BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usaha pertambangan di Indonesia oleh sebagian masyarakat sering dianggap sebagai penyebab kerusakan dan pencemaran lingkungan. Sebagai contoh, pada kegiatan usaha pertambangan emas skala kecil, pengolahan biji emas dilakukan dengan proses amalgamasi dimana merkuri (Hg) digunakan sebagai media untuk mengikat emas, dan limbah yang dihasilkan akibat pengolahan dan pemurnian emas sering dibuang ke sungai (Setiabudi, 2005). Di Sumatera Utara, pencemaran air sungai akibat adanya pengolahan dan pemurnian biji emas terjadi di daerah Batangtoru, Tapanuli Selatan. Limbah berbahaya yang mungkin dapat mencemari sungai adalah Merkuri (Hg) atau yang biasa dikenal sebagai air raksa. Limbah merkuri dapat merusak sistem syaraf, otak, ginjal, maupun janin. Keracunan merkuri pernah terjadi di Jepang yang dikenal sebagai tragedi Minamata yang mengakibatkan kematian pada 110 orang, sedangkan di Indonesia pada tahun 2004 yaitu tragedi Teluk Buyat dimana penduduk di daerah tersebut menderita banyak benjolan di tubuhnya. Benjolan ini bukan hanya diderita masyarakat tapi juga ikan-ikan karang yang ada di sekitar Teluk. Hal ini diakibatkan oleh perusahaan yang membuang limbahnya ke laut (Subandi, 2012). Seharusnya limbah cair tersebut sebelum dibuang ke sungai sudah harus melalui proses penyaringan terlebih dahulu sehingga tidak mencemari lingkungan. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menanggulangi limbah cair dari tambang emas ini, antara lain yaitu dengan penggunaan adsorben atau bahan penyerap untuk menurunkan kadar logam-logam yang terdapat dalam limbah cair, adapun adsorben yang sering digunakan yaitu karbon aktif, kitosan, CNT, dan sebagainya, termasuk modifikasi dari adsorben juga telah dilakukan dalam meningkatkan mutu dari adsorben tersebut. 27
Di Indonesia, untuk perkebunan kelapa sawitnya pada tahun 2012 telah mencapai 8,2 juta hektar, dan Indonesia juga sudah melampaui Malaysia menjadi produsen dan eksportir CPO terbesar di dunia (Harpendi, 2013). Kelapa sawit selain menghasilkan CPO juga menghasilkan limbah-limbah yang juga dapat dimanfaatkan, seperti limbah cair (POME = Palm Oil Mill Effluent), sabut, tandan kosong, dan cangkang kelapa sawit. Sejauh ini limbah cangkang kelapa sawit belum dimanfaatkan dengan maksimal, sebagian digunakan untuk bahan bakar, bahan baku arang dan sebagai pengganti agregat kasar sementara (Sabuayo, 2013). Alternatif yang dapat dilakukan untuk mengolah cangkang kelapa sawit ini yaitu dengan mengubahnya menjadi arang aktif atau karbon aktif yang kemudian digunakan sebagai media support untuk menumbuhkan karbon nanotube (CNT). CNT ini merupakan karbon yang berbentuk tabung-tabung kecil berukuran nano, dan CNT ini juga dapat berfungsi sebagai adsorben (penyerap) dengan daya serapnya yang dinilai cukup baik karena luas permukaannya semakin besar dengan adanya karbon-karbon berbentuk tabung berukuran nano. Penggunaan karbon aktif dari cangkang sawit ini didasari oleh penelitian Najma (2012) yang memanfaatkan limbah kulit pisang untuk diubah menjadi karbon aktif, lalu ditumbuhkan menjadi CNT dengan metode yang digunakan pirolisis-cvd, hasil yang diperoleh yaitu MWCNT. Beberapa penelitian lain tentang pembuatan CNT juga telah banyak dilakukan antara lain yaitu : Atyaforza (2012) yang membuat MWCNT dari gas asetilena menggunakan proses CCVD dan mempelajari pengaruh dari katalis Fe dan Co terhadap karakteristik dan morfologi CNT. Nur (2007) yang mensintesis karbon nanotube (CNT) dari etanol dengan metode CVD dengan katalis Fe dan Co dengan suhu pemanasan 900 o C, yang hasilnya menunjukkan bahwa struktur kristalinitas grafite CNT menggunakan katalis Fe jauh lebih baik hasilnya dibandingkan dengan katalis Co. Gang-Yu (2014) menggunakan dua jenis CNT yaitu SWCNT dan MWCNT untuk menyerap bahan-bahan organik, seperti pewarna, obatobatan, pestisida, fenol, amina aromatis, dan bahan organik beracun di dalam limbah cair, kemudian membandingkan kemampuan daya serap kedua CNT tersebut, untuk 28
penggunaan SWCNT diketahui memiliki kelebihan dapat menyerap banyak bahanbahan organik, tetapi mahal dalam proses pembuatannya, sedangkan penggunaan MWCNT adalah kebalikannya lebih murah dalam pembuatannya, tetapi memiliki kemampuan daya serap yang lebih kecil, dan menurutnya hal tesebut dapat diatasi dengan memodifikasi MWCNT tersebut menjadi bahan komposit. Penggunaan biomaterial seperti kitosan sebagai adsorben merupakan salah satu teknologi yang dapat dipertimbangkan, mengingat materialnya mudah didapat dan membutuhkan biaya yang relatif murah untuk menyerap senyawa-senyawa beracun (Agusnar, 2007). Adanya gugus N pada kitosan yang bersifat reaktif inilah yang membuat kitosan mampu mengikat logam-logam pencemar, seperti Fe, Al, Cu, Hg dan sebagainya (Aranaz, 2009). Prinsip kitosan adalah penukar ion dimana garam amina yang terbentuk karena reaksi amina dengan asam akan mempertukarkan proton yang dimiliki oleh senyawa atau zat yang diberi kitosan dengan elektron yang dimiliki oleh nitrogen (N) dan amina akan berubah menjadi koloid yang disebut dengan flok, dan akan terikat pada gugus N dan O yang dimiliki oleh kitosan karena perbedaan keelektronegatifan yang dimiliki oleh masing-masing senyawa maka akan mengakibatkan terbentuknya koloid (Ferry, 2010). Dan pembuatan kitosan ini juga dapat memanfaatkan cangkang dari Belangkas (Tachypleus gigas) seperti (Noviary, 2010) yang telah membuat kitin dan kitosan dari cangkang belangkas. Beberapa penelitian tentang penggunaan kitosan sebagai adsorben juga telah dilakukan antara lain yaitu oleh Lestari (2012) yang membuat dan mengkarakterisasi kitosan glutaraldehid sebagai adsorben untuk menurunkan kadar ion logam Cu, dimana glutaraldehid ini difungsikan sebagai pengikat sambung silang diantara sesama kitosan tersebut. Sedangkan Daulat (2009) menggunakan karbon aktif disalut dengan kitosan nanopartikel untuk menyerap logam Sn. Sementara menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Saifuddin dan Nomanbhay (2008) bahwa penggunaan arang dari tempurung kelapa sawit yang disalut dengan kitosan sebagai adsorben telah menunjukkan hasil penyerapan yang lebih maksimum dibandingkan dengan penggunaan kitosan secara langsung. 29
Untuk memodifikasi MWCNT menjadi komposit maka diperlukan material seperti kitosan. Secara kimia MWCNT difungsikan agar dapat menghasilkan ikatan yang kuat dengan antar muka polimer seperti kitosan yang memungkinkan menjadi CNT berbasis nanokomposit yang memiliki sifat mekanik dan fungsional yang lebih baik. Penelitian tentang CNT-kitosan telah banyak dilakukan yaitu seperti yang dilakukan oleh Salam dkk (2011) yang membuat dan mengkarakterisasi MWCNTkitosan nanokomposit dengan menggunakan glutaraldehid sebagai pengikat sambung silang, dan diaplikasikan penggunaannya untuk menarik logam-logam berat seperti Co, Cd, Zn dan Ni. Sementara Carson dkk (2009) membuat Kitosan-CNT komposit, CNT dalam hal ini dioksidasi dengan aqua regia sehingga membentuk CNT-COOH, lalu karboksilat dikonversi menjadi klorida, dan selanjutnya digrafting dengan kitosan sehingga diperoleh CNT-g-kitosan. Dan Shieh dkk (2013) yang membuat CNTkitosan nanokomposit dengan perbedaan larutan asam yang digunakan untuk melarutkan kitosan antara lain asam asetat, asam klorida, dan asam sitrat, kemudian dari variasi tersebut dicampurkan dengan CNT dan fcnt (CNT-COOH). Untuk lebih memaksimalkan hasil penyerapan kadar logam Hg dalam limbah tambang emas, maka digunakan adsorben MWCNT-kitosan nanokomposit dengan glutaraldehid sebagai pengikat sambung silang agar terjadi ikatan yang kuat antara kitosan dengan kitosan, dan mengakibatkan MWCNT akan terperangkap dalam rangkaian ikatan-ikatan tersebut. Sehingga dihasilkan CNT-kitosan nanokomposit yang lebih baik dan efektif apabila digunakan untuk menyerap logam-logam khususnya merkuri (Hg) dalam limbah cair tambang emas. Berdasarkan uraian latar belakang yang telah disampaikan diatas maka penelitian ini akan membahas mengenai preparasi dan karakterisasi karbon nanotube (CNT)-kitosan nanokomposit sebagai adsorben untuk menurunkan kadar logam Hg dari limbah cair tambang emas, dengan proses preparasi dari CNT menggunakan gas metana dan katalis Fe dengan metode CVD dengan media support yaitu karbon aktif dari cangkang kelapa sawit, sedangkan preparasi dari kitosan menggunakan cangkang dari Belangkas (Tachypleus gigas). 30
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah disampaikan diatas maka dapat diambil suatu rumusan permasalahan dalam penelitian ini yaitu : 1. Apakah karbon nanotube (CNT) dapat dibuat dari gas metana dan katalis Fe dengan menggunakan media support karbon aktif cangkang kelapa sawit dan dimodifikasi dengan kitosan dari cangkang belangkas berbasis nanokomposit. 2. Apakah karbon nanotube (CNT) - kitosan nanokomposit dapat digunakan sebagai adsorben dalam proses penurunan kadar logam Hg dari limbah cair tambang emas. 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui bahwa karbon nanotube (CNT) dapat dibuat dari gas metana dan katalis Fe dengan menggunakan media support karbon aktif cangkang kelapa sawit dan dimodifikasi dengan kitosan dari cangkang belangkas berbasis nanokomposit. 2. Untuk mengetahui bahwa karbon nanotube (CNT) - kitosan nanokomposit efektif digunakan sebagai adsorben dalam proses penurunan logam Hg dari limbah cair tambang emas. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi mengenai preparasi dan karakterisasi karbon nanotube (CNT) dari gas metana dan katalis Fe dengan menggunakan media support karbon aktif cangkang kelapa sawit-kitosan nanokomposit dari cangkang belangkas, serta aplikasinya sebagai adsorben untuk menurunkan kadar logam Hg dari limbah cair tambang emas. 31