BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ginjal merupakan salah satu organ tubuh yang mempunyai fungsi utama mempertahankan homeostasis dalam tubuh dengan cara mengatur konsentrasi banyaknya konstituen plasma, terutama elektrolit dan air, mengeliminasi zat-zat yang tidak diperlukan atau berlebihan di urin (Brunner & Suddarth, 2008). Penyakit Ginjal Kronis merupakan gangguan fungsi ginjal yang terjadi ketika tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah. Kerusakan ginjal ini mengakibatkan masalah pada kemampuan dan kekuatan tubuh yang menyebabkan aktivitas kerja terganggu, tubuh menjadi mudah lelah dan lemas sehingga akan berdampak pada kualitas hidup pasien (Prince & Wilson, 2006). Laporan USRDS (The United States Renal Data System) tahun 2011 menunjukkan angka kejadian penderita penyakit ginjal kronispada tahun 2009 di Amerika Serikat sebesar 1.811/1.000.000 penduduk, di Taiwan sebesar 2.447/1.000.000 penduduk dan di Jepang sebesar 2.205/1.000.000 penduduk. Penderita penyakit ginjal kronis di dunia pada tahun 2010 berjumlah 2.622.000, sebanyak 2.029.000 orang (77%) diantaranya menjalani pengobatan dialisis dan 593.000 orang (23%) menjalani transplantasi ginjal (Fresenius Medical Care, 2011).
Indonesia termasuk negara dengan tingkat penderita penyakit ginjal kronik yang cukup tinggi, data dari ASKES tahun 2010 tercatat 17.507 pasien, tahun berikutnya tercatat 23.261 dan data terakhir tahun 2013 tercatat 24.141 orang pasien (Nawawi, 2013). Data yang diperoleh dari RSUP H. Adam Malik Medan, jumlah pasien yang menjalani hemodialisa rutin pada tahun 2009 adalah 166 orang, dan meningkat pada tahun 2013 menjadi 191 pasien. Data di rumah sakit dr. Pirngadi Medan pada tahun 2011 tercatat sebanyak 123 pasien, meningkat menjadi 126 orang pada tahun berikutnya, dan terakhir tahun 2013 tercatat 184 orang yang rutin menjalani hemodialisa. Penderita penyakit ginjal kronis akan mengalami berbagai dampak fisik dan dampak psikologis yang akan mempengaruhi aktivitasnya sehari-hari (Kelly, 2006). Dampak fisik yang bisa terjadi berupa rasa haus berlebihan, tenggorokan kering, tidak selera makan, gastritis, konstipasi, gangguan tidur, kesulitan bernafas dan kelemahan, selain dampak fisik individu juga akan mengalami dampak psikologis berupa kecemasan. Tingginya angka kejadian penyakit ginjal kronis dan dampak penyertanya sehingga harus dilakukan tindakan untuk mengatasi atau menangani masalah yang muncul akibat penyakit ginjal kronis ini diantaranya mengatur pola makan, tindakan dialisis bahkan sampai pada tindakan transplantasi ginjal (Smeltzer & Bare, 2009). Tindakan dialisis merupakan terapi pengganti utama pada pasien penyakit ginjal kronis yang dilakukan sepanjang usia mereka. Penyesuaian diri terhadap kondisi sakit mengakibatkan terjadinya perubahan dalam kehidupan pasien baik kondisi fisik maupun kondisi psikososialnya (Brunner & Suddart, 2008).
Perubahan psikologis yang dirasakan dapat dilihat dari kondisi fisik dan perubahan perilaku diantaranya: pasien selalu merasa bingung, merasa tidak aman, ketergantungan dan menjadi individu yang pasif. Dua pertiga dari pasien yang menjalani terapi dialisis tidak pernah kembali pada aktifitas atau pekerjaan seperti sebelum dia menjalani hemodialisa. Pasien sering mengalami masalah seperti: kehilangan pekerjaan, penghasilan, kebebasan, usia harapan hidup yang menurun dan fungsi seksual sehingga dapat menimbulkan kemarahan dan akan mengarah pada suatu kondisi kecemasan sebagai akibat dari penyakit sistemik yang mendahuluinya (Fatayi, 2008). Kecemasan merupakan kondisi gangguan psikologis dan fisiologis yang di tandai dengan gangguan kognitif, somatik, emosional dan komponen dari rangkaian tingkah laku (Cahyaningsih, 2009). Takaki (2003) di Jepang penelitiannya menyebutkan pasien yang menjalani hemodialisa mengalami kecemasan: kecemasan ringan 65,9%, kecemasan sedang 12,8% dan kecemasan berat 4,2%. Squalli (2005) di Rumania menemukan angka kejadian kecemasan yang tinggi pada pasien Penyakit Ginjal Kronis yang menjalani hemodialisa yaitu sebesar 69,3%. Penelitian Dumitrescu (2009) di Rumania pada pasien yang menjalani hemodialisa mengalami kecemasan sebesar 85,1%.Penelitian Kohli (2011) di India pada pasien yang menjalani terapi hemodialisa mengalami kecemasan sebanyak 86,7%. Reski (2009) melakukan penelitian di Ruang unit hemodialisa RSI Jakarta dari 40 responden 70% pasien hemodialisa mengalami kecemasan sedang dan 30% mengalami kecemasan ringan. Penelitian yang dilakukan Sugiyanti tahun
2011 di Ruang Hemodialisa RSU Dr. Ramelan Surabaya pasien yang menjalani hemodialisa dari 40 respon yang diteliti 33% mengalami kecemasan berat, 45% kecemasan sedang dan 22% mengalami kecemasan ringan. Dewi (2012) meneliti di unit Hemodialisa RSUD Wangaya Denpasar dari 8 pasien yang menjalani hemodialisa sebanyak 62,5% (5 pasien) mengatakan dirinya mengalami kecemasan saat menjalani Hemodialisa. Kecemasan yang tidak teratasi dapat menyebabkan individu mengalami depresi (Wicks, Bolden, Mynatt, Rice & Acchiardo, 2007). Kecemasan dan depresi merupakan kondisi gangguan psikologis yang sering terjadi pada pasien penyakit ginjal kronis dan sangat sering terkait dengan angka kematian yang tinggi, angka kesakitan dan hospitalisasi yang tinggi (Kojima, 2012). Tindakan bunuh diri saat menjalani hemodialisa berkepanjangan 15 kali lebih tinggi dari populasi umum dan lebih tinggi dari pasien dengan kondisi kanker (McQuillan & Jassal, 2010). Kecemasan yang dialami oleh pasien yang menjalani hemodialisa secara rutin akan menyebabkan penurunan kualitas hidup (Lysaght & Mason, 2000). Kualitas hidup merupakan satu hal yang sangat penting yang harus dipantau dari pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisa. Kualitas hidup yang baik dapat dicapai dengan menjaga kesehatan tubuh, pikiran dan jiwa, sehingga seseorang dapat melakukan segala aktivitas tanpa ada gangguan. Kecemasan merupakan salah satu dampak psikologi yang dihadapi oleh pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisa. Kondisi cemas pasien harus dikontrol agar dapat mempertahankan kualitas hidup yang baik pada pasien penyakit ginjal
kronis yang menjalani hemodialisa (Ventegodt, 2003). Penelitian Daria (2009) menyebutkan bahwa kecemasan, depresi dan persepsi terhadap kesehatan yang memiliki hubungan yang signifikan dengan kualitas hidup pasien dan pasien yang mengalami kecemasan sebanyak 41%. Kulitas hidup pasien dengan penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisa adalah sesuatu yang penting untuk kita jaga karena agar mencapai kondisi kesehatan individu yang optimal (Prince & Wilson, 2006). Intervensi yang diberikan pada pasien yang mengalami kecemasan dapat berupa terapi individu seperti terapi kognitif, terapi perilaku, thought stopping, relaksasi (yoga, logoterapi, progressive muscle relaxation). Terapi kelompok berupa terapi suportif dan logoterapi dan terapi keluarga berupa psikoedukasi keluarga (Stuart, 2009). Relaksasi merupakan salah satu bentuk mind body therapy dalam Coplementary and Alternatif Therapy (Moyand & Hawks, 2009). Terapi komplementer adalah pengobatan tradisional yang sudah diakui dan dapat dipakai sebagai pendamping terapi medis yang pelaksanaannya dapat dilakukan bersamaan dengan terapi medis (Tzu, 2010). Di luar negri seperti Amerika dan Jepang teknik relaksasi dan musik adalah bagian yang integral dari pendekatan non-farmakologi dan diketahui untuk mengatasi kecemasan (Tzu, 2010). Salah satu jenis terapi relaksasi adalah progressive muscle relaxation (PMR) yang diperkenalkan oleh Jacobson (Davis, 1995). Singh pada tahun 2009 melakukan penelitian penggunaan teknik PMR pada pasien COPD yang mengalami kecemasan, setelah dua kali diberi tindakan PMR maka tingkat kecemasan pasien dengan penyakit COPD mengalami
penurunan sehingga memberikan dampak positif terhadap perjalanan proses penyembuhannya. Wilk dan Turkoski (2002) menggunakan PMR pada pasien rehabilitasi pasca operasi jantung dan berhasil mencegah kenaikan tekanan darah dan mencegah terjadinya kecemasan. PMR juga efektif untuk mengurangi mual muntah pasien kanker payudara (Mollasiotis, Yung, Yam, Chan. & Mok, 2002). Pasien yang menjalani rehabilitasi penyakit paru yang mengalami kecemasan dilakukan pemberian teknik relaksasi PMR rutin selama dalam proses rehabilitasi efektif untuk mengatasai kecemasannya (Lee, Bhattacharya, Sohn & Verres, 2012). Lauche (2013) melakukan penelitian efektifitas massase cuping dan PMR pada pasien chronic neck pain. Pasien yang menerima massase cuping hidung tetap mengalami nyeri dan peningkatan tekanan darah sedangkan pada pasien yang menerima PMR mengalami angka penurunan nyeri dan stabil hingga minggu ke 12. Vancamport (2012) meneliti PMR dalam menurunkan gejala dan tanda kecemasan, psikologi distres dan untuk meningkatkan angka kesembuhan pasien dengan penyakit skizofrenia. Di Indonesia penelitian penggunaan progressive muscle ralaxation (PMR) sudah dilakukan beberapa diantaranya Mashudi (2011) melakukan penelitian berupa pemberian tindakan latihan PMR pada pasien dengan kadar glukosa darah pasien DM Tipe 2 di Jambi mendapatkan hasil bahwa tindakan PMR memiliki hubungan yang signifikan dalam menurunkan kadar glukosa darah pasien DM Tipe 2. Penelitian Harmono 2010 PMR juga menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi. Penelitian Duma (2012) PMR meningkatkan kemampuan
memaknai hidup pasien pasien kanker dan menjadi alternatif dalam terapi keperawatan dalam merawat luka kanker dengan kecemasan dan depresi. Berdasarkan fenomena tersebut maka akan diteliti bagaimana pengaruh progressive muscle relaxation dalam menurunkan tingkat kecemasan pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisa. 1.2 Permasalahan Dampak psikologis pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani program terapi seperti hemodialisis dapat dimanifestasikan dalam serangkaian perubahan perilaku antara lain menjadi pasif, ketergantungan, merasa tidak aman, bingung dan menderita. Tingginya jumlah pasien dengan kondisi penyakit ginjal kronis dan menjalani terapi hemodialisa dan melihat tingginya angka prevalensi kecemasan pada pasien hemodialisis yang harus segera ditangani, dan perlu untuk dilakukan penelitian bagaimana tindakan progressive muscle relaxation dapat menurunkan angka kejadian kecemasan yang dihadapi oleh pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisa. 1.3 Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum: Menganalisis pengaruh progressive muscle relaxation terhadap tingkat kecemasan pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani Hemodialisa. b. Tujuan Khusus 1) Mendeskripsikan tingkat kecemasan pasien yang menjalani hemodialisa dan mengalami kecemasan pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi sebelum diberikan latihan progressive muscle relaxation.
2) Mendeskripsikan tingkat kecemasan pasien yang menjalani hemodialisa dan mengalami kecemasan pada kelompok intervensi setelah diberikan latihan progressive muscle relaxation. 3) Menganalisa perbedaan tingkat kecemasaan pasien yang menjalani hemodialisa dan mengalami kecemasan sebelum dan sesudah diberikan latihan progressive muscle relaxation. 1.4 Hipotesis Ha: ada pengaruh pemberian latihan Progressive Muscle Relaxation terhadap penurunan tingkat kecemasan pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisa. 1.5 Manfaat Penelitian 1) Praktik Keperawatan a. Menjadikan latihan progressive muscle relaxation sebagai salah satu terapi komplementer dalam menurunkan tingkat kecemasan pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani Hemodilisa b. Memperkenalkan kepada seluruh masyarakat latihan progressive muscle relaxation sebagai terapi komplementer dalam menurunkan tingkat kecemasan pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani Hemodialisa 2) Pendidikan Keperawatan a. Memperkuat dukungan teoritis penggunaan latihan progressive muscle relaxation dalam menurunkan tingkat kecemasan pasien khususnya kecemasan pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisa
b. Mengembangkan kajian penggunaan latihan progressive muscle relaxation dalam menurunkan tingkat kecemasan