PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN INDIVIDUAL KNOWLEDGE ACCOUNTING TERHADAP PERAN SKPKD DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. berlaku dalam masyarakat saat itu. Pemimpin-pemimpin formal, bahkan

BAB I PENDAHULUAN. sistem tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang ditandai

BAB 1 PENDAHULUAN. publik. Pemahaman mengenai good governance berbeda-beda, namun sebagian

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial,

BAB 1 PENDAHULUAN. sesuai dengan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan sistem pemerintahan dari yang semula terpusat menjadi

PENGARUH PERSONAL BACKGROUND, POLITICAL BACKGROUND DAN PENGETAHUAN DEWAN TENTANG ANGGARAN TERHADAP PERAN DPRD DALAM PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. mampu memberikan informasi keuangan kepada publik, Dewan Perwakilan. rakyat Daerah (DPRD), dan pihak-pihak yang menjadi stakeholder

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN SRAGEN DILIHAT DARI PERSPEKTIF AKUNTABILITAS

BAB I PENDAHULUAN. memburuk, yang berdampak pada krisis ekonomi dan krisis kepercayaan serta

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun

Good Governance: Mengelola Pemerintahan dengan Baik

BAB I PENDAHULUAN. (DPRD) mempunyai tiga fungsi yaitu : 1) Fungsi legislatif (fungsi membuat

BAB I PENDAHULUAN. monopoli dalam kegiatan ekonomi, serta kualitas pelayanan kepada masyarakat

I. PENDAHULUAN. melalui implementasi desentralisasi dan otonomi daerah sebagai salah satu realita

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah menuntut adanya partisipasi masyarakat dan. transparansi anggaran sehingga akan memperkuat pengawasan dalam proses

PENERAPAN GOOD GOVERNANCE DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH (Suatu Studi pada Sekretariat Daerah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro)

BAB I PENDAHULUAN. melalui Otonomi Daerah. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.22 tahun

Mengetahui bentuk pemerintahan yang baik RINA KURNIAWATI, SHI, MH

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pengelolaan sistem pemerintahan, good governance telah

BAB I PENDAHULUAN. efektifitas, dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.

BAB I PENDAHULUAN. termasuk diantaranya pemerintah daerah. Penganggaran sector publik terkait

BAB I PENDAHULUAN. kepada daerah. Di samping sebagai strategi untuk menghadapi era globalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. kepemerintahan yang baik (good governance). Good governance adalah

PENDAHULUAN. lebih mengutamakan kepentingan organisasi dibandingkan dengan kepentingan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia telah memasuki masa pemulihan akibat krisis ekonomi yang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Reformasi telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial,

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan reformasi di segala bidang yang didukung oleh sebagian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada era reformasi dalam perkembangan akuntansi sektor publik yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan pemerintahan di Indonesia semakin pesat dengan adanya era

Kebijakan Bidang Pendayagunaan Aparatur Negara a. Umum

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era reformasi yang diikuti dengan diberlakukannya kebijakan

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi pemerintahan merupakan salah satu organisasi yang non profit

BAB I PENDAHULUAN. diamanatkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi politik di tanah air. Walaupun masih dalam batas-batas tertentu, perubahan ini

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Pendidikan Kewarganegaraan

PENERAPAN PRINSIP GOOD GOVERNANCE DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. runtuhnya rezim orde baru yang sentralistik dan otoriter. Rakyat bertransformasi

TERWUJUDNYAMASYARAKAT KABUPATEN PASAMAN YANGMAJU DAN BERKEADILAN

ANALISIS KINERJA ANGGARAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN WONOGIRI

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

ANALISIS PERKEMBANGAN KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH. (Studi Kasus Kabupaten Klaten Tahun Anggaran )

PENDAHULUAN. Daerah dalam melakukan dan melaksanakan pengelolaan keuangan daerah

BAB I PENDAHULUAN. informasi dan mengambil keputusan dengan cepat dan akurat. Kemampuan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. bagi bangsa ini. Tuntutan demokratisasi yang diinginkan oleh bangsa ini yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap nasib suatu daerah karena daerah dapat menjadi daerah

BAB I PENDAHULUAN. mencatat desentralisasi di Indonesia mengalami pasang naik dan surut seiring

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pemerintah daerah sepenuhnya dilaksanakan oleh daerah. Untuk

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi keuangan pemerintah yang dilaksanakan pada awal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perkembangan sistem tata kelola pemerintahan di Indonesia telah melewati serangkain

1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. daerah diharapkan mampu menciptakan kemandirian daerah dalam mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN. Adanya perkembangan teknologi dan otonomi daerah menuntut

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada era-era yang lalu tidak luput dari

BAB I PENDAHULUAN. demokrasi, desentralisasi dan globalisasi. Jawaban yang tepat untuk menjawab

BAB 1 PENDAHULUAN. saat ini mencerminkan adanya respon rakyat yang sangat tinggi akan permintaan

Good Governance dan Kualitas Laporan Keuangan Pemerintah

KEWARGANEGARAAN. Modul ke: GOOD GOVERNANCE. Fakultas FEB. Syahlan A. Sume. Program Studi MANAJEMEN.

BAB I PENDAHULUAN. terhadap pengelolaan pemerintahan yang baik (good government governance)

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PADA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN WONOGIRI DAN KABUPATEN KARANGANYAR DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

I. PENDAHULUAN. mengembangkan sistem pemerintahan yang baik (Good Governance), yaitu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. yang telah di amandemen menjadi Undang-Undang No. 32 dan No. 33 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah yang dikelola dan diatur dengan baik akan menjadi pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dalam memberantas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Sejak jatuhnya pemerintahan Orde Baru dan digantikan dengan gerakan

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggara negara atas kepercayaan yang diamanatkan kepada mereka. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bentuk negara. Awalnya, para pendiri Negara ini percaya bentuk terbaik untuk masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. 2004, manajemen keuangan daerah Pemerintah Kabupaten Badung mengalami

BAB 1 PENDAHULUAN. dibangku perkuliahan. Magang termasuk salah satu persyaratan kuliah yang

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang sudah ditentukan. Saat ini good governance sangat ramai. yang dipimpin oleh seorang atasan terhadap pegawai-pegawainya.

PEMERINTAH KOTA BANDUNG KECAMATAN BANDUNG KULON

BAB I PENDAHULUAN. melakukan perubahan secara holistik terhadap pelaksaaan pemerintahan orde baru.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB I PENDAHULUAN. sistem kehidupan Negara. Dalam pemerintah sendiri, sudah mulai ada perhatian yang

BAB I PENDAHULUAN. investasi. Dengan demikian nilai modal ( human capital ) suatu bangsa tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Era reformasi dan pelaksanaan otonomi daerah yang lebih luas, mengakibatkan semakin kuatnya tuntutan masyarakat terhadap

BAB 1 PENDAHULUAN. respon positif atas krisis ekonomi dan krisis kepercayaan yang terjadi.

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kondisi global yang semakin maju membawa dampak

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pengendalian organisasi karena pengukuran kinerja diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian. Dengan seringnya pergantian penguasa di negara ini telah memicu

PERSEPSI KARAKTERISTIK INDIVIDU TENTANG STANDAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN. (Studi Kasus pada Pemerintah Kota Surakarta) SKRIPSI

TUGAS AKHIR. Oleh : AHMAD NURDIN L2D

BAB I PENDAHULUAN. suatu fenomena di Indonesia. Tuntutan demokrasi ini menyebabkan aspek

BAB I PENDAHULUAN. daerah, tetapi keberadaan RSD masih dipandang sebelah mata oleh. masyarakat. Faktor yang mempengaruhi rendahnya kualitas pelayanan

BAB V VISI, MISI DAN TUJUAN PEMERINTAHAN KABUPATEN SOLOK TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Seiring dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. memberikan proses pemberdayaan dan kemampuan suatu daerah dalam. perekonomian dan partisipasi masyarakat sendiri dalam pembangunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memperhatikan asas keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat

Transkripsi:

PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN INDIVIDUAL KNOWLEDGE ACCOUNTING TERHADAP PERAN SKPKD DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH ( Survei Pada SKPKD Se-Eks Karisidenan Surakarta ) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi Pada Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta Disusun oleh: Slamet B 200 050 035 FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2009

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu kata bijak menyebutkan bahwa, if you don t know where you are going, any road will take you there. Sebagai seorang pemimpin kita sering menjumpai berada dalam situasi ini. Siapa kita, mengapa kita, kemana tujuan kita menjadi suatu pertanyaan mendasar sebagai pemimpin suatu organisasi agar selalu terfokus pada perencanaan (Triyono 2002:139). Ditengah hiruk peluknya gejolak sosial yang terjadi di masyarakat akibat dari krisis global yang manimpa bangsa Indonesia tahun 1997 lalu, ternyata melatar belakangi lahirnya gerakan Reformasi yang menjadi titik tolak bagi bangsa Indonesia untuk menata kembali pemerintahannya. Derasnya arus reformasi inilah yang kemudian menuntut adanya tata kelola pemerintahan yang baik atau biasa disebut good governance. Istilah good governance menjadi begitu popular pada saat ini. Hampir setiap event, peristiwa dan perbincangan yang menyangkut masalah pemerintahan, istilah ini tidak pernah ketinggalan. Pendeknya good governance telah menjadi wacana yang kian gencar di tengah masyarakat, (Herwanto, 2007: 1). Menurut Sjahrir (1999), hal ini cukup beralasan, pasalnya krisis ekonomi yang melanda bangsa ini antara lain disebabkan oleh tata cara penyelenggaraan pemerintahan yang tidak dikelola dan diatur dengan baik. Konsekwensi yang menonjol dari tata pemerintahan yang buruk (bad 1

2 governance) adalah munculnya masalah korupi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang tumbuh subur dan sulit dibrantas, masalah penegakan hukum yang sulit berjalan, kegiatan ekonomi yang termonopoli oleh pihak tertentu, serta kualitas pelayanan kepada masyarakat yang memburuk. Dalam era reformasi seperti sekarang ini mewujudkan pemerintahan yang baik (good gevernance) menjadi suatu hal yang tidak dapat ditawar lagi keberadaannya dan mutlak terpenuhi. Karakteristik pemerintahan yang baik menurut UNDP meliputi antara lain: (1) akuntabilitas (accountability), yang dapat diartikan sebagai kewajiban untuk mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada publik; (2) transparency dalam arti transparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan; (3) rule of law, dalam arti kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu; (4) participation dalam arti keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif; (5) Responsiveness dalam arti lembagalembaga publik harus cepat dan tanggap dalam melayani stakeholder; (6) consensus artinya, berorientasi pada kepentingan masyarakat yang lebih luas; (7) equity artinya setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan dan keadilan; (8) efficiency and effectiveness artinya pengelolaan sumber daya publik dilakukan secara berdaya guna

3 (efisien) dan berhasil guna (efektif); (9) strategic vision artinya penyelenggara pemerintahan dan masyarakat harus memiliki visi jauh ke depan ( Mardiasmo 2002:18) Good governance merupakan suatu konsepsi tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, demokratis dan efektif sesuai dengan cita-cita terbentuknya masyarakat yang madani. Tata pemerintahan yang baik terkait erat dengan kontribusi, pemberdayaan, dan keseimbangan peran antara tiga pilar yaitu pemerintahan, dunia usaha swasta, dan masyarakat. Tata pemerintahan yang baik juga mensyaratkan adanya kompetensi birokrasi sebagai pelaksana kebijakan publik atau politik serta sebagai perangkat otoritas atas peran-peran Negara dan pemerintah daerah dalam menjalankan amanat yang diembannya. Walau demikian, penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik pada kenyataannya sering mengalami kendala yang pada umumnya disebabkan kurangnya pemahaman, kesadaran, dan kapasitas ketiga pilar tersebut. Dengan merealisasikan good governance menuntut adanya perubahan paradigma dan format pemerintahan. Format pemerintahan sentralistik yang terbukti sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan mendorong adanya desentralisasi pemerintahan. Dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, membawa angin segar, guna tercapainya otonomi daerah. Kedua Undang-undang tersebut

4 berjiwakan desentralisasi dan otonomi yang harus diimplementasikan pada tanggal 1 januari 2001. Tentu saja interprestasi tentang desentralisasi dan otonomi ini harus diposisikan dengan benar. Pemahaman tentang desentralisasi dan otonomi tidak beragam antara pendapat satu dengan yang lainnya (Mursinto, 2005: 345) Misi kedua Undang-undang diatas bukan hanya pelimpahan kewenangan, dan pembiayaan. Akan tetapi dimaksudkan agar manajemen pengelolaan keuangan daerah lebih baik, sehingga diharapkan kualitas pelayanan kepada masyarakat semakin baik, dan kesejahteraan masyarakat meningkat. Semangat desentralisasi, demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas menjadi sangat dominan dalam proses penyelenggaraan pemerintah dan pengelolaan keuangan daerah yang sehat sebagai salah satu upaya untuk menciptakan mekanisme good governance. Oleh karenanya dibutuhkan laporan keuangan yang handal dan dapat dipercaya agar dapat memberikan informasi sumber daya keuangan daerah, dan mengukur sejauhmana prestasi pengelolaan sumber daya keuangan Pemerintah Daerah yang bersangkutan sesuai dinamika dan tuntutan masyarakat (publik) serta mempunyai pelaporan yang kompatibel dengan praktik-praktik dunia internasional (Jaeni, 2003: 1). Sejalan dengan semangat desentralisasi, demokrasi dan kesetaraan hubungan pemerintah pusat dan daerah, diperlukan perintisan awal untuk melakukan revisi yang bersifat mendasar terhadap Undang-undang (UU) No.22 Tahun 1999 yang direvisi menjadi UU No.32 Tahun 2004 Tentang

5 Pemerintahan Daerah dan UU No.25 Tahun 1999 yang direvisi menjadi UU No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Hal ini merupakan era baru dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Indonesia, yaitu pelaksanaan desentralisasi untuk mewujudkan otonomi daerah. Untuk mewujudkan otonomi daerah dan desentralisasi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab diperlukan manajemen keuangan daerah yang mampu mengontrol kebijakan keuangan daerah secara ekonomis, efektif, transparan, dan akuntabel (Winarna, 2007: 2). Pergeseran paradigma pola manajemen yang bersifat sentralisasi menjadi pola manajemen yang bersifat desentralisasi telah terjadi hampir di seluruh belahan dunia. Pilihan atas pola manajemen yang bersifat sentralisasi maupun desentralisasi berkaitan erat dengan budaya organisasi yang digunakan.. Pola manajemen yang bersifat sentralisasi menunjukkan tipe budaya organisasi dengan rentang kekuasaan tinggi, dimana anggota organisasi tidak mengambil peran dalam pengambilan keputusan. Sedangkan pola manajemen yang bersifat desentralisasi dirasa lebih menguntungkan dalam membangun suatu budaya organisasi karena dalam pola manajemen yang terdesentralisasi rentang kekuasaan yang digunakan bersifat rendah (Rahutami, 2003: 1). Dalam rangka pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah sebagaimana diterapkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, timbul hak dan kewajiban daerah yang dapat di nilai dengan uang, sehingga

6 perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah sebagaimana dimaksud merupakan sub-sistem dari sistem pengelolaan keuangan Negara dan merupakan elemen pokok dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Bersama kedua Undang-undang diatas, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang lebih rinci yang menjadi acuan pengelolaan keuangan daerah, diantaranya peraturan pemerintah No. 20 Tahun 2004 tentang rencana kerja pemerintah, peraturan pemerintah No. 54 Tahun 2005 tentang pinjaman daerah, peraturan pemerintah No. 56 Tahun 2005 tentang sistem informasi keuangan daerah, peraturan pemerintah No. 57 Tahun 2005 tentang hibah kepada daerah. Pada dasanya buah pemikiran yang melatar belakangi terbitnya peraturan perundang-undangan diatas adalah keinginan untuk mengelola keuangan Negara dan daerah secara efektif dan efisien. Ide dasar tersebut tentunya ingin dilaksanakan melalui tata kelola pemerintahan yang baik yang memiliki tiga pilar utama yaitu trasparansi, akuntabilitas, dan partisipatif. Banyaknya Perundang-undangan dan produk hukum mengenai otonomi daerah yang mengatur dan memberikan kewenangan yang lebih luas, nyata dan tanggung jawab kepada daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, pengelolaan keuangan daerah telah menjadi titik terang dalam pengambilan keputusan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun daerah. Adanya system pengelolaan keuangan

7 daerah yang mampu memenuhi berbagai tuntutan dan kebutuhan masyarakat merupakan satu kebutuhan mendesak yang mesti diwujudkan oleh pemerintahan saat ini secara transparan, akuntabel, efisien, efektif, dan ekonomis (Witono, 2003: 1) Untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukan adanya satu peraturan pelaksanaan yang komprehensif dan terpadu (omnibus regulation) dari berbagai Undang-undang tersebut diatas yang bertujuan agar memudahkan dalam pelaksanaannya dan tidak menimbulkan multi tafsir dalam penerapannya. Dari latar belakang inilah lahir Peraturan pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah yang diteruskan dengan penerbitan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah. Hakekat semangat otonomi tercermin dalam PP No. 58 Tahun 2005 dan Permendagri No. 13 Tahun 2006 yang meletakkan pemerintahan daerah sebagai pemegang kekuasaan pengelola keuangan daerah yang meliputi keseluruhan kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, penata usahaan pelaporan dan pertanggungjawaban. Dengan kata lain, pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk merencanakan, menggunakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan seluruh sumber penerimaan daerah kepada masyarakat melalui DPRD tanpa adanya intervensi pemerintah pusat. Semakin banyaknya pihak yang terlibat dalam pengelolaan keuangan daerah yang harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundangundangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggungjawab

8 dengan memperhatikan asas keadilan, kepatuhan dan manfaat untuk masyarakat, tentu membutuhkan sumberdaya manusia yang dapat menghasilkan kinerja yang optimal, sehingga tujuan organisasi tercapai. Artinya, organisasi pemerintah daerah dituntut untuk dapat meletakkan budaya yang paling sesuai yang diterapkan pada seluruh lapisan organisasi, agar keefektifan sumberdaya manusia dapat diperoleh yang pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja pemerintah daerah. Study yang dilakukan oleh A. Ika Rahutami dan Benedictus Karno Budiprasetyo (2003) yang meneliti tentang Peranan Budaya Organisasi dan Individual Knowledge Management Terhadap Kesiapan Organisasi dan Aparat Pemerintah Kota Semarang Dalam Melaksanakan Desentralisasi menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan yang cukup mencolok pada variabel budaya organisasi, antara kondisi yang diinginkan dengan kenyataannya terdapat pada indikator karakter organisasi, penbedaan organisasi, dan penghargaan dalam organisasi. Kemudian terdapat pula kesenjangan yang cukup mencolok pada variabel pengetahuan individu, antara kondisi yang diinginkan dengan kenyataannya perdapat pada indikator knowledge counstruction, knowledge embodiment. Lalu terdapat perbedaan persepsi kenyataan (berdasar pembedaan gender) pada pengetahuan individual (indikator penyebaran dan manfaat pengetahuan) dan pada variabel budaya organisasi (berdasar pembedaan pendidikan), khususnya indikator karakter organisasi. Kemudian Herwanto (2007) yang meneliti tentang Analisis Pengaruh Personal Background Terhadap Peran Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan

9 Keuangan Daerah Dengan Pemahaman Good Governance Sebagai Variabel Moderasi menunjukkan bahwa kelima dimensi personal background yaitu jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, bidang pendidikan, dan pengalaman kerja, hanya usia dan bidang pendidikan yang tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peran pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan daerah. Meskipun dalam pengukian kepahaman good governance sebagai variabel independent memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peran pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan daerah, akan tetapi interaksinya dengan variabel personal background ternyata tidak dapat memperkuat hubungan antara personal background terhadap peran pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan daerah. Hal ini berarti menolak hipotesis 2, serta tidak mendukung teori yang diajukan. Selanjutnya Suharto dan Budhi Cahyono yang meneliti tentang Pengaruh Budaya Organisasi, Kepemimpinan Dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Sumber Daya Manusia Di Sekertariat DPRD Propinsi Jawa Tengah, menyimpulkan bahwa tingkat partisipasi responden dalam penelitiannya adalah sebesar 100%, medapat dukungan yang baik dari karyawan Sekretariat DPRD Propinsi Jawa Tengah. Kemudian hipotesis pertama sampai hipotesis keempat yang menyatakan ada pengaruh positif antara variabel independent (budaya orgganisasi, kepemimpinan, motivasi kerja) dengan kinerja karyawan semua terbukti secara signifikan, baik secara individu maupun secara bersama-sama. Besarnya kontribusi untuk ketiga variabel independent dalam membentuk karyawan adalah sebesar 57,6%.

10 Berdasarkan pemaparan diatas maka penulis mengambil judul dalam skripsi ini adalah: PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN INDIVIDUAL KNOWLEDGE ACCOUNTING TERHADAP PERAN SKPKD DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH (Survei Pada SKPKD Se-Eks Karesidenan Surakarta) B. Perumusan Masalah Perumusan masalah merupakan hal yang penting, karena menjadi penuntun bagi langkah selanjutnya, terutama dalam mengkonstruksi suatu analisis. Perumusan Masalah adalah konteks dari penelitian, alasan mengapa penelitian dilakukan, dan petunjuk yang mengarahkan tujuan penelitian (Evans dalam Kuncoro, 2003: 33). Berdasarkan latar belakang yang penulis uraikan diatas, masalah yang dapat diungkapkan adalah: 1. Apakah budaya organisasi berpengaruh terhadap peran SKPKD dalam pengelolaan keuangan daerah? 2. Apakah individual knowledge accounting berpengaruh terhadap peran SKPKD dalam pengelolaan keuangan daerah? C. Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian adalah untuk memperoleh pengetahuan yang dapat menjawab pertanyaan atau memecahkan masalah (Supomo, Indriantoro, 1999: 2).

11 Tujuan merupakan hal yang sangat penting daidalam suatu penelitian, karena tujuan penelitian dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai arah penelitian yang ingin dicapai. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh budaya organisasi dan individual knowledge accounting terhadap peran SKPKD dalam pengelolaan keuangan daerah Se-Eks karesidenan Surakarta. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan oleh penulis adalah: 1. Bagi Penulis atau Peneliti Dapat menambah ilmu, wawasan, dan pengalaman yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah. 2. Bagi Pemerintah Sebagai sarana untuk evaluasi dan bahan untuk pengembangan terkait dengan pengelolaan keuangan daerah. 3. Bagi Pihak Lian Sebagai referensi dalam pembahasan-pembahasan dan penelitian tentang pengelolaan keuangan daerah.

12 E. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan dari skripsi ini adalah sebagai berikut: BAB I. PENDAHULUAN Dalam bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini berisi tentang keuangan daerah, anggaran kinerja, peran BPKD, pengertian budaya organisasi, serta pengertian individual knowledge accounting. BAB III. METODE PENELITIAN Dalam bab ini terdiri dari jenis penelitian, populasi dan sampel, data, devinisi operasional variabel, alat analisis, dan pengambilan hipotesis. BAB VI. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini berisi gambaran umum daerah penelitian, analisis data, serta hasil pembahasan penelitian. BAB V. PENUTUP Dalam bab ini penulis akan mengemukakan tentang kesimpulan, keterbatasan penelitian, dan saran.