BAB I PENDAHULUAN. guru (Muhammad Irham & Novan, 2013). Menurut UU sistem pendidikan dalam

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, terdapat berbagai macam agama dan kepercayaan- kepercayaan

BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan bahwa ia membutuhkan suatu proses belajar yang memungkinkan dirinya untuk

BAB I PENDAHULUAN. 14 persen. Total dokter yang dibutuhkan secara nasional hingga tahun 2014

BAB I PENDAHULUAN. tenaga pendidik yang disebut dengan dosen. Menurut jenisnya, perguruan tinggi

BAB I PENDAHULUAN. istri. Ketika pasangan suami istri memutuskan untuk memiliki anak, mereka

BAB I PENDAHULUAN. lanjut usia atau lansia (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2006). Keberadaan panti

BAB I PENDAHULUAN. masa pernikahan. Berbagai harapan mengenai keinginan memiliki anak pun

BAB I PENDAHULUAN. Perawat atau Nurse berasal dari bahasa Latin yaitu dari kata Nutrix yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. orang kepercayaan, penasehat, orang yang berkarir, dan sebagai orang tua

BAB I PENDAHULUAN. menjalani kehidupan. Masyarakat membutuhkan layanan kesehatan seperti

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pelayanan kesejahteraan sosial di lingkungan instansi pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat di berbagai

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dambaan bagi setiap keluarga. Suatu pernikahan diharapkan mampu memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. terhadap ancaman bahaya kebakaran (Kidokoro, 2008; Sufianto dan Green, 2011). Kota

BAB I PENDAHULUAN. Deskripsi cantik fisik, setiap orang punya paham sendiri-sendiri. Orang

BAB I PENDAHULUAN. memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis (Hasyim,

BAB I PENDAHULUAN. Individu pada tahap perkembangan dewasa awal umumnya aktif, kreatif,

BAB I PENDAHULUAN. Menurut (Nugroho. T, 2010: 94) Aquired Immune Deficiency Syndrome

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah perusahaan mengandalkan berbagai divisi karyawan yang saling

BAB I PENDAHULUAN. Gereja dan Tata Laksana Gereja Sinode X Bab XXIV dan Bab XXVII, pendeta

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal

BAB I PENDAHULUAN. menyelenggarakan upaya kesehatan, dengan memberdayakan berbagai kesatuan

BAB I PENDAHULUAN. Institusi pendidikan (profesi dokter) merupakan institusi yang

BAB I PENDAHULUAN. bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan berdampak buruk terhadap diri mereka

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan dalam keluarga membuat remaja akan merasakan bahwa dirinya

BAB I PENDAHULUAN. memiliki peran sebagai suami dan istri dengan tugasnya masing-masing. Pada keluarga

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu fase kehidupan manusia secara umum ialah menikah. Setelah

BAB I PENDAHULUAN. penerapan teori yang didapat sebelumnya dari periode praklinik untuk mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. mahasiswa yang beragama Buddha. Seiring dengan bertambahnya usia, keinginan

BAB I PENDAHULUAN. bagian daerah lain, dan salah satunya adalah etnis Tionghoa. Sebagai etnis yang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. Masalah penyalahgunaan narkoba di Indonesia pada tahun 2014 semakin meningkat.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara dengan intensitas bencana alam yang

BAB I PENDAHULUAN. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa terdapat lebih dari 9 juta

BAB I PENDAHULUAN. anaknya akan lahir dengan kondisi fisik dan mental yang normal, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. ini disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri, yaitu merupakan penyakit AIDS,

BAB I PENDAHULUAN. Bertambahnya usia merupakan proses menua alami yang akan dihadapi manusia. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

Prosiding Psikologi ISSN:

BAB I PENDAHULUAN. Belakangan ini Indonesia marak terjadi kasus kekerasan. Kejadian demi

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Hana Nailul Muna, 2016

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan menyiptakan laki-laki dan perempuan sebagai makhluk yang

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia. Menurut mantan Wapres Boediono (dalam Munady, 2014)

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

BAB I PENDAHULUAN. Agama merupakan suatu kepercayaan tentang konsep Tuhan. Indonesia memiliki 6

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

1 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Body Dissatisfaction. body image sebagai suatu sikap dan penilaian individu mengenai

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. lain. Sejak lahir, manusia sudah bergantung pada orang lain, terutama orangtua

v Universitas Kristen Maranatha

BAB 1. Pendahuluan. Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian. terpenting dari perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak.

Abstrak. Kata kunci : Self-compassion, mahasiswa, keperawatan

BAB I PENDAHULUAN. manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1993). Indonesia merupakan negara

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial yang artinya manusia membutuhkan orang lain dalam

Rizka Hendarizkianny Self Compassion 2015 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

LAPORAN OBSERVASI LAPANGAN PERKEMBANGAN DAN PROSES PEMBELAJARAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN. Belakangan berbagai media di Indonesia, baik cetak maupun elektronik banyak mengulas

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing

ABSTRACT. This research was conducted to determine the degree of self-compassion

BAB I PENDAHULUAN. Anak berkebutuhan khusus (Heward dan Orlansky, 1992) adalah anak dengan

BAB I PENDAHULUAN. Komisi Remaja adalah badan pelayanan bagi jemaat remaja berusia tahun. Komisi

BAB II LANDASAN TEORI. Compassion yang mengacu pada teori dari Kristin Neff (2011). Neff membahas

BAB I PENDAHULUAN. Institusi pendidikan sangat berperan penting bagi proses tumbuh kembang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kelahiran seorang anak dalam sebuah keluarga merupakan suatu bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. untuk dapat saling mengisi dan saling membantu satu dengan yang lain.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

Kata kunci: self-compassion, self-kindness, common humanity, mindfulness, perempuan single-parent

BAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang. Anak yang dilahirkan secara sehat baik dalam hal fisik dan psikis

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keluarga itu adalah yang terdiri dari orang tua (suami-istri) dan anak. Hubungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara bertahap yaitu adanya suatu proses kelahiran, masa anak-anak, remaja,

menjadi bagian dari kelompoknya dengan mengikuti norma-norma yang telah

1. PENDAHULUAN. Gambaran resiliensi dan kemampuan...dian Rahmawati, FPsi UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai kodratnya manusia adalah makhluk pribadi dan sosial dengan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

BAB 1 PENDAHULUAN. Keterbatasan, tidak menjadi halangan bagi siapapun terutama keterbatasan

BAB I PENDAHULUAN. Retardasi mental adalah suatu gangguan yang heterogen yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan yang ada di gereja, yang bermula dari panggilan Allah melalui Kristus

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Tubuh manusia mengalami berbagai perubahan dari waktu kewaktu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lazimnya dilakukan melalui sebuah pernikahan. Hurlock (2009) menyatakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang tiap elemen bangsanya sulit

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu aspek penting bagi kehidupan manusia. Pendidikan dapat menjadi sebuah sarana bagi setiap orang untuk menambah, memperluas wawasannya serta dapat mencapai masa depan yang lebih baik. Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu proses perubahan tingkah laku manusia yang dilakukan melalui proses belajar mengajar yang melibatkan antara siswa dan guru (Muhammad Irham & Novan, 2013). Menurut UU sistem pendidikan dalam pasal 15, pendidikan terbagi dalam beberapa jenis dan diantaranya adalah pendidikan umum dan pendidikan khusus. Pada dasarnya pendidikan umum dan pendidikan khusus memiliki tujuan yang sama dalam mendidik dan mengajari setiap siswa. Hal yang membedakan pendidikan umum dan pendidikan khusus adalah metode mengajar serta peserta didik yang diajar. Pendidikan umum pada umumnya mengajari mendidik dan mengajari anak-anak yang tidak memiliki keterbatasan fisik, serta biasanya menggunakan metode mengajar yang disesuaikan dengan aturan dari pemerintah. Pendidikan khusus pada umumnya merupakan pendidikan diberikan pada anakanak yang memiliki keterbatasan, baik itu keterbatasan secara fisik maupun keterbatasan psikis, dengan menggunakan metode mengajar yang disesuaikan dengan kemampuan siswa yang diajar.

2 Pendidikan khusus pada umumnya dikenal dengan istilah Sekolah Luar Biasa (SLB) dan terdiri dari beberapa jenis yakni SLB bagian A untuk anak tuna netra, SLB bagian B untuk anak tuna rungu, SLB bagian C untuk anak tuna grahita, SLB bagian D untuk anak tuna daksa, SLB bagian E untuk anak tuna laras, SLB bagian G untuk anak tuna ganda atau yang memiliki cacat ganda. Salah satu Sekolah Luar Biasa yang mendidik dan megajari anak-anak yang memiliki keterbatasan, baik secara fisik ataupun secara psikis di kota Bandung adalah SLB C X. SLB C X merupakan salah satu sekolah yang berdiri pertama kali di Indonesia. SLB C X kota Bandung merupakan SLB peninggalan kolonial Belanda yang berdiri pada tanggal 29 Mei 1927 yang didirikan oleh Dr.A.Kits Van Heijningeen. Beliau adalah orang Belanda dengan Warga Negara Jerman. SLB C X ini mendidik dan mengajari anak-anak yang memiliki kemampuan berpikir dan bernalar di bawah rata-rata atau yang biasa disebut dengan retardasi mental atau yang lebih dikenal dengan tunagrahita (sumber : SLB C X ). SLB C X Kota Bandung memiliki visi memberikan pelayanan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak tunagrahita agar dapat menjadi anggota yang berguna dan bermanfaat di kalangan masyarakat. Misi dari SLB C X adalah menyelenggarakan program pendidiank, penelitian dan pengabdian, serta berusaha untuk menanggulangi masalah yang dihadapi anak-anak keterbelakangan mental dengan menciptakan lingkungan sekolah yang ramah. Dalam mewujudkan visi dan misi sekolahnya, SLB C X pun didukung dan dibantu oleh beberapa tenaga pendidik. Para tenaga pendidik di SLB C X memiliki tugas untuk mengajari anak-anak tunagrahita secara akademik, membimbing dan mengarahkan perilaku

3 anak-anak tunagrahita agar berkembang menjadi lebih baik, dan memberikan pelayanan bimbingan konseling termasuk memberikan pelatihan keterampilan pada anak-anak tunagrahita di SLB C X Kota Bandung (sumber : SLB C X ). Tenaga pendidik SLB C X memiliki tugas untuk mengajari, membimbing anak anak yang berusia 4 30 tahun, serta yang ringan, sedang dan berat. Agar memudahkan tenaga pendidik dalam melakukan tugasnya maka anak anak tunagrahita SLB C X dikelompokkan dalam kelas taman kanak kanak hingga kelas sekolah menengah atas (kelas keterampilan). Setiap kelas terdiri dari enam hingga tujuh orang anak, dan ditangani oleh satu orang tenaga pendidik. Hal ini yang membuat tenaga pendidik diharapkan kesabaran, pemahaman dan daya juang yang tinggi, serta memiliki keahlian untuk mencari metode mengajar yang tepat agar setiap anak yang diajari mendapatkan perhatian yang sama dari tenaga pendidik. Dalam melakukan tugas tugasnya sebagai tenaga pendidik SLB C X, tenaga pendidik tidak lepas dari kesulitan atau masalah, baik kesulitan dari lingkungan sekolah maupun dari lingkungan di luar sekolah. Salah satu contoh kesulitan yang dialami oleh tenaga pendidik adalah ketika menghadapi siswa di kelas yang sulit untuk diatur,. Selain itu masalah timbul ketika tenaga pendidik tidak mampu memberikan perhatian yang sama kepada setiap siswa. Misalnya ada siswa yang sedang menangis sedangkan siswa yang lain sedang membutuhkan tenaga pendidik untuk menemaninya bermain. Keterbatasan tenaga pendidik yang mengajar di dalam kelas, membuat tenaga pendidik SLB C X harus mampu membagi perhatian kepada setiap siswa.

4 Hasil survey awal dengan menggunakan teknik wawancara terhadap 5 tenaga pendidik di SLB C X di kota Bandung menunjukkan bahwa sebanyak 1 tenaga pendidik (20%) menyatakan bahwa kesulitan yang dihadapi ketika menjalankan tugasnya menjadi seorang tenaga pendidik anak-anak tunagrahita di SLB C X adalah pada saat anak-anak tidak menunjukkan kemajuan. Pada saat mengajar, tenaga pendidik memiliki harapan tersendiri akan perkembangan anak. Namun pada saat hasilnya tidak sesuai dengan harapan mereka, membuat tenaga pendidik cenderung menyalahkan dirinya sendiri. Tenaga pendidik merasa kurang berhasil dalam menjalankan tugasnya dan merasa kurang berkompeten dalam mendidik dan mengajari anak-anak berkebutuhan khusus yang ada di SLB C X Kota Bandung. Sebanyak 1 tenaga pendidik (20%) menyatakan kesulitan yang dihadapi selama mengajar dan mendidik anak-anak di SLB C X Kota Bandung adalah pada saat menghadapi orang tua murid yang memiliki harapan besar akan kesembuhan anaknya, namun terkadang kurang mendukung proses dan metode mengajar yang dilakukan oleh tenaga pendidik. Sebanyak 1 tenaga pendidik (20%) menyatakan kesulitan yang dihadapi selama mengajar dan mendidik anak-anak di SLB C X kota Bandung adalah pada saat menghadapi anak yang memiliki tingkat aggressive yang cenderung tinggi. Tingkah laku siswa yang memiliki tingkat aggressive tinggi ini cenderung membahayakan dirinya sendiri dan juga orang-orang di sekitarnya. Hal ini menyebabkan tenaga pendidik merasa kesulitan karena merasa kurang mampu untuk menahan siswa tersebut dan bahkan menjadi korban luapan amarah siswa

5 tersebut, sehingga terkadang membuat tenaga pendidik merasakan memiliki tugas yang paling berat. Sebanyak 2 tenaga pendidik (40%) menyatakan bahwa selama mengajar di SLB C X Kota Bandung tidak merasa memiliki kesulitan atau mengalami kegagalan. Kedua tenaga pendidik menyatakan bahwa mengurus anak-anak yang berkebutuhan khusus memang membutuhkan kesabaran, ketekunan dan sikap empati yang tinggi, serta akan merasa lelah. Namun apabila semuanya dijalani dengan senang hati dan sesuai dengan keinginan sendiri, maka semua kesulitan, perasaan capek dan lelah yang dihadapi tidak akan dirasakan sebagai suatu kesulitan. Dari berbagai kesulitan yang dihadapi oleh 5 tenaga pendidik SLB C X kota Bandung sebanyak 1 orang tenaga pendidik (20%) menyatakan bahwa tenaga pendidik merasa bahwa dirinya kurang baik dalam menjalankan tugasnya, sering diliputi oleh perasaan bersalah dan mengkritik dirinya sendiri ketika anak-anak didiknya tidak mengalami kemajuan. Namun tenaga pendidik tetap sabar dalam menghadapi kesulitan tersebut dan tetap menjalankan tugas-tugasnya seperti biasa, meskipun hal tersebut membuat tenaga pendidik sering mengevaluasi dirinya sendiri. Sebanyak 1 orang tenaga pendidik (20%) yang merasa memiliki tugas yang paling berat karena menghadapi siswa yang memiliki tingkat aggressive yang cenderung tinggi, dan sebanyak 1 orang tenaga pendidik (20%) yang menjalankan tugasnya dan berusaha untuk berpikir positif meskipun mendapat banyak tuntutan dari orang tua siswa.

6 Sikap yang ditampilkan tenaga pendidik terhadap siswa/siswi di SLB C X dalam menjalankan tugasnya, seperti mengajari, membimbing, dan mengurus setiap siswa dengan sabar dan penuh kasih sayang mencerminkan compassion for others. Compassion for others merupakan kemampuan individu untuk menyadari dan melihat penderitaan orang lain, serta memberikan kepeduliaan dan pemahaman terhadap penderitaan mereka (Neff, 2003). Compassion for others tidak dapat dijalankan oleh individu dengan sepenuhnya apabila belum memiliki selfcompassion yang tinggi di dalam dirinya sendiri (Neff, 2003). Self-compassion merupakan keterbukaan dan kesadaran individu terhadap penderitaan diri sendiri, tanpa menghindar dari penderitaan itu, memberikan pemahaman dan kebaikan terhadap diri sendiri ketika menghadapi penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan tanpa menghakimi diri sendiri, serta melihat suatu kejadian sebagai pengalaman yang dialami semua manusia (Neff, 2003). Tenaga pendidik yang memiliki derajat self-compassion yang tinggi, memiliki keseimbangan antara bersikap baik terhadap orang lain dan terhadap diri sendiri, namun sebaliknya tenaga pendidik dengan derajat self-compssion yang rendah, akan kurang mampu menyeimbangkan antara perilakunya terhadap orang lain dan perilakunya terhadap diri sendiri. Self-compassion terdiri dari tiga komponen utama, yaitu self-kindness, common humanity dan mindfulness. Derajat self-compassion yang tergolong tinggi dlihat dari derajat ketiga komponen self-compassion. Apabila derajat ketiga komponen yang dimiliki tenaga pendidik tergolong tinggi, maka self-compassion yang dimiliki oleh tenaga pendidik dikatakan tinggi, sedangkan apabila ketiga

7 komponen atau salah satu komponen tergolong rendah, maka tenaga pendidik memiliki derajat self-compassion yang tergolong rendah. Berdasarkan paparan di atas, maka peneliti ingin mengetahui lebih lanjut mengenai gambaran selfcompassion bagi seorang tenaga pendidik, terutama bagi tenaga pendidik anak berkebutuhan khusus di SLB C X kota Bandung. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas, maka identifikasi masalah penelitian ini adalah bagaimana derajat self-compassion pada tenaga pendidik SLB bagian D X di Bandung. 1.3 Maksud dan Tujuan 1.3.1 Maksud Maksud dari penelitian ini adalah memperoleh gambaran derajat selfcompassion pada tenaga pendidik SLB C X Bandung. 1.3.2 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana derajat komponen self-compassion, self-compassion serta faktor yang memengaruhi derajat self-compassion pada tenaga pendidik SLB C X Bandung.

8 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis 1. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengetahuan untuk memperkaya bidang ilmu psikologi pendidikan dan psikologi positif tentang pentingnya self-compassion bagi para tenaga pendidik terutama tenaga pendidik anak berkebutuhan khusus. 2. Memberikan informasi kepada peneliti yang lain yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai Self-compassion pada tenaga pendidik anak-anak berkebutuhan khusus. 1.4.2 Kegunaan Praktis 1. Memberikan informasi kepada para tenaga pendidik di SLB C X Kota Bandung mengenai derajat self-compassion di dalam diri mereka sebagai bahan evaluasi diri agar dapat mempertahankan dan meningkatkan kemampuan self-compassion mereka dalam menjalani kehidupannya, baik sebagai tenaga pendidik di SLB C X Kota Bandung maupun dalam menjalankan perannya dalam kehidupan sehari-hari. 2. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan pada pihak sekolah SLB C X Kota Bandung agar dapat memberi dukungan bagi para tenaga pendidik dalam mempertahankan ataupun meningkatkan self-compassion dalam dirinya, misalnya dengan mengadakan seminar mengenai pentingnya self-compassion di dalam diri bagi para tenaga pendidik SLB C X Kota Bandung.

9 1.5 Kerangka Pikir Tenaga pendidik yang mengajar di SLB C X Bandung merupakan individu yang tergolong dari usia 20-50 tahun yang tergolong dalam tahap perkembangan dewasa awal dan dewasa akhir (Santrock, 2002). Pada masa dewasa awal tenaga pendidik berada dalam tahap transisi dari remaja menjadi dewasa yang mana para tenaga pendidik menghadapi dunia pekerjaan yang kompleks, keadaan ekonomi yang bersifat sementara. Tenaga pendidik pada masa dewasa awal mampu untuk mengambil keputusan sendiri, serta memiliki kesadaran terhadap perbedaan pendapat dan cara pandang orang lain. Tenaga pendidik yang berada dalam tahap dewasa akhir berada dalam tahap penurunan fisik, serta dalam masa pengembangan rasa tanggung jawab terhadap tugas yang dimilikinya. Dalam menjalankan tugasnya sebaga tenaga pendidik SLB C X Bandung, baik tenaga pendidik yang berada dalam tahap dewasa awal ataupun dewasa akhir menghadapi kesulitan dan tekanan tertentu ketika melakukan tugas tugasnya. Agar dapat bertahan dalam situasi yang menekan dan penuh dengan tantangan,serta dapat menjalankan tugas tugasnya dengan lebih baik, maka tenaga pendidik membutuhkan kemampuan selfcompassion. Self-compassion adalah kemampuan untuk menghibur dan memedulikan diri sendiri saat mengalami suatu penderitaan dan ketidaksempurnaan, daripada mengkritik diri sendiri dengan keras, menyadari bahwa kesuliatan atau penderitaan merupakan bagian dari hidup manusia secara umum, daripada memandangnya sebagai sesuatu yang mengisolasi, dan menerima setiap pikiran ataupun perasaan yang terluka secara objektif daripada membesar-besarkannya (Neff, 2003). Tenaga

10 pendidik SLB C X Kota Bandung yang memiliki self-compassion yang tergolong tinggi dapat memiliki kemampuan untuk menghibur dan menyayangi dirinya sendiri ketika menghadapi berbagai tekanan yang dialami dalam kehidupannya, terutama ketika melakukan tugasnya untuk mendidik dan membimbing anak-anak berkebutuhan khusus di SLB C X Bandung. Tenaga pendidik yang memiliki selfcompassion yang tergolong rendah cenderung akan menghakimi dirinya sendiri, kurang menerima kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya dan cenderung melebih-lebihkan emosi pada saat mengalami berbagai tekanan atau kesulitan hidup. Self compassion terdiri dari tiga komponen, yaitu komponen self-kindness, common humanity, dan mindfulness (Neff, 2003). Self-kindnes merupakan kemampuan tenaga pendidik SLB C X Kota Bandung untuk bersikap hangat dan memahami dirinya sendiri serta tidak menghakimi atau menyalahkan dirinya sendiri ketika mengalami berbagai kegagalan atau tekanan dalam melakukan tugas-tugasnya. Ketika mengalami berbagai tekanan atau menghadapi kegagalan dalam melakukan tugasnya mendidik dan membimbing anak-anak berkebutuhan khusus di SLB C X Bandung, tenaga pendidik diharapkan dapat bersikap lembut terhadap dirinya sendiri tanpa menyalahkan dirinya secara berlebihan. Menurut Neff (2003), hal ini menunjukkan bahwa tenaga pendidik memiliki derajat self-kindness yang tergolong tinggi. Tenaga pendidik yang memiliki derajat self-kindness yang tergolong rendah cenderung akan melakukan self-judgement. Self-judgement berarti bahwa tenaga pendidik SLB C X Kota Bandung cenderung akan menghakimi dan menyalahkan dirinya sendiri ketika gagal dalam melakukan tugasnya, serta merasa tidak memiliki

11 kemampuan dalam mendidik dan membimbing siswa-siswinya di SLB C X Kota Bandung. Common humanity merupakan sikap tenaga pendidik SLB C X untuk menyadari bahwa setiap kesulitan yang dihadapi dalam menjalankan tugasnya sebagai tenaga pendidik anak anak yang berkebutuhan khusus merupakan bagian dari kehidupan yang dialami oleh tenaga pendidik yang lainnya, khususnya tenaga pendidik yang bekerja di SLB C X Bandung. Hal diatas menurut Neff (2003) menunjukkan bahwa tenaga pendidik memiliki derajat common humanity yang tergolong tinggi. Tenaga pendidik SLB C X yang memiliki derajat common humanity yang tergolong rendah cenderung akan melakukan self-isolation dengan menganggap dirnya tidak mampu mendidik dan membimbing siswa siswi SLB C X dengan baik dibandingkan dengan rekan tenaga pendidik yang lainnya, dan selalu terpusat pada kesulitan atau kegagalan yang dihadapinya ketika melakukan tugsnya sebagai tenaga pendidik di SLB C X Bandung. Komponen ketiga dari self-compassion adalah mindfulness. Mindfulness merupakan kemampuan tenaga pendidik SLB C X Kota Bandung untuk melihat dan menerima secara jelas perasaan dan pikiran mereka, tanpa menekan atau melebih-lebihkan perasaannya terhadap peristiwa yang terjadi pada suatu situasi tertentu. Tenaga pendidik SLB C X yang bersedia untuk menerima pikiran dan perasaan serta situasi dengan apa adanya, serta selalu berpikir positif dan cenderung berusaha memperbaiki setiap kegagalan yang dialaminya dalam mengajar dan membimbing anak-anak berkebutuhan khusus, terutama anak-anak tunagrahita di SLB C X Kota Bandung menunjukkan bahwa mereka cenderung memiliki derajat

12 mindfulness yang tergolong tinggi. Sebaliknya, apabila tenaga pendidik SLB C X Kota Bandung memiliki reaksi yang berlebihan ketika mengalami kesulitan atau kegagalan dalam mendidik serta membimbing siswa-siswinya di SLB C X Kota Bandung menunjukkan bahwa tenaga pendidik memiliki derajat mindfulness yang tergolong rendah. Tenaga pendidik merasa tidak mampu untuk mendidik, membimbing dan mengarahkan siswa-siswinya di SLB C X Kota Bandung. Menurut Neff (2003) ketiga komponen self-compassion memiliki derajat hubungan yang tinggi dalam membangun derajat self-compassion pada tenaga pendidik SLB C X Kota Bandung. Setiap komponen dapat saling meningkatkan komponen yang lainnya. Self-kindness dapat meningkatkan komponen common humanity dan komponen mindfulness. Apabila tenaga pendidik SLB C X Kota Bandung mampu menerima dan memahami dirinya sendiri serta memiliki sikap yang lembut dan peduli terhadap dirinya ketika mengalami kegagalan atau kesulitan dalam menjalankan tugasnya sebagai tenaga pendidik SLB C X Kota Bandung, maka tenaga pendidik tidak mengkritik dirinya secara berlebihan, dapat berpikir positif dalam memperbaiki dan menghadapi kegagalan ataupun kesulitan yang dihadapi, tidak menarik diri dari orang lain melainkan turut memerhatikan lingkungan di sekitarnya, serta mampu memberi dukungan kepada dirinya sendiri. Komponen common humanity dapat meningkatkan komponen mindfulness dan komponen self-kindness. Tenaga pendidik SLB C X Kota Bandung yang memiliki komponen common humanity akan mampu bersikap adil terhadap dirinya sendiri, tidak mengkritik dirinya secara berlebihan dan memandang positif bahwa setiap kesulitan atau kegagalan yang dihadapinya merupakan hal yang wajar yang

13 juga dapat dialami dan dihadapi oleh tenaga pendidik SLB C X yang lainnya. Hal ini dapat membuat tenaga pendidik cenderung memandang situasi yang dihadapi secara objektif tanpa melebih-lebihkan emosi yang dirasakan. Komponen mindfulness komponen ketiga dari self-compassion yang juga dapat meningkatkan komponen self-kindness dan komponen common humanity. Tenaga pendidik SLB C X Kota Bandung yang memiliki derajat mindfulness yang tergolong tinggi cenderung akan mampu menerima dan memahami situasi yang dihadapi dengan apa adanya, tanpa menekan atau melebih-lebihkan emosi yang dirasakan. Hal ini dapat membuat tenaga pendidik SLB C X Kota Bandung cenderung tidak akan menghakimi atau mengkritik dirinya sendiri ketika mengalami kesulitan atau kegagalan pada saat melakukan tugasnya. Tenaga pendidik juga akan memandang positif bahwa semua kesulitan atau kegagalan yang dihadapi merupakan hal yang juga dialami dan dirasakan oleh tenaga pendidik SLB C X yang lainnya. Derajat self-compassion tenaga pendidik SLB C X Kota Bandung dapat tergolong tinggi apabila derajat ketiga komponen tergolong tinggi. Apabila salah satu komponen self-compassion memiliki derajat yang tergolong rendah, maka dapat dikatakan derajat self-compassion yang dimiliki oleh tenaga pendidik SLB C X Kota Bandung tergolong rendah. Self-compassion dipengaruhi juga oleh beberapa faktor yaitu faktor trait personality, jenis kelamin dan role of parent. Trait personality yang memengaruhi derajat self-compassion dalam diri tenaga pendidik terdiri dari trait neuroticism, extraversion, agreeableness, dan conscientiousness. Neuroticism merupakan suatu aspek personality yang menggambarkan adanya emosi negatif yang berlebihan

14 dalam diri individu. Tenaga pendidik SLB C X Bandung yang memiliki neuroticism yang tergolong tinggi diliputi oleh perasaan cemas, khawatir, merasa tidak aman sehingga akan cenderung mengkritik orang lain. Tenaga pendidik yang sering mengkritik orang lain akan memberikan perilaku yang sama terhadap dirinya sendiri dengan mengkritik dirinya sendiri ketika mengalami suatu kegagalan atau kesulitan dalam melakukan tugas tugasnya sebagai tenaga pendidik SLB C X Bandung. Hal ini menunjukkan bahwa tenaga pendidik SLB C X Bandung memiliki derajat self compassion yang tergolong rendah. Extraversion personality merupakan tipe kepribadian yang terdiri dari aspek-aspek kehangatan, mudah bergaul, asertivitas, dan emosi positif (McCrae, 2002). Tenaga pendidik SLB C X Kota Bandung yang memiliki derajat extraversion yang tergolong tinggi akan mudah menjalin relasi dengan orang lain, berusaha untuk bergaul dan beradaptasi dengan orang lain. Hal ini merupakan salah satu bagian dari self compassion. Tenaga pendidik SLB C X Kota Bandung yang mudah bergaul dan menjalin relasi dengan tidak akan memandang bahwa kegagalan hanya berpusat pada dirinya, namun akan memandang bahwa setiap kegagalan atau kesulitan yang dialaminya merupakan hal yang wajar dialami oleh orang lain, termasuk tenaga pendidik SLB C X Kota Bandung yang lain. Hal ini menggambarkan bahwa tenaga pendidik SLB C X Kota Bandung memiliki derajat self-compassion yang tergolong tinggi. Agreeableness personality hampir sama halnya dengan extraversion personality yang mana merupakan trait yang merujuk pada sifat sosial dan yang

15 dapat meningkatkan self-compassion dalam diri seseorang (Neff, 2003). Individu yang memiliki agreeableness yang tergolong tinggi akan dipenuhi rasa percaya terhadap orang lain, jujur, rendah hati dan mudah bergaul dengan orang lain, dan mudah diubah pendiriannya (McCrae & Costa dalam Papalia Old Fieldman). Tenaga pendidik SLB C X Kota Bandung yang memiliki derajat agreeableness yang tergolong tinggi pada saat mengalami kesulitan atau kegagalan dalam melakukan tugas-tugasnya tidak akan terpusat pada kesulitan atau kegagalan tersebut. Tenaga pendidik akan memandang bahwa kesulitan atau kegagalan yang dialami merupakan hal yang juga dialami oleh tenaga pendidik yang lain dan juga orang lain. Personality conscientiousness adalah individu yang kompeten, teratur, disiplin, patuh pada kewajiban, dan terencana (McCrae & Costa dalam Papalia Old Fieldman). Individu yang memiliki conscientiousness personality yang tergolong tinggi akan memiliki sikap yang bertanggung jawab dalam merespon situasi. Tenaga pendidik SLB C X Kota Bandung yang memiliki conscientiousness personality yang cenderung tergolong tinggi dalam melakukan tugas-tugasnya tidak akan mudah menghakimi dirinya sendiri ketika mengalami kesulitan atau kegagalan karena tenaga pendidik akan berusaha lebih kompeten dalam mengatasi kesulitan atau kegagalan yang telah dihadapi. Hal ini menggambarkan bahwa tenaga pendidik SLB C X Kota Bandung akan memiliki derajat self-compassion yang tergolong tinggi. Pada umumnya menurut penelitian wanita lebih sering mengulang-ulang pemikiran mengenai kekurangan yang ia miliki (Neff, 2011). Wanita dituntut untuk

16 memperhatikan orang lain, namun tidak diajarkan untuk memperhatikan dan peduli pada diri sendiri. Tenaga pendidik SLB C X Kota Bandung merupakan SLB C X yang terdiri dari tenaga pendidik perempuan dan tenaga pendidik laki-laki. Tenaga pendidik wanita SLB C X Kota Bandung yang memiliki derajat neuroticism yang tergolong tinggi akan diliputi oleh perasaan cemas, khawatir, sehingga cenderung sering mengkritik dirinya sendiri. Hal ini menggambarkan tenaga pendidik wanita SLB C X Kota Bandung memiliki derajat selfcompassion yang tergolong rendah. Demikian juga halnya dengan tenaga pendidik laki-laki SLB C X Kota Bandung. Apabila tenaga pendidik laki-laki SLB C X Kota Bandung memiliki derajat neuroticism yang dominan akan cenderung bersikap subjektif dan mengkritik dirinya sendiri ketika mengalami kesulitan. Namun, dibandingkan dengan tenaga pendidik perempuan, tenaga pendidik lakilaki akan cepat memberikan respon yang positif ketika mengalami kesulitan atau kegagalan. Faktor selanjutnya yang mempengaruhi derajat self-compassion pada tenaga pendidik SLB C X Kota Bandung adalah the role of parent yang terdiri dari maternal critism, modelling, dan attachment. Tenaga pendidik SLB C X yang pada masa kecilnya tumbuh dan besar di lingkungan keluarga yang orangtuanya selalu memberikan kritikan akan cenderung memiliki perilaku yang sama dengan orangtuanya, sehingga akan cenderung memberi kritikan kepada dirinya sendiri. Hal ini memengaruhi derajat self-compassion pada diri tenaga pendidik SLB C X menjadi tergolong rendah. Tenaga pendidik SLB C X yang mendapatkan hubungan yang saling mendukung dari orangtua, menerima dan

17 memberikan kasih sayang kepada tenaga pendidik akan cenderung memiliki derajat self-compassion yang tergolong tinggi. Orangtua memiliki peran sebagai model bagi setiap perilaku individu. Hal ini dapat juga mempengaruhi derajat selfcompassion dalam diri setiap individu, termasuk tenaga pendidik SLB C X Kota bandung. Orangtua yang sering mengeluh, mengkritik diri ketika mengalami kegagalan akan menjadi model bagi individu untuk melakukan hal yang sama pada saat mengalami hal yang sama (Neff, 2009). Tenaga pendidik yang memiliki orangtua yang sering mengkritik dirinya sendiri pada saat mengalami kegagalan akan cenderung meniru perilaku tersebut dan mengkritik dirinya sendiri pada saat mengalami kegagalan, baik dalam melakukan tugas-tugasnya sehari-hari sebagai tenaga pendidik SLB C X Kota Bandung, maupun ketika mengalami kegagalan dalam hal yang lainnya. Hal ini menggambarkan derajat self-compassion yang dimiliki tenaga pendidik SLB C X Kota Bandung tergolong rendah. Self-compassion dalam diri tenaga pendidik SLB C X Kota Bandung dapat juga dipengaruhi oleh attachment dengan lingkungan terutama dengan orangtua atau pengasuh individu. Attachment merupakan suatu ikatan emosional yang kuat antar individu dengan pengasuhnya (Bowlby, 1989 dalam santrock, 2003). Tenaga pendidik SLB C X Kota Bandung yang hidup di lingkungan keluarga yang nyaman dan aman atau yang biasanya disebut dengan secure attachment, maka tenaga pendidik akan cenderung memiliki sikap peduli dan menyayangi dirinya sendiri, sehingga ketika mengalami kesulitan atau tekanan dan kegagalan maka tenaga pendidik akan mampu untuk menghibur dirinya sendiri. Hal ini menggambarkan bahwa tenaga pendidik memiliki derajat self-compassion yang

18 tergolong tinggi. Tenaga pendidik SLB C X Kota Bandung yang tinggal dalam lingkungan yang kurang nyaman, penuh dengan kritikan dan merasa terancam atau yang biasa dikenal dengan insecure attachment, maka tenaga pendidik cenderung akan memiliki perilaku yang sering mengkritik dari pada menyayangi dirinya sendiri. Hal ini menggambarkan bahwa tenaga pendidik memiliki derajat selfcompassion yang tergolong rendah. Adapun bagan kerangka pikir dalam penelitian mengenai derajat self-compassion pada tenaga pendidik SLB C X Kota Bandung adalah sebagai berikut :

19 Faktor yang mempengaruhi : 1. Personality 2. Jenis Kelamin 3. Role of Parent Tenaga pendidik SLB C X Bandung Self-compassion Tinggi Rendah Self-kindness Common Humanity Mindfullness Bagan 1.1. Bagan Kerangka Berpikir

20 1.6.Asumsi 1. Tenaga pendidik SLB C X Bandung memiliki derajat self-compassion yang bervariasi. 2. Derajat self-compassion pada tenaga pendidik SLB C X Bandung diperoleh dari derajat ketiga komponen pembentuk self-compassion yaitu self-kindness, common humanity, dan mindfulness. 3. Self-compassion yang dimiliki oleh para tenaga pendidik SLB C X Bandung dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor personality, role of parents dan jenis kelamin.