BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Tibawa, tepatnya di Desa Isimu Selatan. Puskesmas Tibawa melayani masyarakat

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Tibawa

Lampiran 1 Tingkat ketahanan pangan di berbagai wilayah di Provinsi Jawa Tengah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Makanan memiliki peranan penting dalam tumbuh kembang

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya

Lampiran 1. Lembaran permohonan menjadi responden LEMBARAN PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

1. Pendidikan ibu : 1. Tidak sekolah 2. Tamat SD 3. Tamat SLTP 4. Tamat SLTA 5. Tamat Akademi/Perguruan Tinggi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang

BAB I PENDAHULUAN. seutuhnya dan pembangunan masyarakat seluruhnya. Untuk menciptakan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. lebih dramatis dikatakan bahwa anak merupakan penanaman modal sosial

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. sering menderita kekurangan gizi, juga merupakan salah satu masalah gizi

BAB I PENDAHULUAN. lum masa dewasa dari usia tahun. Masa remaja dimulai dari saat pertama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan zat gizi yang jumlahnya lebih banyak dengan kualitas tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan antara asupan makanan dan penggunaan zat gizi. Bila tubuh

PENGARUH KOMPETENSI BIDAN DI DESA DALAM MANAJEMEN KASUS GIZI BURUK ANAK BALITA TERHADAP PEMULIHAN KASUS DI KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2008 ARTIKEL

PEMBIASAAN PERILAKU PERSONAL HYGIENE OLEH IBU KEPADA BALITA (USIA 3-5 TAHUN) DI KELURAHAN DERWATI

BAB I PENDAHULUAN. mendapat perhatian, karena merupakan kelompok yang rawan terhadap

KUESIONER PENELITIAN GAMBARAN PERILAKU ORANGTUA TERHADAP ANAK BALITA PENDERITA GIZI BURUK DI KABUPATEN ACEH BARAT DAYA TAHUN 2009

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A Pengertian Kurang Energi Protein (KEP) Kurang Energi Protein (KEP) adalah seseorang yang kurang gizi yang disebabkan oleh

BAB III KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. pertama kali posyandu diperkenalkan pada tahun 1985, Posyandu menjadi. salah satu wujud pemberdayaan masyarakat yang strategis

BAB 1 PENDAHULUAN. sempurna bagi bayi selama bulan-bulan pertama kehidupannya (Margaret

BAB 1 PENDAHULUAN. makanan (Anonim, 2008). Sementara masalah gizi di Indonesia mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi kurang masih tersebar luas di negara-negara. berkembang termasuk di Indonesia, masalah yang timbul akibat asupan gizi

BAB I PENDAHULUAN. dan dewasa sampai usia lanjut. Dari seluruh siklus kehidupan, program perbaikan

BAB 1 PENDAHULUAN. yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Agar pola hidup anak bisa sesuai dengan standar kesehatan, di samping harus

PEMBIASAAN PERILAKU PERSONAL HYGIENE OLEH IBU KEPADA BALITA (USIA 3-5 TAHUN) DI KELURAHAN DERWATI

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. yaitu sesuai standar pertumbuhan fisik anak pada umumnya. Manusia

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan dan kualitas sumber daya manusia. merupakan faktor yang menentukan untuk meningkatan kesejahteraan

KUESIONER HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DENGAN PRAKTEK KADARZI DI KECAMATAN TRIENGGADENG KABUPATEN PIDIE JAYA

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu masalah gizi di Indonesi adalah gizi kurang yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan lima tahun. Pada usia ini otak mengalami pertumbuhan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menurunkan prevalensi kurang gizi sesuai Deklarasi World Food Summit 1996

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak masih dalam

BAB I PENDAHULUAN. masalah gizi di Indonesia, terutama KEP masih lebih tinggi dari pada negara ASEAN

II. TINAJUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap makhluk hidup

BAB I PENDAHULUAN. yang berusia antara satu sampai lima tahun. Masa periode di usia ini, balita

BAB I PENDAHULUAN. gizi pada ibu hamil dapat menyebabkan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan

1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. harapan hidup yang merupakan salah satu unsur utama dalam penentuan

GAMBARAN FACTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN STATUS GIZI BALITA DI PUSKESMAS PEKAUMAN BANJARMASIN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG KADARZI DENGAN ASUPAN ENERGI DAN STATUS GIZI ANAK BALITA DI DESA JAGAN KECAMATAN BENDOSARI KABUPATEN SUKOHARJO

BAB I PENDAHULUAN. secara langsung maupun tidak langsung. Status gizi secara langsung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kebutuhan nutrisi merupakan kebutuhan yang sangat

Jumlah dan Teknik Pemilihan Sampel

BAB I PENDAHULUAN. usia dini sangat berdampak pada kehidupan anak di masa mendatang. Mengingat

BAB I PENDAHULUAN. perlu disiapkan dengan baik kualitasnya (Depkes RI, 2001 dalam Yudesti &

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas dan sukses di masa depan, demikian juga setiap bangsa menginginkan

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable

BAB I PENDAHULUAN. 24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat,

BAB I PENDAHULUAN. lemak, karena itu agar energi tercukupi perlu pemasukan makanan. serta tumbuh kembang anak (Anggaraini, 2003:11).

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita adalah masa yang membutuhkan perhatian lebih dari

BAB 1 PENDAHULUAN. kematian balita dalam kurun waktu 1990 hingga 2015 (WHO, 2015).

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi khususnya balita stunting dapat menghambat proses

Kata kunci : Peran Keluarga Prasejahtera, Upaya Pencegahan ISPA pada Balita

KASUS GIZI BURUK. 1. Identitas. a. Identitas Balita. : Yuni Rastiani. Umur : 40 bln ( ) Tempat Tanggal Lahir : Tasikmalaya,

BAB I PENDAHULUAN. yaitu program pemberantasan penyakit menular, salah satunya adalah program

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh cukup zat-zat gizi dan digunakan secara efisien akan tercapai status

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Panti Asuhan Harapan Kita. merupakan Panti Asuhan yang menampung anak-anak terlantar dan yang sudah

BAB I PENDAHULUAN. melalui perbaikan perilaku masyarakat dalam pemberian makanan

BAB I PENDAHULUAN. beranekaragam, sehingga kebutuhan zat gizinya dapat terpenuhi.

BAB II T1NJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN TEORI. dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN atau 45% dari total jumlah kematian balita (WHO, 2013). UNICEF

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Anak prasekolah adalah anak berusia dua sampai lima tahun. Rentang usia

BAB I PENDAHULUAN. Jangka Menengah untuk pencapaian program perbaikan gizi 20%, maupun target

LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DAN STATUS GIZI ANAK USIA 6 23 BULAN DI POSYANDU DURI KEPA JAKARTA BARAT TAHUN 2016

BAB 1 PENDAHULUAN. mortalitas dari penyakit diare masih tergolong tinggi. Secara global, tahunnya, dan diare setiap tahunnya diare membunuh sekitar

Jurnal Keperawatan, Volume XII, No. 2, Oktober 2016 ISSN

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang sangat cepat, disertai dengan perubahan kebutuhan zat gizi.

BAB I PENDAHULUAN. bayi (AKB) atau Infant Mortality Rate (IMR) dan Angka Kematian Ibu (AKI).

BAB 1 PENDAHULUAN. tergantung pada kemampuan dan kualitas sumber daya manusia (Dinkes Sumut,

HUBUNGAN ASUPAN ZAT BESI DENGAN KADAR HEMOGLOBIN DAN KADAR FERRITIN PADA ANAK USIA 6 SAMPAI 24 BULAN DI PUSKESMAS KRATONAN SURAKARTA

67,3 54,5 43,6 32,7 1,8 0. Kategori umur orangtua contoh. Gambar 3 Sebaran umur orangtua contoh

BAB 1 PENDAHULUAN. lingkungan sosial yang ada di masyarakat umum di luar rumah. Seorang anak TK

BAB I PENDAHULUAN. adalah masalah gizi, yaitu kurang energi protein (KEP). Adanya gizi

BAB 1 PENDAHULUAN. Nasional (RPJMN, ) di bidang kesehatan yang mencakup programprogram

BAB I PENDAHULUAN. beban permasalahan kesehatan masyarakat. Hingga saat ini polemik penanganan

Karakteristik sosial-ekonomi keluarga: Pendidikan Pekerjaan Pendapatan Besarnya keluarga. Pengetahuan, sikap, dan praktik ibu contoh.

BAB I PENDAHULUAN. medis maupun pelayanan kesehatan saja (Supariasa dkk, 2012). Menurut

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tetapi pada masa ini anak balita merupakan kelompok yang rawan gizi. Hal ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Hasil penelitian multi-center yang dilakukan UNICEF menunjukkan bahwa MP-

PENGARUH PEMBERIAN AIR SUSU IBU (ASI), KONSUMSI GIZI, DAN KELENGKAPAN KARTU MENUJU SEHAT (KMS) TERHADAP STATUS GIZI BAYI

I. PENDAHULUAN. Prevalensi gizi buruk pada batita di Indonesia menurut berat badan/umur

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Esa Unggul

Perilaku Makan Dan Pengasuhan Gizi Anak Balita di Kawasan Pemukiman Kumuh Kota Denpasar

BAB 1 : PENDAHULUAN. tidak dapat ditanggulangi dengan pendekatan medis dan pelayanan masyarakat saja. Banyak

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 adalah mengumpulkan. dan menganalisis data indikator MDG s kesehatan dan faktor yang

Transkripsi:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian 4.1.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Puskesmas Tibawa merupakan salah satu Puskesmas yang ada di Kecamatan Tibawa Kabupaten Gorontalo. Puskesmas ini terletak di Kecamatan Tibawa, tepatnya di Desa Isimu Selatan. Puskesmas Tibawa melayani masyarakat khususnya Di Kecamatan Tibawa yang terdiri dari 11 desa yaitu : desa isimu utara, desa isimu selatan, desa datahu, desa tolotio, desa dunggala, desa molowahu, desa ilomata, desa rekso, desa isimu raya, desa balahu dan desa botumoputi. Puskesmas tibawa ini termasuk puskesmas global yang memiliki ruangan UGD dan ruangan rawat inap, dan juga memiliki ruangan kepala puskes, 1 ruangan dokter gigi, 1 ruangan doctor umum, 1 ruangan apotik, 1 ruangan imunisasi, 1 ruangan gizi, 1 ruangan administrasi, memiliki ruangan VK dan ruangan rawat inapnya, memiliki ruang tata usaha. Wilayah penelitian ini adalah Di Puskesmas Tibawa Kecamatan Tibawa Kabupaten Gorontalo. Puskesmas Tibawa yang berada di Lingkungan kantor Camat Tibawa dan SMP N 1 Tibawa. Jumlah seluruh balita yg ada diwilayah kerja puskesmas tibawa kabupaten gorontalo adalah 120 balita yang tercatat dari bulan januari sampai bulan September 2012. 29

30 4.1.2. Deskripsi Hasil Penelitian Dalam penelitian ini distribusi variabel responden yang diambil adalah gambaran dari sampel yang antara lain terdiri ekonomi, pendidikan, pekerjaan, pola makan, dan pola asuh yang bisa dilihat dalam tabel-tabel berikut ini: a. Distribusi Status Gizi Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Tibawa Gambaran tentang status gizi balita di Wilayh Kerja Puskesmas Tibawa Kabupaten Gorontalo dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 6 Distribusi Status Gizi Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Tibawa Kabupaten Gorontalo No Status Gizi N % 1 Gizi Baik 21 17,5 2 Gizi Lebih ( Obesitas ) 10 8,4 3 Gizi Kurang 54 45 4 Gizi Buruk 35 29,17 Jumlah 120 100,00 Sumber: Data Sekunder Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa status gizi balita di wilayah kerja puskesmas tibawa adalah, gizi baik berjumlah 21 balita (17,5%), Gizi lebih 10 balita (8,4%), Gizi kurang 54 balita (45%) dan yang Gizi Buruk 35 balita (29,17%). b. Distribusi Responden Menurut Ekonomi Gambaran tentang tingkat pendapatan perkapita orang tua dari balita penderita gizi buruk dapat dilihat pada tabel berikut :

31 Tabel 7 Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Ekonomi Orang Tua dari Balita Penderita Gizi buruk Di wilayah kerja puskesmas Tibawa Kabupaten Gorontalo Tahun 2012 Pendapatan keluarga N % Pendapatan Tinggi 0 0 Pendapatan Rendah 35 100 % Jumlah 35 100 % Sumber: Data Primer Dilihat dari tabel diatas bahwa gambaran distribusi pendapatan perkapita seluruh responden dari orang tua yang mempunyai balita gizi buruk di Wilayah Kerja Puskesmas Tibawa Kabupaten Gorontalo semuanya tergolong pendapatan rendah yaitu 35 (100,00 %) sedangkan yang mempunyai pendapatan tinggi hanya 0%. c. Distribusi Responden Menurut Pendidikan Gambaran tentang tingkat pendidikan orang tua dari balita penderita gizi buruk di Wilayah Kerja Puskesmas Tibawa Kabupaten Gorontalo dapat di lihat dari tabel berikut : Tabel 8 Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Pendidikan Orang Tua dari Balita Penderita Gizi buruk Di wilayah kerja puskesmas Tibawa Kabupaten Gorontalo Tahun 2012 Tingkat pendidikan N % Tinggi 7 20 % Rendah 28 80 % Jumlah 35 100 % Suimber: Data Primer Dilihat dari tabel diatas bahwa gambaran distribusi pendidikan orang tua memperlihatkan bahwa dari 35 responden, sebagian besar responden

32 mempunyai tingkat pendidikan rendah sebanyak 28 responden (80%) dan hanya 7 responden (20%) yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi. d. Distribusi Responden Menurut Pekerjaan Gambaran tentang status pekerjaan orang tua dari balita penderita gizi buruk di Wilayah Kerja Puskesmas Tibawa Kabupaten Gorontalo dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 9 Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Pekerjaan Orang Tua dari Balita Penderita Gizi buruk Di wilayah kerja puskesmas Tibawa Kabupaten Gorontalo Tahun 2012 Tingkat Pekerjaan N % Bekerja 1 3 % Tidak bekerja 34 97 % Jumlah 35 100 % Sumber: Data Primer Dilihat dari tabel diatas bahwa gambaran distribusi pekerjaan orang tua memperlihatkan bahwa dari 35 responden, sebagian besar responden tidak bekerja yaitu sebanyak 34 responden (97%) dan hanya 1 responden (3%) responden yang bekerja. e. Distribusi Responden Menurut Pola Makan Gambaran tentang pola makan balita penderita gizi buruk di Wilayah Kerja Puskesmas Tibawa Kabupaten Gorontalo dapat dilihat pada tabel berikut :

33 No Tabel 10 Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Pola Makan Balita dari Balita Penderita Gizi buruk Di wilayah kerja puskesmas Tibawa Kabupaten Gorontalo Tahun 2012 Uraian Pertanyaan Alternatif Jawaban Baik (%) Kurang(%) 1 Sebelumnya ibu hanya memberikan ASI saja kepada bayi selama usia 0-6 bulan 54 46 2 Ibu tetap memberikan ASI kepada balita sampai usia 2 tahun 43 57 3 Sebelumnya ibu memberikan makanan tambahan selain ASI kepada balita setelah berusia 6 buan 69 31 4 ibu selalu memberi makanan yang beraneka ragam pada balita (jenis sayur, lauk-pauk dan buah) 69 31 5 ibu selalu mendampingi anak saat makan 100 0 6 Pemberian makan diberi secara teratur 60 40 7 Balita selalu menghabiskan porsi makanan setiap kali makan 20 80 8 Makanan yang diberi selalu memenuhi syarat 4 Sehat 5 Sempurna 23 77 9 Anak tidak mau makan, apa yang ibu lakukan 89 11 10 Makanan pantangan pada anak 29 71 11 Ibu mencuci buah-buahan sebelum diberikan kepada anak untuk dimakan 66 34 12 Ibu selalu menyiapkan makanan untuk balita 100 0 Jumlah 722 478 Rata-rata 60.17% 39.89% Sumber: Data Primer Dilihat dari tabel diatas bahwa gambaran distribusi pola makan memperlihatkan bahwa dari 35 responden balita yang menjadi sampel, jumlah balita lebih banyak yang pola makannya baik yaitu 60.17% dan balita dengan pola makan yang kurang yaitu 39.89%. f. Distribusi Responden Menurut Pola Asuh Gambaran tentang pola asuh ibu terhadap balita penderita gizi buruk di Wilayah Kerja Puskesmas Tibawa Kabupaten Gorontalo dapat dilihat pada tabel berikut :

34 Tabel 11 Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Pola Asuh Orang Tua dari Balita Penderita Gizi buruk Di wilayah kerja puskesmas Tibawa Kabupaten Gorontalo Tahun 2012 No Uraian Pertanyaan Alternatif Jawaban Baik (%) Kurang(%) 1 Mengasuh anak 94 6 2 Pengasuh hanya memberikan makanan saja 14 86 3 Ibu memberikan makanan yang bergizi kepada anak tersebut 63 37 4 Ibu rutin membawa balita setiap bulan ke posyandu 66 34 5 Balita telah mendapatkan imunisasi dasar lengkap 83 17 6 Ibu selalu membersihkan kuku anak secara teratur 49 51 7 Ibu membiasakan anak memakai alas kaki ketika keluar rumah 57 43 8 Setelah anak BAB, apakah ibu selalu mencuci tangan pakai sabun 60 40 Jumlah 486 314 Rata-rata 60,75% 39,23% Sumber: Data Primer Dilihat dari tabel diatas bahwa gambaran distribusi pola asuh orang tua memperlihatkan bahwa dari 35 responden balita yang menjadi sampel, jumlah balita lebih banyak yang pola asuhnya baik yaitu 60.75% dan balita dengan pola asuh yang kurang yaitu 39.23%. 4.2. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian tentang Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Buruk pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tibawa Kabupaten Gorontalo 2012, dari ke lima faktor tersebut, ternyata faktor yang paling dominan yang mempengaruhi status gizi buruk pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tibawa adalah faktor ekonomi: pendapatan rendah (100%), orang tua yang tidak bekerja (97%), pendidikan

35 rendah (80%), pola makan cukup (39.89%) dan pola asuh cukup (39.23%). Hal ini ditunjukkan dalam diagram berikut: Diagram Batang a. Status Gizi Buruk Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2010, secara nasional prevalensi balita Gizi baik (76,2%), gizi lebih (gemuk ) (5,8%), kekurangan gizi (17,9%) dan gizi buruk sebesar (4,9%). Hal ini dapat menggambarkan bahwa status gizi baik sangat berbeda jauh dengan status gizi baik secara nasional, gizi lebih pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tibawa tergolong tinggi dibandingkan dengan gizi lebih secara nasional, untuk gizi kurang prevalensinya sama sedangkan gizi buruk prevalensinya tergolong tinggi dari prevalensi gizi buruk secara nasional. Menurut Necy, 2006 Gizi buruk adalah bentik terparah (akut) dari proses terjadi nya kekurangan gizi. Balita gizi buruk adalah anak 0-5 tahu

36 yang berat badan/umurnya -3 SB dan mempunyai tanda-tanda klinis. (dalam Sari Yani Julita, 2006). Gizi buruk merupakan keadaan kekurangan asupan makanan bergizi atau karena sakit dalam waktu lama sehingga tubuh kekurangan protein serta energi tingkat berat dengan ciri-ciri tertentu. Gizi buruk sendiri ada dua tipe, yang pertama adalah tipe maramus dan kedua adalah kwashiorkhor. Gizi buruk maramus terjadi karena tubuh kekurangan kalori tingkat berat dengan ciri-ciri anak sangat kurus, wajah seperti orang tua, rewel, rambut tipis dan mudah rontok, kulit keriput, dan perut cekung. Sedangkan tipe kwasiorkhor terjadi karena tubuh kekurangan protein tingkat berat, ciricirinya adalah wajah bulat dan sembab, apatis, rambut merah dan mudah rontok, perut buncit, punggung kaki bengkak, dan terdapat bercak merah kehitaman pada tungkai kaki atau pantat. b. Faktor Ekonomi Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tingkat pendapatan keluarga merupakan faktor risiko kejadian gizi buruk di wilayah kerja Puskesmas Tibawa Kabupaten Gorontalo. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Yulius (2009) yang dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tingkat pendapatan keluarga merupakan faktor risiko kejadian gizi buruk pada balita di wilayah kerja Puskesmas Mata Kota Kendari 2009. Di Indonesia, masalah ekonomi yang rendah merupakan salah satu faktor yang sangat dominan dialami oleh banyak keluarga. Dalam mencukupi kebutuhan gizi anak banyak orangtua yang merasa kesulitan,

37 penyebabnya adalah keadaan ekonomi yang lemah, penghasilan dari pekerjaan kurang mencukupi dan harga dari bahan makanan yang mahal. Padahal, masa kritis gizi buruk yang dialami anak terjadi pada usia antara 1 sampai 3 tahun. c. Faktor Pendidikan Dari penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa Pendidikan orang tua sebagian besar tingkat pendidikannya rendah. Pendidikan orang tua merupakan modal utama dalam menunjang ekonomi keluarga juga berperan dalam penyusunan makan keluarga, serta pengasuhan dan perawatan anak. Bagi keluarga dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih mudah menerima informasi kesehatan khususnya dibidang gizi, sehingga dapat menambah pengetahuannya dan mampu menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan melihat bahwa tingkat pendidikan orang tua yang mempunyai pendidikan rendah maka informasi-informasi kesehatan khususnya dibidang gizi kurang didapat. Sehingga tidak heran orang tua tersebut mempunyai balita yang gizi buruk. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh info pangan dan gizi, yaitu pendidikan orang tua merupakan hubungan yang nyata dengan semua upaya pencegahan penyakit juga pendidikan orang tua ternyata sangat kuat dalam menentukan status gizi balita. d. Faktor Pekerjaan Dari penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar orang tua responden tidak bekerja. Hal ini dapat dikatakan bahwa ibu yang tidak

38 bekerja adalah ibu-ibu yang tidak melakukan pekerjaan tetapi mencari penghasilan dan hanya menjalankan fungsi sebagai ibu rumah tangga saja. Pekerjaan merupakan sesuatu hal yang dikerjakan untuk mendapatkan imbalan atau balasan jasa. Pekerjaan adalah suatu kegiatan yang dil;akukan untuk menafkahi diri dan keluarganya dimana pekerjaan tersebut tidak ada yang mengatur dan dia bebas karena tidak ada etika yang mengatur (Cookeyzone, 2009). e. Faktor Pola Makan Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa balita dengan pola makan kurang memiliki risiko kejadian gizi buruk (39,89%) daripada balita dengan pola makan baik (60.17%). Hal tersebut dapat dikatakan bahwa sampel yang pola makannya kurang, memiliki peluang berisiko untuk menderita gizi buruk dibanding balita yang pola makannya baik. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Yulius (2009) yang dari penelitiannya berkesimpulan bahwa status gizi buruk pada balita di wilayah kerja Puskesmas Mata Kota Kendari 2009 dipengaruhi oleh pola makan balita. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa pada kelompok kasus sebagian besar balita memiliki pola makan yang kurang sebanyak (39.89%) balita, hal ini disebabkan oleh karena pola hidangan sehari-hari yang tidak tepat dan frekuensi makan balita dalam sehari terhadap bahan makanan yang mengandung zat-zat gizi seperti makanan pokok, lauk pauk, sayuran dan

39 buah masih kurang yang pada umumnya diberikan tidak tentu, hal inilah yang menjadi pemicu terjadinya gizi buruk pada balita. Pada kelompok kasus juga terdapat balita yang pola makannya baik sebanyak (60.17%) balita. Balita tersebut pola makannya telah baik, tetapi masih menderita gizi buruk. Hal ini di duga disebabkan karena pola makan yang baik bukan satu-satunya faktor yang menjadikan balita terhindar dari kejadian gizi buruk, tetapi ada beberapa faktor lain seperti salah satunya adalah penyakit infeksi. Adanya penyakit infeksi seperti ISPA maupun diare pada balita menyebabkan makanan yang dikonsumsi balita akan terhambat penyerapannya dan energi didapatkan dari makanan akan habis atau berkurang. Pola makan adalah cara individu atau kelompok individu memilih bahan makanan dan mengkonsumsinya sebagai tanggapan dari pengaruh fisiologi, sosial dan budaya diukur dengan frekuensi, jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari (Suhardjo, 2003). f. Faktor Pola Asuh Dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa pola asuh di Wilayah Kerja Puskesmas Tibawa pola asuh yang baik (60.75%) dan balita dengan pola asuh yang kurang (39.23%). Hasil ini berarti pola asuh anak balita kurang, dimana ibu sebagai pengasuh kurang memberikan perhatian khusus terutama dalam hal pemberian makanan, merawat dan memberikan kasih sayang. Pola asuh anak sangat mempengaruhi asupan makanan yang di konsumsi, karena sebaik baiknya pola pengasuhan anak maka semakin

40 baik pula pola makan anak sehingga pemenuhan akan nutrisi untuk tubuhnya terpenuhi dan status gizi anak pun baik. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa pada kelompok kasus sebagian besar balita memiliki pola asuh yang kurang sebanyak (39.23%) balita, hal ini disebabkan adanya pola asuh yang salah dan komsumsi gizi yang tidak cukup, serta pelayanan kesehatan yang tidak memadai, yang pada akhirnya berdampak pada kematian, hal inilah yang menjadi pemicu terjadinya gizi buruk pada balita. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa pada kelompok kasus sebagian besar balita memiliki pola asuh yang baik sebanyak (60.75%) balita. Balita tersebut pola asuhnya telah baik, tetapi masih menderita gizi buruk. Hal ini di duga disebabkan karena pola asuh yang baik bukan satusatunya faktor yang menjadikan balita terhindar dari kejadian gizi buruk, disebabkan karena anak tersebut selalu menolak makanannya. Kadangkadang anak menolak maka karena ibunya memberi terlalu banyak perhatian. Anak senang mendapat perhatian sehingga cepat mengetahui bahwa untuk memperolehnya ia menolak makan. Jika dalam keadaan ini anak kemudian dipaksa makan maka akan menimbulkan emosi padanya. Emosi dapat menurunkan produksi cairan lambung hingga menghambat fungsi pencernaanya. Penolakan makan pada anak kadang juga terjadi karena taste/rasa makanan yang diberikan tidak disukai anak. Namun hal ini tidak disadari oleh para ibu karena menganggap makanan yang diberikan sudah sesuai dengan kondisi anak. Hal ini terutama terjadi pada makanan

41 yang berasal dari produk pabrik. Seharusnya sebelum makanan diberikan pada anak, setidaknya ibu mencicipi makanan tersebut untuk mengetahui taste yang paling disukai anak. Secara psikologis ibu sering kali terpengaruh oleh tekstur makanan yang berbentuk halus sehingga enggan untuk mencicipi. Pola pengasuhan merupakan salah satu kejadian pendukung untuk mencapai status yang baik bagi anak. Pola pengasuhan merupakan kejadian pendukung namun secara tidak langsung. Dengan pola pengasuhan yang baik, maka perkembangan anak juga akan baik. Pola pengasuhan anak berupa sikap dan prilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makanan, merawat, kebersihan, memberikan kasih sayang. Kesemuanya berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan, status gizi, pendidikan, pengetahuan dan keterampilan dalam pengasuhan anak dengan baik, (Adisasmito Wiku, 2008). Mengasuh adalah aktivitas yang berkaitan dengan pemberian makanan, pemenuhan akan kebersihan dari pola pengasuhan anak, waktu tidur anak, waktu mandi dan makanan yang dikonsumsi, serta aktivitas yang berhubungan dengan faktor yang sangat penting berupa pemenuhan kebutuhan pangan agar kondisi kesehatan anak tidak memperihatinkan. Mengasuh anak dilakukan sejak lahir. Ibu biasanya menjadi orang pertama dan utama bagi anak. Dimasa kanak kanak, ibu sangat berperan sebagai perawat utama, dengan demikian ibu dituntut untuk tahu dan dapat memenihi kebutuhan fisik dan fsikis anak, agar tidak terjadi gizi kurang.

42 Faktor yang mempengaruhi buruknya keadaan gizi balitah adalah pola asuh yang kurang, komsumsi gizi yang tidak cukup, serta pelayanan kesehatan yang tidak memadai, yang pada akhirnya berdampak pada kematian, (Adisasmito,2008). Dengan pola pengasuh yang baik, maka perkembangan anak juga akan baik. Ahli psikologi perkembangan, dewasa ini menilai secara kritis pentingnya pengasuh anak oleh orang tuanya. Proses pengasuhan ini erat berhubungan dengan kelekatan antara anak dengan orang tua dimana proses tersebut melahirkan ikatan emosional secara timbale balik antara bayi atau anak dengan pengasuh orang tua. (Milis. I, 2004 di dalam Silfiya dkk, 2005).

43