BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang memiliki sumber daya alam serta keanekaragaman hayati yang besar di dunia ini. Selain potensi alam tersebut ternyata Indonesia juga disertai dengan potensi bencana yang bersumber dari alam. Bencana yang dapat menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat Indonesia, termasuk dampak bagi kesehatan masyarakat. Secara geografis Indonesia berada di kawasan rawan bencana alam, akibat kegagalan teknologi dan akibat ulah manusia lainnya. Selain itu juga diperberat dengan adanya potensi krisis multidimensi termasuk kerusuhan sosial bernuansa SARA, kecelakaan transportasi dan industri serta Kejadian Luar Biasa akibat wabah penyakit menular. Masalah kesehatan yang terjadi akibat kedaruratan dan bencana menyebabkan timbulnya kerugian berupa gangguan kehidupan dan penghidupan manusia, kerusakan lingkungan dan sarana kesehatan yang pada gilirannya akan menghambat laju pembangunan nasional (Depkes RI, 2002). Oleh sebab itu, agar dampak yang ditimbulkan tidak meluas dan parah maka kita harus mampu menanggulangi terjadinya bencana tersebut melalui berbagai upaya yang terintegrasi dan terencana. Penanggulangan bencana adalah bagian integral dari pembangunan nasional dalam rangka melaksanakan amanat UUD 1945, sebagaimana dimaksud di alinea ke-iv Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 (BNPB, 2011). 1 1
2 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, menyebutkan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Begitu juga dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa penanggulangan bencana dilaksanakan secara terencana, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, risiko dan dampak bencana. Berdasarkan undang undang nomor 24 tahun 2007 di atas diketahui juga bahwa terdapat 3 tahapan dalam menanggulangi bencana. Salah satu yang terpenting adalah tahap pra bencana yang terdiri atas pra bencana saat tidak ada bencana dan pra bencana saat ada potensi bencana. Menurut Rahadrdja (2009) penanggulangan bencana saat ini mengalami perubahan orientasi dari penanggulangan resiko berubah menjadi pengurangan risiko bencana, yang artinya penyelenggaraan penanggulangan bencana saat ini berorientasi pada tahap pra bencana daripada tahap tanggap darurat. Begitu juga dengan kebijakan dan strategi nasional upaya penanggulangan bencana saat ini yang lebih menitiberatkan pada upaya sebelum terjadinya bencana, yang salah satunya adalah kegiatan kesiapsiagaan. Menurut UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, kesiapsiagaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna (melalui pelatihan, gladi, penyiapan sarana dan prasarana, SDM, logistik dan
3 pembiayaan). Kesiapsiagaan yang tepat dan cepat dapat meminimalisir jumlah korban dan kerusakan (Ristrini, 2012). Salah satu sektor yang membutuhkan kesiapsiagaan adalah sektor kesehatan. Kesehatan merupakan salah satu sektor yang mendapat perhatian besar bagi tim penanggulangan bencana. Bencana yang berkepanjangan dapat memberikan dampak yang buruk bagi kesehatan, oleh karena itu kesiapsiagaan dalam sektor kesehatan merupakan hal yang harus diperhatikan secara khusus. Penanggulangan bencana tersebut merupakan tugas dan tanggung-jawab pemerintah dan pemerintah daerah bersama-sama masyarakat luas. Bentuk tanggungjawab tersebut harus memenuhi kebutuhan masyarakat yang diakibatkan oleh bencana. Hal ini juga merupakan salah satu wujud perlindungan negara kepada warga negara. Termasuk juga dalam memberikan pelayanan kesehatan, struktur organisasi bidang kesehatan yang saat ini sudah terbentuk dari berbagai jenis tenaga kesehatan merupakan pelaksana pemberi pelayanan kesehatan yang juga harus diperhatikan kesiapsiagaannya sesuai dengan kebijakan yang sudah ditentukan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1653 tahn 2005 tentang pedoman penanganan bencana bidang kesehatan ( Kepmenkes RI, 2005). Penanganan bencana di lapangan sangat bergantung pada stakeholdernya, misalnya BPBD dan khusus di bidang kesehatan ada kordinator tanggap darurat kesehatan yang dikordinir oleh dinas kesehatan, serta ada rumah sakit. Ketiga pihak ini mempunyai peran yang berbeda-beda di lapangan.
4 Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008, BPBD merupakan kordinator utama yang bertanggungjawab mengkordinasikan seluruh elemen termasuk kesehatan dalam menangani bencana. Bila kondisi bencana terjadi maka BPBD akan memberikan intruksi sesuai dengan kondisi yang terjadi di lapangan, sehingga bila informasi lapangan yang disampaikan salah maka akan berpengaruh terhadap penyediaan sumber daya bidang kesehatan. Kemudian dinas kesehatan yang bertanggung jawab sebagai kordinator bidang kesehatan, dinas kesehatan bertanggung jawab dalam mempersiapkan dan menyediakan seluruh sumber daya bidang kesehatan (sdm, peralatan medis, obat-obatan) yang digunakan untuk persiapan dalam menghadapi bencana. Kemudian Rumah Sakit merupakan institusi akhir dalam pelayanan kesehatan. Rumah sakit harus siap siaga dalam menampung korban bencana yang membutuhkan pelayanan lanjutan. Kesiapsiagaan rumah sakit dalam menampung korban bencana menentukan nyawa korban bencana, sebab korban yang dibawa ke rumah sakit adalah korban yang tidak dapat lagi ditangani di lapangan ataupun membutuhkan pelayanan lanjutan, sehingga apabila tidak siap maka berpotensi menimbulkan kematian bagi korban. Salah satu provinsi yang pernah mengalami bencana dahsyat adalah Provinsi Aceh merupakan provinsi berada di ujung barat Indonesia. Berdasarkan Indeks Resiko Bencana tahun 2013 yang dikeluarkan oleh BNPB diketahui bahwa Provinsi Aceh tergolong ke dalam salah satu provinsi yang memiliki nilai indeks yang tinggi.
5 Salah kabupaten yang juga memiliki indeks di atas rata-rata Provinsi Aceh sebesar 160 sedangkan Kabupaten Aceh Utara dengan nilai indeks 175 (BNPB,2013). Salah satu ancaman bencana alam sering terjadi adalah bersifat hidrometeorologi seperti banjir, angin puting beliung, dan kekeringan, dan yang bersifat geologi seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung api dan tanah longsor. Sebagian besar bencana yang sering terjadi adalah hidro-meteorologi, yaitu banjir dan angin puting beliung (DRRA, 2011). Kabupaten Aceh Utara adalah salah satu wilayah rawan bencana dalam Provinsi Aceh. Kabupaten ini merupakan kawasan rawan bencana alam banjir yang terjadi pada setiap tahun pada skala rendah, menengah dan tinggi disebabkan oleh curah hujan diatas normal sehingga sistim pengaliran air alamiah yang terdiri dari sungai dan anak sungai dan saluran drainase tidak mampu menampung akumulasi air hujan. Ancaman bencana alam dan non alam lainnya yang sering terjadi dalam Kabupaten Aceh Utara antara lain berupa tanah longsor, angin kencang/topan, pasang purnama, abrasi, erosi dan kebocoran Amonia serta bencana-bencana berupa kecelakaan boat nelayan dan korban tenggelam di perairan lautan dan sungai ( BPBD Kabupaten Aceh Utara, 2011). Melihat potensi bencana yang bisa kapan saja muncul maka dibutuhkan tim penanggulangan bencana yang dapat memberikan pelayanan dalam menanggulangi bencana. Pemerintah Kabupaten Aceh Utara telah membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Aceh Utara dengan Qanun No 3 tahun 2010 yang telah ditetapkan pada bulan Maret tahun 2010.
6 Sektor kesehatan merupakan salah satu sektor yang sudah dipersiapkan dalam menghadapi bencana, hal ini terlihat dari tim kesehatan yang sudah terbentuk dan terlibat dalam penanggulangan bencana yang sering terjadi di Kabupaten Aceh Utara. Hal ini terlihat dari laporan BPBD yang menunjukkan peran serta petugas kesehatan dalam menanggulangi bencana (BPBD Kabupaten Aceh Utara, 2011). Tim kesehatan sebagai bagian dari tim penanggulangan bencana selaku penyelenggara penanggulangan bencana di daerah yang meliputi tahap pra bencana, tanggap darurat, dan pasca bencana dituntut untuk memiliki kesiapsiagaan yang baik, khususnya kesiapsiagaan petugas yang terlibat langsung dalam penanggulangan bencana termasuk bidang kesehatan. Berdasarkan survey awal yang dilakukan diketahui bahwa tim kesehatan sudah terlibat aktif dalam penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana, khususnya bencana banjir yang kerap menimpa kabupaten Aceh Utara. Kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana sudah dirumuskan dalam undangundang dan peraturan pemerintah sekaligus didukung oleh peraturan daerah. Apabila kebijakan yang sudah ada tersebut diimplementasikan, maka permasalahan bencana dapat di atasi secara baik. Akan tetapi banyak hal (ketersediaan logisti, dana) yang menyebabkan implementasi tersebut tidak berjalan sesuai dengan kebijakan yang diputuskan. Menurut Ripley (1986) bahwa implementasi kebijakan terdiri atas dua pendekatan yaitu kepatuhan dan pendekatan faktual. Keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh tahap implementasi dan keberhasilan proses implementasi ditentukan
7 oleh kemampuan implementor, dalam mengikuti apa yang ditetapkan kebijakan, dan kemampuan implementor melakukan apa yang dianggap tepat sebagai keputusan pribadi dalam menghadapi pengaruh eksternal dan faktor non-organisasional, atau pendekatan faktual. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1653 tahun 2005 diketahui bahwa salah satu upaya yang dilakukan tim kesehatan adalah melakukan inventarisasi berbagai sumber daya termasuk obat-obatan sesuai dengan potensi bahaya yang ditimbulkan. Akan tetapi hal tersebut tampak belum berjalan maksimal. Berdasarkan penelusuran dokumen laporan penilaian kebutuhan kesehatan tim penanggulangan diketahui bahwa tim kesehatan sering mengalami kekurangan peralatan bantuan medis, transportasi dan obat-obatan. Kondisi ini sering terjadi pada setiap bencana banjir, hal ini mengakibatkan pelayanan kesehatan di pengungsian jadi terhambat karena pemenuhan kebutuhan obat tidak tersedia secepat mungkin. Selain itu berdasarkan wawancara dengan dinas kesehatan bahwa dana yang tersedia untuk mengatasi bencana juga menjadi faktor yang menghambat penyediaan material pendukung pelayanan kesehatan, sehingga tak jarang dinas kesehatan memanfaatkan dahulu material fisik dan obat-obatan yang lazimnya digunakan untuk kebutuhan sehari-sehari di Puskesmas, dan sering jumlahnya juga terbatas. Keputusan Menteri Kesehatan di atas juga mengisyaratkan bahwa tim kesehatan juga harus mampu melakukan kordinasi lintas sektor dengan berbagai lembaga yang ada di kecamatan, akan tetapi sejak tahun 2011 kerjasama yang terbangun belum dapat terealisasi ke dalam berbagai kegiatan yang melibatkan peran
8 serta masyarakat. Hasil penelitian Ristrini (2012) menunjukkan bahwa Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat kesiapsiagaan tim dalam menghadapi bencana baik karena dinas kesehatan telah membangun kerjasama dengan berbagai pihak baik swasta maupun pemerintah. Menurut Edward dalam Supriyatno (2010) bahwa salah satu yang harus diperhatikan dalam implementasi kebijakan adalah faktor komunikasi, salah satu bentuk komunikasi yang yang bersifat formal dalam organisasi adalah kordinasi antar lembaga melalui rapat antar institusi. Bila kordinasi yang terbangun baik maka implementasi kebijakan juga akan berjalan baik. Kordinasi merupakan sebuah upaya yang harus dilakukan stakeholder dalam mengendalikan kondisi bencana, peran ini dipegang oleh BPBD selaku komando tanggap darurat dalam menghadapi bencana. Akan tetapi dalam praktiknya, kordinasi dalam bentuk rapat, intruksi melalui surat sering terlambat dilakukan antar stakeholder saat terjadi bencana, sehingga tim kesehatan mengalami keterlambatan dalam penyediaan sumber daya. Kemudian saat kondisi tidak ada bencana sangat jarang dilakukan pertemuan lintas stakeholder untuk menghadapi bencana. Sehingga tim kesehatan tidak mempunyai rencana yang matang dalam menghadapi bencana. Fenomena di atas mengindikasikan bahwa kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana belum berjalan maksimal sesuai dengan kebijakan yang sudah ditetapkan. Kepatuhan terhadap aturan dan kemampuan tenaga kesehatan dalam menentukan aktivitas merupakan bagian dari implementasi kesiapsiagaan harus dilihat mata rantai
9 hubungannya dengan faktor lain seperti sumber dana, sarana prasarana, komunikasi serta pemahaman tenaga kesehatan tentang standar yang sudah ditetapkan. 1.2 Permasalahan Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah 1. Bagaimana dukungan kebijakan penanggulangan bencana bidang kesehatan di Kabupaten Aceh Utara. 2. Bagaimana kepatuhan stakeholder sesuai dengan tugas pokok masing-masing 3. Bagaimana koordinasi diantara stakeholder (Dinas Kesehatan, Rumah Sakit, dan BPBD) dalam menghadapi bencana. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis dukungan kebijakan kesiapsiagaan penanggulangan bencana bidang kesehatan di Kabupaten Aceh Utara. 2. Mengetahui tingkat kepatuhan stakeholder dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi institusinya. 3. Mengetahui model koordinasi stakeholder dalam penanggulangan bencana bidang kesehatan.
10 1.4. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Pengembangan teori implementasi kebijakan khususnya dalam implementasi kebijakan penanganan bencana 2. Sebagai bahan masukan bagi dinas kesehatan dan stakeholder terkait untuk meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana.