1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemahaman matematis merupakan salah satu dari lima kemampuan yang esensial dalam pembelajaran matematika. Hal ini didasarkan pada hasil studi National Research Council tahun 2001 (Walle, Karp, & Bay-Williams, 2010, hlm. 24), yang menyatakan bahwa terdapat lima kemampuan yang saling berkaitan dalam matematika yaitu pemahaman konseptual (conceptual understanding), kelancaran prosedural (procedural fluency), kompetensi strategis (strategic competence), penalaran adaptif (adaptive reasoning), dan disposisi produktif (productive disposition). Pemahaman konseptual merupakan suatu kemampuan mengenai pemberian makna terhadap ide matematis yang diperolehnya melalui pengalaman dan hubungan ide-ide tersebut. Tingkat pemahaman seseorang ditentukan oleh banyaknya ide-ide yang mampu dia hubungkan serta diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Penelitian matematika menetapkan bahwa pemahaman konseptual merupakan komponen penting dari kemampuan prosedural (Bransford, Brown,& Cocking, 2000; NCTM, 2000; National Mathematics Advisory Panel, 2008, dalam Walle, Karp, & Bay-Williams, 2010, hlm. 24).Kemampuan pemahaman matematis penting dikembangkan agar siswa dapat memecahkan masalah dalam kehidupan nyata dengan mengaplikasikan ilmu matematika yang dipahaminya. Dengan demikian, siswa akan tanggap menghadapi setiap perubahan dalam kehidupannya. Berkaitan dengan hal tersebut, Schunk (2012, hlm. 418) mengungkapkan bahwa, Pemecahan masalah diperkirakan melibatkan pemahaman atau penyadaran tiba-tiba untuk solusi.selain itu, kemampuan pemahaman yang tinggi merupakan kompetensi utama yang harus dikembangkan dan menjadi orientasi dalam pembelajaran abad-21. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Morocco, et al (Abidin, 2014, hlm. 8), yaitu pada abad kedua puluh satu minimalnya ada empat kompetensi belajar yang harus dikuasai yakni
2 kemampuan pemahaman yang tinggi, kemampuan berpikir kritis, kemampuan berkolaborasi dan berkomunikasi, serta kemampuan berpikir kreatif. Namun, temuan penelitian yang dilakukan oleh Sidik pada tahun 2014 mengenai analisis proses berpikir dalam pemahaman matematis siswa SD di salah satu sekolah menunjukkan bahwa masih terdapat beberapa kesulitan yang dihadapi siswa untuk memperoleh pemahaman matematis.pada umumnya subjek kesulitan dalam tahap pemahaman soal. Hal ini ditunjukkan oleh kesalahan dalam menerjemahkan soal ke dalam model matematika dan subjek kesulitan dalam tahap melakukan perhitungan. Temuan lainnya yaituterdapat empat tahapan proses berpikir dalam pemahaman matematis yaitu tahapan pemahaman soal, mengubah soal ke dalam model matematika, melakukan operasi hitung dan menarik kesimpulan. Tahapan memahami soal dan mengubah soal ke dalam model matematika digolongkan ke dalam jenis pemahaman relasional sedangkan tahapan melakukan operasi hitung dan menarik kesimpulan digolongkan ke dalam jenis pemahaman instrumental. Tujuan pembelajaran matematika yang tertuang dalam Standar Isi (BSNP, 2006), yaitu: 1. Memahami konsepmatematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah. 2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. 3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. 4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. 5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
3 Berdasarkan dokumen BSNP (2006), kompetensi yang harus dikembangkan dan menjadi tujuan pembelajaran matematika bukan hanya kompetensi kognitif, melainkan juga kompetensi afektif.salah satunya yaitu percaya diri (selfconfidence).menurut Yates (Martyanti, 2013, hlm. 16), self-confidence sangat penting bagi siswa agar berhasil dalam belajar matematika.hal ini didukung oleh beberapa penelitian terdahulu yang mengungkapkan bahwa terdapat asosiasi positif antara self-confidence dalam belajar matematika dengan hasil belajar matematika (Hannula, et al, 2004, hlm. 17; Suhendri, 2012, hlm. 397; TIMSS, 2012, hlm. 326 dalam Martyanti, 2013, hlm. 16).Sebagaimana yang dikemukakan Hannula, Maijala, & Pehkonen (2004, hlm. 17) yaitu bahwa keyakinan (belief) terhadap diri sendiri memiliki hubungan yang luar biasa dengan kesuksesan siswa dalam belajar matematika. Oleh karena itu, self-confidence perlu ditumbuhkembangkan pada diri siswa. Selain itu,diperlukan pula upaya perbaikan proses belajar agar kemampuan matematis baik kemampuan pemahaman maupun self-confidence dapat berkembang dan menjadi kompetensi pada diri siswa. Perkembangan kemampuan matematis yang dimiliki oleh siswa berkaitan erat dengan pengalaman belajar yang dialaminya.sejalan dengan Vygotsky (Suryadi, 2010, hlm. 2) yang menyatakan bahwa proses peningkatann pemahaman pada diri siswa terjadi sebagai akibat adanya pembelajaran. Pembelajaran yang dialami siswa harus dapat menstimulus siswa untuk membangun sendiri pengetahuan yang telah ditemukannya melalui penemuan kembali sebuah konsep. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bruner, Dalam pembelajaran matematika, siswa harus menemukan sendiri berbagai pengetahuan yang diperlukannya (Ruseffendi dalam Heruman, 2010, hlm. 4).Materi pembelajaran yang diberikan yaitu materi yang tidak langsung pada konsep siap pakai melainkan siswa menemukan konsep dari permasalahan yang diselesaikannya sendiri. Dengan pengalaman belajar yang demikian, siswa secara aktif membangun dan mengembangkan sendiri pengetahuan atau konsep berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang ada. Namun, sejumlah hasil studi (misalnya Henningsen & Stein, 1997; Peterson 1988; Mullis, dkk, 2000 dalam Suryadi & Herman, 2005, hlm. 2) menunjukkan bahwa pembelajaran matematika pada umumnya masih berfokus pada
4 pengembangan kemampuan berpikir tahap rendah yang bersifat prosedural. Sejalan dengan hal itu,mullis, dkk, (2000) memaparkan laporan hasil studi TIMSS (1999) yang dilakukan di 38 negara (termasuk Indonesia), antara lain menjelaskan bahwa secara umum, pembelajaran matematika masih terdiri atas rangkaian kegiatan berikut: awal pembelajaran dimulai dengan sajian masalah oleh guru, selanjutnya dilakukan demonstrasi penyelesaian masalah tersebut, dan terakhir guru meminta siswa untuk melakukan latihan penyelesaian soal (Suryadi & Herman, 2005, hlm. 2). Peningkatan kemampuan pemahaman matematis dan self-confidence tidak dapat dicapai apabila pembelajaran yang dialami siswa hanya berorientasi pada hafalan konsep dan prosedur yang sudah disajikan oleh guru yang diaplikasikan untuk menyelesaikan soal-soal rutin.salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan mengembangkan pembelajaran yang menstimulus perkembangan kemampuan berpikir matematis.selain itu, menurut petunjuk pelaksana kegiatan belajar mengajar di sekolah yang ditulis oleh Suherman, dkk.(2003, hlm. 63) menjelaskan bahwa, Penerapan strategi yang dipilih dalam pembelajaran matematika haruslah bertumpu pada dua hal, yaitu optimalisasi interaksi semua unsur pembelajaran serta optimalisasi keterlibatan indera siswa. Seorang guru hendaknya memilih dan menerapkan strategi, pendekatan, dan model pembelajaran yang membuat siswa untuk terlibat aktif dalam pembelajaran, baik secara mental, fisik maupun sosial sehingga siswa memiliki kemampuan-kemampuan yang tertuang dalam kurikulum dan tujuan pembelajaran matematika dapat tercapai, dan menjadi kompetensi pada diri siswa. Salah satu strategi alternatif yang dapat dilakukan yaitu dengan menerapkan model Problem-Based Learning (PBL). Penerapan model ini berlandaskan pada prinsip dan standar proses pembelajaran matematika yang dikemukakan oleh NCTM, yaitu para siswa harus belajar matematika dengan pemahaman, secara aktif membangun pengetahuan baru dari pengalaman dan pengetahuan sebelumnya dan siswa dalam membangun pengetahuan baru mengenai matematika dilakukan melalui pemecahan masalah (Walle, 2006, hlm. 3). Selanjutnya Reys, dkk (Suryadi, 2010, hlm. 1) menambahkan bahwa matematika haruslah make sense dan pemahaman matematis diperoleh melalui proses
5 pemecahan masalah yang bervariasi. Dalam implementasi model PBL, masalah yang harus dipecahkan siswa akan menjadi konteks pembelajaran sehingga fokus kegiatan belajar sepenuhnya berada pada siswa. Sejalan dengan Tan (2003, hlm. 30) yang menyatakan bahwa model PBL merupakan suatupembelajaran aktif yang berpusat padasiswa, yang menggunakan masalah-masalahyang tidak terstruktur dengan konteks dunia nyata sebagai titik awal untuk proses belajar siswa, serta memungkinkan siswa untuk bekerja sama dan membuat pilihan dalam belajar. Proses belajar yang dialami siswa dalam model PBLyaitu memecahkan masalah matematis bersama kelompoknya dan kemudian melaporkan pemecahan masalah yang dilakukannya. Siswa berdiskusi bersama dengan kolompoknya saling berbagi informasi yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah. Proses demikian menggambarkan adanya interaksi sosial diantara siswa. Interaksi dengan orang lain yang lebih mampu menstimulus siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan baru dan memberikan kesempatan pada siswa untuk mampu mencapai perkembangan potensialnya. Sebagaimana konsep Zone of Proximal Development (ZPD) Vygotsky yang menyatakan seseorang mampu mencapai tingkat perkembangan potensial dengan bantuan orang lain yang lebih mampu (Arends, 2007, hlm. 47). Selanjutnya Vygotsky menjelaskan bahwa proses belajar terjadi pada dua tahap, yaitu yang pertama terjadi pada saat berkolaborasi dengan orang lain dan kedua terjadi pada saat siswa menginternalisasi pengetahuan baru yang dilakukan secara individual (Suryadi, 2010, hlm. 2). Masalah merupakan dasar bagi kelompok untuk mengorganisasi tugas. Siswa akan terstimulus untuk menggunakan kemampuan berpikirnya ketika dihadapkan pada masalah yang harus dipecahkan.siswa akan memanggil kembali pengetahuan yang dimilikinya untuk memecahkan masalah tersebut. Dan ketika pengetahuan yang dimiliki tidak dapat digunakan untuk memecahkan masalah secara langsung, siswa akan berusaha menyelesaikan ketidaksesuaian konsep yang dimilikinya dengan masalah yang dihadapi. Dalam hal ini terjadi perubahan struktur kognitif dari skema ide matematis yang telah ada menjadi skema ide matematis baru. Dengan demikian, siswa aktif membangun pengetahuannya secara mandiri. Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Herman (2007), yaitu PBL merupakan salah satu model pembelajaran matematika yang
6 berlandaskan pada proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa. Selain itu, dalam sintaks PBL terdapat fase menganalisis dan mengevaluasi pemecahan masalah yang telah dilakukan. Pada fase ini siswa merefleksi efektivitas strategi yang digunakan untuk memecahkan masalah. Hal ini akan memperkuat kesadaran siswa terhadap konsep matematis. Penerapan model PBL memungkinkan siswa untuk mendapatkan pemahaman baru mengenai konsep matematika. Hal ini didukung oleh pernyataan yang tertuang dalam dokumen National Research Council (Suryadi & Herman, 2005, hlm. 70) yang menyatakan bahwa pengalaman-pengalaman yang diperoleh melalui proses pemecahan masalah matematis memungkinkan berkembangnya kekuatan matematis yang antara lain meliputi kemampuan membaca dan menganalisis situasi secara kritis, mengidentifikasi kekurangan yang ada, mendeteksi kemungkinan terjadinya bias, menguji dampak dari langkah yang akan dipilih, serta mengajukan alternatif solusi kreatif atas permasalahanyang dihadapi. Hasil penelitian mengenai analisis kesulitan siswa dalam memecahkan masalah, menunjukan adanya kemungkinan siswa menghadapi kendala ketika melakukan pemecahan masalah. Menurut Fachrurazi (2011), guru perlu mengantisipasi hal tersebut. Diharapkan guru dapat memberi bantuan kepada siswa untuk dapat menyelesaikan masalah.bantuan yang diberikan berupa tidak langsung, tetapi dengan pengajuan petunjuk-petunjuk yang menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan masalah yang dihadapi sehingga mereka dapat menemukan penyelesaiannya.berdasarkan hal tersebut, strategi alternatif yang digunakan peneliti untuk meningkatkan kemampuan pemahaman matematis dan self-confidence yaitu melalui penerapan model Problem-Based Learning dengan metode Heuristik. Poyla (1973, hlm. 113) mengemukakan bahwa, Heuristik dapat diartikan sebagai cara yang membantu untuk menemukan jalan pemecahan. Cara yang dapat dilakukan untuk membantu menemukan jalan pemecahan yaitu memberikan suatu pentunjuk dalam bentuk pertanyaan atau perintah pada setiap langkah-langkah pemecahan masalah yang berfungsi mengarahkan pemecah masalah dalam menyelesaikan dan menemukan jawaban dari masalah yang diberikan. Melalui penelitian ini, peneliti ingin mendeskripsikan data apakah dengan menerapkan model Problem-Based Learning dengan metode Heuristik dalam
7 pembelajaran matematika di kelas V dapat meningkatkan kemampuan pemahaman matematis dan self-confidence. B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan paparan latar belakang masalah, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1. Apakah peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan menerapkan model Problem Based Learning dengan metode Heuristik lebih baik dari pada siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan menerapkanmodel Direct Instruction? 2. Apakah peningkatan kemampuan self-confidence siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan menerapkan model Problem Based Learning dengan metode Heuristik lebih baik dari siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan menerapkanmodel Direct Instruction? C. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menguji dampak penerapan model Problem-Based Learning dengan metode Heuristik terhadap peningkatan kemampuan pemahaman matematis dan self-confidence siswa kelas V di salah satu SD kecamatan Ciasem. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan data apakah peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan menerapkan model Problem-Based Learning dengan metode Heuristik lebih baik dari pada siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan menerapkan modeldirect Instruction. 2. Mendeskripsikan data apakah peningkatan self-confidence siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan menerapkan model Problem-Based Learning dengan metode Heuristik lebih baik dari siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan menerapkan modeldirect Instruction. D. Manfaat Penelitian
8 Penelitian inidiharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang terlibat dalam pendidikan. Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu sebagai berikut. 1. Penelitian ini memberikan sumbangan pengetahuan pada akademisi dan/ atau praktisi mengenai penerapan model Problem-Based Learning dengan metode Heuristik. 2. Penelitian ini memberikan sumbangan alternatif strategi pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan pemahaman matematis dan self-confidence. 3. Penerapan model Problem Based Learning dengan metode Heuristik menstimulus siswa untuk terlibat aktif dalam membangun pengetahuannya sendiri, serta memecahkan masalah yang dihadapinya. Disamping itu, selfconfidence siswa pun akan tumbuh dan berkembang. E. Struktur Organisasi Tesis Penulisan laporan penelitian ini diklasifikasikan ke dalam lima bab yaitu: 1. Pendahuluan, terdiri dari: a. Latar belakang, yaitu penjelasan mengenai alasan peneliti melakukan penelitian. b. Rumusan masalah, yaitu berisi pertanyaan penelitian yang berkaitan dengan data-data yang akan dikumpulkan selama melakukan penelitian. c. Tujuan penelitian, yaitu tujuan peneliti melakukan penelitian. d. Manfaat penelitian, yaitu berisi manfaat dari hasil penelitian yang telah dilakukan baik untuk para praktisi pendidikan maupun para akademisi dan juga siswa. e. Struktur organisasi tesis, yaitu berisi sistematika penulisan tesis. 2. Kajian pustaka, berisi kajian teori yang dijadikan sebagai landasan peneliti dalam melakukan penelitian. Dalam penulisannya, peneliti membagi ke dalam enam sub bab, yaitu: a. Kajian konsep pemahaman matematis. b. Kajian konsep self-confidence. c. Kajian konsep model Problem Based Learning dengan metode Heuristik. d. Kajian konsep model Direct Instruction.
9 e. Penelitian yang relevan. f. Hipotesis penelitian. 3. Metode penelitian, berisi rancangan alur penelitian yang dibagi ke dalam enam sub bab, yaitu: a. Desain penelitian, yaitu penjelasan mengenai jenis serta desain penelitian yang digunakan. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu quasi-experimentspre- and posttest design. b. Partisipan, yaitu penjelasan mengenai partisipan yang terlibat dalam penelitian. Partisipan dalam penelitian ini yaitu salah satu SD Negeri di kecamatan Ciasem dengan jumlah partisipan yaitu 65 siswa yang terbagi ke dalam dua kelas. c. Populasi dan sampel, yaitu penjelasan mengenai cara penentuan partisipan yang dijadikan sebagai sampel dalam penelitian. Penentuan partisipan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive. d. Instrumen penelitian, yaitu penjelasan mengenai alat ukur yang digunakan serta pengembangannya. Instrumen yang digunakan yaitu soal tes dan skala sikap. e. Prosedur penelitian, yaitu penjelasan setiap langkah yang dilakukan oleh peneliti selama penelitian. Prosedur penelitian yang dilakukan terbagi ke dalam empat tahap, yaitu tahap persiapan penelitian, tahap pelaksanaan penelitian, tahap pengolahan dan analisis data penelitian, dan tahap penyusunan laporan hasil penelitian. f. Analisis data, yaitu berisi penjelasan mengenai pengolahan data dan teknik analisisnya, serta jenis software yang digunakan untuk pengolahan data. Pengolahan data penelitian menggunakan statistik inferensial. Software yang digunakan yaitu SPSS Statistic 21 dan Microsoft Exel 2010. Pada bagian ini dijelaskan juga mengenai hasil pengujian normalitas kedua kelompok sampel dan homogenitas varians kelompok. 4. Temuan dan pembahasan, berisi penjelasan mengenai hasil dari pengolahan dan analisis data serta pembahasannya. Peneliti menggunakan pola pemaparan non-tematik dalam menjelaskan temuan hasil pengolahan dan analisis data.
10 5. Simpulan, implikasi dan rekomendasi, berisi penjelasan makna hasil penelitian. Peneliti menuliskan simpulan dengan cara butir demi butir.