1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Erupsi Gunung Merapi yang diawali pada tanggal 26 Oktober 2010 dan mencapai puncaknya pada 6 November 2010 telah menyebabkan kerugian yang sangat besar bagi kehidupan di wilayah sekitarnya. Bencana tersebut menyebabkan berubahnya kondisi fisik kawasan permukiman dan sistem sosial ekonomi warga di kawasan yang terkena dampak langsung erupsi, yaitu kawasan yang letaknya dekat dengan sumber bahaya dan terlanda awan panas, aliran lava, guguran dan lontaran batu (pijar) serta hujan abu lebat. Material vulkanik yang dikeluarkan gunung api ini mengubur beberapa dusun sehingga tidak lagi dapat dikenali batas-batas kawasan penggunaan lahan sebelum terjadi erupsi. Kondisi yang dihasilkan oleh dampak langsung erupsi misalnya adalah hilangnya tempat tinggal, rusaknya sarana-prasarana publik, hilangnya keberlanjutan pelayanan alam, belum pulihnya sistem pertanian, peternakan dan perkebunan masyarakat, krisis ketersediaan air bersih dan terisolirnya beberapa wilayah akibat infrastruktur yang rusak. Menurut Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Erupsi Merapi Tahun 2011-2013, kerusakan yang diakibatkan oleh erupsi Gunung Merapi berdampak pada sektor permukiman, infrastruktur, telekomunikasi, listrik, dan energi serta air bersih. Di sektor permukiman, erupsi Gunung Merapi telah mengubur sejumlah dusun di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan
2 mengakibatkan ribuan rumah penduduk mengalami kerusakan. Tercatat 2.636 unit rumah rusak berat dan tidak layak huni, 156 rumah rusak sedang, dan 632 rumah rusak ringan, sehingga secara keseluruhan terdapat 3.424 rumah di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengalami kerusakan yang diakibatkan erupsi Gunung Merapi. Berdasarkan Peta Rawan Bencana yang dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, kawasan yang terkena dampak langsung Erupsi Merapi Tahun 2010 ditetapkan sebagai Kawasan Rawan Bencana (KRB) III. Kawasan ini tidak direkomendasikan untuk dibangun hunian dan harus menjadi peruntukan lindung. Sebagian wilayah Kecamatan Cangkringan dalam peta rawan bencana masuk ke dalam kategori KRB III, termasuk di dalamnya Dusun Jambu, Batur, dan Kopeng yang berada di Desa Kepuharjo. Warga ketiga dusun tersebut direlokasi dan menempati Hunian Tetap (huntap) Batur. Lahan yang terkena erupsi Merapi tetap menjadi hak milik masyarakat yang dahulu menempati, tetapi peruntukannya hanya untuk budidaya hutan dan tanaman keras. Huntap bagi korban erupsi Merapi terdiri atas hunian tetap komunal dan tersebar. Warga korban erupsi Merapi yang tidak memiliki lahan selain yang terkena dampak, disediakan tanah untuk membangun rumah secara berkelompok di atas tanah kas desa. Sementara itu, bagi warga yang mempunyai lahan selain kawasan yang dilarang untuk dihuni, maka diperbolehkan untuk membangun secara mandiri dengan syarat tidak berada di kawasan rawan bencana. Pemerintah menyediakan lahan seluas 10 x 10 m2 untuk setiap keluarga korban terdampak langsung erupsi dan tidak mempunyai lahan selain yang berada
3 di kawasan rawan bencana. Setiap keluarga mendapatkan dana stimulan sebesar tiga puluh juta rupiah untuk membangun rumah dengan ukuran minimal 36 m2 di hunian tetap berkelompok. Rumah-rumah di hunian tetap berkelompok dibangun secara berderet, berdempet dengan pekarangan yang sempit. Kondisi tersebut sangat berbeda dengan kehidupan warga sebelum mengungsi. Di permukiman yang lama, warga mempunyai rumah yang lapang, pekarangan yang luas untuk setiap keluarga dan jarak antar satu rumah dengan rumah lainnya yang relatif jauh. Rumah warga yang semula berdiri di lahan yang luas berdampingan dengan kebun dan kandang ternak, setelah hidup di huntap harus rela untuk berhimpitan dengan rumah tetangga tanpa dikelilingi kebun dan kandang ternak. Kandang ternak dibangun secara komunal dan ada yang dititipkan di daerah yang lain sehingga kandang-kandang tersebut jauh dari permukiman. Masyarakat yang tinggal di huntap menghadapi berbagai macam perubahan di tempat tinggal mereka yang baru. Permukiman di huntap yang berbeda dengan permukiman lama warga pengungsi ini, berpengaruh terhadap perilaku penghuninya dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh adalah perilaku masyarakat terhadap pengelolaan sampah. Di permukiman asal, secara umum masyarakat mengelola sampah rumah tangga dengan membakar atau menguburnya. Sementara itu, di permukiman baru, hal tersebut tidak bisa dilakukan mengingat lahan yang mereka tempati hanya menyisakan pekarangan yang sempit, sehingga tidak memungkinkan untuk mengubur atau bahkan membakar sampah karena akan mengganggu penghuni yang lain. Contoh perubahan yang lain adalah perubahan kondisi lingkungan. Di lingkungan
4 permukiman huntap, masyarakat dihadapkan pada kebisingan dan suasana ramai yang sangat berbeda dengan kondisi asal mereka. Jika di permukiman lama pengungsi setiap harinya terbiasa dalam suasana sepi dan jarang bertemu dengan tetangga, maka di hunian tetap setiap hari harus bertatap muka dengan tetangga, mendengar deru kendaraan yang lalu-lalang secara terus menerus, dan bahkan mendengar suara percakapan tetangga karena jarak antar rumah yang terlampau dekat. Sebelum erupsi Merapi Tahun 2010 melanda, warga di lereng Merapi merupakan para peternak, petani kebun dan penambang pasir. Sumber mata pencaharian tersebut hilang bersama dengan erupsi yang memporak-porandakan rumah, tanah dan ternak mereka. Sebagai salah satu cara untuk memulihkan perekonomian warga korban erupsi, pemerintah memberikan bantuan berupa ternak kepada setiap keluarga untuk mengembalikan mata pencaharian mereka, sedangkan sumber penghasilan yang berasal dari kebun belum dapat dipulihkan karena kondisi lahan yang belum bisa ditanami akibat tumpukan batu dan pasir yang masih menutupi tanah mereka. Ternak yang ada pun belum dapat memberikan kontribusi terhadap pemulihan perekonomian warga karena belum mampu berproduksi. Sementara itu kegiatan penambangan pasir yang semula dilakukan secara manual berganti dengan penambangan yang menggunakan alat berat dalam rangka normalisasi sungai yang tertimbun material vulkanik. Pemilihan lokasi dan obyek penelitian ini dilatarbelakangi oleh belum adanya penelitian sebelumnya terkait dengan adaptasi yang dilakukan oleh penghuni Huntap Batur, sehingga perlu adanya penelitian untuk membangun
5 sebuah teori berdasarkan pengetahuan lokal. Selanjutnya, alasan dipilihnya Hunian Tetap Batur adalah bahwa lokasi dibangunnya huntap ini berbeda dengan tempat relokasi pada umumnya. Hunian Tetap Batur dibangun di Dusun Batur, yang notabene merupakan daerah asal sebagian pengungsi yang direlokasi di huntap tersebut. Lokasi huntap ini juga berjarak relatif dekat dengan permukiman lama para pengungsi, yang saat ini telah ditetapkan sebagai Kawasan Rawan Bencana III.. Sementara itu, pada umumnya tempat relokasi dibangun di lokasi yang benar-benar baru dan jauh dari permukiman awalnya. 1.2 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, pertanyaan yang hendak diketahui jawabannya pada penelitian ini adalah bagaimana adaptasi yang dilakukan korban erupsi Merapi terhadap permukiman baru di hunian tetap Batur dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya? 1.3 Tujuan Penelitian Eksplorasi untuk membangun konsep tentang adaptasi yang dilakukan korban erupsi Merapi terhadap permukiman baru di Hunian Tetap Batur dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya. 1.4 Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktikal sebagai berikut: 1. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengalaman bagi masyarakat umum dan para pengungsi, khususnya korban bencana yang direlokasi mengenai bagaimana upaya yang dilakukan para pengungsi korban
6 erupsi Merapi Tahun 2010 dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan permukiman baru; 2. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah khususnya Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman dan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam penataan ruang kawasan rawan bencana alam Merapi agar memperhatikan nilai lokal sosial-ekonomi masyarakat setempat; 3. Sebagai bahan informasi bagi peneliti selanjutnya yang berminat bidang pemulihan bencana alam. 1.5 Keaslian Penelitian Fokus penelitian ini adalah menjelaskan adaptasi yang dilakukan pengungsi Merapi terhadap permukiman baru di hunian tetap dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, dengan lokus di Hunian Tetap Batur, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Sepengetahuan penulis, penelitian yang akan dilakukan ini belum ada yang melakukan sebelumnya selain objek dan lokasi yang berbeda. Sebagai pembanding dengan penelitian ini, disajikan berbagai penelitian yang pernah dilakukan antara lain sebagai berikut: 1. Tesis Syafrudin (2011) Judul: Pola Kerusakan Permukiman Lereng Merapi Pasca Erupsi Merapi 5 November 2010 di Kecamatan Cangkringan; Metode: deduktif kualitatif dengan pemetaan tematik dan overlay peta; Tujuan penelitian: mengetahui pola kerusakan permukiman, perubahan kondisi permukiman, dan hubungan antara pola kerusakan permukiman dengan pola
7 bencana alam pasca erupsi Merapi Oktober Nopember 2011 di lereng Merapi Kecamatan Cangkringan. 2. Tesis Toni Wahyu Kusuma (2011) Judul: Perubahan Tata Fisik dan Tata Kehidupan Sosial Ekonomi Setelah Erupsi Gunung Merapi Tahun 2010 di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman; Metode: induktif kualitatif fenomenologi; Tujuan penelitian: melakukan eksplorasi untuk membangun teori deskriptif yang menggambarkan fenomena perubahan tata fisik dan tata kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang terjadi setelah erupsi Gunung Merapi Tahun 2010 di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman dan menjelaskan hubungan antar variabel tersebut. 3. Tesis Ridwan Botji (2007) Judul: Pengaruh Letusan Gunung Merapi Tahun 1994 dan 2006 Terhadap Pemanfaatan Ruang Wilayah Sekitarnya; Metode: deduktif-induktif; Tujuan penelitian: menemukan hubungan antara letusan Gunung Merpi dengan pemanfaatan ruang di sekitarnya dalam konteks bahaya Merapi dan manfaatnya. 4. Tesis M. Ichsan Syahputra Nyak Pha (2007) Judul: Strategi Adaptasi Penghuni Di Barak Pengungsian Lhoong Raya Kecamatan Banda Raya Kota Banda Aceh; Metode yang digunakan adalah induktif kualitatif;
8 Tujuan penelitian: untuk menemukan strategi adaptasi yang dilakukan oleh penghuni di Barak Pengungsi Lhoong Raya, Kecamatan Banda Raya, Kota Banda Aceh, serta mengetahui bagaimana hubungannya dengan keputusan untuk bertahan atau pindah dari barak. 5. Tesis Immam Algazali (2007) Judul: Adaptasi dan Adjustment Masyarakat Pantai Talise Terhadap Permukiman Baru: Kasus Permukiman Kembali Rudapaksa Di Kota Palu; Metode yang digunakan adalah Deduktif-Kualitatif; Tujuan penelitian: mengetahui bagaimana masyarakat pesisir Pantai Talise melakukan adaptasi dan penyesuaian (adjustmen) di lingkungan permukiman baru serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya. 6. Tesis Sri Wahyuningsih (2006) Judul: Adaptasi Pengungsi Terhadap Permukiman Baru: Studi Kasus Permukiman Kembali Pasca Kerusuhan Madura-Dayak Di Kabupaten Bangkalan; Metode yang digunakan adalah Deskriptif-Kualitatif melalui proses eksploratif; Tujuan penelitian: mengetahui adaptasi pengungsi terhadap permukiman baru dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. 7. Tesis Tri Wibawanta (2003) Judul: Kajian Perilaku Penduduk Dalam Memanfaatkan Ruang Permukiman Relokasi Pasca Bencana Merapi di Dusun Sudimoro, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman.