BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia termasuk dalam negara yang sedang berkembang dan mengalami transisi. Pola kehidupan yang semula agraris bergeser ke arah industrial, kehidupan tradisional ke arah kehidupan modern. Perubahan pola kehidupan menyebabkan pergeseran pola penyakit dari penyakit menular ke penyakit tidak menular (PTM) atau degeneratif (Asmadi, 2008). Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu PTM yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemia yang diakibatkan oleh sekresi insulin tidak adekuat, reaksi insulin tidak adekuat atau keduanya. Insulin merupakan hormon yang berfungsi untuk mengontrol kadar glukosa darah. (Goldenberg & Punthakee, 2013) Jumlah penderita DMT2 diperkirakan 90-95% dari total penderita DM sedangkan jumlah penderita DMT1 diperkirakan hanya sekitar 5-10% (Smeltzer, Hinkle, & Cheever, 2014). Penderita DM di dunia mengalami peningkatan, International Diabetes Federation (IDF) menyatakan penderita DM pada tahun 2011 berjumlah 366 juta jiwa, meningkat sekitar 371 juta jiwa pada tahun 2012, sebanyak 382 juta jiwa pada tahun 2013, dan diperkirakan mencapai 552 juta jiwa pada tahun 2030 (1 dari 10 orang dewasa menderita DM) yang berarti 3 kasus baru per detik (IDF, 2013; Cheng, 2013). Centre for Disease Control and Prevention (CDC) menyatakan sekitar 26 juta penduduk Amerika menderita DM 1
2 pada tahun 2011 dan mencapai angka 40% dari penduduk dewasa Amerika akan menderita DM. Menurut National Diabetes Fact Sheet tahun 2011 sebanyak 8,3% penduduk dewasa Amerika menderita DM dengan 11,3% berumur 20 tahun ke atas dan 25% berumur 65 tahun ke atas. (Khardori, 2014) Novo Nordisk (2013) menyatakan Indonesia masuk dalam 10 besar negara dengan penderita DM terbanyak di dunia. Pada tahun 2013 sebanyak 7,6 juta penduduk Indonesia menderita DM dan akan mencapai angka 11,8 juta pada tahun 2030. Data Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) juga menunjukkan peningkatan jumlah penderita DM di Indonesia. Pada tahun 2007 tercacat 1,1% penduduk Indonesia menderita DM dan meningkat menjadi 2,4% pada tahun 2013. Prevalensi DM di Provinsi Bali pada tahun 2007 tercatat sebanyak 1% saja dan meningkat pada tahun 2013 sebanyak 1,5% berdasarkan diagnosis dokter atau gejala (Depkes, 2013). Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali menunjukkan Kota Denpasar memiliki kunjungan DM cukup tinggi di Bali setelah Kabupaten Tabanan yaitu sebanyak 389 kunjungan pada bulan Juni 2014. Data Dinas Kesehatan Kota Denpasar menunjukkan kunjungan DM di Puskesmas II Denpasar Barat pada Bulan Agustus 2014 cukup tinggi yaitu sebanyak 75 kunjungan. Puskesmas II Denpasar Barat merupakan puskesmas yang memiliki kegiatan Peguyuban Diabetes. Peguyuban Diabetes merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan untuk anggota setiap dua minggu di Puskesmas II Denpasar Barat yang terdiri dari aktivitas fisik, pemeriksaan glukosa darah, dan edukasi/konseling gizi atau kesehatan lainnya.
3 Diabetes mellitus yang tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan komplikasi. Komplikasi pada penderita DMT2 disebabkan oleh kadar glukosa darah yang tinggi atau hiperglikemia. Kadar glukosa darah dipengaruhi oleh aktivitas fisik, pengobatan, penyakit atau stres, hormon, berat badan, dan pola makan (Australian Diabetes Council, 2011). Kadar glukosa yang tinggi dalam darah akan mempengaruhi pembuluh darah, kardiovaskuler, ginjal, mata, saraf, dan meningkatkan resiko infeksi. Penyakit komplikasi pada kardiovaskuler merupakan komplikasi yang paling sering menyebabkan kematian dan kecacatan pada penderita. Diabetes mellitus juga dapat menjadi faktor resiko terjadinya gagal ginjal akut, retinopati, dan neuropati yang umumnya terjadi pada ekstremitas terutama pada kaki yang dapat menyebabkan hilangnya sensasi pada kaki yang dapat berujung pada amputasi. (IDF, 2013) Kontrol glikemik yang kurang baik oleh penderita DMT2 dapat dilihat dari ketidaktaatan terhadap pengobatan terkait dengan pengobatan kronik yang dijalani. World Health Organization (WHO) menyatakan ketaatan perawatan pada DMT2 sangat penting salah satunya adalah dengan melaksanakan diet yang direkomendasikan. Faktanya ketidaktaatan pada penderita DMT2 masih tinggi dan merupakan penyebab meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas akibat DMT2 (Blackburn, Swidrovich, & Lemstra, 2013). Angka komplikasi yang tinggi merupakan indikasi kontrol glikemik penderita DMT2 yang masih tergolong kurang baik. Pada penelitian yang dilakukan pada 28 negara termasuk Indonesia menyatakan bahwa dari 66.726 pasien DMT2, 17.806 pasien mengalami komplikasi makrovaskuler dan 35.078 pasien mengalami komplikasi
4 mikrovaskuler. Neuropati merupakan komplikasi mikrovaskuler yang paling banyak di setiap negara dengan total 25.179 pasien (Litwak et al., 2013). Tujuh dari sepuluh penderita DM di Indonesia mengalami komplikasi dan sebanyak 68% penderita mengalami neuropati. Tujuh dari delapan penderita yang membutuhkan terapi insulin tidak mendapatkan terapi sehingga sangat berpotensi mengakibatkan komplikasi. (Novo Nordisk, 2013) Pencegahan komplikasi dapat dilakukan dengan strategi pengendalian DM. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) (2011) menyebutkan terdapat empat pilar dalam mengendalikan DM yaitu edukasi, terapi gizi, latihan jasmani, dan terapi farmakologis. World Health Organization menetapkan dalam Global Action Plan for Prevention and Control of NCDs tahun 2013-2020 salah satu rencana untuk mencegah dan mengontrol DM adalah dengan promosi gizi (WHO, 2013). Menurut ADA (2013) pendidikan kesehatan dapat membantu penderita DM dalam melakukan perawatan diri termasuk melakukan perubahan gaya hidup. Pemberian edukasi menunjukkan hasil yang positif terhadap tingkat pengetahuan, perilaku, termasuk psikologis penderita DMT2. Edukasi perawatan diri untuk penderita DMT2 bertujuan untuk memberikan pengetahuan, kemampuan, motivasi, dan meningkatkan kepercayaan diri serta keyakinan diri penderita untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Edukasi dapat diberikan dengan bervariasi dan metode kombinasi. (Jones et al., 2013) Terapi gizi meningkatkan kontrol glikemik penderita DM sehingga terapi gizi menjadi salah satu topik edukasi utama untuk penderita DMT2 (Evert et al., 2013). Pemberian edukasi gizi diharapkan dapat mempengaruhi pola makan
5 penderita DM sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup penderita (Mohebi et al., 2013; Wheeler et al., 2012). Penelitian yang dilakukan Malek dan Cakiroglu (2013) menunjukkan ada hubungan yang erat antara edukasi dengan tingkat pengetahuan dan konsumsi makanan pada penderita DMT2. Pola makan pada penderita DMT2 berupa jumlah, jenis, dan jadwal makan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pengetahuan, dukungan sosial, keyakinan diri, pendapatan, kebudayaan, dan hambatan yang dihadapi (Todd et al., 2011; Om et al., 2013; Tol et al., 2014; Didarloo et al., 2014). Ketidaktaatan terhadap pola makan sehat dapat disebabkan oleh hambatan yang ditemui dalam situasi dan konteks yang bervariasi (Mulvaney, 2009). Penelitian yang dilakukan terhadap 104 orang penderita DMT2 menemukan sebanyak 37% penderita tidak menaati pola makan yang dianjurkan dengan beberapa hambatan seperti kurangnya informasi mengenai makanan sehat, situasi rumah, dan disiplin diri yang buruk (Ganiyu et al., 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Nariswari (2013) di Peguyuban Diabetes Puskesmas II Denpasar Barat menunjukkan dari 35 subjek yang diteliti sebanyak 17 orang tidak mematuhi diet yang disarankan. Ketidaktaatan terhadap pola makan menunjukkan bahwa edukasi gizi yang diberikan masih kurang efektif sehingga diperlukan edukasi yang dapat membantu dan melatih penderita DMT2 dalam menghadapi masalah terkait pola makan. American Association of Diabetes Educators (AADE) menyatakan terdapat tujuh aspek yang harus dimiliki dan dikuasai oleh penderita DMT2 dan dua di antaranya adalah pola makan sehat dan problem-solving. Problem-solving merupakan proses seseorang dalam menemukan solusi yang efektif dan adaptif
6 bagi dirinya dari masalah spesifik yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Problem-solving merupakan intervensi yang efektif dalam meningkatkan perawatan diri atau kontrol penyakit (Fitzpatrick, Schumann, & Hill-Briggs, 2013). Teknik problem-solving dapat juga diartikan sebagai teknik yang berfungsi untuk mengatasi atau mengurangi hambatan yang ditemui. Perilaku problemsolving pada penderita DMT2 dan keluarga sangat berhubungan dengan peningkatan dalam perawatan diri dan perbaikan kadar HbA1C. (Mulvaney, 2009) Kombinasi edukasi gizi dan teknik problem-solving yang selanjutnya disebut edukasi dua lintas dapat diberikan kepada penderita DMT2. Edukasi dua lintas dapat meningkatkan pengetahuan mengenai pola makan sehat dan melatih penderita DMT2 dalam memecahkan masalah yang dihadapi khususnya dalam menjalani pola makan sehat. Kombinasi antara strategi meningkatkan pengetahuan dan intervensi perilaku-kognitif lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan, perilaku perawatan diri, dan keyakinan diri sehingga dapat meningkatkan kontrol metabolik dibandingkan strategi yang hanya berorientasi pada pengetahuan saja (Jones et al., 2013; Muchiri, 2013). Edukasi dua lintas merupakan salah satu bentuk dari kombinasi tersebut. Studi pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas II Denpasar Barat, peneliti meninjau hasil gula darah sewaktu (GDS) dan gula darah puasa (GDP) anggota peguyuban yang hadir pada tanggal 17 Januari 2015. Peneliti menemukan lima dari enam orang yang diperiksa memiliki GDP 126 mg/dl dan delapan dari 12 orang memiliki GDS 200 mg/dl. Wawancara singkat yang dilakukan kepada 10 orang anggota peguyuban mendapatkan hasil bahwa enam dari 10 menyatakan
7 mengalami kesulitan menjalani pola makan yang sesuai. Hasil penelitian oleh Nariswari (2013) dan studi pendahuluan oleh peneliti menunjukkan masih perlu intervensi lain yang dapat meningkatkan pola makan penderita DMT2. Berdasarkan uraian latar belakang maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh edukasi dua lintas terhadap pola makan berupa jumlah, jenis, dan jadwal makan penderita DMT2 di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Barat. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diangkat rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah ada pengaruh edukasi dua lintas terhadap jumlah makan penderita DMT2 di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Barat? 2. Apakah ada pengaruh edukasi dua lintas terhadap jenis makan penderita DMT2 di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Barat? 3. Apakah ada pengaruh edukasi dua lintas terhadap jadwal makan penderita DMT2 di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Barat? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Mengetahui pengaruh edukasi dua lintas terhadap jumlah, jenis, dan jadwal makan penderita DMT2.
8 1.3.2 Tujuan khusus a. Mengidentifikasi karakterisitik responden penderita DMT2 pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. b. Mengidentifikasi jumlah, jenis, dan jadwal makan penderita DMT2 sebelum intervensi pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. c. Mengidentifikasi jumlah, jenis, dan jadwal makan penderita DMT2 setelah intervensi pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. d. Menganalisa perbedaan jumlah, jenis, dan jadwal makan penderita DMT2 sebelum dan sesudah diberikan intervensi pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. e. Menganalisa perbedaan jumlah, jenis, dan jadwal makan sesudah intervensi pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis 1. Penelitian ini dapat memberikan informasi dalam bidang keperawatan khususnya mengenai edukasi yang dapat diterapkan kepada penderita DMT2 untuk membantu meningkatkan pola makan berupa jumlah, jenis, dan jadwal makan. 2. Penelitian ini dapat dijadikan acuan teoritis untuk penelitian mengenai pemberian edukasi dua lintas dan metode pengkajian pola makan pada penderita DMT2.
9 1.4.2 Manfaat Praktis 1. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pedoman dalam memberikan edukasi kepada penderita DMT2 di instansi kesehatan khususnya Puskesmas untuk membantu penderita DMT2 meningkatkan pola makan sesuai prinsip 3J sehingga terhindar dari komplikasi. 2. Pemberian edukasi dua lintas dapat menjadi modal bagi penderita DMT2 dalam menjalani pola makan sehat sesuai prinsip 3J.