BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Makanan merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia untuk mempertahankan hidup dan kehidupan. Makanan sebagai sumber zat gizi yaitu karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral menjadi landasan utama manusia untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan, mulai dari janin, bayi, balita, anak, remaja, dewasa maupun usia lanjut membutuhkan makanan yang sesuai dengan syarat gizi untuk mempertahankan hidup, tumbuh dan berkembang serta mencapai prestasi kerja (Yayuk, 2004). Semakin berkembangnya ilmu dan teknologi makanan, semakin banyak intervensi manusia dalam pembentukan atau pengolahan bahan makanan. Makanan yang tersaji harus tersedia dalam bentuk dan aroma yang menarik, rasa enak, warna dan konsistensinya baik serta awet. Untuk mendapatkan makanan seperti ini maka sering pada proses pembuatanya dilakukan penambahan bahan tambahan makanan yang disebut zat adiktif (Widyaningsih, 2006). Menurut Undang-undang Republik Indonesia no 7 tahun 1996, yang dimaksud dengan bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, antara lain, bahan pewarna, pengawet, penyedap rasa, anti gumpal, pemucat, dan pengental (BPOM, 1996). Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat proses fermentasi, pengasaman atau penguraian yang disebabkan oleh mikroba.
Penggunaan pengawet dalam makanan harus tepat, baik jenis maupun dosisnya. Suatu bahan pengawet mungkin efektif untuk mengawetkan makanan tertentu, tetapi tidak efektif untuk mengawetkan makanan lainnya karena makanan mempunyai sifat yang berbeda-beda sehingga mikroba perusak yang akan dihambat pertumbuhannya juga berbeda (Samosir, 2007) Pada saat ini banyak ditemukan produsen menambahkan BTP kedalam produk makanan dengan tujuan yang berbeda-beda. Akan tetapi banyak dijumpai produsen memakai jenis BTP yang tidak diizinkan untuk digunakan, yang justru membahayakan kesehatan konsumen, misalnya boraks dan formalin. Sepanjang tahun 2002-2004, BPOM sudah mengajukan 18 kasus penggunaan formalin sebagai pengawet produk makanan ke pengadilan diantaranya ikan, tahu, mie basah dan kosmetika. Menurut Tampubolon (2008) yang mengutip pendapat Baliwati, beberapa alasan penggunaan pengawet pada bahan makanan adalah karena daya tahan makanan yang terbatas dan mudah rusak sehingga dengan adanya pengawet makanan tersebut dapat disimpan lebih lama. Selain itu pengawet juga digunakan untuk mencegah aktivitas mikroorganisme pada makanan tersebut. Dampak formalin pada kesehatan manusia, dapat bersifat akut dan kronik, efek akut pada kesehatan manusia langsung terlihat sepert iritasi, alergi, kemerahan, mata berair, mual, muntah, rasa terbakar, sakit perut dan pusing, sedangkan efek kronik yaitu efek pada kesehatan manusia terlihat setelah terkena dalam jangka waktu yang lama dan berulang seperti iritasi kemungkinan parah, mata berair, gangguan pada pencernaan, hati, ginjal, pankreas, system saraf pusat, dan pada hewan percobaan dapat menyebabkan kanker sedangkan pada manusia diduga bersifat
karsinogen (menyebabkan kanker). Mengkonsumsi bahan makanan yang mengandung formalin efek sampingnya terlihat setelah jangka panjang, karena terjadi akumulasi formalin dalam tubuh. Untuk itu pemerintah menetapkan standart dan persyaratan agar makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat aman dari bahan tambahan makanan yang dapat membahayakan kesehatan, yaitu seperti yang tercantum dalam Peraturan Menteri kesehatan RI No1168/Menkes/Per/X/1999 tentang Bahan Tambahan Pangan. Berdasarkan hasil investigasi dan pengujian laboratorium yang dilakukan Balai Besar POM Jakarta April 2006 ditemukan sejumlah produk pangan seperti mie basah, dan tahu positif mengandung formalin. Produk berfomalin ini ditemukan di sejumlah supermarket dan pasar sekitar DKI Jakarta, Banten, Bogor dan Bekasi. Demikian juga yang dilakukan oleh Suku Dinas Peternakan dan Perikanan Kota Jakarta Selatan pada tahun 2008 menemukan ikan segar berformalin yang dijual oleh dua orang pedagang di pasar Kebayoran Lama (Anonimous, 2008). Penelitiaan yang sama juga dilakukan oleh pihak BPOM Medan pada Agustus 2008 terhadap beberapa sampel ikan yang diambil dari beberapa pasar tradisional dan hasilnya sampel-sampel tersebut mengandung formalin. Jenis ikan yang diteliti dan berformalin seperti ikan asin sotong, sange belah, teri Medan, jambal roti, serta cumi asin, dan beberapa ikan segar. Ikan sangat dibutuhkan sebagai bahan makanan sumber protein tinggi dan mengandung asam amino essensial yang diperlukan tubuh. Selain itu ikan lebih
murah dibandingkan produk protein lainnya. Hasil-hasil perikanan merupakan sumber daya alam yang sangat besar manfaatnya bagi kehidupan manusia. Di Kota Medan banyak dijumpai jenis-jenis ikan segar maupun ikan olahan yang telah diawetkan seperti ikan asin kering, ikan teri kering, udang kering dan ikan kembung rebus khas Kota Medan. Diantara ikan olahan tersebut yang paling banyak diminati masyarakat adalah Ikan Kembung Rebus, dan menjadi trend dikalangan masyarakat. Selain rasanya enak, wangi khas ikan ini juga menjadi daya tarik sendiri bagi penduduk Kota Medan. Rasanya yang gurih membuat banyak orang suka untuk mengkonsumsinya. Tidak sulit untuk mendapatkan ikan ini, karena disetiap pasar terdapat penjual ikan olahan yang satu ini. Pembuatan ikan kembung rebus tidaklah begitu sulit, hanya dengan pemakaian jasa garam saja dapat menghasilkan rasa gurih pada ikan. Awalnya produksi ikan kembung ini hanya diproduksi oleh pabrik ikan tertentu dan diedarkan ke pelosok daerah, tetapi berdasarkan permintaan masyarakat yang semakin banyak, produksi ikan kembung rebus ini telah banyak diproduksi oleh industri-industri rumah tangga.. Berdasarkan surevi awal yang telah dilakukan oleh penulis ada empat pasar yang terdapat memiliki pedagang ikan kembung rebus terbanyak, pedagang ini juga merupakan produsen langsung dari ikan kembung rebus. Keempat pasar tersebut adalah Pasar Aksara, Pasar Suka Ramai, Pasar Sei Sekambing dan Pasar Melati. Keempat tersebut merupakan pasar yang cukup besar, lengkap dan ramai dikunjungi para pembeli. Selain itu juga terletak dipinggir jalan sehingga mudah dijangkau oleh masyarakat. Namun, penjualan ikan kembung rebus dalam pasar ini tidak selalu habis
dalam satu hari saja, jika ikan tidak habis terjual maka akan dipasarkan kembali keesokan harinya, dan jika tidak habis terjual lagi akan dijual dihari selanjutnya. Hal inilah yang menyebabkan pentingnya penelitian untuk mengetahui apakah ikan kembung rebus yang dijual di seluruh pasar ini sudah memenuhi syarat kesehatan sesuai dengan Permenkes No. 1168/Menkes/Per/X/1999 atau tidak. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan tersebut, maka penulis ingin mengetahui apakah ikan kembung rebus yang dijual di beberapa Pasar tradisional Kota Medan mengandung formalin. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui kandungan formalin pada ikan kembung rebus yang dijual di beberapa pasar tradisional Kota Medan. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mengetahui ada tidaknya formalin pada ikan kembung rebus yang dijual di beberapa pasar tradisional di Kota Medan. 2. Untuk mengetahui kadar formalin ikan kembung rebus yang dijual di beberapa pasar tradisional di Kota Medan.
1.4 Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat mengenai ada tidaknya formalin pada ikan kembung rebus yang dijual di pasar tradisional Medan. 2. Sebagai masukan kepada Dinas Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengenai kandungan formalin pada produk ikan kembung rebus yang dijual dipasar tradisional di Kota Medan.