'ah di PTAI. Pendahuluan

Peran PTAIN Dalam Pengembangan Pendidikan Islam Di Indonesia

Membangun Perdaban Islam Sebagai Upaya Meraih Keunggulan Global

Urgensi, Strategi, dan Implikasi Perubahan IAIN Menjadi UIN

Ma'had al Jamiáh dan Pembinaan Karakter Mahasiswa

Membangun Kemitraan Antar Umat Beragama

Merumuskan Pendidikan Islam Berparadigma Al Qur'an dan As Sunnah Sebagai Upaya Meraih Keunggulan Akademik dan Akhlak

Sosok Pendidik Umat Secara Total dan Dijalani Sepanjang Hayat

Memahami Konsep Ummat Dan Islam Masa Depan

Menginternalisasikan Nilai-Nilai Luhur Dalam Pendidikan Sains Untuk Menyongsong Masa Depan Bangsa

Menjaga Tradisi Keagamaan Dalam Rangka Memperkukuh Kebhinekaan

Pendidikan Islam Menghadapi Tantangan Global

Pendidkan Tinggi Bersama

PENDAHULUAN. Madrasah Tsanawiyah (MTs) Mathla ul Anwar merupakan salah satu. Madrasah Swasta yang di selenggarakan oleh Perguruan Mathla ul Anwar Kota

PENDAFTARAN PROGRAM BEASISWA SANTRI BERPRESTASI 2018

Paradigma Pengembangan Keilmuan di UIN Malang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan. bahwa dalam proses pendidikan, peserta didik/siswa menjadi sentral

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V SIMPULAN IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA BERBASIS KEARIFAN LOKAL* 1

I. PENDAHULUAN. individu. Pendidikan merupakan investasi bagi pembangunan sumber daya. aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

Sepotong Sejarah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

LEMBARAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO NOMOR 4 TAHUN 2010 T E N T A N G PENDIDIKAN AL QUR AN

BAB I PENDAHULUAN. Muhammadiyah merupakan gerakan Islam, da wah amar ma rūf nahī

MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN PENDIDIKAN

BAB IV ANALISIS KEBIJAKAN PEMERINTAH KELURAHAN SAMPANGAN KOTA PEKALONGAN DALAM MENINGKATKAN KUALITAS LEMBAGA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Resensi Buku EKONOMI POLITIK: Peradaban Islam Klasik, karangan Suwarsono Muhammad Oleh: Musa Asy arie

SAMBUTAN MENTERI AGAMA RI PADA ANNUAL CONFERENCE ON ISLAMIC STUDIES VIII TANGGAL 3 NOVEMBER 2008 DI PALEMBANG

BAB I PENDAHULUAN. dalam keluarga, masyarakat, maupun kehidupan berbangsa dan bernegara. Maju

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa saling

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. beragama yaitu penghayatan kepada Tuhan, manusia menjadi memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan fenomena manusia yang fundamental, yang juga

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 202 TAHUN : 2016 PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Kompetensi Inti Kompetensi Dasar

BAB I PENDAHULUAN. agama. 1 Di sekolah umum (SD, SMP, SMA) pengajaran agama dipandang

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan karakter dalam menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Di samping

BAB I PENDAHULUAN. alam. Pedoman dalam mengajarkan ajarannya yaitu berupa Al-Qur an. Al-

BAB I PENDAHULUAN. membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaannya.

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG

BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA PENGAJIAN TAFSIR AL-QUR AN DAN UPAYA PEMECAHANNYA DI DESA JATIMULYA KEC. SURADADI KAB. TEGAL

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan sebuah negara. Untuk menyukseskan program-program

BAB VI PENUTUP. implikasi teoritik, dan keterbatasan studi sebagai berikut: 1. Model integrasi Ma had Sunan Ampel Al-Aly ke dalam sistem pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. kedudukan yang sangat strategis dalam seluruh aspek kegiatan pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. penghasilan sebanyak-banyaknya dengan melakukan usaha sekecil-kecilnya. Para

BAB I PENDAHULUAN. antara lain pemerintah, guru, sarana prasarana, dan peserta didik itu sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. mengalir begitu cepat ini memberikan pengaruh terhadap perilaku peserta

BAB IV ANALISIS. 2002), hlm.22

BAB I PENDAHULUAN. orang lain tanpa adanya keuntungan langsung bagi si penolong. Pada perilaku

BUPATI KABUPATEN OGAN ILIR PROVINSI SUMATERA SELATAN

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 308 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN ISLAM NON FORMAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR ISLAMIC CENTER DI KABUPATEN DEMAK

BAB I PENDAHULUAN. Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Sinar Baru, Surabaya, 1997, hlm. 2.

BAB I PENDAHULUAN. potensi dirinya melalui proses pembelajaran ataupun dengan cara lain yang

Mencermati Aspek Manajemen Madrasah

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PENDIDIKAN DINIYAH DI KOTA TASIKMALAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.

Menangkap Makna Beberapa Nama Surat Dalam al Quran

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 12 TAHUN 2012 TENTANG WAJIB BELAJAR DINIYAH TAKMILIYAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. berbagai komponen yang antara satu dan lainnya saling berkaitan. 1

BAB I PENDAHULUAN. membacanya ibadah dan tidak ditolak kebenarannya (Al-hafidz, 2005: 1).

BAB I PENDAHULUAN. produktif. Di sisi lain, pendidikan dipercayai sebagai wahana perluasan akses.

BAB I PENDAHULUAN. nilai-nilai kehidupan guna membekali siswa menuju kedewasaan dan. kematangan pribadinya. (Solichin, 2001:1) Menurut UU No.

BAB I PENDAHULUAN. Dengan berkembangnya ini mengakibatkan ilmu pengetahuan memiliki. dampak positif dan negatif. Agar dapat mengikuti dan meningkatkan

BAB II TINJAUAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Riau dalam bahasa Ingris adalah Staed Islamic University of Sultan Syarif Kasim

MUQODDIMAH DAN ISI ANGGARAN DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA MUHAMMADIYAH. Pertemuan ke-6

Islam dalam Tatanan Kehidupan Bermasyarakat

BAB I. I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pendidikan mampu manghasilkan manusia sebagai individu dan

BAB I PENDAHULUAN. dari segi intelektual maupun kemampuan dari segi spiritual. Dari segi

BAB I PENDAHULUAN. Persada, 2004), hlm Netty Hartati, dkk, Islam dan Psikologi, (Jakarta: PT Raja Grafindo

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah keterbatasan dari teori awal adalah ambiguitas tentang proses pengaruh. Sedangkan

BAB IV ANALISIS PERAN GURU DALAM PROSES PENGEMBANGAN KECERDASAN. Peran Guru dalam Proses Pengembangan Kecerdasan Spiritual siswa di MI Walisongo

BAB I PENDAHULUAN. Wacana yang berkembang dimasyarakat, khususnya di kecamatan Lawang

A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUHAN. untuk mengenal Allah swt dan melakukan ajaran-nya. Dengan kata lain,

Sambutan Presiden RI pada Peresmian Sarana dan Prasarana DDII, Bekasi, 27 Juni 2011 Senin, 27 Juni 2011

Sambutan Presiden RI pada Peringatan Nuzulul Quran 1430 H, Senin, 07 September 2009

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Long life education adalah motto yang digunakan oleh orang yang

BAB I PENDAHULUAN. 2003), (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm Undang-undang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional) (UU RI No.

BAB I PENDAHULUAN. (Jakarta: Amzah, 2007), hlm Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur an,

BAB I PENDAHULUAN. harus memelihara dan melestarikan bumi, mengambil manfaatnya serta

BAB IV PENUTUP. (tradisional) adalah pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab

RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL SURVEI SURVEI SYARIAH 2014 SEM Institute

BAB I PENDAHULUAN. baik oleh individu maupun masyarakat secara luas. teknologi telah melahirkan manusia-manusia yang kurang beradab.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dalam memahami zakat masih sedikit di bawah shalat dan puasa.

Strategi Integrasi Ilmu Umum dan Ilmu Agama Pada Kajian Tadris FTK IAIN IB Padang Selasa, 10 November :16

Khatamul Anbiya (Penutup Para Nabi)

BAB I PENDAHULUAN. Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur an, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm. 57.

Lampiran 1: DAFTAR PROGRAM STUDI AGAMA PADA PERGURUAN TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (PTAIN) JENJANG SARJANA (S1) NO NAMA PTAIN FAKULTAS JURUSAN/PRODI

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam seluruh aspek kepribadian dan kehidupannya. emosional, sosial dan spiritual, sesuai dengan tahap perkembangan serta

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. hlm Ismail SM. Et. All. Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001),

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK

Transkripsi:

Tawaran Baru Format Pendidikan Islam Pasca UU Sisdiknas 2003 Sejak diberlakukan UU Sisdiknas 2003, Pendidikan Islam mendapatkan pengakuan sama dengan pendidikan umum. Lulusan MI, MTs., MA, dianggap sama dengan lulusan SD, SMP dan SMA. Maka, setiap disebut SD disebut pula MI, menyebut SMP maka disebut M.Ts dan demikain pula tatkala menyebut SMA juga disebut MA. Justru pada tingkat perguruan tinggi, semisal STAIN dan IAIN, belum sepenuhnya mendapatkan posisi seluas itu. Pendidikan Islam seharusnya berbeda dengan sekolah lain pada umumnya. Perbedaan itu menyangkut banyak hal, mulai dari orientasi atau tujuan, kurikulum, tenaga pengajar, maupun kultur yang seharusnya dikembangkan. Tatkala pendidikan Islam disamakan dengan sekolah umum, bukan berarti persamaan itu dalam segala halnya. Persamaan itu adalah terkait dengan pengakuan oleh pemerintah, yaitu bahwa siapapun yang belajar di lembaga pendidikan Islam dianggap telah memenuhi kewajiban belajar. Hal yang kadang disalah pahami, adalah bahwa sekolah Islam dianggap lebih rendah, hingga perlu disamakan kualitasnya. Padahal maknanya tidak seperti itu. Sebab tidak sedikit sekolah Islam yang sebenarnya lebih unggul kualitasnya dari sekolah pada umumnya. Madrasah Insan Cendekia di Serpong dan Gorontalo, dan juga berbagai madrasah negeri atau madrasah swasta yang dikelola secara baik di berbagai tempat, diakui telah memiliki keunggulan. Begitu pula beberapa pesantren, Gontor misalnya, lulusannya mampu berbahasa Inggris dan Arab, yang hal itu tidak semua sekolah umum bisa mewujudkannya. Persamaan yang dituntut dan akhirnya diakomodasi oleh UU Sisdiknas 2003 itu terkait dengan pengakuan oleh pemerintah. Namun seringkali, sementara tokoh dan bahkan pejabat kementerian agama sekalipun, seringkali membuat statemen yang kurang produktif, dengan mengatakan bahwa madrasah atau pendidikan Islam selama ini tertinggal dari sekolah umum. Padahal kalaupun tokh statemen itu nyata, sebenarnya perbedaan itu tidak selalu signifikan, dan bahkan masih terdapat madrasah, yang berprestasi di atas sekolah umum. Selama ini tidak banyak orang yang mengungkapkan bahwa pendidikan Islam sebenarnya justru memiliki kelebihan, utamanya terkait dengan wawasan keagamaannya, yaitu pemahamannya terhadap al Qurán dan Hadits Nabi. Pengetahuan dan pengamalan agama yang dinilai sangat fundamental bagi kehidupan, bagi siswa madrasah selama ini lebih baik. Perbedaan lainnya, tampak dari perilaku atau karakter secara umum. Kasus-kasus narkoba, perilaku sek bebas, dan lain-lain tidak ditemukan di lembaga pendidikan madrasah. Demikian pula, secara sederhana, pada setiap pengumuman ujian akhir, siswa madrasah tidak sampai merepotkan aparat keamanan, hingga harus berjaga-jaga mengantisipasi akibat buruk dari pesta kelulusan mereka. Kelebihan seperti itu tidak pernah dilihat, padahal sangat prinsip atau fundamental. Sebagai seorang muslim ukuran keberhasilan pendidikan bukan sebatas lulus ujian nasional dan mendapatkan ijazah. Sekalipun itu perlu, tetapi yang lebih penting lagi adalah ketaqwaan, ketinggian akhlak maupun kesediaan beramal shaleh. Sepintar apapun, jika seseorang tidak mengenal dan mencintai Tuhannya, maka ilmu yang disandang tidak akan memberi manfaat bagi dirinya dan bahkan juga bagi orang lain.

Gambaran Ideal Pendidikan Islam Para ulama tatkala merintis dan mengembangkan lembaga pendidikan Islam, bukan sebatas asal berbeda dengan sekolah lain pada umumnya. Melalui pendidikan Islam, para ulama., atau tokoh Islam, ingin menanamkan nilai-nilai kehidupan mulia yang bersumber pada al Qurán dan Hadits Nabi agar menjadi pegangan para generasi berikutnya. Melalui pendidikan Islam, mereka bermaksud memperkenalkan konsep hidup yang menyelamatkan dan sekaligus membahagiakan bagi kehidupan, baik kehidupan di dunia maupun di akherat. Melalui pendidikan itu para ulama dan atau tokoh Islam menginginkan agar generasi mendatang mencintai Allah dan rasul-nya, berakhlak mulia dan beramal shaleh. Hidup bagi para ulama dan tokoh Islam menjadi bermakna, manakala berhasil mempedomani al Qurán dan Hadits Nabi atau menjadi pengikut Nabi dengan setia. Ukuran keberhasilan pendidikan, bukan saja meraih kepintaran, terampil, dan kemudian mendapatkan pekerjaan yang mendatangkan uang, sehingga menjadi seorang kaya sehingga berhasil mencukupi kebutuhan hidupnya. Semua itu penting, akan tetapi orientasi seperti itu bukan sebagai pilihan utama dan dianggap pokok. Atas dasar pandangan seperti itu, maka sekalipun sudah tersedia lembaga pendidikan yang dibangun oleh pemerintah dan juga lembaga swasta lainnya, maka para ulama dan tokoh Islam dengan keterbatasannya, mereka bersemangat dan rela membangun lembaga pendidikan sesuai dengan gambaran ideal yang dimiliki. Bisa jadi lembaga pendidikan yang dibangun oleh para ulama atau tokoh Islam, lebih sederhana, tetapi di balik kesederhanaan itu dipandang memiliki kelebihan tersendiri. Atas dasar keyakinan dan semangatnya itu, mereka mendirikan lembaga pendidikan Islam dengan cara apapun. Lahirnya berbagai pondok pesantren di berbagai pelosok negeri ini, demikian pula madrasah dengan berbagai tingkatannya, diniyah dan lain-lain adalah sebagai bukti atas besarnya semangat dan panggilan yang dirasakan oleh para ulama atau tokoh Islam untuk mengembangkan lembaga pendidikan. Banyak orang mengatakan, bahwa pendidikan madrasah dan atau pondok pesantren berkualitas rendah, namun begitu masih saja lembaga itu diurus dan didatangi oleh para peminatnya. Gambaran ideal pendidikan yang dikehendaki oleh para ulama dan tokoh Islam tidak sesederhana yang dibayangkan oleh sementara orang. Pendidikan Islam harus berhasil mengembangkan seluruh aspek kehidupan manusia, yaitu aspek spiritual, akhlak, intelektual, dan ketrampilan atau profesionalitasnya. Pendidikan tidak cukup hanya dilakukan sebatas memenuhi target-target kurikulum atau menghabiskan bahan pelajaran, lulus ujian, melainkan harus juga berhasil membangun watak, karakter atau kepribadian para siswa. Melalui diskripsi tersebut, maka sebenarnya ukuran keberhasilan pendidikan pesantren madrasah, atau bentuk lembaga pendidikan Islam lainnya, yang dikehendaki para ulama dan kyai adalah jauh lebih luas dan mendalam dari pendidikan umum lainnya. Kawasan yang ingin dikembangkan lebih sempurna atau komprehensif, yaitu menyangkut berbagai unsur

kehidupan manusia, mulai dari pengembangan aspek akal, qolb, nafsu, maupun jasmani secara kseluruhan, baik untuk kehidupan dunia maupun akherat, Namun gambaran ideal itu, oleh karena tidak selalu didukung oleh sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, maka hasilnya tidak selalu sempurna. Pendidikan Islam, berupa madrasah, pesantren atau diniyah keadaannya sederhana dan bahkan jika dilihat dari ukuran modern kurang memenuhi persyaratan. Apalagi banyak madrasah, -----lebih dari 90 %, berstatus swasta, sehingga pengelolaannya ditangani oleh masyarakat sendiri. Akibatnya, bisa dibayangkan, sekalipun lembaga pendidikan Islam tersebut memiliki konsep ideal, namun tidak sepenuhnya mendapatkan dukungan pemerintah, maka konsep itu tidak bisa dijalankan secara maksimal. Fasilitas pendidikan, baik berupa gedung, buku pelajaran dan bahkan honorarium para guru, hanya mencukupkan apa adanya, maka hasilnya tidak menggembirakan. Keadaan yang serba berkekurangan seperti itu, semestinya mendapatkan perhatian yang cukup dari pemerintah. Rendahnya kualitas pendidikan, bukan karena konsepnya yang lemah, melainkan hanya semata-mata dukungan financial yang tidak mencukupi. Oleh karena itu, setelah lahirnya UU Sisdiknas tahun 2003, maka madrasah, baik negeri maupun swasta, seharusnya mendapatkan perhatian yang cukup. Sementara ini, madrasah yang berstatus negeri, pada kenyataannya tidak kalah bersaing dengan sekolah umum. Bahkan sementara berhasil memiliki kelebihan, baik dari aspek akademik, maupun dengan sendirinya, dalam membangun jiwa keagamaannya. Menyelesaikan Sisa-Sisa Diskriminatif Selama ini rupanya peningkatan kualitas madrasah yang agak mendesak, tetapi agaknya rumit adalah terkait dengan statusnya yang kebanyakan swasta. Sebagai lembaga pendidikan swasta, maka pemerintah tidak secara leluasa memasuki wilayah itu secara mendalam. Hal yang terkait dengan kepemimpinan, manajemen, alokasi pendanaan, ketenagaan dan lain-lain, pemerintah tidak mungkin secara leluasa memasukinya. Sesuatu yang bisa dilakukan adalah pemberian subsidi, yang jumlahnya terbatas. Berbeda jika madrasah itu berstatus negeri, maka seluruhnya akan menjadi wewenang pemerintah. Sehubungan dengan status madrasah, yang kebanyakan swasta, maka keadaannya sangat variatif, tergantung kekuatan masyarakat setempat pendukungnya. Madrasah yang berada di perkotaan, atau di masyarakat yang sosial ekonominya cukup, maka berjalan dengan baik. Namun sebaliknya, madrasah-madrasah di pedesaan atau di tengah-tengah masyarakat miskin, maka keadaannya sangat memprihatinkan. Pendidikan dan pengajaran hanya berjalan seadanya, guru tidak mendapatkan imbalan yang sewajarnya, fasilitas pendidikan tidak tersedia dan seterusnya. Tetapi dengan semangat itu, madrasah tetap berjalan dan tidak pernah berhenti. Oleh karena itulah, saya seringkali menyebut, bahwa ciri khas madrasah adalah tahan hidup, tetapi sukar maju, dan kaya masalah. Persoalan inilah yang kiranya ke depan perlu diselesaikan dengan mengambil langkah-langkah strategis, misalnya membuka peluang bagi madrasah untuk diubah statusnya menjadi negeri. Atau, jika pendekatan itu tidak memungkinkan, pemerintah memberikan subsidi kepada madrasah sepenuhnya, atau setidak-tidaknya ada jaminan lembaga pendidikan dimaksud

berjalan normal. Jika kebijakan itu harus dilakukan secara selektif, maka sifatnya adalah pembinaan, misalnya agar mereka bersedia melakukan marger di antara madrasah yang berdekatan. Kebijakan tersebut sangat mendesak dilakukan untuk mengurangi, dan syukur menghilangkan pemandangan buruk adanya diskriminasi terhadap pelayanan pendidikan dasar, yang hal itu sebenarnya adalah tugas dan wewenang pemerintah. Persoalan lainnya yang selalu muncul selama ini adalah terkait dengan pondok pesantren salaf. Selama ini keberadaannya belum mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Pondok pesantren salaf, yang jumlahnya juga cukup besar, belum mendapatkan pengakuan dari pemerintah, kecuali beberapa di antaranya yang telah diberikan status sebagai pesantren muádallah. Dalam berbagai kesempatan, mereka mengeluhkan atas posisinya itu. Belum adanya pengakuan dari pemerintah, maka lulusan pesantren salaf, sebatas mendaftar untuk menjadi pamong desa dan apalagi anggota DPRD, atau DPR tidak akan diterima, sekalipun pada kenyataannya mereka telah melakukan peran-peran kepemimpinan non formal di tengah-tengah masyarakat. Menghadapi persoalan itu, saya pernah mengusulkan kepada pemerintah, dalam hal ini kementerian agama, agar melihat pesantren salaf sebagai lembaga pendidikan alternative. Cara pandang itu penting, agar tatkala melihat pesantren salaf tidak menggunakan ukuran normative yang sulit dipenuhi, hingga pengakuan itu tidak pernah diberikan. Maka dengan melihat bahwa pesantren salaf sebagai lembaga pendidikan alternative, maka pesantren dimaksud harus dilihat dengan ukuran-ukuran khas, disesuaikan dengan orientasi pendidikan pesantren itu sendiri. Menurut hemat saya, hanya dengan cara itu, maka pesantren salaf bisa mendapatkan pengakuan dari pemerintah atas ijazah yang dikeluarkannya. Hal lain, khususnya terkait dengan perguruan tinggi Islam, selama ini banyak STAIN atau IAIN bermasud mengubah kelembagaan menjadi bentuk universitas. Selama ini baru ada 6 UIN, yaitu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, UIN Sunan Gunung Jati Bandung, UIN Syarif Qasim Riau, dan UIN Alauddin Makassar. Melihat perkembangan UIN tersebut, banyak IAIN dan bahkan STAIN berkehendak mengikutinya. Kiranya semangat melakukan perubahan itu perlu mendapat respon positif dari pemerintah. Sebab ajaran Islam yang bersifat universal, maka harus diberikan wadah yang mampu menampung universalitas ajaran Islam itu. Namun untuk menjaga kualitas, lembaga itu harus diformat sedemikian rupa, agar berhasil melahirkan lulusan yang dicita-citakan, yaitu melahirkan ulama yang intelek professional dan atau intelek professional yang ulama. Sementara ini yang dilakukan oleh UIN Maulana Malik Ibrahim Malang mensintesakan antara tradisi universitas dan ma had al Aly, atau pesantren tinggi. Dengan cara itu, maka programprogram ma had yang dikembangkan dan dikombinasikan dengan program universitas, ternyata selama ini, berhasil melahirkan lulusan yang sedikit banyak memenuhi harapan masyarakat. Sebagai bukti misalnya, tidak kurang dari 10 % dari seluruh mahasiswanya mengikuti kegiatan hafalan al Qurán, sehingga setiap wisuda, lulusan terbaik selalu diraih oleh sarjana yang hafal al Qurán. Agak terasa aneh, lulusan fisika, matematika, ekonomi, psikologi, bahasa, hafal al Qurán

30 juz. Atas prestasi itu, mulai tahun ini tidak kurang dari 57 mahasiswanya berasal dari negara asing, seperyti Malaysia, Singapura, Thailand, Madagaskar, Rusia, Papua Nugini, Yaman, Siria, dan lain-lain. Diperlukan Reformulasi Pendidikan Islam Hal lainnya yang seringkali disoroti dari pendidikan Islam adalah masih terjadinya dikotomi dalam melihat ilmu pengetahuan. Yaitu masih adanya apa yang disebut dengan ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama. Ilmu agama hanya sebatas ilmu tauhid, fiqh, akhlak, tasawwuf, tarekh dan Bahasa Arab. Disebut sebagai guru agama jika seseorang mengajar mata pelajaran tersebut itu. Mata pelajaran lainnya, seperti IPA, matematika, IPS, Bahasa, Geografi, Sosiologi, sejarah, ekonomi, dan lain-lain disebut sebagai ilmu umum. Kategorisasi itu juga terjadi di perguruan tinggi. Perguruan tinggi Islam negeri, ------selain UIN, umumnya hanya mengembangkan rumpun ilmu syariáh, ushuluddin, tarbiyah, adab dan dakwah yang selanjutnya disebut sebagai rumpun ilmu agama. Sedangkan fakultas kedokteran, fakultas teknik, fakultas ekonomi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, MIPA dan lain-lain yang disebut sebagai rumpun ilmu umum tidak dikembangkan, khususnya di IAIN dan STAIN. Itulah gambaran tentang dikotomik itu. Sementara akhir-akhir ini, banyak kalangan mengatakan bahwa Islam tidak mengenal adanya pandangan yang bersifat dikotomik terhadap ilmu pengetahuan itu. Semua ilmu adalah satu, bersumber dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Al Qurán dan Hadits Nabi juga memerintahkan umat Islam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, dan mendorong mempelajari alam semesta, baik yang ada di langit, maupun yang ada di bumi, seperti matahari, bulan, bintang, manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Semua boleh dipelajari. Oleh karena itu rasanya tidak tepat jika umat Islam hanya memilih untuk mempelajari ilmu agama sebagaimana disebutkan di muka. Berangkat dari pandangan itu, maka muncul apa yang disebut dengan istilah islamisasi ilmu pengetahuan, integrasi antara ilmu pengetahuan dan Islam, intekoneksi antara agama dan ilmu dan berbagai istilah lainnya yang serupa. Semua itu pada hakekatnya ingin menunjukkan bahwa Islam tidak semestinya dikategorisasikan menjadi ilmu agama dan ilmu umum. Islam bersumber al Qurán dan hadits menganjurkan umatnya mengembangkan ilmu pengetahuan seluas-luasnya. Bahkan bermula dari cara pandang dikotomik terhadap ilmu pengetahuan, maka umat Islam hanya mengkaji ilmu agama dalam pengertian terbatas, sehingga akibatnya umat Islam tertinggal dari umat lainnya. Para tokoh dan ulama Islam hanya berkhidmat mengembangkan ilmu syariáh, ushuluddin, tarbiyah, adab dan dakwah. Pelajaran agama Islam hanya meliputi ilmu tauhid, ilmu fiqh, akhlak, tasawwuf, tarekh dan Bahasa Arab. Cara pandang seperti ini, seolah-olah Islam menjadi sempit, hanya berada pada wilayah agama. Padahal Islam sebenarnya, bukan sebatas agama, melainkan agama dan sekaligus peradaban yang luas. Òleh karena itu, diberlakukannya UU Sisdiknas 2003 seharusnya dijadikan momentum untuk melakukan reformulasi wilayah atau ruang lingkup kajian Islam sebagaimana yang ditunjukkan

dalam al Qurán dan Hadits Nabi. Rumusan itulah yang selama ini selalu dicari, agar dikotomik dalam melihat ilmu pengetahuan berhasil diakhiri. Saya sendiri melalui perenungan yang panjang, dan secara praktis juga untuk memenuhi tuntutan pengembangan keilmuan di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang sedang saya pimpin, akhirnya menemukan rumusan, bahwa Islam setidaknya harus dipahami, memiliki lima misi besar untuk menjadikan umatnya mendapatkan keselamatan, kemuliaan, dan sekaligus kebahagiaan. Adapun kelima misi besar itu adalah sebagai berikut. Pertama, Islam membawa umat manusia agar kaya ilmu pengetahuan. Hal itu bisa dilihat, bahwa ayat yang pertama kali diturunkan oleh Allah adalah perintah membaca. Asmaul husna yang pertama kali disebutkan adalah al khaliq, yang artinya adalah Yang Maha Pencipta. Misi Rasulullah yang disebutkan pertama kali adalah tilawah, artinya adalah membaca, Semua itu menunjukkan bahwa betapa pentingnya ilmu pengetahuan, seharusnya dipelajari oleh seluruh kaum muslimin. Sedangkan ilmu pengetahuan tidak terbatas, terdiri atas ayat-ayat qawliyah dan ayat-ayat kawniyah. Semua boleh dipelajari, kecuali Dzat Allah itu sendiri, oleh karena tidak akan mungkin berhasil dipahami. Misi besar kedua, adalah menjadikan umat Islam unggul dari umat lainnya. Keunggulan itu setidaknya ditunjukkan dari tiga hal, yaitu manusia yang bertauhid, dapat dipercaya, dan selalu menjaga kesuciannya. Ke-esaan Allah diperkenalkan terlebih dahulu oleh Muhammad. Selain itu, betapa pentingnya menjadi manusia yang bisa dipercaya, Muhammad disebut sebagai al amien, artinya adalah seorang yang dapat dipercaya. Selanjutnya adalah seseorang yang selalu menjaga kesuciannya secara menyeluruh, baik suci jiwanya, pikirannya, ucapannya dan juga semua anggota badannya. Itulah manusia unggul. Pendidikan Islam, yang ditauladani dari Rasulullah, semestinya adalah mengantarkan para peserta didik menjadi manusia unggul. Misi besar Islam ketiga, adalah membangun tatanan sosial yang setara dan berkeadilan. Sedemikian penting kesetaraan dan keadilan ini bagi Islam sehingga harus diperjuangkan. Bahwa sebelum Rasulullah datang di Jazirah Arab, masyarakatnya terdiri atas kabilah-kabilah, suku dan atau etnis yang bermacam-macam. Mereka saling bersaing, berebuit dan bahkan konflik secara terus menerus memperebutkan gensi, proistise, kekuasaan dan juga sumbersumber ekonomi. Mereka yang lemah bukannya ditolong atau dibantu, tetapi justru dijadikan budak. Perbudakan meraja lela ketika itu. Rasulullah datang, menghapuskan system yang tidak adil dan tidak setara itu. Misi keempat, Islam memberikan tuntunan dalam menjalankan ritual, mulai dari keharusan banyak berdzikir, shalat lima waktu, zakat, puasa, haji dan seterusnya. Perintah-perintah itu datang kemudian setelah lama Muhammad diangkat sebagai Rasul. Ummat Islam, ternyata melihat agama lebih banyak terhadap aspek ajaran ritual ini. Akibatnya sesuatu disebut sebagai ada kaitannya dengan Islam, manakala menyangkut tentang kegiatan ritual. Bahkan symbolsimbol Islam yang lebih ditonjolkan adalah apa saja yang terkait dengan ritual ini. Penyebutan ilmu Islam seperti ilmu tauhid, fiqh, akhlak dan tasawwuf, ushuluddein, syariáh, tarbiyah dan lain-lain, tampaknya bersumber dari pandangan ini. Sedangkan misi kelima adalah konsep amal shaleh. Amal artinya adalah bekerja, sedangkan shaleh adalah benar, lurus, tepat, maka amal shaleh bisa dimaknai sebagai bekerja secara

professional. Saya membayangkan, umpama saja misi ajaran Islam ini dikembangkan secara utuh, hingga menjadikan umat Islam kaya ilmu, menjadi manusia unggul, berada pada tatanan sosial yang setara dan adil, menjalankan ritual yang secara sempurna dan selalu bekerja secara professional, maka ummat Islam di mana pun akan menjadi unggul dalam segala halnya. Sayangnya, pendidikan Islam selama ini baru lebih banyak mengembangkan aspek ritual. Lebih dari itu, ajaran ritual bukan segera dijalankan, melainkan diperdebatkan hingga terjadi perpecahan ummat di mana-mana secara terus menerus. Akhirnya saya optimis dan berdoa, semoga organisasi Persatuan Umat Islam atau PUI menjadi pelopor dalam upaya mempersatukan umat, di antaranya melalui pengembangan pendidikan Islam yang lebih utuh dan komprehenesif. Yaitu pendidikan Islam, yang tidak lagi menampakkan dikotomik, melainkan melihat ilmu secara utuh dan mengembangkan manusia secara menyeluruh, baik dari aspek spiritualitasnya, keagungan akhlak, keluasan ilmu, dan ketangguhan profesionalitasnya, sehat jasmani dan rokhaninya. Hanya dengan cara itu, menurut hemat saya, Islam akan bangkit dan menjadi tauladan bagi umat lainnya. Itulah kiranya yang kemudian disebut, sebagai Islam rakhmatan lil alamien. Wallahu a lam. *)Makaah dipersiapkan sebagai bahan Seminar Nasional : Refleksi 56 Tahun Pendidikan Islam di Indonesia, diselenggarakan oleh DPP PUI, pada Hari Senin, 27 Desember 2010 di Jakarta.