4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Profesi Farmasi International Pharmaceutical Federation mengidentifikasi profesi farmasi adalah kemauan individu farmasi untuk melakukan praktek kefarmasian sesuai syarat legal minimum yang berlaku serta memenuhi standar profesi dan etik kefarmasian (ISFI, 2005). Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker (Depkes RI, 2006 a ). Sedangkan pada Peraturan Pemerintah No 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan kefarmasian, apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker (Pemerintah RI, 2009 a ). Peran profesi farmasi digariskan oleh WHO dengan istilah Seven Star of Pharmacist, yang meliputi : i. Care-Giver Pemberi pelayanan dalam bentuk pelayanan klinis, analitis, teknis, sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam memberikan pelayanan, farmasis harus berinteraksi dengan pasien secara individu maupun kelompok. Farmasis harus mengintegrasikan pelayanan pada sistem pelayanan kesehatan secara berkesinambungan dan pelayanan farmasi yang dihasilkan harus bermutu tinggi. ii. Decision-Maker Farmasis mendasarkan pekerjaanya pada kecukupan, efikasi dan biaya yang efektif serta efisien terhadap seluruh penggunaan sumber daya misalnya, SDM, obat, bahan kimia, peralatan, prosedur, pelayanan, dan lain-lain. Untuk mencapai tujuan tersebut
5 kemampuan dan keterampilan farmasis perlu diukur untuk kemudian hasilnya dijadikan dasar dalam penentuan pendidikan dan pelatihan yang diperlukan. iii. Communicator Farmasis memiliki kedudukan penting dalam berhubungan dengan pasien maupun profesi kesehatan lain, oleh karena itu harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang cukup baik, meliputi komunikasi verbal, non verbal, dan kemampuan menulis dengan menggunakan bahasa sesuai dengan kebutuhan. iv. Leader Farmasis diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan. v. Manager Farmasis harus efektif dalam mengelola sumber daya (manusia, fisik, anggaran) dan informasi, juga harus dapat dipimpin dan memimpin orang lain dalam tim kesehatan. Lebih jauh lagi, farmasis mendatang harus tanggap terhadap kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi mengenai obat dan halhal yang berhubungan dengan obat. vi. Life-Long Learner Farmasis harus senang belajar sejak dari kuliah dan semangat belajar harus selalu dijaga walupun sudah bekerja untuk menjamin bahwa keahlian dan ketrampilannya selalu baru (up-date) dalam melakukan praktek profesi. Farmasis juga harus mempelajari cara belajar yang efektif.
6 vii. Teacher Farmasis mempunyai tanggung jawab untuk mendidik dan melatih farmasis generasi mendatang. Partisipasinya tidak hanya dalam berbagi ilmu pengetahuan baru satu sama lain, tetapi juga kesempatan memperoleh pengalaman dan peningkatan ketrampilan. B. Kode Etik Apoteker Indonesia Kode etik adalah panduan sikap dan perilaku tenaga profesi dalam menjalankan profesinya, sebagai aturan-aturan norma yang menjadi ikatan moral profesi. Kode etik farmasis merupakan salah satu pedoman untuk membatasi, mengatur, dan sebagai petunjuk bagi farmasis dalam menjalankan profesi secara baik dan benar serta tidak melakukan perbuatan tercela. Berdasarkan Permenkes No.184 tahun 1995 pasal 18 disebutkan bahwa Apoteker dilarang melakukan perbuatan yang melanggar Kode Etik Apoteker. Oleh sebab itu seorang apoteker perlu memahami isi dari Kode Etik Apoteker (Hartini, 2007). Keputusan Kongres Nasional XVII ISFI No. 007/ 2005 tanggal 18 Juni 2005, memutuskan bahwa kode etik apoteker/farmasis Indonesia terbagi dalam 3 kewajiban yaitu kewajiban umum, kewajiban apoteker terhadap penderita, dan kewajiban apoteker/farmasis terhadap teman sejawat petugas kesehatan lainnya (ISFI, 2005). C. Pekerjaan Kefarmasian Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Pekerjaan kefarmasian dilakukan berdasarkan pada nilai ilmiah, keadilan, kemanusian, keseimbangan, dan perlindungan serta keselamatan
7 pasien atau masyarakat yang berkaitan dengan sedian farmasi yang memenuhi standar dan persyaratan keamanan, mutu, dan kemanfaatan. Tujuan pengaturan pekerjaan kefarmasian untuk : a. Memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh dan/atau menetapkan sediaan farmasi dan jasa kefarmasian. b. Mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perundang-undangan. c. Memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan tenaga kefarmasian. Pelaksanaan pekerjaan kefarmasian dalam PP 51 (pasal 5) meliputi: a. Pekerjaan kefarmasian dalam pengadaan sediaan farmasi. b. Pekerjaan kefarmasian dalam produk sediaan farmasi. c. Pekerjaan kefarmasian dalm distibusi atau penyaluran sediaan farmasi. d. Pekerjaan kefarmasian dalam pelayanan sediaan farmasi ( Pemerintah RI, 2009 a ). D. Apotek Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker (Pemerintah RI, 2009 a ). Tugas dan fungsi apotek adalah : a. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan. b. Sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran dan penyerahan obat atau bahan obat. c. Saran penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata (Hartini, 2007).
8 i. Persyaratan Apoteker Pengelola Apotek Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 pasal 39, setiap tenaga kefarmasian yang melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia wajib memiliki Surat Tanda Registrasi (STRA). Surat Tanda Registrasi (STRA) dapat diperoleh apoteker dengan persyaratan: a. Memiliki ijazah Apoteker. b. Memiliki sertifikat kompetensi Apoteker. c. Mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji Apoteker. d. Mempunyai surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat izin praktik; dan e. Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi. ii. Kewajiban Apoteker di Apotek Dalam Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009, kewajiban apoteker di apotek yang merupakan salah satu fasilitas pelayanan kefarmasian antara lain: a. Menerapkan standar pelayanan kefarmasian. b. Menyerahkan dan melayani obat kepada pasien berdasarkan resep dokter. c. Menetapkan standar prosedur operasional yang harus dibuat secara tertulis dan diperbaharui secara terus menerus sesuai pekembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang farmasi dan ketentuan perundang-undangan. d. Menyerahkan obat keras, narkotik dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter. e. Mencatat semua yang berkaitan dengan pelayanan farmasi. f. Mengikuti paradigma pelayanan kefarmasian dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi. g. Menyimpan rahasia kedokteran dan rahasia kefarmasian.
9 h. Menyelenggarakan program kendali mutu dan kendali biaya. E. Standar Pelayanan Kefarmasian Standar pelayanan kefarmasian adalah suatu pedoman untuk melakukan pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Sebagai upaya agar para apoteker pengelola apotek dapat melaksanakan pelayanan kefarmasian yang profesional, telah dikeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Tujuan disusunnya standar pelayanan kefarmasian di apotek adalah sebagai pedoman praktek apoteker dalam menjalankan profesi, melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional, melindungi profesi dalam menjalankan praktek kefarmasian. Standar pelayanan kefarmasian di Apotek meliputi: a. Pengelolaan sumber daya Sumber daya manusia, sarana dan prasarana, sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya serta administrasi. b. Pelayanan Pelayanan resep, promosi dan edukasi dan pelayanan residensial (home care) (Depkes RI, 2006 a ). F. Administrasi Pelayanan Kefarmasian Administrasi adalah rangkaian aktivitas pencatatan, pelaporan, pengarsipan dalam rangka penatalaksanaan pelayanan kefarmasian yang tertib baik untuk sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan maupun pengelolaan resep supaya lebih mudah dimonitor dan dievaluasi. Manfaat administrasi dan pelaporan adalah: - Bahan audit dalam melaksanakan Quality Assurance dari pelayanan kefarmasian.
10 - Basis data pencapaian kinerja, penelitian, analisis, evaluasi dan perencanaan layanan. - Bahan untuk membuat kebijakan (Depkes RI, 2008 a ). Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan kegiatan administrasi umum dan pelayanan. Administrasi umum meliputi pencatatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sedangkan administrasi pelayanan meliputi pengarsipan resep, pengarsipan catatan pengobatan pasien, pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat (Depkes RI, 2006 a ). i. Pengarsipan Resep Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan perundangan yang berlaku (Depkes RI, 2006 a ). Permenkes No. 922 tahun 1993 pasal 17 menyebutkan bahwa salinan resep harus ditandatangani oleh apoteker, resep harus dirahasiakan dan disimpan di apotek dengan baik dalam jangka waktu 3 tahun, dan resep atau salinan resep hanya boleh diperlihatkan kepada dokter penulis resep atau yang merawat penderita, penderita yang bersangkutan, petugas kesehatan atau petugas lain yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku (Daris A, 2008). Ada empat hal yang harus dilakukan setelah resep selesai dikerjakan, yaitu : a) Resep yang telah dibuat serta disimpan menurut urutan tanggal dan nomor urut penerimaan/pembuatan resep. b) Resep yang mengandung narkotik harus dipisah dari resep lainnya dan diberi tanda garis merah dibawah nama obatnya.
11 c) Resep yang telah disimpan lebih dari tiga tahun dapat dimusnahkan dengan cara dibakar atau dengan cara lain yang memadai. d) Pemusnahan resep dilakukan oleh APA bersama sekurangkurangnya seorang petugas apotek. (Syamsuni, 2005). ii. Pengarsipan Catatan Pengobatan Pasien Apoteker dalam melakukan pelayanan kefarmasian harus mendokumentasikan penggunaan obat yang meliputi data dasar pasien, riwayat penggunaan obat, keluhan pasien, penulis resep, diagnosis dokter, hasil kajian, pemberian obat dan informasi yang diberikan oleh apoteker, sehingga dapat dilakukan audit penggunaan obat ( Depkes & IAI, 2010). Selain itu tujuan lembar daftar pengobatan pasien adalah untuk : Menyatakan dengan jelas pengobatan apa yang diberikan kepada pasien Memastikan bahwa obat diberikan sesuai dengan instruksinya Mencatat apa yang telah dilakukan dan apa yang tidak dilakukan ( disertai alasan) Memungkinkan pemantauan klinis Membantu menjaga standar kualitas Dokumen tertulis yang jelas akan mencegah risiko kesalahan akibat komunikasi lisan saja dan kesalahan akibat tulisan tangan yang tidak jelas. Bagaimanapun juga, sangalah berbahaya untuk mengasumsikan bahwa semua hal tersebut dapat mencegah kesalahan yang terjadi. Sikap aman yang dapat diambil adalah bahwa kesalahan dapat, akan dan benar-benar terjadi. Apa yang harus apoteker lakukan adalah berusaha keras untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan dan meminimalkan keparahan konsekuensi kesalahan jika atau ketika terjadi kesalahan. Untuk mencapai hal tersebut, dokumentasi yang terpercaya, seperti catatan pengobatan pasien dapat memberikan kontribusi yang besar (M, Aslam, et al., 2003).
12 iii. Pengarsipan Hasil Monitoring Penggunaan Obat Dalam rangka meminimalkan masalah yang berkaitan dengan obat dan memaksimalkan efek terapi, apoteker harus melakukan pemantauan terhadap obat yang digunakan untuk menilai apakah terapi obat berlangsung secara efektif dan aman sesuai dengan sasaran terapi yang diharapkan (Depkes & IAI, 2010). Monitoring dan evalusi memiliki fungsi yang saling melengkapi. Masing-masing memberikan informasi kinerja yang berbeda terhadap fase pelayanan kefarmasian yang diberikan kepada pasien. Tujuan umum tersedia informasi yang akurat tentang pasien dan pengobatannya dan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di rumah (Depkes RI, 2008 d ). Apoteker harus selalu melaksanakan tanggung jawabnya, memeriksa keamanan regimen dosis untuk tiap obat yang di-dispensing. Memeriksa keamanan regimen dosis adalah lebih rumit dewasa ini, selain potensi semakin tinggi, banyak obat dapat digunakan untuk lebih dari satu indikasi klinik. Selanjutnya, dengan diversifikasi profesi medik menjadi berbagi bidang spesialisasi dan subspesialisasi, terjadi banyak kesempatan bahwa penderita akan berkonsultasi lebih dari seorang dokter. Oleh karena itu, penderita dapat menggunakan sejumlah obat yang berbeda secara serentak, dari lebih dari seorang dokter. Sering kali para dokter yang menangani seorang penderita tidak mengetahui bahwa penderita menerima obat yang ditulis oleh dokter lain. Keadaan inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya interaksi obat-obat. Selain itu, dengan semakin besar jumlah penderita menggunakan obat, semakin besar kemungkinan terjadi alergi, idiosinkratik, atau reaksi merugikan. Apabila hal itu terjadi, adalah sangat penting mendokumentasikan kejadian tersebut untuk mencegah terjadinya kembali di masa mendatang pada penderita tertentu. Karena beberapa faktor tersebut adalah penting, apoteker harus mengenal tipe penderita secara menyeluruh, termasuk semua obat yang sedang digunakan apabila mengevaluasi keamanan suatu obat resep yang baru
13 ditulis. Untuk melakukan hal ini secara efektif apoteker harus memelihara rekaman sejarah medik yang lalu (misalnya, status penyakit kronis, alergi, idiosinkratik, reaksi obat merugikan), dan sejarah obat penderita (Siregar, 2003).