BAB II LANDASAN TEORI. Menurut ditetapkannya Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

BAB II LANDASAN TEORI. untuk pengeluran umum (Mardiasmo, 2011; 1). menutup pengeluaran-pengeluaran umum (Ilyas&Burton, 2010 ; 6).

Subbag Hukum BPK Perwakilan Provinsi Sumatera Selatan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2001 TENTANG RETRIBUSI DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II LANDASAN TEORI. keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, pendapatan asli daerah didefinisikan

Hubungan Keuangan antara Pemerintah Daerah-Pusat. Marlan Hutahaean

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS. bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Mardiasmo, 2009:21). digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

NOMOR 34 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1997 PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

PEMUNGUTAN PAJAK PARKIR DAN RETRIBUSI PARKIR OLEH PEMERINTAH DAERAH

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah harus mengupayakan agar

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat. Semakin besar jumlah penduduk maka semakin. jawab pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah harus mengupayakan agar

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III RETRIBUSI DAERAH. Undang Nomor 28 Tahun 2009 sebagai perubahan Undang-Undang Nomor 34

PROVINSI JAWA TENGAH

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG BAGI HASIL PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH UNTUK DESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DATA ISIAN SIPD TAHUN 2017 BPPKAD KABUPATEN BANJARNEGARA PERIODE 1 JANUARI SAMPAI DENGAN 8 JUNI 2017

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam pemerintahan suatu negara, pemerintah mempunyai peran dalam perekonomiannya.

BUPATI DUS BUPATI KUDUS PROVINSI JAWA TENGAH

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS. yang menyelenggarakan pemerintahan (Waluyo, 2007: 2) untuk memelihara kesejahteraan secara langsung.

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk. membayar pengeluaran umum (Mardiasmo, 2011).

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2001 TENTANG RETRIBUSI DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI PAJAK. Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com

BUPATI KUDUS PROVINSI JAWA TENGAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2016 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN TENTANG PEMERINTAH DAERAH DAN PENDAPATAN ASLI DAERAH

NOMOR 34 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1997 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

PENGANTAR PERPAJAKAN. Amanita Novi Yushita, M.Si

4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan

II. TINJAUAN PUSTAKA. administrasi dan fungsi Pemerintah di daerah yang dilaksanakan oleh

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal

I. PENDAHULUAN. Proses desentralisasi pemerintahan yang dilakukan oleh Pemerintah. daerah memberikan konsekuensi terhadap Pemerintah Daerah untuk

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2001 TANGGAL 13 SEPTEMBER 2001 TENTANG RETRIBUSI DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sedangkan pengertian pajak menurut Marihot P. Siahaan (2010:7) adalah: 1. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara.

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS

PERATURAN WALIKOTA CILEGON NOMOR 43 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 TENTANG RETRIBUSI DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RETRIBUSI TERMINAL SEBAGAI SALAH SATU SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN/KOTA. Oleh. Zainab Ompu Zainah ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. pusat dan daerah, bahwa pembangunan daerah sebagai bagian integral dari

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 TENTANG RETRIBUSI DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ketentuan Formal Retribusi Daerah MATA KULIAH PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS INDONESIA

BAB II LANDASAN TEORI

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 20 TAHUN 2016 PENJABARAN PERUBAHAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. disetujui masyarakat melalui perwakilannya di dewan perwakilan, dengan

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi yang dibarengi dengan pelaksanaan otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan suatu daerah otonom dapat berkembang sesuai dengan kemampuan

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2015 NOMOR 3 SERI E

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSATAKA. Menurut Moekijat (1989:194), ciri-ciri prosedur meliputi : tidak berdasarkan dugaan-dugaan atau keinginan.

BAB II BAHAN RUJUKAN

BUPATI KUDUS PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Andriani dalam bukunya Waluyo (2009: 2) menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan ekonomi daerah khususnya pemerintah kota merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan menggali sumber-sumber daya yang ada di setiap daerah untuk

P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2000 T E N T A N G

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian pajak menurut Undang Undang Nomor 16 Tahun keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

BAB II BAHAN RUJUKAN

P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2000 T E N T A N G

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kontra-prestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran

BAB I PENDAHULUAN. langsung berhubungan dengan teori keahlian yang diterima diperkuliahan. Praktik

yang tidak perlu, mendorong kemampuan prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah dan masyarakat daerah dalam mengejar kesejahteraan, walau dalam

TINJAUAN HUKUM MEKANISME PENGELOLAAN PAJAK HOTEL DAN PAJAK RESTORAN.

Yerni Pareang Alumni Fakultas Ekonomi Universitas Balikpapan. Yudea Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Balikpapan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB III KONTRIBUSI PENDAPATAN PAJAK PARKIR TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH DI DINAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAN ASET DAERAH KOTA SEMARANG

PEMUTAKHIRAN DATA PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH DIREKTORAT PENDAPATAN DAERAH DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DAERAH KEMENTERIAN DALAM NEGERI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tahun 2009 dalam pasal 1 angka 1, sebagai berikut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga

BAB III ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. mengurus keuangannya sendiri dan mempunyai hak untuk mengelola segala. sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat setempat.

PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA KUASA

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KOTA BONTANG NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PENETAPAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KOTA BONTANG TAHUN ANGGARAN 2001

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pendapatan Daerah Menurut ditetapkannya Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menetapkan bahwa penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan daerah yang dimaksud tersebut dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 dikelompokan menjadi tiga kelompok sebagai berikut 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) a. Pajak Daerah b. Retribusi Daerah c. Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan d. Lain-lain PAD yang sah, meliputi : 1) Hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan 2) Jasa giro 3) Pendapatan bunga; 4) Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing 5) Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah. 2. Dana Perimbangan a. Dana Bagi Hasil; 8

b. Dana Alokasi Umum dan c. Dana Alokasi Khusus. 3. Pinjaman Daerah, bersumber dari : a. Pemerintah b. Pemerintah Daerah lain c. Lembaga keuangan bank d. Lembaga keuangan bukan bank; dan e. Masyarakat. 4. Lain-Lain Pendapatan, meliputi : a. Pendapatan hibah dan b. Pendapatan Dana Darurat. II.1.1 Pendapatan Asli Daerah Menurut ditetapkannya Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menetapkan bahwa penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan asli daerah didefinisikan sebagai pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan perundang-undangan. Hanif (2011) juga menyebutkan bahwa pendapatan asli daerah adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. 9

II.1.2 Jenis Pendapatan Asli Daerah Dalam Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, pada bab V (lima) nomor 1 (satu) disebutkan bahwa pendapatan asli daerah bersumber dari: a. Pajak Daerah Pajak daerah adalah kontribusi wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Pajak merupakan sumber keuangan pokok bagi daerah disamping retribusi daerah. (Mardiasmo, 2009). b. Retribusi Daerah Retribusi daerah adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. (Ida Zuraida,S.H, 2011) c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan antara lain bagian laba, deviden dan penjualan saham milik daerah (Hanif 2011) d. Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah meliputi: 1. Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan 2. Jasa giro 3. Pendapatan bunga 4. Keuntungan adalah nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing 10

5. Komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh pemerintah (Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004). II.2 Pajak Daerah II.2.1 Pengertian Pajak Dalam buku Perpajakan, Mardiasmo (2009:1) definisi pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH : Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra-prestasi) yang langsung dapat ditujukan dan yang digunakan untuk pengeluran umum II.2.2 Jenis Pajak Mengacu pada pendapat Wirawan B Ilyas, Richard Burton (2010), Pajak digolongkan kedalam tiga tinjauan yaitu, menurut sifatnya, sasaran/objeknya dan menurut lembaga pemungutannya. 1. Menurut Sifatnya a. Pajak Langsung Yaitu Pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak (WP) dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Penghasilan. b. Pajak Tidak Langsung Yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai 11

2. Menurut Sasaran/Objeknya a. Pajak Subyektif Yaitu Pajak yang dikenakan dengan pertama-tama memperhatikan keadaan pribadi WP (subjeknya). Setelah diketahui keadaan subjeknya barulah diperhatikan keadaan objektifnya sesuai gaya pikul, apakah dapat dikenakan pajak atau tidak. Contoh : Pajak Penghasilan. c. Pajak Obyektif Yaitu Pajak yang berpangkal pada obyeknya tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah 3. Menurut Lembaga Pemungutannya a. Pajak Pusat Yaitu Pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen Keuangan. Direktorat Jenderal Pajak. Hasil dari pemungutan pajak pusat dikumpulkan dan dimasukkan sebagai bagian dari penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Materai. 12

b. Pajak Daerah Yaitu Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah dan dimasukkan sebagai bagian dari penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pajak Daerah dibagi menjadi dua bagian: 1. Pajak Daerah Tingkat I (Provinsi) Contoh : Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. 2. Pajak Daerah Tingkat II (Kabupaten/kota) Contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan, Pajak Reklame. II.2.3 Pengertian Pajak Daerah Mengacu pada pendapat Mardiasmo (2009), Pajak daerah adalah kontribusi wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Pajak merupakan sumber keuangan pokok bagi daerah disamping retribusi daerah. Pajak Daerah termasuk jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah yang dalam pelaksanaan sehari-hari dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda). Hasil dari pemungutan pajak daerah dikumpulkan dan dimasukkan sebagai bagian dari penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Sesuai UU No.18 13

Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan retribusi Daerah yang dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah. II.2.4 Jenis-jenis Pajak Daerah Mengacu pada pendapat Wirawan B. Ilyas, Richard Burton (2010) Menurut Undang- Undang Nomor 28 tahun 2009 jenis pajak daerah digolongkan sebagai berikut : 1. Pajak Provinsi a. Pajak Pajak Kendaraan Bermotor adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor. b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha. c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor. d. Pajak Air Permukaan adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan. e. Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah. 2. Pajak Kabupaten/Kota a. Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel. b. Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran. c. Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. d. Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame. 14

e. Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain. f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan. g. Pajak Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor. h. Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. i. Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung wallet. j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Dan k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. II.2.5 Surat-surat yang berhubungan dengan pemungutan Pajak Daerah menurut Peraturan Daerah Nomor 12 tahun 2008 1. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disebut SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan Perhitungan 15

dan/atau Pembayaran Pajak, obyek pajak, dan/atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. 2. Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disebut SKPD adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak. 3. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disebut SKPDKB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar. 4. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disebut SKPDKBT adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang ditetapkan. 5. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang lebih lanjut di singkat SKPDN adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. 6. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang lebih lanjut disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar dari pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang. 7. Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disebut STPD adalah surat untuk melakukan Tagihan Pajak dan/atau sanksi Administrasi berupa bunga dan/atau denda. 16

II.3. Retribusi Daerah II.3.1 Pengertian Retribusi Daerah Menurut Ida Zuraida,S.H (2011:85) Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Karakteristik pemungutan retribusi daerah adalah sebagai berikut. 1. Dapat dipungut apabila ada jasa yang disediakan pemerintah daerah dan dinikmati oleh orang atau badan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 2. Pihak yang membayar retribusi daerah mendapatkan imbalan atau jasa secara langsung dari pemerintah daerah. 3. Wajib retribusi yang tidak memenuhi kewajiban pembayarannya dapat dikenakan sanksi ekonomis. Artinya, apabila yang bersangkutan tidak memenuhi kewajiban tersebut maka yang bersangkutan tidak memperoleh jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah. 4. Hasil penerimaan retribusi daerah disetorkan ke kas daerah. 5. Digunakan untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan daerah. Dasar Hukum yang terkait untuk pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah Undang-Undang No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No.34 Tahun 2000 dan yang terakhir dengan Undang-Undang No.28 Tahun 2009. 17

II.3.2 Jenis Retribusi Daerah Mengacu pada pendapat Mardiasmo (2009), Jenis Retribusi Daerah dibagi menjadi tiga golongan, yaitu: 1. Retribusi Jasa Umum Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan Kriteria-kriteria sebagai berikut: a. Retribusi Jasa Umum bersifat bukan pajak dan bersifat bukan Retribusi Jasa Usaha atau Retribusi Perizinan Tertentu; b. Jasa yang bersangkutan merupakan kewenangan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi; c. Jasa tersebut memberi manfaat khusus bagi orang pribadi yang diharuskan membayar retribusi, disamping untuk melayani kepentingan dan kemanfaatan umum; d. Jasa tersebut layak untuk dikenakan retribusi; e. Retribusi tidak bertentangan dengan kebijakan nasional mengenai penyelenggaraannya; f.. Retribusi dapat dipanggul secara efektif dan efisien, serta merupakan salah satu sumber pendapatan dareah yang potensial ; dan g. Pemungutan retribusi memungkinkan penyediaan jasa tersebut dengan tingkat dan atau kualitas pelayanan yang lebih baik. Jenis-jenis Retribusi Jasa Umum adalah: 1. Retribusi Pelayanan Kesehatan; 2. Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan; 18

3. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akte Catatan Sipil; 4. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat; 5. Retribusi Pelayanan Parkir ditepi jalan umum; 6. Retribusi Pelayanan Pasar; 7. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor; 8. Retribusi pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran 9. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta; 10. Retribusi Pengujian Kapal Perikanan. 2. Retribusi Jasa Usaha Retribusi Jasa Usaha ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan kriteriakriteria sebagai berikut: a. Retribusi Jasa Usaha bersifat bukan pajak dan bersifat bukan Retribusi Jasa Umum atau Retribusi Perizinan Tertentu; b. Jasa yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat komersial yang seyogyanya disediakan oleh sektor swasta tetapi belum memadai atau terdapatnya harta yang dimiliki/dikuasai daerah yang belum dimanfaatkan secara utuh oleh Pemerintah Daerah. Jenis Retribusi Jasa Usaha adalah: 1. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah 2. Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan 3. Retribusi Tempat pelelangan 4. Retribusi Terminal 5. Retribusi Tempat khusus Parkir 6. Retribusi Tempat penginapan/pesanggrahanan/villa 19

7. Retribusi Penyedotan Kakus 8. Retribusi Rumah Potong Hewan 9. Retribusi Pelayanan Pelabuhan Kapal 10. Retribusi Tempat Rekreasi dan Olah raga 11. Retribusi Penyebrangan diatas air 12. Retribusi Pengelolaan Limbah Cair 13. Retribusi Penjualan Produksi Daerah 3. Retribusi Perizinan Tertentu Retribusi Perizinan Tertentu ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan Kriteria-kriteria sebagai berikut: a. Perizinan tersebut termasuk kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi b. Perizinan tersebut benar-benar diperlukan guna melindungi kepentingan umum dan c. Biaya yang menjadi beban daerah dalam penyelenggaraan izin tersebut dari biaya untuk menanggulangi dampak negatif dari perizinan tersebut cukup besar sehingga layak dibiayai dari retribusi perizinan. Jenis Retribusi Perizinan tertentu adalah: 1. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan 2. Retribusi Tempat Penjualan Minuman Beralkhol 3. Retribusi Izin Gangguan 4. Retribusi Izin Trayek. 20

II.3.3 Objek Retribusi Daerah Masih mengacu pada pendapat Mardiasmo (2009) Objek Retribusi Daerah terdiri dari: 1. Jasa Umum, yaitu berupa pelayanan yang disediakan atau diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemnafaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. 2. Jasa Usaha, yaitu berupa pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial. 3. Perizinan Tertentu, yaitu kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindugi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. II.3.4 Nama, Objek, dan Subjek Retribusi Daerah Mengacu pada pendapat Ida Zuraida,S.H (2011) pemungutan retribusi dilakukan secara official assessment, artinya penetapan retribusi yang terutang ditetapkan oleh fiskus. Adapun pemungutan retribusi daerah sesuai Pasal 156 ayat (1) UU PDRD harus berdasarkan Peraturan Daerah dan ketentuan tersebut tidak berlaku surut. Menurut Pasal 156 ayat (3) UU PDRD mengatur muatan tentang retribusi Daerah paling sedikit mengatur ketentuan mengenai: a. Nama, objek, dan subjek retribusi; b. Golongan retribusi; c. Cara mengukur tingkat penggunaan jasa yang bersangkutan; d. Prinsip yang dianut dalam penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi; 21

e. Struktur dan besarnya tarif retribusi; f. Wilayah pemungutan; g. Penentuan pembayaran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran; h. Sanksi administratif i. Penagihan; j. Penghapusan piutang retribusi yang kadaluwarsa; dan k. Tanggal mulai berlakunya Judul Peraturan Daerah harus sesuai dengan nama yang dicantumkan dalam pasal 110 UU PDRD untuk retribusi jasa umum, Pasal 127 UU PDRD untuk retribusi jasa usaha, dan Pasal 141 UU PDRD untuk retribusi perizinan tertentu. Demikian pula mengenai objek retribusi harus desesuaikan dengan rumusan yang ada ada dalam UU PDRD. Misalnya, objek retribusi pelayanan kesehatan di Pukesmas, Balai Pengobatan, Rumah Sakit Umum Daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan pendaftaran. Ketentuan lain yang perlu diperhatikan dalam rumusan Peraturan Daerah adalah ketentuan mengenai pengecualian terhadap tiap objek retribusi. Ketentuan pengecualian harus dicantumkan secara tegas dalam rumusan Peraturan Daerah. Pengecualian yang dimuat harus sesuai dengan UU PDRD. Subjek Retribusi Daerah sebagai berikut: 1. Retribusi Jasa umum adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/ menikmati pelayanan jasa umum yang bersangkutan 2. Retribusi Jasa Usaha adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/ menikmati pelayanan jasa usaha yang bersangkutan. 22

3. Retribusi Perizinan Tertentu adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh izin tertentu dari Pemerintah Daerah. II.3.5 Penetapan Tarif Retribusi Daerah Masih mengacu pada pendapat Ida Zuraida,S.H (2011) Prinsip dan sasaran Penetapan Tarif Jenis Retribusi Daerah 1. Retribusi Jasa Umum, berdasarkan kebijakan daerah dengan mempertimbang kan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, dan aspek keadilan. 2. Retribusi Jasa Usaha, berdasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak sebagaimana keuntungan yang pantas diterima oleh pengusaha swasta sejenis yang beroperasi secara efisien dan berorientasi pada harga pasar. 3. Retribusi Perizinan tertentu, berdasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. Besarnya retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif retribusi. Tingkat penggunaan jasa adalah jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan apabila tingkat penggunaanjasa sulit diukur maka tingkat penggunaan jasa dapat ditaksir berdasarkan rumus yang dibuat oleh Pemerintah Daerah. Rumus tersebut harus mencerminkan beban yang dipikul oleh Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan jasa tersebut. Selanjutnya, tarif retribusi adalah nilai rupiah atau persentase tertentu yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi yang terutang. Tarif retribusi 23

tersebut dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan retribusi. Dalam Peraturan Daerah harus diatur mengenai peninjauan kembali tarif retribusi sebagaimana diuraikan diatas paling lama 3 (tiga) tahun sekali. Peninjauan tarif retribusi dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian. Penetapan tarif retribusi ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah. II.3.6 Kriteria Retribusi Daerah Kriteria Retribusi menurut Agus D.W Martowardojo (2011) Peningkatan kualitas hubungan Keuangan Pusat dan Daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. http://www.djpk.depkeu.go.id/information/24/tahun/2011/bulan/05/tanggal/03/id/63 4/ diakses pada 10 april 2012. Beberapa kriteria retribusi berdasarkan jenis retribusinya: a. Kriteria Retribusi Jasa Umum i. Bersifat bukan pajak dan bersifat bukan Retribusi Jasa Usaha atau Retribusi Perizinan Tertentu. Pengenaan retribusi hanya berkaitan dengan penyediaan jasa pelayanan yang secara langsung dapat dinikmati oleh pengguna jasa dan bukan menyangkut kegiatan pembinaan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian. Pengenaan retribusi yang dihitung dengan nilai per komoditi tidak sesuai dengan kriteria ini karena pengenaannya bersifat pajak dan tidak bersifat adanya layanan konkrit. 24

ii. Jasa yang bersangkutan merupakan kewenangan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Pengenaan retribusi hanya dapat dilakukan terhadap jasa yang eksplisit telah ditetapkan dalam peraturan perundangundangan sebagai fungsi dan menjadi kewenangan daerah. iii. Jasa tersebut memberi manfaat khusus bagi orang pribadi atau badan yang diharuskan membayar retribusi, disamping untuk melayani kepentingan dan kemanfaatan umum. iv. Jasa tersebut layak dikenakan retribusi daerah. Jasa yang akan dikenakan retribusi secara politis harus bisa ditetapkan oleh publik dan besarnya retribusi dapat dipikul oleh masyarakat pada umumnya. v. Retribusi daerah tidak bertentangan dengan kebijakan nasional mengenai penyelenggaraannya. Sarana publik yang berdasarkan kebijakan nasional wajib disediakan oleh pemerintah dan pelayanannya harus diberikan secara gratis kepada masyarakat umum tidak dapat dikenakan retribusi. Retribusi atas jasa pelayanan pendidikan dasar dan jalan umum tidak sesuai dengan kriteria ini. b. Kriteria Retribusi Jasa Usaha: i. Bersifat bukan pajak dan bersifat bukan Retribusi Jasa Umum atau Retribusi Perizinan Tertentu. Retribusi tidak boleh dikenakan terhadap jasa yang dimasukkan untuk melayani kepentingan umum dan bukan menyangkut kegiatan pembinaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan. ii. Jasa yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat komersial yang seyogyanya disediakan oleh sektor swasta tetapi belum memadai atau terdapatnya harta yang dimiliki/dikuasai daerah yang belum dimanfaatkan secara penuh oleh pemerintah daerah. 25

Jasa yang dikenakan retribusi daerah adalah jasa yang belum sepenuhnya dapat disediakan oleh swasta dimana layanan tersebut bersifat komersial sehingga pemerintah daerah dimungkinkan untuk mengenakan tarif jasa yang didalamnya sudah termasuk margin keuntungan. c. Kriteria Retribusi Perizinan Tertentu: i. Perizinan tersebut termasuk kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka azas desentralisasi. Retribusi yang boleh dipungut hanya terhadap perizinan-perizinan yang selama ini sudah menjadi kewenangan daerah serta perizinan baru yang pengelolaannya telah diserahkan kepada daerah sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. ii. Perizinan tersebut benar-benar diperlukan guna melindungi kepentingan umum. Pemberian izin dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum, yaitu melalui kegiatan pembinaan dan pengaturan guna menjaga ketertiban umum dan melalui kegiatan pengawasan dan pengendalian guna menanggulangi dampak negatif dari pemberian izin tersebut. iii. Biaya yang menjadi beban daerah dalam penyelenggaraan izin tersebut dan biaya untuk menanggulangi dampak negatif dari pemberian izin tersebut cukup besar sehingga layak dibiayai dari retribusi perizinan. Retribusi dikenakan terutama terhadap pemberian izin yang menimbulkan dampak negatif karena memerlukan biaya yang cukup besar untuk menanggulangi dampak negatif atas pemberian izin tersebut. 26

II.3.7 Pelaksanaaan Pemungutan Retribusi dan Penghapusan Piutang Retribusi yang kadaluwarsa Mengacu pada pendapat Mardiasmo (2009) Tata cara pelaksanaan pemungutan retribusi ditetapkan oleh Kepala Daerah. Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kadaluwarsa dapat dihapuskan. Penghapusan piutang Retribusi Daerah Propinsi dan Piutang Retribusi Daerah Kabupaten/Kota yang sudah kadaluwarsa dilakukan dengan Keputusan yang masing-masing ditetapkan oleh Gubernur dan Bupati/ Walikota. Tata cara penghapusan piutang retribusi yang sudah kadaluwarsa diatur dengan Peraturan Pemerintahan. Berdasarkan Pasal 166 UU PDRD ditegaskan bahwa piutang retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kadaluwarsa dapat dihapuskan. 27