BAB 1 PENDAHULUAN. dengan jalan memeriksa dan penalaran dari hakim. 1 Pembuktian dalam

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses peradilan yang sesuai dengan prosedur menjadi penentu

BAB I PENDAHULUAN. telah berusia 17 tahun atau yang sudah menikah. Kartu ini berfungsi sebagai

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. memutus perkara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB I PENDAHULUAN. terlihat pada ujud pidana yang termuat dalam pasal pasal KUHP yaitu

I. PENDAHULUAN. saling mempengaruhi satu sama lain. Hukum merupakan pelindung bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I. Hakim sebagai salah satu penegak hukum bertugas memutus perkara yang. diajukan ke Pengadilan. Dalam menjatuhkan pidana hakim berpedoman pada

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia merupakan Negara Hukum yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum, hal ini telah dinyatakan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap bangsa mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak merupakan genersi penerus bangsa di masa yang akan datang,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. kematian dan cedera ringan sampai yang berat berupa kematian.

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Pidana (KUHAP) adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupan bermasyarakat sering terjadi kekacauan-kekacauan,

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Hal ini dapat dibuktikan dalam Pasal

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. seluruh rakyat Indonesia. Setelah adanya Keputusan Konferensi Dinas Para

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang dan peraturan serta ketentuan-ketentuan lain yang berlaku di

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

BAB I PENDAHULUAN. negara harus berlandaskan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka

BAB I PENDAHULUAN. menetapkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum, dimana salah satu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. berkembang secara optimal baik fisik, mental maupun sosial, untuk. mewujudkannya diperlukan upaya perlindungan terhadap anak.

METODE PENELITIAN. dengan seksama dan lengkap, terhadap semua bukti-bukti yang dapat diperoleh

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

BAB I PENDAHULUAN. maraknya penggunaan media elektronik mulai dari penggunaan handphone

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap anggota masyarakat selalu

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan dari segi kualitas dan kuantitas. Kualitas kejahatan pada

BAB I PENDAHULUAN. dapat diungkap karena bantuan dari disiplin ilmu lain. bantu dalam penyelesaian proses beracara pidana sangat diperlukan.

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN. tidak mendapat kepastian hukum setelah melalui proses persidangan di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan. Salah satu ciri negara hukum Indonesia yaitu adanya. yang bertugas mengawal jalannya pemeriksaan sidang pengadilan.

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam pergaulan di tengah kehidupan masyarakat dan demi kepentingan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pengemis merupakan salah satu golongan masyarakat yang harus

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembuktian adalah usaha untuk memperoleh kepastian yang layak dengan jalan memeriksa dan penalaran dari hakim. 1 Pembuktian dalam hukum acara pidana dikenal dengan adanya teori pembuktian negatif atau teori negative-wettelijke. Teori pembuktian negatif atau teori negativewettelijke memiliki pengertian bahwa sistem pembuktian pada persidangan pidana yang digunakan oleh hakim sebagai pertimbangan dalam memutuskan suatu perkara didasarkan pada alat bukti yang ditentukan oleh Undang- Undang dan keyakinan seorang hakim. Dasar hukum diatur dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa: 2 seorang hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dalam ketentuan pada Pasal 183 KUHAP disebutkan bahwa seorang hakim tidak dapat membuktikan kebenarannya berdasarkan kebenaran formil, melainkan hakim harus membuktikan suatu perkara dengan kebenaran materiil. Kebenaran materiil merupakan kebenaran yang di dapatkan dengan keaktifan seorang hakim dalam mencari kebenaran berdasarkan fakta yang 1 Al. Wisnubroto, dalam Handout Hukum Acara Pidana, Yogyakarta, hlm. 18. 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dalam KUHP & KUHAP beserta penjelasannya, Bandung, Citra Umbara, hlm. 241. 1

2 ada sebenarnya di persidangan, bukan berdasarkan apa yang dijelaskan oleh jaksa penuntut umum ataupun penasehat hukum terdakwa. Di samping alat bukti yang ada, harus ada juga keyakinan hakim sebagai pembuktian materiil, apabila dari keterangan saksi kurang meyakinkan dan tidak ada data/bukti valid. Dalam memutus suatu perkara di persidangan seorang hakim membutuhkan beberapa keterangan dari para saksi dan alat bukti lainnya. Hakim tidak dapat menilai alat bukti benar atau salah jika hanya didasarkan pada keterangan saksi saja. Hakim berhak meminta alat bukti lain, selain dari keterangan yang diberikan oleh saksi dalam persidangan. Jika keterangan saksi dianggap palsu, maka seorang hakim wajib menilai pembuktian dengan keyakinannya sebagai hakim. Dengan adanya alat bukti lain dan keyakinan hakim maka hakim dapat menyusun putusan atas suatu perkara. Hakim harus benar-benar yakin dalam mempertimbangkan putusan yang akan dijatuhkan terhadap terdakwa. Apabila dalam keyakinan seorang hakim tidak tegas dan terkesan ragu-ragu, maka akan mempengaruhi putusan yang di jatuhkan terhadap terdakwa. Dampak yang di timbulkan adalah hakim dianggap tidak bertanggung jawab atas perkara yang di berikan kepadanya dan hasil putusannya tidak memiliki nilai keadilan. Karena, seorang hakim hendaklah membuktikan dalam putusannya bahwa terdakwa benar-benar bersalah atas apa yang telah dilakukan oleh terdakwa.

3 Tugas dan kewajiban seorang hakim diatur dalam Pasal 27 Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang berisikan bahwa: 3 (1) Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam hal pertimbangan berat ringannya pidana. (2) Hakim wajib halnya dalam memperhatikan sifat-sifat yang baik dan yang jahat dari tertuduh. Hakim membutuhkan adanya alat bukti dalam pembuktian perkara, alat bukti yang sah ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah penting digunakan dalam sistem peradilan pidana. Keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk memberikan keterangan mengenai peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berisikan bahwa: 4 Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang dengar sendiri, lihat sendiri dan alami sendiri. Dalam ketentuan Pasal 174 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berisikan bahwa: 5 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, hlm. 10. 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dalam KUHP & KUHAP beserta penjelasannya, Bandung, Citra Umbara, hlm. 186. 5 Ibid, hlm. 238.

4 (1) apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu. (2) apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu. Dalam ketentuan Pasal 242 KUHP mengenai sumpah palsu dan keterangan palsu diatur bahwa: 6 (1) Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (2) Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Berdasarkan penjelasan diatas, pada tahun 2009 di daerah Blitar, Jawa Timur terdapat kasus dengan nomor perkara 12/Pid.B/2011/PN.Blt tentang pemberian keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan yang diberikan dalam perkara pidana yang merugikan terdakwa, yang dilakukan oleh saksi Subagio. Saksi dianggap telah melanggar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 242 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam putusannya hakim menjatuhkan putusan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan terhadap terdakwa. Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah diatas maka penulis tertarik meneliti tentang METODE YANG DAPAT DIGUNAKAN HAKIM UNTUK MENILAI KETERANGAN SAKSI DI PERSIDANGAN. 6 Ibid, hlm. 82.

5 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan, maka di rumuskan rumusan masalah adalah: Bagaimanakah Metode Yang Dapat Digunakan Hakim Untuk Menilai Keterangan Saksi Di Persidangan Yang Diduga Palsu? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah metode yang dapat digunakan hakim untuk menilai keterangan saksi di persidangan. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat dari segi teoritis dan praktis. 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan secara khusus mengenai hukum acara pidana, khususnya pada bagaimanakah metode yang dapat digunakan hakim untuk menilai keterangan saksi di persidangan yang diduga palsu. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: a. Hakim, agar dalam memberikan putusan sesuai dengan keyakinan yang dimiliki sebagai seorang hakim dan alat bukti lain. Karena, hakim dianggap memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, dan adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.

6 b. Saksi, agar dalam memberikan kesaksian sesuai dengan apa yang ia alami, ia dengar, dan ia lihat dengan sendiri dan tidak mengada-ada dalam memberikan keterangannya. c. Masyarakat, agar menjadi masukkan untuk lebih menghormati proses jalannya persidangan dan lebih memahami dampak yang dapat ditimbulkan atas tindakan pemberian keterangan palsu baik secara lisan maupun tulisan ketika ditunjuk sebagai saksi di pengadilan. d. Penulis, diharapkan penulisan hukum ini dapat menambah pengetahuan penulis khususnya mengenai bagaimana metode yang dapat digunakan hakim untuk menilai keterangan saksi di persidangan yang diduga palsu. E. Keaslian Penelitian Penulisan skripsi dengan judul metode yang dapat digunakan hakim untuk menilai keterangan saksi di persidangan, merupakan karya asli penulis. Penulisan ini bukan merupakan plagiasi dari skripsi yang pernah ada. Ada beberapa skripsi dengan tema yang senada, yaitu: 1. Efrem Luxiano Lado Leba, NPM 050509125, Fakultas Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Tahun 2013, dengan judul skripsi Keyakinan Hakim Berdasarkan Alat Bukti Yang Cukup Untuk Menjatuhkan Sanksi Pidana Dalam Tindak Pidana KDRT. Rumusan masalahnya adalah bagaimana hakim memperoleh keyakinan dalam menjatuhkan sanksi pidana berdasarkan alat bukti yang cukup dalam tindak pidana Kekerasan Dalam

7 Rumah Tangga dan apa saja yang menjadi hambatan bagi hakim dalam memperoleh keyakinan dalam menjatuhkan sanksi pidana berdasarkan alat bukti yang cukup dalam tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Hasil penelitiannya adalah dalam memperoleh keyakinan hakim, hakim harus mendasarkan keyakinannya pada keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa yang merupakan alat bukti yang sah menurut KUHAP. Hambatan bagi hakim berasal dari keterangan saksi yang sering tidak tuntas di depan persidangan karena berbagai alasan seperti alasan norma, selain itu hambatan terbesar berasal dari saksi korban itu sendiri dalam hal ini seorang istri. 2. Silvia Wulan Apriliani, 8111411149, Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang, Tahun 2015, dengan judul skripsi Peran Keterangan Saksi Sebagai Alat Bukti Dalam Proses Peradilan Pidana (Studi Pada Pengadilan Negeri Ungaran). Rumusan masalah yang diangkat oleh penulis adalah bagaimana peranan keterangan saksi sebagai alat bukti dalam proses peradilan pidana di Pengadilan Negeri Ungaran. Hasil penelitiannya adalah putusan hakim tidak dipengaruhi oleh keterangan saksi yang berbeda antara Berita Acara Pemeriksaan di penyidikan dengan keterangan saksi yang diberikan di persidangan. Dalam teori pembuktian menurut undang-undang negatif merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan seorang terdakwa yaitu alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang dan adanya keyakinan (nurani) dari hakim, sehingga berdasarkan bukti-bukti tersebut hakim yakin akan kesalahan seorang

8 terdakwa. Antara alat-alat bukti dengan keyakinan yang dimiliki hakim harus ada hubungan sebab-akibat yang nantinya putusan bisa dipertanggungjawabkan. Kedua skripsi tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan penulis. Jika Efrem Luxiano Lado Leba menekankan tentang Keyakinan Hakim Berdasarkan Alat Bukti Yang Cukup Untuk menjatuhkan Sanksi Pidana Dalam Tindak Pidana KDRT, Silvia Wulan Apriliani pada Peran Keterangan Saksi Sebagai Alat Bukti Dalam Proses Peradilan Pidana ( Studi pada pengadilan Negeri Ungaran), maka penulis lebih menekankan pada metode yang dapat digunakan hakim untuk menilai keterangan saksi di persidangan yang diduga palsu. F. Batasan Konsep berikut: Sesuai dengan judul dalam penelitian ini, maka batasan konsep sebagai 1. Metode adalah cara sistematis dan terpikir secara baik untuk mencapai tujuan. 2. Keyakinan Hakim adalah dasar pengetahuan hakim yang memadai untuk mendapatkan pemahaman yang menyeluruh dalam menghayati kebebasannya dalam keseluruhan tugas interpretatifnya saat memeriksa dan memutus suatu kasus.

9 3. Keterangan Palsu adalah keterangan yang tidak didasarkan pada kenyataan atau yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, ia alami sendiri mengenai suatu peristiwa dan terkesan mengada-ngada diberikan oleh saksi. 4. Persidangan menurut Rocky Marbun, S.H., M.H mengartikan peradilan pidana sebagai tempat pengujian dan penegakan hak-hak asasi manusia dan keadilan memiliki ciri khusus, yaitu terdiri dari sub-sub sistem yang merupakan kelembagaan yang berdiri sendiri-sendiri, tetapi harus bekerja secara terpadu agar dapat menegakkan hukum sesuai dengan harapan masyarakat pencari keadilan 5. Saksi berdasarkan Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengartikan Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian hukum yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif. Fokus penelitian ini berdasarkan pada peraturan perundang-undangan mengenai metode yang dapat digunakan hakim untuk menilai keterangan saksi di persidangan yang diduga palsu. Data yang dipergunakan merupakan data sekunder, dengan proses berpikir secara deduktif

10 2. Sumber Data Dalam penelitian hukum normatif berupa data sekunder, terdiri atas: a. Bahan Hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kajian metode yang dapat digunakan hakim untuk menilai keterangan saksi di persidangan yang diduga palsu, sebagai berikut: 1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, dalam bab XA Pasal 28E ayat (2), dan Pasal 28J ayat (2) perihal Hak Asasi Manusia dan Bab IX Pasal 24 ayat (2), dan Pasal 24A ayat (2) perihal Kekuasaan Kehakiman; 2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Aturan Hukum Pidana, dalam Bab IX Pasal 242 yang mengatur tentang Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu. 3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 185 yang mengatur mengenai keterangan saksi di sidang. 4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 5 ayat (1), (2), (3) tentang Kekuasaan Kehakiman. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder merupakan pendapat hukum dan non hukum yang diperoleh melalui literatur, jurnal, dan hasil penelitian.

11 Pendapat hukum juga diperoleh dari narasumber yaitu Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta, Hakim Pengadilan Negeri Sleman, Kejaksaan Negeri Sleman, dan Ahli Hukum Pidana. 3. Cara Pengumpulan Dara a. Studi Kepustakaan Studi Kepustakaan, yaitu dengan membaca, menelaah serta mengklasifikasikan peraturan perundang-undangan, literatur, jurnal, dan hasil penelitian. b. Wawancara Wawancara dilakukan terhadap narasumber dengan mengajukan pertanyaan yang sudah disusun sebelumnya secara sistematis yang sudah disusun sebelumnya secara sistematis mengenai permasalahan hukum penerapan hukum dengan KUHP dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dalam memperoleh keyakinan hakim dengan memfokuskan pada teori yang ada, mendasar pada peraturan yang terkait dan membandingkan kasus dengan kasus yang lainnya. Wawancara menggunakan bentuk pertanyaan terbuka yaitu peneliti tidak menyiapkan jawabannya, tetapi jawaban sepenuhnya diserahkan kepada narasumber. Wawancara akan dilakukan pada: a. Agus Nazarudinsyah, S.H, selaku Hakim di Pengadilan Negeri Yogyakarta.

12 b. Ikha Tina, S.H., M.HUM, selaku Hakim di Pengadilan Negeri Sleman. c. Andy Nugraha, S.H., M. Hum, selaku Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Sleman. d. Pakar Hukum Pidana, Dr. G. Widiartana, S.H., M. Hum. Selaku ahli hukum pidana di Fakultas Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta. 4. Analisis Data Analisis dilakukan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer dianalisis dengan menggunakan lima tugas ilmu hukum normatif yaitu: a. Deskriptif hukum positif, merupakan peraturan perundang-undangan mengenai pasal-pasal yang terkait dengan bahan hukum primer mengenai metode yang dapat digunakan hakim untuk menilai keterangan saksi di persidangan yang diduga palsu. b. Sistematisasi hukum positif, dilakukan secara vertikal, pasal-pasal yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan sesuai bahan hukum primer tidak ada antinomi, dalam hal ini terdapat sinkronisasi. Prinsip penalaran hukum yang digunakan adalah subsumsi sehingga tidak diperlukan asas peraturan perundang-undangan. Secara horizontal, sudah terdapat harmonisasi antara pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945, Kitab Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Aturan Hukum

13 Pidana, Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. c. Analisis hukum positif, peraturan perundang-undangan sifatnya open sistem dapat dievaluasi dan dikaji dan bertumbu pada asas hukum. d. Intrepretasi hukum positif, Intrepretasi dalam penelitian ini menggunakan intrepretasi gramatikal yaitu, mengartikan bagian kalimat menurut bahasa sehari-hari/hukum; intrepretasi sistemasisasi yaitu mendasarkan sistem aturan untuk menentukan ada tidaknya sinkronisasi dan harmonisasi; intrepretasi teleologi yaitu bahwa peraturan perundang-undangan mempunyai tujuan tertentu. e. Menilai hukum positif, Penilaian yang dilakukan oleh penulis berdasarkan perihal kebenaran dan keyakinan seorang hakim dalam menyusun keyakinannya hingga menjadi putusan. Bahan hukum sekunder berupa pendapat hukum dari jurnal, buku, dan hasil penelitian serta pendapat narasumber di deskripsikan, dicari persamaan dan perbedaan pendapat, sehingga diperoleh pengertian mengenai kebenaran dan keyakinan seorang hakim dalam memberikan penilaian dan menyusun metode terhadap keterangan seorang saksi di sidang yang diduga palsu. 5. Proses Berpikir, Proses berpikir dilakukan secara deduktif yaitu bertolak dari proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui (diyakini/aksiomatik) dan berakhir pada kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat khusus. Dalam hal

14 ini yang umum merupakan peraturan perundang-undangan mengenai metode yang dapat digunakan hakim untuk menilai keterangan saksi di persidangan yang diduga palsu di Pengadilan Negeri Yogyakarta, dan Pengadilan Negeri Sleman. H. Sistematika Penulisan Hukum Sistematika skripsi meliputi: 1. BAB I: PENDAHULUAN Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, batasan konsep, metode penelitian, sistematika penulisan hukum/skripsi. 2. BAB II: PEMBAHASAN Bab ini berisi konsep atau variabel pertama, yakni: tinjauan umum tentang pembuktian yang berisi: pembuktian dalam perkara pidana, alat bukti dalam perkara pidana, keyakinan hakim dalam penjatuhan putusan. konsep atau variabel kedua, yakni: penilaian hakim dalam hal adanya kesaksian palsu yang berisi: penilaian hakim terhadap keterangan saksi, penilaian hakim terhadap kesaksian palsu. Hasil penelitian yakni: analisis kasus dalam putusan pengadilan negeri blitar dengan nomor: 12/Pid.B/2011/PN.Blt. 3. BAB III: PENUTUP Bab ini berisi tentang kesimpulan yang didapat melalui proses analisis mengenai permasalahan yang diangkat disertai saran dari penulis.