BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah generasi penerus yang sangat dibutuhkan peranannya dalam

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang unik dan terus mengalami perkembangan di

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. terhadap masa depan seseorang. Seperti yang dituturkan oleh Menteri Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi membawa dampak pada terjadinya persaingan di segala bidang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan suatu masa peralihan dari masa kanak-kanak

BAB I PENDAHULUAN. yang dikenal dengan istilah adolescence merupakan peralihan dari masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan tonggak pembangunan sebuah bangsa. Kemajuan. dan kemunduran suatu bangsa dapat diukur melalui pendidikan yang

BAB I PENDAHULUAN. Setiap orang ingin berhasil dalam hidupnya dan semua orang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. dewasa. Batasan usia remaja berbeda-beda sesuai dengan sosial budaya setempat.

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk bertahan hidup di tengah zaman yang serba sulit ini. Dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Fase usia remaja merupakan saat individu mengalami perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi ini,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. Di jaman yang semakin maju, pendidikan menjadi salah satu faktor

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB 1 PENDAHULUAN. dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi dewasa ini pada akhirnya menuntut semakin

BAB I PENDAHULUAN. tanpa terkecuali dituntut untuk meningkatkan sumber daya manusia yang ada.

BAB II LANDASAN TEORI. berhubungan dengan orang lain. Stuart dan Sundeen (dalam Keliat,1992).

BAB I PENDAHULUAN. hingga perguruan tiggi termasuk di dalamnya studi akademis dan umum, program

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi, persaingan yang sangat ketat terjadi di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya.

BAB I PENDAHULUAN. sesuatu yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas kehidupan, terutama

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar tahun dan

BAB I PENDAHULUAN. semakin banyak pengalaman yang remaja peroleh dalam memantapkan

BAB I PENDAHULUAN. ilmunya dalam dunia pendidikan hingga tingkat Perguruan Tinggi. Dalam jenjang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Dalam pertumbuhannya, anak memerlukan perlindungan, kasih sayang

BAB II LANDASAN TEORI. yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi

BAB I PENDAHULUAN. individu untuk menuju kedewasaan atau kematangan adalah masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. menyerukan kepada seluruh bangsa di dunia bahwa jika ingin membangun dan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan di dalam bidang pendidikan. Perubahan perubahan tersebut menuntut

Bab I Pendahuluan. dengan identitas ego (ego identity) (Bischof, 1983). Ini terjadi karena masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi dan seiring dengan itu, angka kemiskinan terus merangkak. Kenaikan harga

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang mengutamakan

BAB I PENDAHULUAN. individu tentang dirinya sendiri inilah yang disebut konsep diri.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai peran yang amat menentukan bagi perkembangan dan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan diselenggarakan. Kaum muda diharapkan memiliki bekal

BAB I PENDAHULUAN. Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin (adolescence)

BAB I PENDAHULUAN. fasilitas hiburan yang mencakup permainan (game) di dalamnya. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus

BAB I PENDAHULUAN. memasuki dunia pekerjaan. Mendapatkan predikat lulusan terbaik dari suatu

BAB I PENDAHULUAN. yang harus dihentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha pencengahan dan

BAB I PENDAHULUAN. bidang pendidikan dan pekerjaan. Setelah lulus SMA mereka diberi peluang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan formal dapat ditempuh mulai dari tingkat terendah yaitu pre-school/

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan peralihan antara masa kanak-kanak menuju

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan formal merupakan sarana untuk meningkatkan kualitas sumber

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia menempati peringkat kedua setelah China. Ekonomi Indonesia triwulan III-2015

BAB I PENDAHULUAN. suatu sekolah dikatakan berhasil jika ia mendapatkan nilai yang bagus dan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. menyadari pentingnya memiliki pendidikan yang tinggi. Untuk mengikuti perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Komersial) merupakan fenomena yang sudah tidak asing lagi dalam kehidupan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan, dan keterampilan. Hal ini akan membuat siswa mampu memilih,

B A B PENDAHULUAN. Setiap manusia yang lahir ke dunia menginginkan sebuah kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berkualitas. Universitas X merupakan salah satu universitas

BAB I PENDAHULUAN. Individu disadari atau tidak harus menjalani tuntutan perkembangan.

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu proses dalam rangka mempengaruhi siswa agar

BAB I PENDAHULUAN. Masa SMA merupakan masa ketika remaja mulai memikirkan dan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dan segala usia (Soedijarto,2008). Di Indonesia, pendidikan terdiri

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kali oleh seorang psikiater asal Inggris bernama John Bowlby pada tahun 1969.

BAB I PENDAHULUAN. perhatian serius. Pendidikan dapat menjadi media untuk memperbaiki sumber daya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun

BAB I PENDAHULUAN. pembeda. Berguna untuk mengatur, mengurus dan memakmurkan bumi. sebagai pribadi yang lebih dewasa dan lebih baik lagi.

BAB I PENDAHULUAN hingga (Unicef Indonesia, 2012). Menurut Departemen Sosial

Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman yang maju mengikuti pertumbuhan ilmu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial, selalu berinteraksi dengan lingkungannya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masyarakat modern yang sangat kompleks dan heterogen,

BAB I PENDAHULUAN. terutama bagi masyarakat kecil yang hidup di perkotaan. Fenomena di atas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode penting dalam rentang kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang eksis hampir di semua masyarakat. Terdapat berbagai masalah sosial

BAB I PENDAHULUAN. Remaja atau Adolescene berasal dari bahasa latin, yaitu adolescere yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan periode peralihan dari masa kanak-kanak. Masa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Motivasi Bekerja. Kata motivasi ( motivation) berasal dari bahasa latin movere, kata dasar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pikiran mengamati dan menggali pengalaman, termasuk emosi.

BAB II KAJIAN TEORI. seseorang karena konsep diri merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam

2015 POLA ASUH PANTI ASUHAN AL-FIEN DALAM PENANAMAN KEMANDIRIAN ANAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. jenis kelamin, status ekonomi sosial ataupun usia, semua orang menginginkan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. biologis dan ditutup dengan aspek kultural. Transisi dari masa kanak-kanak ke remaja

BAB I PENDAHULUAN. sekolah tertentu. Siswa SMP dalam tahap perkembangannya digolongkan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah, potensi individu/siswa yang belum berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Dunia sedang memasuki zaman informasi, bangsa-bangsa yang belum maju ada

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Remaja adalah generasi penerus yang sangat dibutuhkan peranannya dalam pembangunan nasional. Mereka diharapkan dapat menggunakan kemampuan yang mereka miliki untuk kesejahteraan bangsa dan negaranya. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa ini ditandai dengan terjadinya perubahan-perubahan baik fisik maupun psikis. Selain itu, menurut Hurlock (1991), masa tersebut merupakan masa yang cukup penting, remaja dituntut untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas perkembangan masa remaja yang antara lain adalah mempersiapkan diri untuk menghadapi masa depan. Persiapan remaja menuju masa depan di antaranya meliputi persiapan dalam bidang pendidikan. Remaja seharusnya dapat memotivasi diri untuk mengarahkan minatnya ke masa depan dan mulai merencanakan serta memilih jurusan atau bidang studi setelah menyelesaikan jenjang pendidikan SMA berikut langkah-langkah persiapannya. Menurut Nurmi (1989), ketika remaja memiliki minat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, lalu merencanakan sesuatu untuk mewujudkan dan akhirnya mengevaluasi kemungkinan-kemungkinan untuk mewujudkan tujuannya maka remaja tersebut memiliki orientasi masa depan bidang pendidikan yang jelas. Dalam proses pembentukan orientasi masa depan, konsep diri

2 memainkan peranan penting. Artinya, konsep diri memungkinkan individu mengevaluasi kemungkinan-kemungkinan untuk merealisasikan tujuan-tujuan dan rencana-rencananya berdasarkan pandangan atau penilaiannya mengenai kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya. Beberapa studi juga menyatakan bahwa individu yang memiliki self concept yang positif akan merasa lebih mampu mengontrol masa depannya dibandingkan individu yang memiliki self concept negatif. Konsep diri merupakan pemahaman individu atas dirinya yang didasarkan atas penilaian individu tentang dirinya yang mencakup kemampuan dan ketidakmampuan peranan, status, dan harapan-harapan yang diinginkannya (Fitts, 1971). Penilaian remaja tentang dirinya dapat bersifat positif atau negatif, menurut Fitts (1971), semakin positif seseorang menilai dirinya maka ia semakin percaya pada kemampuan dirinya. Dengan perkataan lain semakin yakin individu dalam menilai dirinya, termasuk yakin dalam menilai kemampuan-kemampuan yang dimilikinya. Kepercayaan akan kemampuan diri membuat remaja merasa yakin untuk mengontrol masa depannya, sedangkan remaja yang menilai dirinya negatif menganggap dirinya banyak kekurangan sehingga tidak yakin untuk mengontrol masa depannya. Salah satu hal yang turut berperan dalam pembentukan konsep diri remaja adalah keluarga. Pada awal kehidupan, keluarga merupakan lingkungan pertama yang dimasuki oleh individu dan sangat berperan dalam kehidupannya. Di dalam keluarga, anak melakukan interaksi dengan anggota keluarga lain. Di dalam keluarga, anak

3 akan mendapatkan perlindungan, kasih sayang, perasaan diterima dan rasa aman. Perasaan diterima dan rasa aman akan dirasakan oleh anak karena adanya pengalaman anak berinteraksi dengan anggota keluarga yang sangat berarti bagi anak. Pada waktu anak disayangi, dipuji, dan diterima maka ia akan memandang dirinya itu penting. Sebaliknya, ketika anak tidak dihiraukan, diberi hukuman atau dirinya ditolak maka ia akan memandang dirinya itu tidak penting atau tidak berarti. Jika keadaan demikian dialami terus menerus maka dapat membentuk suatu penilaian tertentu pada diri individu itu tersebut yang selanjutnya akan membentuk suatu konsep tertentu tentang dirinya sendiri sebagai konsep diri yang positif atau negatif (Hurlock,E.B., 1991). Konsep diri merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan remaja yang dalam masa perkembangannya dituntut untuk dapat mencari jati dirinya. Jika seorang remaja mempersepsi dirinya memperoleh dukungan dari orang tua atau keluarga, misalnya dalam bentuk pemberian semangat saat remaja menghadapi masalah maka hal tersebut akan membuat remaja merasa dirinya diperhatikan dan disayang oleh orang tuanya. Hal tersebut diharapkan dapat memunculkan suatu bentuk konsep diri yang positif yang membuat remaja merasa percaya diri dan dapat menunjang prestasinya. Kenyataan menunjukkan tidak semua anak diasuh dan dibesarkan di lingkungan keluarga atau oleh orangtua kandungnya. Bagi anak-anak yang sudah tidak memiliki orang tua atau keluarga, atau yang berasal dari keluarga yang kurang mampu secara finansial, maupun anak-anak dari keluarga yang mengalami

4 perpecahan, salah satu alternatif untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan anak-anak tersebut adalah dengan menempatkan mereka di dalam lembaga panti asuhan, salah satunya adalah Panti Asuhan Yayasan X. Di Panti Asuhan Yayasan X, terdapat 80 orang anak, yang berusia bayi sampai dengan 22 tahun. Di antara mereka, terdapat 22 anak yang berusia remaja yang sedang duduk di kelas II SMA. Alasan mereka tinggal di sana bermacammacam, antara lain karena keluarga yang kurang mampu secara finansial dan juga ada yang memang dibuang sejak masih bayi. Semua anak yang berada di panti asuhan X hanya diasuh oleh 5 orang pengasuh. Menurut keterangan dari salah seorang pengasuh, kurangnya pengasuh menjadi kendala bagi para mengasuh dalam merawat anak-anak di panti tersebut. Tempat tinggal yang disediakan oleh pihak panti asuhan berbentuk asrama, yang setiap kamar ditempati sekitar 5 orang anak. Meskipun panti asuhan berusaha semaksimal mungkin memberikan pelayanan sebagai pengganti keluarga, tetapi keterbatasan-keterbatasan dan kondisi kemampuan panti asuhan menjadi kendala dalam membimbing dan merawat anak-anak panti asuhan. Hal inilah yang dapat mempengaruhi perkembangan konsep diri pada remaja yang diasumsikan juga dapat mempengaruhi orientasi masa depan pada remaja. Demikian juga yang terjadi di Panti Asuhan Yayasan X. Menurut keterangan yang diperoleh peneliti dari salah seorang pengasuh, beberapa remaja panti asuhan tersebut seringkali mengatakan kepada pengasuh bahwa mereka mempunyai keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi setelah

5 lulus SMA agar dapat meraih cita-cita, tapi kendala yang dirasakan oleh para remaja tersebut adalah perasaan malu yang mereka rasakan karena berasal dari panti asuhan. Berdasarkan hasil wawancara dengan 10 orang remaja mengenai orientasi masa depan mereka, diperoleh data bahwa 70% memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi setelah lulus SMA serta telah memiliki perencanaan dan cara-cara agar dapat mewujudkannya, yaitu dengan belajar sungguhsungguh, rajin menghapal, dan mengatur jadwal belajar, yang dengan kata lain para remaja tersebut telah memiliki orientasi masa depan bidang pendidikan yang jelas. Lalu 30% mengatakan belum menentukan pilihannya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, yang artinya para remaja tersebut memiliki orientasi masa depan di bidang pendidikan yang belum jelas. Dari para remaja yang memiliki orientasi masa depan yang jelas, 86% memiliki konsep diri positif, yang terlihat dari ungkapan mereka tentang dirinya, seperti berbakat dalam mendidik anak, memiliki keterampilan dalam menggambar, pandai dan mampu mengajar mengaji, dan tidak mudah putus asa. Penilaian remaja mengenai dirinya tersebut dapat mempengaruhi pembentukan orientasi masa depan mereka, khususnya pada aspek perencanaan, sehingga mereka dapat merencanakan jurusan apa yang akan dipilih setelah lulus SMA sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Lalu 14% memiliki konsep diri negatif, yang terlihat dari ungkapan mereka tentang dirinya seperti kurang percaya diri karena memiliki bentuk fisik yang kurang bagus, dan merasa miskin. Penilaian remaja tentang dirinya ini dapat mempengaruhi pembentukan orientasi masa depan mereka,

6 khususnya pada aspek evaluasi, dimana mereka selalu membandingkan apa yang ingin dicapainya dengan hal-hal negatif yang mereka miliki, sehingga remaja tersebut pada akhirnya akan merasa tidak mampu untuk mengontrol dan mengantisipasi masa depannya. Dari para remaja yang memiliki orientasi masa depan yang belum jelas, 67% memiliki konsep diri positif, yang terlihat dari ungkapan mereka tentang dirinya, yaitu memiliki bakat. Lalu 33% memiliki konsep diri negatif, yang terungkap dari ucapan mereka tentang dirinya, yaitu merasa sulit mengerti materi pelajaran yang diajarkan di sekolah. Berdasarkan hasil survey tersebut tampak bahwa terdapat remaja yang memiliki konsep diri positif cenderung memiliki orientasi masa depan yang jelas. Namun bagi remaja yang memiliki konsep diri negatif, di antara mereka ada yang memiliki orientasi masa depan yang jelas maupun yang belum jelas. Berdasarkan uraian di atas, khususnya mengenai konsep diri dan orientasi masa depan remaja dalam bidang pendidikan, serta adanya fakta yang berhubungan, agaknya masalah tersebut menjadi sangat menarik untuk diteliti, mengingat mempersiapkan diri untuk menghadapi masa depan adalah salah satu tugas perkembangan remaja.

7 1.2 Identifikasi Masalah Apakah terdapat hubungan antara konsep diri dan orientasi masa depan bidang pendidikan pada remaja di Panti Asuhan Yayasan X Bandung. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai konsep diri dan orientasi masa depan bidang pendidikan pada remaja di Panti Asuhan Yayasan X Bandung. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan antara konsep diri dengan orientasi masa depan bidang pendidikan pada remaja di Panti Asuhan Yayasan X Bandung. 1.4. Kegunaan Penelitian Kegunaan Teoretik : Sebagai masukan empiris bagi ilmu psikologi khususnya psikologi perkembangan dan psikologi pendidikan, yaitu dengan memberikan informasi tentang konsep diri dan orientasi masa depan bidang pendidikan pada remaja di panti asuhan. Sebagai bahan pertimbangan bagi pengembangan penelitian lain yang berkaitan dengan konsep diri dan orientasi masa depan bidang pendidikan para remaja.

8 Kegunaan Praktis : Memberikan informasi kepada para remaja Panti Asuhan Yayasan X mengenai konsep diri dan orientasi masa depan bidang pendidikan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kelanjutan pendidikan setelah lulus SMA. Memberikan masukan kepada pengasuh dan pengurus Panti Asuhan Yayasan X, mengenai hubungan antara konsep diri dan orientasi masa depan bidang pendidikan pada remaja panti asuhan sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam membimbing dan mendidik para remaja tersebut. 1.5 Kerangka Berpikir Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Sejalan dengan hal tersebut, remaja memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi, yang mengarah pada persiapan remaja untuk mulai memikirkan dan merencanakan masa depannya dalam bidang pendidikan dan mempersiapkan karir ekonomi (pekerjaan) yang akan mereka tempuh. Keberhasilan memenuhi tugas perkembangan ini akan menjadi dasar dari kebahagiaan dan keberhasilan untuk melalui tugas selanjutnya (Hurlock, 1991). Semua tugas perkembangan pada masa remaja dipusatkan pada persiapan remaja untuk menghadapi masa depan, artinya tugas perkembangan remaja secara tidak langsung

9 menunjukkan orientasi masa depan seperti merencanakan pendidikan dan juga mempersiapkan diri untuk bekerja. Nurmi (1989) mendefinisikan orientasi masa depan sebagai cara seseorang untuk memandang masa depannya yang mencakup tujuan, standar perencanaan, dan strategi pencapaian tujuan. Orientasi masa depan terdiri atas tiga proses yang saling berinteraksi, yaitu motivasi, perencanaan, dan evaluasi. Remaja Panti Asuhan Yayasan X membentuk tujuan dengan membandingkan antara motif dan nilai-nilai umum dan pengetahuannya tentang perkembangan diri yang diantisipasinya. Kemudian, setelah mereka menentukan tujuannya, aktivitas perencanaan dibutuhkan dalam usaha untuk merealisasikan tujuan tersebut. Aktivitas perencanaan ini meliputi penyusunan strategi dalam usaha pencapaian tujuan, misalnya dengan menyusun jadwal belajar, dan mencari tahu tentang jurusan yang akan ditempuh di perguruan tinggi. Pada akhirnya, remaja-remaja tersebut mengevaluasi kemungkinan realisasi tujuan dan rencana yang diantisipasi untuk diwujudkan. Pada tahap mengevaluasi, remaja Panti Asuhan Yayasan X memikirkan apakah ia akan sanggup mencapai tujuan yang telah ia tetapkan sebelumnya. Apabila mereka telah membentuk tujuan dan memiliki motivasi untuk meraih tujuannya, lalu melakukan aktivitas perencanaan untuk merealisasikan tujuannya tersebut, dan pada akhirnya mengevaluasi kemungkinan realisasi tujuan dan rencana yang diantisipasi untuk diwujudkan, maka remaja tersebut telah memiliki orientasi masa depan bidang pendidikan yang jelas. Masih menurut Nurmi, aktivitas mengevaluasi tujuan dan rencana sangat dipengaruhi oleh penilaian remaja tentang

10 dirinya. Penilaian diri merupakan konsep diri remaja, yaitu arti dan nilai yang diberikan remaja kepada dirinya sendiri, yang dapat bernilai positif atau negatif. Apabila remaja Panti Asuhan Yayasan X mempunyai penilaian yang positif terhadap dirinya, yaitu dengan menganggap bahwa dirinya memiliki kemampuan, maka remaja tersebut akan semakin yakin untuk merumuskan apa yang menjadi tujuannya di masa depan serta semakin yakin untuk membuat rencana-rencana yang dapat mendukung tercapainya tujuan. Menurut Fitts (1971), konsep diri terdiri atas dua dimensi, yaitu dimensi internal dan dimensi eksternal. Kedua dimensi tersebut tidak dapat dipisahkan, keduanya berpadu menjadi satu sebagai satu keseluruhan penilaian individu terhadap dirinya. Dimensi internal adalah penilaian remaja Panti Asuhan Yayasan X terhadap diri sendiri berdasarkan dunia batinnya. Dimensi internal terdiri atas diri identitas, diri perilaku, dan diri penilai. Diri identitas adalah untuk menjawab pertanyaan siapa saya? dan sebagai label atau simbol untuk membentuk identitas diri. Penilaian-penilaian yang positif terhadap diri sendiri dan usaha untuk mengatasi kekurangannya ditemukan pada remaja Panti Asuhan Yayasan X yang berkonsep diri positif. Diri pelaku adalah gambaran remaja Panti Asuhan Yayasan X mengenai tingkah lakunya, meliputi tingkah laku yang dipertahankan atau diabaikan. Diri identitas berkaitan dengan diri perilaku. Sejak kecil setiap orang termasuk remaja Panti Asuhan Yayasan X cenderung untuk menilai atau memberikan label kepada

11 orang lain maupun dirinya sendiri berdasarkan tingkah laku yang ditampilkan dan yang diberikan kepadanya (Combs dan Snygg dalam Fitts. 1971 : 66). Dengan perkataan lain tingkah laku akan sejalan dengan konsep diri. Diri penilai merupakan penilaian remaja Panti Asuhan Yayasan X akan interaksi diri identitas dengan diri perilaku. Peran remaja adalah sebagai pengamat, penetap standar, pembanding, mediator antara identitas dan diri pelaku sambil menilai diri dalam kategori baik, memuaskan, atau buruk. Sejalan dengan yang telah diungkapkan sebelumnya, penilaian yang positif tentang diri akan ditemukan pada remaja Panti Asuhan Yayasan X dengan konsep diri yang positif dan sebaliknya penilaian yang negatif tentang diri akan ditemukan pada remaja yang memiliki konsep diri yang negatif. Dimensi yang kedua dari konsep diri adalah dimensi eksternal. Dimensi eksternal adalah penilaian tentang diri sebagai hasil interaksi dengan dunia di luar diri, termasuk pengalaman dan hubungan interpersonalnya dengan individu lain. Dimensi eksternal terdiri atas dimensi diri fisik, diri moral etik, diri personal, diri keluarga, diri sosial, dan diri akademik. Diri fisik adalah bagaimana remaja Panti Asuhan Yayasan X mempersepsi kesehatan tubuh dan penampilannya. Remaja yang berusaha mencari kelebihan pada bagian tubuhnya yang lain berarti memandang dirinya secara positif dan berarti pula memiliki konsep diri yang positif. Diri moral etik adalah bagaimana remaja Panti Asuhan Yayasan X mempersepsi hubungannya dengan Tuhan, kepuasan mengenai kehidupan agamanya, nilai moral yang dipegang yang meliputi batasan baik atau buruk. Remaja yang menyesali keadaan dirinya dan

12 menyalahkan Tuhan menunjukkan konsep diri yang negatif. Sebaliknya, sikap berusaha mengambil hikmah dari apa yang dialaminya merupakan ciri dari remaja Panti Asuhan Yayasan X dengan konsep diri yang positif. Diri personal adalah sejauh mana remaja puas terhadap pribadinya atau merasa dirinya sebagai pribadi yang tepat. Sulit untuk menerima diri dengan kekurangan yang dimilikinya merupakan hal yang ditemukan pada remaja Panti Asuhan Yayasan X dengan konsep diri yang negatif, namun berusaha mengembangkan sisi lain yang merupakan kelebihan dirinya untuk mengimbangi kekurangan yang dimilikinya adalah ciri-ciri remaja dengan konsep diri positif. Diri keluarga berisi tentang hubungan pribadi remaja dengan keluarganya. Peran keluarga bagi remaja di Panti Asuhan Yayasan X adalah pengasuh dan teman-teman. Perasaan malu menjadi bagian dari keluarga Panti Asuhan adalah ciri remaja Panti Asuhan Yayasan X dengan konsep diri yang negatif. Sedangkan sikap yang sebaliknya yaitu merasa dirinya tetap berharga berada dalam lingkungan keluarga ditemukan pada remaja dengan konsep diri yang positif Diri sosial, yaitu yang menyangkut kesesuaian remaja dalam berinteraksi dengan masyarakat atau lingkungan sosial. Interaksi remaja Panti Asuhan Yayasan X yang memiliki konsep diri positif dan yang negatif akan berbeda. Perasaan lebih cepat tersinggung dan sulit untuk menjalin interaksi yang baik karena ada perasaan rendah diri dengan orang lain ditemukan pada remaja dengan konsep diri negatif. Di sisi lain, perasaan bahwa dirinya sama dengan orang lain ditemukan pada remaja dengan konsep diri yang positif sehingga mereka tidak mengalami kesulitan dalam berinteraksi. Diri akademik

13 adalah bagaimana remaja mempersepsi dirinya berkaitan dengan kemampuan akademiknya di sekolah. Remaja Panti Asuhan Yayasan X yang merasa bahwa dirinya mempunyai kemampuan di bidang akademik yang baik, meliput proses belajar menunjukkan bahwa remaja tersebut memiliki konsep diri yang positif. Sebaliknya, sikap memandang diri memiliki kelemahan di bidang akademik ditunjukkan pada remaja yang memiliki konsep diri yang negatif. Salah satu hal yang turut berperan dalam pembentukan konsep diri remaja sadalah keluarga. Pada awal kehidupan, keluarga merupakan lingkungan pertama yang dimasuki oleh individu dan sangat berperan dalam kehidupannya. Di dalam keluarga, anak melakukan interaksi dengan anggota keluarga lain. Di dalam keluarga, anak akan mendapatkan perlindungan, kasih sayang, perasaan diterima dan rasa aman. Perasaan diterima dan rasa aman akan dirasakan oleh anak karena adanya pengalaman anak berinteraksi dengan anggota keluarga yang sangat berarti bagi anak. Pada waktu anak disayangi, dipuji, dan diterima maka ia akan memandang dirinya itu penting. Sebaliknya, ketika anak tidak dihiraukan, diberi hukuman atau dirinya ditolak maka ia akan memandang dirinya itu tidak penting atau tidak berarti. Jika keadaan demikian dialami terus menerus maka dapat membentuk suatu penilaian tertentu pada diri individu itu tersebut yang selanjutnya akan membentuk suatu konsep tertentu tentang dirinya sendiri sebagai konsep diri yang positif atau negatif (Hurlock,E.B., 1972). Namun tidak semua anak memulai awal kehidupannya dengan orang tua, bagi mereka yang terlahir yatim, piatu atau yatim piatu, atau anak terlantar ditempatkan di sebuah lembaga yang bernama Panti Asuhan.

14 Menurut Spitz (1951, dalam Jersild, 1978), anak-anak yang tinggal di panti asuhan pada umumnya memiliki perkembangan emosi yang lebih lambat dibandingkan dengan anak-anak yang diasuh orang tua mereka dan mendapatkan kehangatan keluarga. Selain itu anak-anak panti asuhan memiliki kondisi rendah diri, ketergantungan yang berlebihan, prestasi belajar dan penyesuaian diri yang rendah dan kurang berani menerima kenyataan. Sedangkan hasil penelitian Boyle dan Sieveking (1996, dalam Fitts 1971) menunjukkan bahwa mereka yang tinggal di institusi panti asuhan menunjukkan pola-pola konsep diri tertentu, hal ini didasari oleh pengalaman-pengalaman khusus yang telah dilalui mereka atau yang telah memiliki tipe latar belakang yang spesifik. Konsep diri positif yang ada pada diri remaja Panti Asuhan Yayasan X membuat remaja tersebut merasa memiliki kemampuan. Rasa mampu ini dapat membuat remaja mempunyai minat untuk dapat mewujudkan satu atau beberapa keinginan di masa depan. Salah satu minat remaja adalah mewujudkan perencanaan pendidikannya. Minat ini mendorong remaja Panti Asuhan Yayasan X untuk melakukan eksplorasi sebelum menetapkan tujuan yang ingin dicapai. Dalam mencapai tujuan, remaja perlu membuat perencanaan dimana dibutuhkan pengetahuan, strategi, dan keterampilan untuk mewujudkan tujuan yang diinginkannya. Kemudian remaja akan mengevaluasi kemungkinan-kemungkinan dalam mewujudkan tujuan dan rencana yang telah disusunnya tersebut. Tujuan dan rencana yang jelas dan terarah akan menimbulkan proses evaluasi yang akurat yang melibatkan hal yang ada di dalam diri remaja berupa keyakinan terhadap apa yang

15 akan terjadi di masa depan. Proses evaluasi yang menimbulkan keyakinan ini merupakan kemampuan dan kekuatan remaja untuk mengontrol masa depannya. Sebaliknya, remaja yang memiliki konsep diri negatif umumnya mempunyai perasaan bahwa dirinya tidak memiliki kemampuan sehingga akan menghadapi kesulitan dalam menetapkan minat untuk mencapai tujuan. Kondisi ini membuat remaja Panti Asuhan Yayasan X sulit membuat perencanaan yang terarah dan merasa gagal untuk mengontrol masa depan. Remaja dengan konsep diri negatif merasa tidak mampu menghadapi sesuatu yang menuntut kemampuannya. Trommsdorff (1983, dalam Nurmi 1989) mengungkapkan bahwa dalam pembentukan orientasi masa depan bidang pendidikan, banyak hal yang menjadi pertimbangan remaja, yaitu dampak dari tuntutan situasional, artinya masa depan remaja sangat dipengaruhi oleh situasi sekarang dan situasi di masa mendatang, dan karenanya membutuhkan persiapan atau perencanaan yang realistik. Hal lain yaitu kematangan kognitif, yaitu tahap berpikir formal operasional membuat remaja mampu membuat rencana lainnya apabila mengalami kesulitan, artinya remaja tersebut mampu untuk membuat rencana lain apabila dalam proses pencapaian tujuan masa depan menemukan kesulitan, sehingga tujuannya akan tetap tercapai meskipun dilalui dengan rencana yang lain dari yang sebelumnya telah dibuat. Selanjutnya, social learning seperti pengalaman belajar dari lingkungan dan proses interaksi dapat mempengaruhi orientasi masa depan remaja, yang artinya remaja dapat belajar dari apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Misalnya remaja yang ingin meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi mendapat masukan dari orang lain bahwa kehidupan

16 di perguruan tinggi memiliki banyak permasalahan, maka hal tersebut dapat mempengaruhi remaja, mungkin saja remaja akan mengurungkan niatnya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Selain itu, adanya dukungan orangtua atau pengasuh bagi remaja panti asuhan. Dukungan ini dapat berupa dukungan biaya maupun dukungan moril. Apabila remaja panti asuhan mendapatkan dukungan biaya, maka remaja tersebut akan merasa bahwa apa yang menjadi tujuannya di masa depan tidak akan terhambat karena masalah biaya, dan apabila remaja panti asuhan merasa mendapat dukungan moril, ia akan merasa bahwa banyak orang yang memberinya dukungan serta semangat dalam pencapaian tujuan di masa depan. Secara skematis, kerangka pemikiran di atas dapat digambarkan sebagai berikut : Skema 1.1 Kerangka Pemikiran Faktor Internal : -Kematangan kognitif Faktor eksternal : -Dampak tuntutan situasional -Social Learning -Interaction Processes Remaja Panti Asuhan Konsep Diri Dimensi Internal : -Diri Identitas -Diri Penilai -Diri Tingkah Laku Dimensi eksternal : -Diri Fisik -Diri Moral Etik -Diri Personal -Diri Keluarga -Diri Sosial -Diri Akademik Orientasi Masa Depan -Motivasi -Perencanaan -Evaluasi Jelas Belum Jelas

17 Dari kerangka pemikiran diatas dapat ditarik asumsi sebagai berikut : 1. Proses pembentukan orientasi masa depan bidang pendidikan pada remaja Panti Asuhan dipengaruhi oleh faktor kematangan kognitif, dampak tuntutan situasional, social learning, dan proses interaksi. 2. Jelas atau belum jelasnya orientasi masa depan bidang pendidikan remaja Panti Asuhan ditentukan oleh proses motivasi, perencanaan, dan evaluasi. 3. Konsep diri berkaitan dengan minat, motivasi, perencanaan, dan evaluasi remaja Panti Asuhan dalam bidang pendidikan. 1.6 Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dibuat diatas, maka peneliti mengajukan hipotesis penelitian, yaitu : Terdapat hubungan antara konsep diri dan orientasi masa depan pada remaja di Panti Asuhan Yayasan X Bandung.