BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fraktur 2.1.1. Definisi Fraktur Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Mansjoer A, 2000). Fraktur terbuka adalah fraktur dimana terdapat hubungan fragmen fraktur dengan dunia luar, baik ujung fragmen fraktur tersebut yang menembus dari dalam hingga kepermukaan kulit atau kulit dipermukaan yang mengalami penetrasi suatu objek yang tajam dari luar hingga ke dalam (Salter, R. B., 1999). Setelah patah tulang terjadi maka otot, pembuluh darah, dan jaringan lunak lainnya mengalami kerusakan. Sebuah respon sel dengan sel-sel inflamasi dan sel mesenkimal dibedakan yang menonjol dalam tiga sampai lima hari pertama. Peristiwa biologis yang menyebabkan fraktur yang komplek tidak sepenuhnya dipahami. Kebanyakan patah tulang sembuh dengan cara pembentukan kalus. Dalam beberapa kasus yang tidak biasa, ketika fragmen fraktur berada dalam kontak yang dekat penyembuhan tulang melibatkan penetrasi osteonal langsung dari seluruh bagian tulang patah proses ini disebut penyembuhan tulang primer. Dalam penyembuhan fraktur pada tulang panjang menjalani proses klinis dalam lima tahap : inflamasi, proliferasi, pembentukan kalus, konsolidasi, remodeling. (Werner, C. M., et al, 2008)
Proses penyembuhan suatu fraktur dimulai sejak terjadi fraktur sebagai usaha tubuh untuk memperbaiki kerusakan kerusakan yang dialaminya. Penyembuhan dari fraktur dipengaruhi oleh beberapa faktor lokal dan faktor sistemik,adapun faktor lokal: a) Lokasi fraktur, b) Jenis tulang yang mengalami fraktur. c) Reposisi anatomis dan immobilasi yang stabil. d) Adanya kontak antar fragmen. e) Ada tidaknya infeksi. f) Tingkatan dari fraktur. Dan faktor sistemik : a) umur, b) nutrisi, c) riwayat penyakit sistemik, d) hormonal, e) obat-obatan, f) rokok. ( Liberman, et al, 2005) 2.1.2. Klasifikasi Fraktur Terbuka Klasifikasi fraktur terbuka berdasarkan: (a) mekanisme cedera trauma, (b) derajat kerusakan jaringan lunak, (c) klasifikasi fraktur dan (d) derajat kontaminasi. (Werner CM, dkk, 2008) Klasifikasi patah tulang terbuka yang dibuat oleh Gustillo and Anderson pada tahun 1976 sebagai berikut (Koval,dkk, 2006): Tipe I - Panjang luka < 1 cm, biasanya luka tusukan atau puncture dimana patokan ujung tulang menembus kulit. - Kerusakan jaringan lunak sedikit dan tidak ada tanda-tanda Crushing Injury. - Fraktur biasanya simple, tranverse atau oblique pendek dan sedikit comminutive.
Tipe II - Panjang luka > 1 cm dan tidak ada kerusakan jaringan lunak yang luas, flap atau infeksi. - Terdapat Crushing Injury ringan sedang. - Fraktur comminutive sedang dan kontaminasi sedang. Tipe III - Ditandai dengan kerusakan jaringan lunak luas meliputi otot, kulit dan struktur neurovaskuler serta kontaminasi tinggi, sering disebabkan oleh trauma high velocity yang menyebabkan derajat comminutive dan instabilitas tinggi. Tipe III ini dibagi lagi menjadi v Tipe III a Jaringan lunak yang meliputi tulang yang patah cukup adekuat meskipun terdapat laserasi luas, flap atau trauma high velocity, tanpa memandang ukuran luka. v Tipe III b Cedera luas, terdapat atau hilangnya sebagian dari pada jaringan lunak dan stripping periosteal dan bone expose, kontaminasi dan fraktur comminutive yang berat. v Tipe III c Meliputi semua fraktur yang terbuka yang berhubungan dengan kerusakan pembuluh darah yang harus di repair tanpa memandang cedera jaringan lunak.
2.1.3. Prinsip penanganan Fraktur Terbuka Prinsip penanganan fraktur terbuka. (Koval, et al, 2006) 1. Lakukan evaluasi klinis dan radiografi 2. Pendarahan dari luka harus dilakukan balut tekan daripada pemasangan torniquet atau pun pemasangan klem langsung 3. Pemberian antibiotik parenteral 4. Nilai kerusakan kulit dan jaringan lunak, berikan kasa normal saline lembab pada luka 5. Lakukan reduksi fraktur segera dan pasang bidai 6. Intervensi bedah Penanganan utama pada fraktur tibia terbuka adalah pemberian antibiotik yang tepat, debridement, stabilisasi skletal dan penutupan jaringan lunak secepatnya. (BOA, 2009; Jain, A. K., 2005) 2.2. Infeksi Infeksi adalah terdapatnya mikroorganisme pada jaringan host ataupun pada aliran darah serta terdapatnya respon inflamasi yang terjadi sebagai akibat adanya mikroorganisme tersebut. (Brady, J.P., 1994) Hal yang dapat terjadi saat adanya interaksi antara invasi mikroba dengan host yaitu: (Werner, C.M., et al, 2008) Eradikasi, Containment (sering dihubungkan dengan pus), Infeksi regional (selulitis,limfangitis) Infeksi sistemik
Pada tempat infeksi, ditemukan tanda-tanda klasik yaitu rubor, kalor, tumor, dolor dan di daerah-daerah seperti kulit atau jaringan subkutan yang umum. (Werner, C. M., et al, 2008) Pada infeksi selain menimbulkan reaksi lokal, reaksi sistemik juga bisa terjadi, diantaranya berupa peningkatan temperatur, peningkatan leukosit, takikardia atau takipneu. Semua reaksi diatas dikenal sebagai SIRS (systemic inflammatory response syndrome). (Werner, C. M., et al, 2008) Beberapa faktor yang telah dikenal sebagai faktor yang meningkatkan resiko terjadinya infeksi, antara lain : tidak adanya pemberian antibiotik profilaksis, bakteri pada luka yang resisten terhadap antibiotik, waktu antara pemberian antibiotik dan debridement dengan saat kejadian yang panjang, kerusakan jaringan yang luas, patah tulang tibia terbuka, hasil kultur yang masih menunjukkan adanya bakteri setelah dilakukan debridement dan irigasi serta adanya clostridium perfigens pada saat penutupan. Patzakins, Wilkins, dan Moore (1983) 2.3. Debridement Prinsip penanganan infeksi secara bedah terdiri dari drainase pus, debridement, devitalisasi jaringan dan pembuangan debris atau benda asing yang terdapat pada tempat yang mengalami infeksi. Debridement atau eksisi jaringan non vital adalah suatu tindakan yang dilakukan karena jaringan yang telah kehilangan sumber penyedia perdarahan yang mencegah penyembuhan luka primer dan mencegah infeksi, eksisi bedah
terhadap jaringan rusak terhadap semua jaringan non vital, seperti kulit, lemak subkutis, fasia, otot dan fragmen jaringan ikat tulang, sangatlah penting. Material asing seperti potongan kain dan kotoran harus dibersihkan. (Salter, R. B, 1999) Pada tahun 2010, British Orthopaedic association and the British Association of Plastic, Reconstructive and Aesthetic Surgeons membuat suatu kesepakatan manajemen fraktur terbuka tibia. Sistematik debridement pada fraktur tibia (Wiesel, et al, 2007): 1. Pemberian Antibiotik profilaksis 2. Pemberian cairan sabun 3. Persiapkan tungkai yang akan di debridement dengan cairan NaCl 0.9%, cegah kontak chlorhexidine dengan luka terbuka 4. Sistemetik debridement mulai dari jaringan superfisial sampai profunda dan mulai dari perifer sampai sentral dari luka. 5. Semua jaringan mati dan fragmen tulang yang tidak terikat dengan soft tissue harus dibuang. 6. Semua tahapan ini dilakukan dengan prinsip irigasi. 2.4 Fase Penyembuhan Luka dan Prinsip Penanganan Luka Dahulu penyembuhan luka dibagi terhadap 3 fase : inflamasi, proliferasi dan remodeling. Walaupun begitu setiap fase dijabarkan atas peristiwa yang berbeda, terdapat suatu tingkat waktu yang berbeda dan variasi pada fase tersebut. Faktor yang mempengaruhi waktu dan panjangnya dari peristiwa ini meliputi usia iskemik, nutrisi, radiasi, merokok, penyakit sistemik seperti diabetes, kontaminasi
atau infeksi, pengeringan dan jumlah jaringan yang non vital atau nekrotik. (Krynger, et al, 2007) 2.4.1 Fase Inflamasi Terjadi segera setelah cedera, pendarahan muncul sebagai hasil dari gangguan pembuluh darah. Hemostasis terjadi dengan vasokonstriksi awal dan kemudian dilapis dengan pembentukan platelet dan pembekuan. Degenerasi platelet menghasilkan berbagai macam substansi, yaitu Platelet-Derived Growth Factor (PDGF) and Transforming Growth Factor-β (TGF- β), dimana mengaktifkan kemotaksis dan proloferasi sel-sel inflamasi yang menandai fase penyembuhan luka ini. Mengikuti periode vasokonstriksi dan migrasi sel ketempat yang cedera dibantu dengan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas endotel (mediasi oleh histamin, prostacyclin dan zat lain). (Krynger, et al, 2007) Sel pertama yang sampai adalah leukosit polimorfonuklear (PMN), yang mana jumlahnya meningkat pada 24 jam pertama. Sel sel ini membantu proses pembersihan luka dari debris dan bakteri. Setelah 2 3 hari berikutnya, makrofag sebagai tipe sel utama. Makrofag memiliki beberapa peran penting beberapa penyembuhan luka termasuk vagositosis pelepasan berbagai growth factor dan cytokines, dan pengambilan sel inflamasi tambahan. Pentingnya makrofag telah dicontohkan oleh penelitian yang telah menunjukkan bahwa penyembuhan luka sangat terganggu tanpa keberadaannya. Sebaliknya, penghambatan atau penghancuran PMN selama fase inflamasi masih dihasilkan dalam penyembuhan luka normal tanpa adanya bakteri. Akhirnya terdapatnya limfosit pada luka
walaupun peran langsungnya pada penyembuhan luka masih perlu diteliti lagi. (Krynger, et al, 2007) 2.4.2 Fase Proliferasi Bekuan darah yang terbentuk selama inflamasi menyediakan kandungan sementara dan pondasi untuk proliferasi dari tipe sel dominan selama fase ini fibroblast. Sebagai tambahan faktor pertumbuhan menstimulasi angiogenesis dan kapiler yang tumbuh dari sel endothel. Kapiler dan fibroblast membentuk suatu instansi yang dikenal secara klinis dan histologi sebagai jaringan granulasi. Fibroblast menghasilkan kolagen yang merupakan struktur molekul penting pada luka akhir. Awalnya, kolagen tipe 3 dihasilkan dalam jumlah relatif banyak pada penyembuhan luka, perbandingan kolagen tipe 1 dan tipe 3 adalah 4:1 dengan secara berkala kembali selama fase remodeling. (Kreder, H. J., 1995; Krynger, et al, 2007) Pembentukan kolagen ini terjadi dalam beberapa langkah, proses dinamis dengan komponen intrasel dan ekstrasel. Prokolagen disintesis dan disusun sebagai suatu triple helix. Setelah sekresi prokolagen dari lapisan intraseluler, peptidase kemudian mensekresi kembali. Akhirnya, hidroksilasi dan keterkaitan dari kolagen dibutuhkan untuk kekuatan dan stabilitas dari protein ini. (Krynger, et al, 2007) 2.4.3 Fase Remodeling Sekitar 2-3 minggu setelah cedera akumulasi kolagen mencapai tingkat optimal dimana tidak ada perubahan kandungan kolagen total selama kejadian ini
teradapat penggantian kolagen fibril secara acak dengan fibril yang tersusun baik. Proses remodeling ini berlangsung hingga 1 tahun. Jaringan parut berlanjut untuk mendapatkan kekuatan pada fase ini; bagaimanapun kekuatan tarik menarik dari luka tidak pernah mencapai seperti jaringan, mencapai sekitar 70% dari kekuatan normal. (Krynger, et al, 2007) 2.4.4 Epitelisasi Kulit terdiri dari epidermis dan dermis, dari sekian banyak fungsi penting dari epidermis adalah untuk menyediakan suatu pembatas terhadap bakteri dan patogen lain dan untuk mempertahankan lingkungan tubuh yang lembab. Ketika kulit terluka, epitelisasi mulai terbentuk kembali pada permukaan luka segera setelah luka terjadi. Pada luka yang agak dalam, epitelium memperoleh dari lapisan kulit, folikel rambut dan kelenjar keringat. Sebaliknya pada luka yang dalam epitel bermigrasi dari ujung luka dengan rentang 1-2 mm per hari. Epitelisasi yang tertunda menjadikan suatu fase inflamasi yang lebih lama yang menjadikan kemampuan tubuh kurang baik untuk mengembalikan struktur dan fungsi dari kulit. (Eric, W., dkk, 2009; Krynger, et al, 2007) 2.4.5 Kontraksi Luka Myofibroblast adalah fibroblast yang mengandung aktin mikrofilamen dan menjadikan kontraksi luka muncul. Pada keadaan tertentu, kontraksi luka menguntungkan, karena menghasilkan area luka yang lebih kecil. Bagaimanapun, kontraksi luka yang muncul melintasi suatu sendi seperti siku, lutut atau leher dapat membuat keterbatasan fungsi. (Krynger, et al, 2007)
2.4.6 Keuntungan dan Kesulitan Pengertian terhadap ilmu dasar dari penyembuhan luka memiliki implikasi klinis yang penting. Hemostasis, debridement adekuat dari luka kotor atau terkontaminasi dan penanganan jaringan yang baik menurunkan fase inflamasi pada penyembuhan luka. Menjadikan pasien membersihkan lukanya dengan larutan non iritasi seperti air yang menurunkan inflamasi. Sebagai tambahan memperkecil ketegangan dan ruang kosong selama penutupan luka meningkatkan kemungkinan terbentuknya luka yang lebih baik. Penyembuhan luka yang lembab lebih unggul dari pada penyembuhan dengan luka yang kering; Karena itu verban haruslah dibuat dalam kondisi yang lembab. Pasien dengan luka yang kronis atau sulit sembuh sering membutuhkan tambahan untuk menyediakan substrat untuk kebutuhan pembentukan kolagen dan epitelisasi. (Krynger, et al, 2007)