BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak- kanak dan masa dewasa dimana remaja banyak mengalami perubahan fisik maupun psikososial. Sehingga kondisi ini menimbulkan kebingungan pada diri remaja dan menambah kesulitan pada diri remaja dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya. Manusia menurut kodratnya merupakan makhluk sosial yang membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Selain itu juga manusia diberikan akal pikiran yang berkembang serta dapat dikembangkan. Dalam hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya. Dorongan masyarakat yang dibina sejak lahir akan selalu menampakkan dirinya dalam berbagai bentuk, karena itu dengan sendirinya manusia akan selalu bermasyarakat dalam kehidupannya. Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, juga karena pada diri manusia ada dorongan dan kebutuhan untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain dan saling berkomunikasi. Terciptanya hubungan antar individu dapat sejenis dan berlainan jenis. Hubungan ini misalnya antar teman sebaya, hubungan dengan orang yang lebih tua dan muda (Santrock,2002). Dalam masa perkembangan, seorang remaja mulai tergugah rasa sosial untuk ingin bergabung dengan anggota-anggota kelompok yang lain. 1
Pergaulannya yang dulu terbatas dengan keluarga kini dihadapkan dengan lingkungan sosial yang lebih luas, seperti sekolah. Kebutuhan akan keterampilan sosial menjadi sangat penting pada masa remaja karena individu sudah memasuki dunia pergaulan yang lebih luas dimana pengaruh teman- teman dan lingkungan sosial akan sangat menentukan. Sebagai makhluk sosial, individu dituntut untuk mampu mengatasi segala permasalahan yang timbul sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan sosial dan mampu menampilkan diri sesuai dengan aturan atau norma yang berlaku (Ayu, dalam Tulak, 2010). Siswa kelas VII merupakan siswa baru dalam Sekolah Menengah Pertama. Menurut Santrock (2002) berada di lingkungan baru seringkali membuat seseorang merasa tidak nyaman. Bagi siswa yang baru masuk sekolah dan baru mengenal lingkungan sekolah yang terasa asing baginya, hal ini dapat menyebabkan siswa tidak segera menerima lingkungan tersebut, karena merasa cemas dan tertekan. Disamping harus menghadapi pelajaran baru, mereka pun harus menghadapi masalah sosialisasi. Di lingkungan sekolah baru mereka dihadapkan pada perubahan dari struktur kelas yang kecil dan penuh menjadi struktur kelas yang lebih besar, perubahan dari seorang guru menjadi banyak guru dan kelompok teman sebaya yang kecil menjadi kelompok teman sebaya yang besar. Selain itu, mereka mengalami top-dog phenomenon yaitu keadaan bergerak dari posisi teratas (di sekolah dasar, mereka adalah murid yang paling tua, paling besar dan paling berkuasa di sekolah) ke posisi yang rendah (di sekolah menengah pertama, mereka menjadi murid-murid yang paling muda, paling kecil dan paling lemah di sekolah). 2
Penyesuaian sosial merupakan aspek psikologis yang perlu dikembangkan, mencakup penyesuaian diri dengan individu lain, baik di dalam maupun di luar kelompok individu yang bersangkutan. Individu membutuhkan keterampilan sosial dalam usahanya untuk melakukan penyesuaian diri agar individu dapat melakukan adaptasi sosial dan memberikan respon- respon positif sesuai dengan harapan masyarakat dimana individu tinggal (Victoria, 2008). Mappiare dalam Tulak (2010) mengartikan keterampilan sosial sebagai kemampuan individu dalam berinteraksi sosial dengan masyarakat di lingkungannya dalam rangka memenuhi kebutuhannya untuk dapat diterima oleh teman sebaya baik sejenis kelamin atau lawan jenis agar ia memperoleh rasa dibutuhkan dan rasa berharga. Lebih lanjut, Mu tadin (2002) menjelaskan bahwa keterampilan tersebut harus mulai dikembangkan sejak masih anak-anak, misalnya dengan memberikan waktu yang cukup buat anak-anak untuk bermain atau bercanda dengan teman-teman sebaya, memberikan tugas dan tanggung jawab sesuai perkembangan anak, dan sebagainya. Keterampilan sosial dapat membawa anak untuk lebih berani menyatakan diri, mengungkapkan setiap perasaan atau permasalahan yang dihadapi dan sekaligus menemukan penyelesaian yang adaptif, sehingga mereka tidak mencari pelarian ke hal-hal lain yang justru dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Keterampilan sosial merupakan bagian dari kompetensi sosial. Cavell dalam Cartledge & Milburn (1995) menyebutkan bahwa kompetensi sosial terdiri dari tiga konstrak yaitu penyesuaian sosial, performansi sosial, dan keterampilan sosial. Bagi seorang anak, keterampilan dan kompetensi sosial merupakan faktor 3
yang penting untuk memulai dan memiliki hubungan sosial dan dinilai oleh teman sebaya sebagai anak yang tidak memiliki kompetensi sosial, akan kesulitan dalam memulai dan menjalin hubungan yang positif dengan lingkungannya, bahkan boleh jadi akan ditolak atau diabaikan oleh lingkungannya (Fajar,2007). Para peneliti menemukan bahwa tahun pertama sekolah menengah pertama dapat menyulitkan bagi banyak murid (Eccles & Midgely; Hawkins & Berndt; Simmons & Bulth dalam Santrock, 2002). Misalnya, dalam sebuah penelitian tentang transisi dari kelas enam pada sebuah sekolah dasar ke kelas tujuh di suatu sekolah menengah pertama, persepsi remaja tentang kualitas kehidupan sekolah mereka menurun di kelas tujuh (Hirsch & Rapkin dalam Santrock, 2002). Di kelas VII, murid-murid kurang puas terhadap sekolah, kurang bertanggung jawab terhadap sekolah, dan kurang menyukai guru-guru mereka. Ketika siswa harus menghadapi banyak hal baru, berinteraksi dengan orangorang baru, tidak semua dapat bersoaialisasi dengan baik. Hal ini kemudian menimbulkan berbagai hambatan dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya seperti kesulitan dalam memilih teman baru, sulit berinteraksi dengan teman baru dan merasa tidak cocok dengan lingkungan dan teman barunya. Mereka akan merasa sangat sedih jika seharusnya ia terlibat dengan banyak teman, ia malahan tidak mempunyai teman untuk bermain dan berbagi. Stoscker & Dunn dalam Rubin, Bukowski & Parker(1998) menyebutkan bahwa anak yang memiliki hubungan sosial yang positif dan lebih popular memiliki ketrampilan sosial yang lebih baik dibandingkan anak yang kurang mampu bersosialisasi. Begitu pula anak-anak yang jaringan sosialnya lebih luas 4
akan lebih terampil dalam bersosialisasi dibandingkan anak yang jaringan sosialnya terbatas (Robinson & Garber, 1995 dalam Fajar, 2007). Di Indonesia, pengembangan keterampilan sosial juga kurang mendapat perhatian. Cukup bukti menunjukkan bahwa pendidikan hanya menekankan pada aspek kognitif, sedangkan pendidikan afektif, khususnya yang berkenaan dengan keterampilan sosial masih banyak belum mendapatkan perhatian. Meskipun pendidikan afektif telah dilakukan, tetapi tagihan hasil belajar siswa masih banyak ditekankan pada afek kognitif (Handarini, 2000). Hasil penelitian Nuriah Halleyda (2008) yang berjudul Efektifitas Outbound Training Dalam Meningkatkan Keterampilan Sosial Pada Anak Yang Mengalami Penolakan Teman Sebaya yang menemukan bahwa ada peningkatan yang signifikan pemberian outbound training terhadap keterampilan sosial anak yang mengalami penolakan teman sebaya. Nilai rata-rata keterampilan sosial subjek (pretest) = 63,45, nilai rata-rata keterampilan sosial (posttest) = 71,55. Nilai rata-rata ini dapat diinterpretasikan bahwa ada peningkatan rata-rata keterampilan sosial sebelum dan sesudah diberi perlakuan (outbound training). Hasil penelitian Hilmiati (2009) yang berjudul Pengembangan Keterampilan Sosial Melalui Pembelajaran Puisi Pada Siswa Sekolah Dasar Kelas V SD Muhammadiyah Kolombo Yogyakarta yang menyebutkan bahwa pembelajaran puisi dapat meningkatkan keterampilan sosial melalui pembelajaran puisi pada siswa sekolah dasar kelas V SD Muhammadiyah Kolombo Yogyakarta. 5
berikut: Dari hasil pra penelitian di SMP Negeri 9 Salatiga diperoleh hasil sebagai Tabel 1.1. Data Keterampilan Sosial Siswa Kategori F % Sangat rendah 2 6,7 Rendah 13 43,3 Tinggi 8 26,7 Sangat tinggi 7 23,3 Jumlah 30 100 Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa keterampilan sosial siswa tergolong sangat rendah (6,7%) dan rendah (43,3%). Peningkatan keterampilan sosial dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya melalui layanan bimbingan kelompok. Menurut Tohirin(2007), bimbingan kelompok adalah suatu cara memberikan bantuan kepada individu atau siswa melalui kegiatan kelompok. Kelebihan dari bimbingan kelompok ini adalah dapat melatih siswa untuk hidup berkelompok dan menumbuhkan kerjasama antara siswa dalam mengatasi masalah, melatih siswa untuk mengemukakan pendapat dan menghargai pendapat orang lain, dan dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk dapat berkomunikasi dengan teman sebaya dan pembimbing (Winkel dan Sri Hastuti, 2004). Menurut Gazda (dalam Prayitno, 1999) bimbingan kelompok di sekolah merupakan kegiatan informasi kepada sekelompok siswa untuk membantu mereka menyusun rencana dan keputusan yang tepat. Gazda juga menyebutkan bahwa bimbingan kelompok diselenggarakan untuk memberikan informasi yang bersifat personal, vokasional, dan sosial. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa layanan bimbingan kelompok merupakan layanan yang diberikan kepada 6
beberapa individu dengan prosedur kelompok untuk memberikan informasi untuk keperluan anggota kelompok. Layanan bimbingan kelompok diharapkan dapat membantu siswa dalam lingkungan sekolah. Dari layanan bimbingan kelompok ini diharapkan siswa mampu berkomunikasi dengan baik dengan teman sebaya, bisa membina hubungan yang baik dengan teman sebaya, tidak mementingkan diri sendiri dan bisa bergaul. Dari gambaran di atas, mendorong penulis untuk melakukan penelitian dengan judul Efektifitas Layanan Bimbingan Kelompok Dalam Meningkatkan Keterampilan Sosial Siswa Kelas VII G SMP Negeri 9 Salatiga Tahun Ajaran 2011/2012. 1.2. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang masalah, dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: Apakah layanan bimbingan kelompok efektif dalam meningkatkan keterampilan sosial siswa kelas VII G SMP Negeri 9 Salatiga tahun ajaran 2011/2012? 1.3. Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: Untuk mengetahui Efektifitas layanan bimbingan kelompok dalam meningkatkan keterampilan sosial siswa kelas VII G SMP Negeri 9 Salatiga tahun ajaran 2011/2012. 7
1.4.Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis dalam penelitian ini adalah apabila dalam penelitian ini ditemukan bahwa layanan bimbingan kelompok dapat meningkatkan keterampilan sosial siswa maka temuan ini sejalan dengan pendapat Gazda (dalam Prayitno, 1999) yang menyebutkan bahwa bimbingan kelompok diselenggarakan untuk memberikan informasi yang bersifat personal, vokasional, dan sosial. Bila dalam penelitian ini ditemukan bahwa bimbingan kelompok tidak efektif untuk meningkatkan keterampilan sosial maka menolak penyataan Gazda (dalam Prayitno, 1999) yang menyebutkan bahwa bimbingan kelompok diselenggarakan untuk memberikan informasi yang bersifat personal, vokasional, dan sosial. b. Manfaat Praktik 1. Bagi guru pembimbing, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk melaksanakan layanan bimbingan kelompok dalam rangka meningkatkan keterampilan sosial siswa. 2. Bagi sekolah, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk lebih meningkatkan peran guru pembimbing di sekolah. 3. Bagi siswa, memberi wawasan, masukan kepada siswa tentang pentingnya layanan bimbingan kelompok terhadap keterampilan sosial siswa sehingga dapat dijadikan sebagai wahana membangun interaksi sosial siswa siswa. 8
1.5. Sistematika penulisan Dalam penulisan penelitian ini dibagi menjadi lima bab, yaitu: Bab I Pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. Bab II Landasan Teori, berisi tentang teori yang melandasi yaitu berisi tentang keterampilan sosialdan layanan bimbingan kelompok. Bab III Metodologi Penelitian, berisi tentang jenis penelitian, variabel, subjek penelitian, definisi operasional, teknik pengumpulan data. Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan, berisi tentang hasil dan pembahasan penelitian. Bab V Kesimpulan dan Saran, yang berisi kesimpulan dan saran. 9