BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan kendaraan dengan unit (kendaraan).

dokumen-dokumen yang mirip
KONSEP THE CITY OF PEDESTRIAN. Supriyanto. Dosen Tetap Prodi Teknik Arsitektur FT UNRIKA Batam

Persyaratan Teknis jalan

BAB V MEDIAN JALAN. 5.2 Fungsi median jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III LANDASAN TEORI

Manajemen Fasilitas Pejalan Kaki dan Penyeberang Jalan. 1. Pejalan kaki itu sendiri (berjalan dari tempat asal ke tujuan)

BAB III LANDASAN TEORI

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 61 TAHUN 1993 TENTANG RAMBU-RAMBU LALU LINTAS DI JALAN MENTERI PERHUBUNGAN,

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

PEDOMAN. Perencanaan Median Jalan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Konstruksi dan Bangunan. Pd. T B

POTONGAN MELINTANG (CROSS SECTION) Parit tepi (side ditch), atau saluran Jalur lalu-lintas (travel way); drainase jalan; Pemisah luar (separator);

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Contoh penyeberangan sebidang :Zebra cross dan Pelican crossing. b. Penyeberangan tidak sebidang (segregated crossing)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum

BAB III LANDASAN TEORI. memberikan pelayanan yang optimal bagi pejalan kaki.

PEDOMAN. Perencanaan Separator Jalan. Konstruksi dan Bangunan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Pd. T B

DEPARTEMEN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT DIREKTORAT BINA SISTEM TRANSPORTASI PERKOTAAN. Penempatan Fasilitas Perlengkapan Jalan

PETUNJUK TERTIB PEMANFAATAN JALAN NO. 004/T/BNKT/1990

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEDOMAN. Perencanaan Trotoar. Konstruksi dan Bangunan DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN 1-27

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III LANDASAN TEORI. 3.1 Konversi Satuan Mobil Penumpang

Penempatan marka jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG

Penampang Melintang Jalan Tipikal. dilengkapi Trotoar

2 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5422); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 34

Pd T Perambuan sementara untuk pekerjaan jalan

Perda No. 19/2001 tentang Pengaturan Rambu2 Lalu Lintas, Marka Jalan dan Alat Pemberi Izyarat Lalu Lintas.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perhubungan Darat : SK.43/AJ 007/DRJD/97).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Persimpangan adalah simpul dalam jaringan transportasi dimana dua atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 13 TAHUN 2014 TENTANG RAMBU LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT TENTANG ZONA SELAMAT SEKOLAH (ZoSS). Pasal 1

D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG BAB V PENUTUP

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Agus Surandono 1,a*, Amri Faizal 2,b

PANDUAN SURVAI DAN PERHITUNGAN WAKTU PERJALANAN LALU LINTAS NO. 001 /T/BNKT/1990 DIREKTORAT JENDERAL BINA MARGA DIREKTORAT PEMBINAAN JALAN KOTA

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 65 TAHUN 1993 T E N T A N G FASILITAS PENDUKUNG KEGIATAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN MENTERI PERHUBUNGAN,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA LALU LINTAS

BAB II KERANGKA TEORITIS. NO.: 011/T/Bt/1995 Jalur Pejalan Kaki yang terdiri dari :

PERSYARATAN TEKNIS JALAN UNTUK RUAS JALAN DALAM SISTEM JARINGAN JALAN PRIMER < < <

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tersebut. Pejalan kaki yang tertabrak kendaraan pada kecepatan 60 km/jam hampir

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : HK.205/1/1/DRJD/2006 TENTANG

TATA CARA PERENCANAAN FASILITAS PEJALAN KAKI DI KAWASAN PERKOTAAN

Penggunaan Teori Bilangan Untuk Perhitungan Waktu Perjalanan Lalu-Lintas

BAB III LANDASAN TEORI. diangkut selalu bertambah seperti pertambahan jumlah penduduk, urbanisasi,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III LANDASAN TEORI. hanya melibatkan satu kendaraan tetapi beberapa kendaraan bahkan sering sampai

BAB 2 PENAMPANG MELINTANG JALAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1993 TENTANG PRASARANA DAN LALU LINTAS JALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

sementara (Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 1996).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAMPIRAN III PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jalan. Ketika berkendara di dalam kota, orang dapat melihat bahwa kebanyakan

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 60 TAHUN 1993 T E N T A N G MARKA JALAN MENTERI PERHUBUNGAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah ser

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK.603/AJ 401/DRJD/2007 TENTANG

Spesifikasi geometri teluk bus

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SATUAN ACARA PERKULIAHAN ( SAP ) Mata Kuliah : Rekayasa Lalulintas Kode : CES 5353 Semester : V Waktu : 1 x 2 x 50 menit Pertemuan : 13 (Tiga belas)

BAB II KOMPONEN PENAMPANG MELINTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III LANDASAN TEORI. Jalan Wonosari, Piyungan, Bantul, banyak terjadi kecelakaan lalu lintas yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 62 TAHUN 1993 T E N T A N G ALAT PEMBERI ISYARAT LALU LINTAS MENTERI PERHUBUNGAN,

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

BAB III LANDASAN TEORI

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 34 TAHUN 2014 TENTANG MARKA JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berlangsung tanpa diduga atau diharapkan, pada umumnya ini terjadi dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jalan. Kemacetan banyak terjadi di kota-kota besar, terutamanya yang tidak

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis dan pengolahan data yang ada maka dapat diambil

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 09 TAHUN 2011 TENTANG

BLACKSPOT INVESTIGATION WORKSHOP Surabaya, Mei 2012

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya jaringan jalan diadakan karena adanya kebutuhan

CONTOH SOAL TES TORI SIM C (PART 1)

1. Manajemen Pejalan Kaki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Inspeksi Keselamatan Jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Persyaratan umum sistem jaringan dan geometrik jalan perumahan

BAB II TINJAU PUSTAKA. jalan bergabung atau berpotongan/bersilangan. Faktor faktor yang digunakan

BAB III LANDASAN TEORI

TATA CARA PERENCANAAN PEMISAH NO. 014/T/BNKT/1990

Spesifikasi bukaan pemisah jalur

BAB IV ANALISIS DATA. Data simpang yang dimaksud adalah hasil survey volume simpang tiga

di kota. Persimpangan ini memiliki ketinggian atau elevasi yang sama.

LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG. Nomor 3 Tahun 2002 Seri C PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Unsur Lalu Lintas Menurut Hendarsin (2000), unsur lalu lintas adalah benda atau pejalan kaki sebagai bagian dari lalu lintas, sedangkan unsur lalu lintas di atas roda disebut dengan kendaraan dengan unit (kendaraan). 2.1.1 Jalur lalu lintas Dalam RSNI tentang Geometri Jalan Perkotaan (2004), definisi jalur yaitu bagian jalan yang dipergunakan untuk lalu lintas kendaraan yang secara fisik berupa perkerasan jalan. Jalur lalu lintas dapat terdiri atas beberapa lajur. Ada beberapa tipe jalan berdasarkan jumlah lajur dan ada tidaknya pembagi jalan. Untuk tipe jalan 3-lajur-2-arah-tak terbagi dan 4-lajur-2-arah-tak terbagi tidak disarankan untuk digunakan. Berikut tabel 2.1 tentang tipe tipe jalan yang disarankan dalam RSNI 2004 tentang Geometri Jalan Perkotaan. Tabel 2.1. Tipe-tipe Jalan Tipe Jalan Jalur di sisi jalan utama Perlu jalur lambat Perlu trotoar 2-lajur-2-arah-tak terbagi v v 4-lajur-2-arah-terbagi vv vv 6-lajur-2-arah-terbagi vv vv Lebih dari 1 lajur-1-arah vv vv Catatan : v = disarankan dilengkapi, tergantung kebutuhan; vv = dilengkapi. 6

7 2.1.2 Lajur Lajur adalah bagian jalur lalu lintas yang memanjang, dibatasi oleh marka lajur jalan, memiliki lebar yang cukup untuk dilewati suatu kendaraan bermotor sesuai kendaraan rencana. Lebar lajur tergantung pada kecepatan dan kendaraan rencana, yang dalam hal ini dinyatakan dengan fungsi dan kelas jalan. Sedangkan untuk jumlah lajur dipengaruhi oleh volume lalu lintas yang direncanakan. 2.1.3 Kecepatan lalu lintas kendaraan Secara umum, kecepatan adalah tingkat pergerakan lalu-lintas atau kendaraan tertentu yang sering dinyatakan dalam kilometer per jam. Kecepatan lalu lintas kendaraan dapat dihitung berdasarkan jarak perjalanan dibagi waktu perjalanan pada jalan tertentu. Menurut Bina Marga dalam Panduan Survai dan Perhitungan Waktu Perjalanan Lalu Lintas (1990), karakteristik dari waktu perjalanan / kecepatan perjalanan diperlukan untuk aktivitas-aktivitas sebagai berikut : 1. Untuk menentukan perlunya peraturan lalu-lintas dan penempatan alat-alat pengatur seperti: batas kecepatan, rute sekolah, penyeberangan pejalan kaki, lokasi rambu-rambu lalu-lintas dan lampu lalu-lintas. 2. Studi untuk mengatasi tingkat kecelakaan yang tinggi pada lokasi-lokasi tertentu, dimana dapat ditentukan korelasi antara kecepatan dan kecelakaan. 3. Evaluasi tingkat perbaikan lalu-lintas, misalnya mempelajari sebelum dan sesudah peningkatan jalan. 4. Menganalisa daerah kritis yang banyak terjadi keluhan.

8 5. Untuk penentuan elemen-elemen perencanaan geometrik jalan, seperti gradien, super elevasi dan persimpangan. 6. Untuk menentukan tingkat keperluan penegakan hukum. 7. Untuk evaluasi ekonomi seperti menghitung biaya operasi kendaraan dari peningkatan jalan atau pengaturan lalu-lintas. 8. Penentuan rute yang efisien untuk arus lalu-lintas. 9. Untuk mengidentifikasi lokasi-lokasi kemacetan lalu-lintas. 10. Untuk studi perencanaan transportasi seperti pada proses alokasi lalu-lintas. Dalam buku Panduan Survai dan Perhitungan Waktu Perjalanan Lalu Lintas oleh Bina Marga (1990), tercantum beberapa metode yang dapat digunakan dalam pengukuran kecepatan kendaraan, yang penggunaannya disesuaikan dengan tujuan dari survai. Berikut beberapa metode pengukuran kecepatan lalu lintas. 1. Metode Kendaraan Contoh. Pada cara ini dapat diperoleh kecepatan perjalanan total dan kecepatan bergerak serta lokasi hambatan dan lamanya hambatan di sepanjang rute. Cara ini dilakukan dengan kendaraan contoh yang dikendarai pada arus lalu-lintas dengan mengikuti salah satu dari kondisi operasi sebagai berikut : a) Pengemudi berusaha membuat kendaraan contoh mengambang pada arus kendaraan dalam artian mengusahakan agar jumlah kendaraan yang disiap kendaraan contoh sama dengan kendaraan yang menyiap kendaraan contoh.

9 b) Pengemudi mengatur kecepatan sesuai dengan perkiraan kecepatan arus kendaraan. c) Kendaraan contoh melaju sesuai dengan kecepatan batas kecuali terhambat oleh kondisi lalu-lintas yang disurvai. 2. Metode Kendaraan Bergerak. Dalam metode ini, kendaraan bergerak dalam arus lalu-lintas untuk mengumpulkan data yang meliputi waktu perjalanan serta arus lalu lintas baik yang searah maupun yang berlawanan arah dengan kendaraan pengamat. Di samping memperkirakan waktu perjalanan/kecepatan perjalanan, besarnya volume lalu-lintas dapat pula diperkirakan dari metode ini. 3. Metode Kecepatan Setempat. Waktu perjalanan bergerak dapat diperoleh dari metode kecepatan setempat. Metode kecepatan setempat dimaksudkan untuk pengukuran karakteristik kecepatan pada lokasi tertentu pada lalu lintas dan kondisi lingkungan yang ada pada saat studi. Lokasi pengamatan kecepatan setempat sebaiknya dipilih pada ruas jalan diantara persimpangan, sedangkan waktu pengamatan tergantung pada tujuan penggunaan basil survai. Kecepatan setempat hendaknya dilakukan pada saat udara yang baik dengan kondisi lalu-lintas normal. 4. Metode Nomor Kendaraan. Dalam metode ini, waktu dan nomor kendaraan pada titik masuk dan keluar dicatat dan dicocokkan untuk mendapatkan waktu perjalanan. Rute yang disurvai diusahakan mempunyai sedikit persimpangan besar.

10 2.2 Pedestrian / Jalur Pejalan Kaki Pedestrian berasal dari bahasa Yunani, dimana berasal dari kata pedos yang berarti kaki, sehingga pedestrian dapat diartikan sebagi pejalan kaki atau orang yang berjalan kaki, sedangkan jalan merupakan media diatas bumi yang memudahkan manusia dalam tujuan berjalan. Jalur pedestrian merupakan sebuah sarana untuk melakukan kegiatan, terutama untuk melakukan aktivitas di kawasan perdagangan dimana pejalan kaki memerlukan ruang yang cukup untuk dapat melihat-lihat, sebelum menentukan untuk memasuki salah satu pertokoan di kawasan perdagangan tersebut. Jalur pedestrian memiliki tujuan untuk memberikan pelayanan kepada pejalan kaki sehingga dapat meningkatkan kelancaran, keamanan, dan kenyamanan bagi pejalan kaki. (Iswanto, 2006) Menurut Departemen Pekerjaan Umum dalam Pedoman Perencanaan Jalur Pejalan pada Jalan Umum (1999), fasilitas bagi pejalan kaki secara formal terdiri dari beberapa jenis, yaitu sebagai berikut. 2.2.1 Jalur pejalan kaki Jalur pejalan kaki terdiri dari : 1) trotoar Yang dimaksud dengan trotoar adalah jalur pejalan kaki yang terletak pada ruang milik jalan, diberi lapisan permukaan, diberi elevasi yang lebih tinggi dari permukaan perkerasan jalan, dan pada umumnya sejajar dengan jalur lalu lintas kendaraan.

11 2) penyeberangan Beberapa macam bentuk penyeberangan yaitu zebra cross, pelican crossing, jembatan penyeberangan orang, dan terowongan penyeberangan orang. 3) non trotoar Yang dimaksud dengan non trotoar adalah jalur pejalan kaki yang dibangun pada prasarana umum lainnya diluar jalur; seperti pada taman, di perumahan dan lain-lain. 2.2.2 Pelengkap jalur pejalan kaki Pelengkap jalur pejalan kaki terdiri dari : 1) lapak tunggu (a) Disediakan pada median jalan. (b) Disediakan pada pergantian roda, yaitu dari pejalan kaki ke roda kendaraan umum. 2) lampu penerangan (a) Ditempatkan pada jalur penyeberangan jalan. (b) Pemasangan bersifat tetap dan bernilai struktur. (c) Cahaya lampu cukup terang sehingga apabila pejalan kaki melakukan penyeberangan bisa terlihat pengguna jalan baik di waktu gelap/malan hari. (d) Cahaya lanpu tidak membuat silau pengguna jalan lalu lintas kendaraan.

12 3) rambu (a) Penempatan dan dimensi rambu sesuai dengan spesifikasi rambu (b) Jenis rambu sesuai dengan kebutuhan dan sesuai dengan keadaan medan. 4) pagar pembatas (1) Apabila volume pejalan kaki di satu sisi jalan sudah > 450 orang/jam/lebar efektif (dalam meter). (2) Apabila volume kendaraan sudah > 500 kendaraan/jam. (3) Kecepatan kendaraan > 40 km/jam. (4) Kecenderungan para pejalan kaki yang tidak menggunakan fasilitas penyeberangan. (5) Bahan pagar bisa terbuat dari konstruksi bangunan atau tanaman. 2.3 Pemilihan Fasilitas Penyeberangan Fasilitas penyeberangan adalah fasilitas pejalan kaki untuk menyeberang jalan. Menurut Soehartono (2013), faktor faktor dan indikator dalam pemilihan fasilitas penyeberangan adalah sebagai berikut. 2.3.1 Karakteristik penyeberang jalan Untuk menganalisa kebutuhan fasilitas penyeberang jalan perlu dipelajari karakteristik serta perlaku pejalan kaki yang menyeberang jalan. Adapun karakteristik pejalan kaki tersebut adalah :

13 1) Kecepatan menyeberang Kecepatan menyeberang adalah jarak dibagi dengan waktu. Kecepatan berjalan dipengaruhi oleh faktor-faktor volume pejalan kaki, usia pejalan kaki, jenis kelamin pejalan kaki, tingkat kesehatan fisik pejalan kaki, kepadatan pejalan kaki dari arah berlawanan, kemiringan jalan, lebar penyeberangan, jarak terhadap kendaraan yang datang, kecepatan kendaraan yang datang dan cuaca. 2) Volume Volume pejalan kaki adalah jumlah pejalan kaki yang melewati titik tertentu setiap satuan waktu. Volume pejalan kaki dinyatakan dalam pejalan kaki/meter/detik atau pejalan kaki/meter/menit. 3) Waktu tunggu Waktu tunggu merupakan waktu yang dibutuhkan pejalan kaki untuk menunggu pada saat akan menyeberang. 2.3.2 Perilaku pengemudi Perilaku pengemudi yang diamati dalam hubungannya dengan penyeberang jalan adalah kecepatan pengemudi pada saat melewati fasilitas penyeberangan. Perilaku pengemudi diamati dengan mendapatkan kecepatan pengemudi pada saat penyeberang berada ditepi jalan yaitu saat akan menyeberang serta pada saat penyeberang sedang ditengah (sedang menyeberang).

14 2.4 Fasilitas Penyeberangan Orang Fasilitas penyeberangan bagi pejalan kaki dapat disediakan secara bertahap sesuai dengan tingkat kebutuhan (Juniardi, 2010). Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan (2014), fasilitas penyeberangan dibedakan menjadi dua yaitu penyeberangan sebidang dan tak sebidang. Penyeberangan sebidang yaitu fasilitas penyeberangan yang berada di permukaan jalan raya. Sedangkan penyeberangan tak sebidang merupakan fasilitas penyeberangan yang tidak berada di permukaan jalan, melainkan di atas maupun di bawah permukaan jalan. 2.4.1 Penyeberangan tak sebidang Penyeberangan tak sebidang terdiri dari : 1) Jembatan Penyeberangan Jembatan penyeberang merupakan fasilitas penyeberangan bagi pejalan kaki yang terletak di atas permukaan tanah berbentuk jembatan. Ketentuan pembangunan jembatan penyeberangan harus memenuhi kriteria : a) keselamatan dan kenyamanan para pemakai jembatan serta keamanan bagi pemakai jalan di bawahnya, b) penempatannya tidak mengganggu kelancaran lalu lintas, c) estetika dan keserasian dengan lingkungan di sekitarnya.

15 Gambar 2.1 Jembatan Penyeberangan Orang (Sumber : http://www.kompasiana.com/faifadli/5-alasan-kenapaorang-malas-menggunakan-jembatanpenyeberangan_57dfd0b2be22bda749fcb52f) 2) Terowongan Terowongan penyeberangan merupakan fasilitas penyeberangan bagi pejalan kaki yang terletak di bawah permukaan tanah berbentuk terowongan. Pemilihan lokasi terowongan penyeberangan memperhatikan hal hal berikut. a) Mudah dilihat serta dapat dijangkau dengan aman dan mudah. b) Memiliki jarak maksimum 50 m dari pusat kegiatan dan keramaian serta pemberhentian bus. c) Memiliki jarak minimum 50 m dari persimpangan jalan. Gambar 2.2 Terowongan Penyeberangan (Sumber : http://www.tribunnews.com/travel/2015/08/17/terowonganpenyeberangan-kota-tua-potret-buram-fasilitas-umum-jakartagelap-dan-pengap)

16 2.4.2 Penyeberangan sebidang Penyeberangan sebidang terdiri dari : 1) Zebra cross Penyeberangan zebra merupakan fasilitas penyeberangan bagi pejalan kaki yang dilengkapi marka untuk memberi batas dalam melakukan lintasan. Ketentuan penyediaan penyeberangan zebra yaitu sebagai berikut. a) Terletak pada kaki persimpangan jalan tanpa atau dengan alat pemberi isyarat lalu lintas. b) Dilengkapi dengan garis marka jalan dengan dimensi yang telah ditentukan. 2) Pelican crossing Gambar 2.3 Zebra Cross (Sumber : https://nasikhudinisme.com/tag/zebra-cross/) Dalam Tata Cara Perencanaan Fasilitas Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan (1995), pelican crossing adalah fasilitas penyeberangan pejalan kaki yang dilengkapi dengan lampu lalu lintas untuk menyeberang jalan dengan aman dan nyaman. Lampu yang ditujukan bagi para pejalan kaki yang akan menyeberang jalan hanya

17 menggunakan 2 warna lampu, yaitu warna merah artinya dilarang menyeberang, dan warna hijau artinya diperbolehkan menyeberang. Fasilitas pelican crossing sebagai penyeberangan di tengah ruas jalan, juga memiliki ketentuan teknis, seperti diatur dalam Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan (2014) yaitu sebagai berikut. a) Dilengkapi dengan rambu rambu peringatan sebelum mengarah pada lokasi penyeberangan. b) Dilengkapi dengan penerangan jalan yang cukup. c) Dilengkapi dengan rambu rambu dengan penerangan yang cukup. d) Memiliki jarak pandang yang cukup baik bagi pengendara bermotor maupun pejalan kaki. Gambar 2.4 Unit Pelican Crossing (Sumber : http://www.telegraph.co.uk/news/uknews/road-and-railtransport/9241663/new-inquiry-into-puffin-pedestrian-crossingsamid-safety-fears.html)

18 2.5 Marka Jalan dan Rambu Lalu Lintas 2.5.1 Marka jalan Marka adalah suatu tanda yang berada di permukaan jalan atau di atas permukaan jalan yang meliputi peralatan atau tanda yang membentuk garis membujur, garis melintang, garis serong, serta lambang yang berfungsi untuk mengarahkan arus lalu lintas dan membatasi daerah kepentingan lalu lintas. Ketentuan teknis marka jalan untuk penyeberangan pejalan kaki yaitu sebagai berikut. 1. Garis membujur lebar 0,30 meter dan panjang minimal 2,50 meter. 2. Celah di antara garis-garis membujur mempunyai lebar minimal 0,30 meter dan maksimal 0,60 meter. 3. Garis melintang memiliki lebar 0,30 meter. 4. Jarak antar garis melintang minimal 2,5 meter. Gambar 2.5 Contoh Detail Dimensi Marka untuk Zebra Cross (Sumber : Departemen Perhubungan, dalam Panduan Penempatan Fasilitas Perlengkapan Jalan (2006))

19 2.5.2 Rambu lalu lintas Menurut Departemen Perhubungan, dalam Panduan Penempatan Fasilitas Perlengkapan Jalan (2006), rambu adalah alat yang utama dalam mengatur, memberi peringatan dan mengarahkan lalu lintas. Rambu yang efektif harus memenuhi hal-hal berikut: memenuhi kebutuhan; menarik perhatian dan mendapat respek pengguna jalan; memberikan pesan yang sederhana dan mudah dimengerti; dan menyediakan waktu cukup kepada pengguna jalan dalam memberikan respon. Berikut beberapa ketentuan umum mengenai pemasangan rambu yang berkaitan dengan rambu bagi penyeberangan orang. 1. Jarak penempatan Rambu ditempatkan di sebelah kiri menurut arah lalu lintas, di luar jarak tertentu dan tepi paling luar bahu jalan atau jalur lalu lintas kendaraan dan tidak merintangi lalu lintas kendaraan atau pejalan kaki. Jarak penempatan antara rambu yang terdekat dengan bagian tepi paling luar bahu jalan atau jalur lalu lintas kendaraan minimal 0,60 meter. Penempatan rambu harus mudah dilihat dengan jelas oleh pemakai jalan. Sketsa rambu terlampir dalam gambar 2.6.a. 2. Tinggi rambu Ketinggian penempatan rambu di lokasi fasilitas pejalan kaki minimum 2,00 meter dan maksimum 2,65 meter diukur dari permukaan fasilitas pejalan kaki sampai dengan sisi daun rambu bagian bawah atau papan tambahan bagian bawah, apabila rambu dilengkapi dengan papan tambahan. Sketsa rambu terlampir dalam gambar 2.6.c.

20 3. Posisi rambu Pada kondisi jalan yang lurus atau melengkung ke kiri, rambu yang ditempatkan pada sisi jalan, pemasangan posisi rambu digeser 3 (derajat) searah jarum jam dan posisi tegak lurus sumbu jalan. Sketsa rambu terlampir dalam gambar 2.6.b. (a) (b) Gambar 2.6. Sketsa Kriteria Umum Pemasangan Rambu Penyeberangan Orang (Sumber : Departemen Perhubungan, dalam Panduan Penempatan Fasilitas Perlengkapan Jalan (2006)) (c)