TINJAUAN PUSTAKA Tanah Ultisol Ultisol merupakan tanah yang telah mengalami pelapukan lanjut dan berasal dari bahan induk yang sangat masam. Tanah ini mengandung bahan organik rendah dan strukturnya tidak begitu mantap sehingga peka terhadap erosi (Hardjowigeno, 1993). Pembentukan tanah berjalan cepat di daerah yang beriklim humid dengan suhu tinggi dan curah hujan tinggi. Seperti halnya di Indonesia Ultisol telah mengalami pencucian yang sangat intensif menyebabkan ultisol memiliki kejenuhan basa yang rendah dan pelapukan mineral yang rendah. Tanah Ultisol memiliki kepadatan tanah 1,10-1,35 g/cm3, tingkat permeabilitas, infiltrasi dan perkolasi sedang hingga lambat dan kemasaman tanah tinggi, kejenuhan Al tinggi, KTK rendah, kandungan N, P dan K rendah sehingga Ultisol miskin secara fisik dan kimia (Munir, 1995) Pada tanah Ultisol yang mempunyai horizon kandik, kesuburan alaminya hanya bergantung pada bahan organik di lapisan atas. Dominasi kaolinit pada tanah ini memberi kontribusi yang rendah pada kapasitas tukar kation tanah, sehingga kapasitas tukar kation hanya bergantung pada kandungan bahan organik dan fraksi liat. Oleh karena itu, peningkatan produktivitas tanah Ultisol dapat dilakukan melalui perbaikan tanah (ameliorasi), pemupukan, dan pemberian bahan organik (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006) Kandungan bahan organik dalam tanah-tanah mineral pada umumnya hanya menunjukkan kadar presentase yang rendah sekitar 5% saja, namun
demikian peranannya tetap besar dalam mempengaruhi sifat fisika, kimia dan biologi tanah. Sumber utama bahan organik tanah ialah jaringan tanaman dan organisme tanah, baik berupa serasah atau sisa-sisa tanaman, yang setiap tahunnya dapat tersedia dalam jumlah yang besar sekali (Sutedjo dan Kartasapoetra, 2002) Bahan Organik Bahan organik yang dibenamkan dalam tanah akan mengalami penguraian menjadi bentuk-bentuk sederhana oleh mikroorganisme. Proses penguraian tersebut akan menghasilkan CO2 dan air, sedangkan senyawa nitrat akan terbentuk setelah melalui nitrifikasi. Sumber utama bahan organik adalah sisa tanaman yang dikembalikan ke dalam tanah dan pupuk organik (Buckman dan Brady, 1982). Bahan organik dari sampah-sampah kota dan limbah pertanian lainnya dalam jumlah yang banyak tidak dapat digunakan langsung sebagai pupuk tetapi harus terlebih dahulu didekomopsisikan sehingga melapuk dengan tingkat C/N yang rendah. Bahan-bahan yang mempunyai C/N sama atau mendekati tanah dapat langsung digunakan sebagai pupuk, tetapi bila C/N nya tinggi harus didekomposisikan dulu sehingga melapuk dengan nilai sebesar 10-12 (Damanik, dkk, 2011) Muatan koloid humus bersifat berubah-ubah tergantung dari nilai ph larutan tanah. Dalam suasana sangat masam (ph rendah), hidrogen akan terikat kuat pada gugus aktifnya yang menyebabkan gugus aktif berubah menjadi bermuatan positip (-COOH2 + dan -OH2 +), sehingga koloid koloid yang bermuatan negatif menjadi rendah, akibatnya KPK turun. Sebaliknya dalam suasana alkali (ph tinggi) larutan tanah banyak OH-, akibatnya terjadi pelepasan
H+ dari gugus organik dan terjadi peningkatan muatan negatif (-COO-, dan O-), sehingga KPK meningkat (Parfit, 1980). Dilaporkan bahwa penggunaan bahan organik (kompos) memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap karakteristik muatan tanah masam (Ultisol) dibanding dengan pengapuran (Atmojo, 2003) Kompos Jerami Padi Jerami sebaiknya tidak langsung dikembalikan ke sawah tetapi ditunda dahulu selama satu musim tanam agar jerami melapuk secara alami. Pelapukan alami membutuhkan waktu sekitar 6-8 bulan. Akan tetapi sekarang dikenal beberapa aktivator yang dapat mempercepat pelapukan bahan jerami padi. Adapun beberapa aktivator yang dapat digunakan seperti mikroba dengan cara menyediakan sumber makanan bagi mikroba seperti molases (BPTP, 2011) Keuntungan pembuatan kompos jerami dengan menggunakan mikroba perombak bahan organik adalah: (1) dapat dilakukan oleh petani karena mudah dan murah; (2) jerami tidak perlu dibakar; (3) waktu pengomposan hanya 2 minggu; dan (4) semua jerami sisa panen dapat dikembalikan ke tanah sawah dengan aman karena dikomposkan hingga mempunyai rasio C/N 14-15 (Nuraini, 2009) Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Harahap (2010), bahwa kandungan C/N jerami adalah 36,88. Nilai ini masih tergolong tinggi sedangkan syarat bahan organik dapat menyumbangkan unsur hara bagi tanaman harus mempunyai nilai C/N kurang dari 20. Sehingga jerami padi perlu dikomposkan terlebih dahulu agar dapat menurunkan nilai C/N. Secara tidak langsung jerami juga mengandung senyawa N dan C yang berfungsi sebagai substrat metabolisme mikrobia tanah, termasuk gula, pati,
selulose, hemiselulose, lignin, lemak, dan protein. Senyawa tersebut mengandung C sebesar 40% berat kering jerami. Pembenaman jerami ke dalam lapisan olah tanah sawah akan mendorong kegiatan bakteri pengikat N yang heterotropik dan fototropik (Sutanto 2002). Penggunaan mikroba sebagai aktivator kompos dapat meningkatkan unsur hara P dan K. Hal ini disebabkan mikroba yang terkandung dalam pupuk hayati dapat melarutkan hara P dan K serta mendekomposisi sisa tanaman dan transformasi hara, sehingga hara yang ada di dalam tanah menjadi lebih tersedia bagi tanaman (Barus, 2011). Menurut hasil penelitian Gusnidar, dkk, (2011) pemberian kompos jerami campur titonia sebagai sumber bahan organik untuk mengurangi penggunaan pupuk Urea, SP-36 dan KCl dapat disarankan karena dapat menghemat pemakaian pupuk buatan dan meningkatkan hasil padi. Tabel 1. Kandungan hara jerami dan abu sekam padi Unsur hara (%) Jerami Segar Kompos Jerami Sekam Padi Abu Sekam N total 0,957 1,51 0,21 0,37 C organic 49,2 22,06 45,06 0,86 C/N ratio 51,2 15-2,32 P-total 2,48 0,53 0,07 0,44 K-total 0,143 2,23 0,28 1,59 Sumber : * ** *** **** Keterangan: * Canet et al. (2008) ** Nuraini (2009) *** Hidayati (1993) dalam Bantacut (2006) **** Nasution (2011) Pengomposan jerami dengan pengayaan 10 % rock fosfat dan beberapa limbah agro-industri seperti limbah kacang kedelai, bisa menjadi metode alternatif dalam pengelolaan limbah pertanian, dan kompos yang dihasilkan dapat digunakan pada pertanian organik. Pencacahan jerami dibutuhkan sebelum
mempersiapkan campuran agar proses pengomposan berjalan dengan baik dan cepat serta menjamin kualitas kompos pada kondisi baik (Perez, et al, 2009). Jerami padi ditambah kotoran ayam ataupun kotoran kambing dapat dijadikan kompos. Kegiatan pengelolaan limbah pertanian berupa jerami dilakukan dengan tujuan memanfaatkan kembali produksi limbah pertanian yang kurang bermanfaat, memperkecil biaya pengelolaan limbah pertanian, mengurangi jarak transportasi limbah pertanian, meningkatkan nilai tambah limbah pertanian (Yuwono, dkk, 2011). Abu Sekam Padi Penggunaan abu sekam padi dapat memperbaiki sifat kimia tanah. Kandungan kalium dan Fosfor alam yang terkandung pada abu sekam padi mampu meningkatkan KTK, menaikkan ph, membantu dalam ketersediaan Kalium, Fosfor, bahan organik, serta Magnesium. Abu sekam padi juga dapat memperbaiki sifat fisik tanah antara lain porositas dan permeabilitas tanah dan perbaikan sifat biologi tanah dan peningkatan populasli bakteri yang menguntungkan lingkungan tanah (Hadi, 2006) Sekam dikategorikan sebagai biomassa yang dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan seperti bahan baku industri, pakan ternak dan energi atau bahan bakar ataupun sebagai adsorpsi pada logam-logam berat. Sekam tersusun dari jaringan serat-serat selulosa yang mengandung banyak silika dalam bentuk serabut-serabut yang sangat keras. Pada keadaan normal, sekam berperan penting melindungi biji beras dari kerusakan yang disebabkan oleh serangan jamur, dapat mencegah reaksi ketengikan karena dapat melindungi lapisan tipis yang kaya
minyak terhadap kerusakan mekanis selama pemanenan, penggilingan dan pengangkutan (Haryadi, 2006). Dari hasil penelitian sebelumnya telah dilaporkan bahwa sekitar 20 % dari berat padi adalah sekam padi, dan bervariasi dari 13 sampai 29 % dari komposisi sekam adalah abu sekam yang selalu dihasilkan setiap kali sekam dibakar (Krishnarao, dkk, 2000 dalam Putro dan Prasetyoko, 2007) Volume sekam padi yang dihasilkan dari Gabah kering giling (GKG) adalah sebesar 17 %. Sebagai contoh pada penggilingan padi yang berkapasitas 7 ton GKG/jam akan dihasilkan sekam padi sekitar 0.85 ton/jam atau sekitar 8.5 ton/hari. Berat ini setara dengan sekitar 25 m3/hari atau 7500 m3/tahun. Selanjutnya, dari pembakaran sekam kulit padi akan dihasilkan abu sekam padi sebesar 17,71 %. Volume yang besar ini akan menjadi masalah serius dalam jangka panjang apabila tidak ditangani dengan baik (Bantacut, 2006).