BAB I PENDAHULUAN. kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) sehingga harus diberantas

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. pidana korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime.

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil,

BAB I PENDAHULUAN. dipandang sebagai extra ordinary crime karena merupakan tindak pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses peradilan yang sesuai dengan prosedur menjadi penentu

BAB I PENDAHULUAN. ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan

JURNAL HUKUM KENDALA KEJAKSAAN DALAM PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. penerapannya dilakukan secara kumulatif.

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan atas

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

BAB I PENDAHULUAN. Korupsi sebagai bentuk kejahatan luar biasa (extra ordenary crime) telah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya

BAB I PENDAHULUAN. kasus korupai yang terungkap dan yang masuk di KPK (Komisi. korupsi telah merebak ke segala lapisan masyarakat tanpa pandang bulu,

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

BAB I PENDAHULUAN. bertransformasi dalam bentuk-bentuk yang semakin canggih dan

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. kepada Bishop Mabadell Creighton menulis sebuah ungkapan yang. menghubungkan antara korupsi dengan kekuasaan, yakni: power tends

BAB I PENDAHULUAN. yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk

BAB III PENUTUP KESIMPULAN. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Di Indonesia, tindak pidana ko. masyarakat dan dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary

BAB I PENDAHULUAN. ditetapkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang. Undang Nomor 20 Tahun 2001 selanjutnya disebut dengan UUPTPK.

Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dirumuskan demikian:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. telah berusia 17 tahun atau yang sudah menikah. Kartu ini berfungsi sebagai

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat. disimpulkan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Korupsi merupakan tindakan yang dapat menimbulkan kerugian bagi keuangan

BAB I PENDAHULUAN. membahayakan stabilitas politik suatu negara. 1 Korupsi juga dapat diindikasikan

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia hingga saat

BAB I PENDAHULUAN. A Latar Belakang Masalah. Keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat), tidak

BAB I PENDAHULUAN. kematian dan cedera ringan sampai yang berat berupa kematian.

URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

HAK MENUNTUT KERUGIAN KEUANGAN NEGARA SETELAH PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh: Jekson Kasehung 2

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

JURNAL KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI ATAU DOKUMEN ELEKTRONIK DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai dimana-mana. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap Negara

BAB I PENDAHULUAN. diperiksa oleh hakim mengenai kasus yang dialami oleh terdakwa. Apabila

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupan bermasyarakat sering terjadi kekacauan-kekacauan,

BAB III PENUTUP. bencana terhadap kehidupan perekonomian nasional. Pemberantasan korupsi

KAITAN EFEK JERA PENINDAKAN BERAT TERHADAP KEJAHATAN KORUPSI DENGAN MINIMNYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PENYERAPAN ANGGARAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan

2014, No c. bahwa dalam praktiknya, apabila pengadilan menjatuhkan pidana tambahan pembayaran uang pengganti, sekaligus ditetapkan juga maksimu

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. berkembang secara optimal baik fisik, mental maupun sosial, untuk. mewujudkannya diperlukan upaya perlindungan terhadap anak.

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari

BAB I PENDAHULUAN. dapat terlihat dengan adanya pembangunan pada sektor ekonomi seperti

I. PENDAHULUAN. perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri fenomena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak merupakan genersi penerus bangsa di masa yang akan datang,

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

Lex Crimen Vol. IV/No. 5/Juli/2015

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. negara harus berlandaskan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam pergaulan di tengah kehidupan masyarakat dan demi kepentingan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Cita-cita untuk melaksanakan amanat para pejuang kemerdekaan bangsa dan

BAB I PENDAHULUAN. dapat mengatasi atau mewaspadai segala bentuk perubahan sosial atau kebudayaan.

I. PENDAHULUAN. dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan

BAB I PENDAHULUAN. Istilah korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruption yang artinya

BAB I PENDAHULUAN. paling dominan adalah semakin terpuruknya nilai-nilai perekonomian yang

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III PENUTUP. (Berita Acara Pelaksanaan Putusan Hakim) yang isinya. dalam amar putusan Hakim.

jenis kejahatan yang dapat menyentuh berbagai ranah kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. Anak Di Indonesia. hlm Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 mengatur bahwa, Setiap

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi bukan masalah baru di Indonesia. Sejak zaman sebelum kemerdekaan hingga setelah kemerdekaan korupsi sudah ada dan berkembang di Indonesia. Adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat kepada penguasa sebagai salah satu bentuk korupsi di masa lalu. Hal tersebut menjadi bukti bahwa korupsi merupakan budaya peninggalan masa lalu. Saat ini korupsi di Indonesia sudah menjadi penyakit sosial yang mengancam semua aspek kehidupan. Tindak pidana korupsi di Indonesia semakin hari semakin marak terjadi bahkan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Lembaga Transparency International (TI) merilis Indeks Persepsi Korupsi Tahunan dimana Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2015 meningkat tajam. Indonesia menempati peringkat 88 dari 168 negara atau meningkat 19 peringkat dibandingkan 2014 yang menempati posisi 107. 1 Tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak sosial dan hak ekonomi masyarakat. 2 Tindak pidana korupsi dapat digolongkan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) sehingga harus diberantas dengan cara-cara yang luar biasa pula (extra ordinary measure). Kajian Tren Korupsi 2015 yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 24 Februari 2016, dapat dilihat bahwa jumlah kasus korupsi 1 http://waspada.co.id/fokus-redaksi/ini-negara-paling-korup-di-dunia-indonesia-peringkat-88/, diakses pada 2 September 2016. 2 Evi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 1. 1

2 selama tahun 2015 adalah sebanyak 550 kasus korupsi pada tahap penyidikan yang ditangani Aparat Penegak Hukum (APH) dengan total tersangka sebanyak 1.124. Adapun total potensi kerugian negara dari seluruh kasus tersebut sebesar Rp 3,1 Triliun dan nilai suap sebesar Rp 450,5 Miliar. 3 Pemberantasan korupsi difokuskan kepada tiga isu pokok, yaitu pencegahan, pemberantasan, dan pengembalian aset hasil korupsi. 4 Selama ini Indonesia dalam menangani kasus korupsi lebih cenderung mengutamakan pada penghukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi dari pada pengembalian aset negara. Pengembalian aset hasil korupsi merupakan isu strategis dan dipandang merupakan trobosan besar dalam pemberantasan korupsi masa kini. 5 Pengembalian aset negara ini hanya sebagai harapan semata karena masih banyak aset negara yang belum terdeteksi oleh aparat penegak hukum. 6 Melihat dampak korupsi yang dapat merugikan keuangan negara dan menghambat laju pembangunan maka penting untuk menghentikan tindak pidana korupsi tersebut. Sehingga harus menggunakan semaksimal mungkin perangkat perundang-undangan dengan tujuan untuk mengembalikan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi. Perangkat Undang-Undang yang dimaksud dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. 3 http://www.antikorupsi.org/id/content/bulletin-mingguan-anti-korupsi-25-febuari-2-maret-2016, diakses 2 September 2016 4 Abd Razak Musahib, Pengembalian Keuangan Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi, hlm 2 jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/katalogis/article/download/4242/3157, diakses 31 Agustus 2016. 5 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2009, Laporan Lokakarya tentang Pengembalian Aset Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi, hlm.19. 6 Abd Razak Musahib, Op. Cit., hlm. 1.

3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) dan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi arah solusi terbatas untuk pengembalian aset pelaku dengan bentuk perampasan aset koruptor. Faktanya upaya pengembalian aset negara dari hasil tindak pidana korupsi sangatlah tidak mudah untuk dilakukan, mengingat bahwa pengembalian keuangan negara hasil dari tindak pidana korupsi dapat memunculkan berbagai perbuatan tindak pidana korupsi, seperti adanya penimbunan kekayaan hasil korupsi di beberapa daerah atau cara lain yang dilakukan pelaku untuk dapat mengaburkan asal usul aset dan masih banyak belum diketahui keberadannya. Dalam rangka penegakan hukum, salah satu instansi yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan pemberantasan dan penanggulangan tindak pidana korupsi selain Komisi Pemberantasan Korupsi adalah Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Dalam penanganan tindak pidana korupsi di bidang pidana, jaksa berperan sebagai penuntut umum, eksekutor penetapan hakim dan putusan pengadilan, pengawas pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat, sebagai penyidik, serta melengkapi berkas perkara tertentu dan

4 melakukan pemeriksaan tambahan, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. 7 Banyak perkara tindak pidana korupsi yang sudah diputus oleh pengadilan, namun dalam pengembalian aset negara oleh para koruptor tidak maksimal. Para koruptor setelah menjalani pidana yang dijatuhkan tidak bisa mengembalikan kerugian negara yang telah ditimbulkannya, karena aset-aset terpidana ternyata telah habis atau telah berpindah tangan kepada pihak lain. Kejaksaan dalam melaksanakan tugasnya untuk mengembalikan aset hasil tindak pidana korupsi mengalami kendala-kendala yang dihadapi, namun Kejaksaan harus bekerja semaksimal mungkin agar dapat berhasil dalam memulihkan aset negara. Oleh karena itu, tugas jaksa sebagai penyelidik hingga eksekutor putusan hakim mempunyai peran penting dalam mengembalikan aset negara hasil tindak pidana korupsi. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Kendala Kejaksaan Dalam Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, maka yang menjadi rumusan masalahnya adalah sebagai berikut: Apakah kendala-kendala yang dihadapi Kejaksaan dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi? 7 Evi Hartanti, Op.Cit., hlm. 2.

5 C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi Kejaksaan dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis: penelitian ini diharapkan berguna bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan perkembangan ilmu hukum pidana pada khususnya kendala Kejaksaan dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. 2. Manfaat Praktis: a. Bagi Kejaksaan, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi kepada Jaksa dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. b. Bagi masyarakat secara umum, supaya mengerti kendala Kejaksaan dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. c. Bagi penulis, diharapkan dengan penelitian ini bisa menambah wawasan peneliti tentang kendala Kejaksaan dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. E. Keaslian Penelitian Penelitian penulis yang berjudul Kendala Kejaksaan dalam Pengembalian Aset hasil Tindak Pidana Korupsi adalah hasil karya asli penulis. Ada tiga skripsi dengan tema yang senada yaitu:

6 1. Ronald Alex Harrison Siregar (NPM: 040508662) dari Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta tahun 2012, dengan judul penelitian Peran Jaksa Dalam Pelaksanaan Pengembalian Uang Pengganti Kerugian Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi. Dengan rumusan masalah yaitu bagaimana peran jaksa dalam pelaksanaan pengembalian uang pengganti kerugian negara akibat tindak pidana korupsi?, dan apa hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pengembalian uang pengganti kerugian negara akibat tindak pidana korupsi?. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis data tentang peran jaksa dalam pelaksanaan pengembalian uang pengganti kerugian negara akibat tindak pidana korupsi dan untuk menganalisis hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pengembalian uang pengganti kerugian negara akibat tindak pidana korupsi. Hasil penelitian yang dilakukan Ronald Alex Harrison Siregar adalah dalam waktu sebulan setelah putusan hakim berkekuatan hukum tetap, harta benda pelaku/koruptor dilelang untuk menutupi uang negara yang dikorupsi. Jika terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum pidana pokoknya. Hambatan yang dihadapi tidak ada aturan yang secara spesifik mengatur mengenai siapa yang berwenang atau ditugasi untuk menghitung kerugian negara, mekanisme eksekusi uang pengganti belum mengacu kepada satu ketentuan yang baku dan bisa dibenarkan secara hukum, gugatan perdata yang menyita waktu yang lama, dan dalam kenyataan

7 sering ada terpidana yang menghindar dari pertanggungjawaban untuk membayar uang pengganti kerugian negara dengan berbagai dalih. 2. Suryawan Purba (NPM: 050509071) dari Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta tahun 2012, dengan judul penelitian Peran Jaksa Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dan Upaya Mengembalikan Aset Negara Hasil Korupsi. Dengan rumusan masalah yaitu bagaimana peran jaksa dalam pemberantasan tindak pidana korupsi?, dan bagaimana peranan jaksa dalam upaya mengembalikan aset negara hasil korupsi?. Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk memproleh data tentang peran jaksa dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dan Untuk memproleh data tentang upaya jaksa dalam pengembalian aset Negara yang telah di korupsi. Hasil penelitian yang dilakukan Suryawan Purba adalah Fungsi jaksa sangat diharapkan berperan aktif dalam proses pegembalian kerugian negara. Dalam perkara yang di tangani oleh kejaksaan negeri kota Yogyakarta yaitu korupsi di departemen koperasi kecil dan menengah daerah istimewa Yogyakarta dalam pengenaan pidana terhadap terdakwa kurang kuat, dan dalam pengembalian aset Negara hasil korupsi jaksa dapat mengembalikan seluruh kerugian Negara akibat korupsi yang dilakukan oleh saudara Aprilanto, sehingga tidak memberikan efek jera kepada pelaku korupsi. Upaya yang dapat dilakukan oleh jaksa dalam rangka pencegahan para koruptor melarikan diri ke luar negeri langkah awal yang dilakukan oleh jaksa adalah melakukan

8 pencekalan terhadap seseorang yang masih diduga telah melakukan tindak pidana korupsi. 3. Yulius Koling Lamanau (NPM: 070509690) dari Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta tahun 2011, dengan judul penelitian Pengaruh Pengembalian Kerugian Negara Dalam Proses Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi. Dengan rumusan masalah yaitu Bagaimanakah pengaruh pengembalian kerugian negara terhadap proses penyelesaian tindak pidana korupsi?. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pengembalian kerugian negara terhadap proses penyelesaian tindak pidana korupsi. Hasil penelitian yang dilakukan Yulius Koling Lamanau adalah pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Seperti yang tertulis dalam penjelasan umum Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 dimana hal ini sangat penting untuk pembuktian, dengan rumusan secara formil dalam undang-undang ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana. Dalam praktek penegakan hukumnya pengembalian kerugian negara yang terjadi dalam tahap penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan hanya dapat berpengaruh pada penentuan jenis tahanan bagi tersangka atau terdakwa. Ketiga skripsi tersebut berbeda dengan judul penelitian yang dilakukan oleh penulis. Ronald Alex Harrison Siregar menekankan pada

9 peran jaksa dalam pelaksanaan pengembalian uang pengganti kerugian negara akibat tindak pidana korupsi, Suryawan menekankan pada peran jaksa dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan upaya mengembalikan aset negara hasil korupsi, dan Yulius Koling Lamanau menekankan pada pengaruh pengembalian kerugian negara dalam proses penyelesaian tindak pidana korupsi, sedangkan penulis menekankan pada kendala kejaksaan dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. F. Batasan Konsep Dalam Penulisan Hukum/Skripsi ini diberi batasan konsep sebagai berikut: 1. Kendala adalah faktor atau keadaan yang membatasi, menghalangi, atau mencegah pencapaian sasaran. 8 2. Kejaksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan berdasarkan undang-undang. 3. Pengembalian adalah proses, cara, perbuatan mengembalikan, pemulangan, pemulihan. 9 4. Aset adalah modal atau kekayaan. 10 5. Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang 8 http://kbbi.web.id/kendala, diakses pada 19 Desember 2016. 9 http://kbbi.web.id/kembali, diakses pada 12 September 2016. 10 Suharso dan Ana Retnoningsih, 2011, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Widya Karya, Semarang, hlm. 55.

10 yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekenomian negara. G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang dilakukan atau berfokus pada norma hukum positif berupa peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang digunakan berkaitan dengan Kendala Kejaksaan Dalam Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi. 2. Sumber Data Dalam penelitian hukum normatif, data yang digunakan berupa data sekunder, yang terdiri atas: a. Bahan hukum primer, terdiri atas: 1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 3) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

11 4) Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 5) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder terdiri atas buku, hasil penelitian, internet, fakta hukum, dan statistik dari instansi resmi. Pendapat hukum juga diperoleh melalui narasumber dari Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu Ibu Eni Kusjawati, S.H. dan Kejaksaan Negeri yaitu Ibu Mirna Asridasari, S.H. 3. Metode pengumpulan data a. Studi kepustakaan, yaitu dengan mempelajari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri atas peraturan perundangundangan, buku, hasil penelitian, internet, fakta hukum, dan statistik dari instansi resmi. b. Wawancara dengan narasumber dari Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu Ibu Eni Kusjawati, S.H. dan Kejaksaan Negeri yaitu Ibu Mirna Asridasari, S.H. Wawancara dilakukan berdasarkan pedoman wawancara yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Pedoman wawancara yang digunakan ialah pedoman wawancara secara terbuka.

12 4. Analisis Data Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang akan dianalisis sesuai dengan 5 tugas ilmu hukum normatif yaitu : a. Deskripsi hukum positif, yaitu menguraikan atau memaparkan pasalpasal sebagaimana telah disebutkan dalam bahan hukum primer. b. Sistematisasi hukum positif yaitu secara vertikal dan horisontal untuk mengetahui ada tidaknya sinkronisasi dan/atau harmonisasi diantara peraturan perundang-undangan. c. Analisis hukum positif, yaitu mengkritisi peraturan perundangundangan sebab peraturan perundang-undangan itu sistemnya terbuka. d. Interpretasi hukum positif, yaitu menafsirkan peraturan perundangundangan dengan menggunakan 3 metode interpretasi yaitu yang pertama interpretasi gramatikal adalah mengartikan terminologi hukum atau satu bagian kalimat dalam bahasa sehari-hari, kedua interpretasi sistematis yaitu menafsirkan peraturan perundang-undangan untuk menentukan ada tidaknya sinkronisasi ataupun harmonisasi, dan yang ketiga interpretasi teleologi yaitu bahwa menafsirkan tujuan adanya peraturan perundang-undangan. e. Menilai hukum positif, yaitu menemukan gagasan yang paling ideal berkaitan dengan sanksi pidana khususnya mengenai nilai keadilan dan nilai kemanusian. Langkah selanjutnya melakukan pendeskripsiaan bahan hukum sekunder untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan hukum

13 dengan melakukan perbandingan, mencari persamaan dan perbedaan dari pendapat hukum yang ada. 5. Proses Berfikir Proses berfikir dalam menarik kesimpulan adalah dengan menggunakan proses secara deduktif, yaitu proses penyimpulan dari pengetahuan yang bersifat umum yang digunakan menilai suatu kejadian yang bersifat khusus. Dalam hal ini berkaitan dengan peraturan perundang-undangan mengenai kendala kejaksaan dalam pengembalian aset dan yang khusus berupa kendala kejaksaan dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. H. Sistematika Penulisan Hukum/Skripsi BAB I: PENDAHULUAN Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, batasan konsep, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum/skripsi. BAB II: PEMBAHASAN Bab ini berisi konsep/variabel pertama yaitu Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Korupsi, membahas mengenai Pengertian Tindak Pidana Korupsi, Ciri-Ciri, Sifat, Bentuk, dan Jenis dari Korupsi, dan Faktor-Faktor Tindak Pidana Korupsi. Konsep/variabel kedua yaitu Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan, variabel ini membahas mengenai Pengertian Kejaksaan, Tugas dan

14 Wewenang Kejaksaan, dan Kewenangan Jaksa dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi. Bab ini membahas mengenai rumusan masalah yaitu Kendala Kejaksaan Dalam Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi. BAB III: PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian.