KECEMASAN BERHUBUNGAN DENGAN FREKUENSI ANGINA: STUDI KORELATIF PADA PASIEN PASCA SINDROM KORONER AKUT

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kardiovaskuler memiliki banyak macam, salah satunya adalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. penyakit arteri koroner (CAD = coronary arteridesease) masih merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. darah termasuk penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, infark

BAB 1 PENDAHULUAN. tersering kematian di negara industri (Kumar et al., 2007; Alwi, 2009). Infark

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia. Dewasa ini perilaku pengendalian PJK belum dapat dilakukan secara

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan problem kesehatan utama yang

BAB I PENDAHULUAN I.I LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh adanya penyempitan arteri koroner, penurunan aliran darah

BAB I PENDAHULUAN. penyempitan pembuluh darah, penyumbatan atau kelainan pembuluh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. memberikan gambaran yang jelas tentang gagal jantung. Pada studinya disebutkan

B A B I PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) dengan penyakit kardiovaskular sangat erat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner (PJK) atau di kenal dengan Coronary Artery

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya penyempitan, penyumbatan, atau kelainan pembuluh nadi

BAB 1 PENDAHULUAN. angka morbiditas penderitanya. Deteksi dini masih merupakan masalah yang susah

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan penyakit yang menyerang

sebesar 0,8% diikuti Aceh, DKI Jakarta, dan Sulawesi Utara masing-masing sebesar 0,7 %. Sementara itu, hasil prevalensi jantung koroner menurut

BAB I PENDAHULUAN. darah, hal ini dapat terjadi akibat jantung kekurangan darah atau adanya

BAB I PENDAHULUAN. banyak terjadi pada orang dewasa, salah satu manifestasi klinis penyakit jantung

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung koroner (PJK) adalah gangguan fungsi jantung dimana otot

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan World Health Organitation (WHO), di tahun 2008 tercatat

NASKAH PUBLIKASI. Disusun Oleh: JULIAN KOMALA DEIWI

BAB I. Pendahuluan. I.1 Latar Belakang. Angina adalah tipe nyeri dada yang disebabkan oleh. berkurangnya aliran darah ke otot jantung.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung koroner merupakan penyakit yang sangat menakutkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. secara global, termasuk Indonesia. Pada tahun 2001, World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Stroke menurut World Health Organization (WHO) (1988) seperti yang

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan pasien yang datang dengan Unstable Angina Pectoris. (UAP) atau dengan Acute Myocard Infark (AMI) baik dengan elevasi

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi ditandai dengan peningkatan Tekanan Darah Sistolik (TDS)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. data statistik yang menyebutkan bahwa di Amerika serangan jantung. oleh penyakit jantung koroner. (WHO, 2011).

HUBUNGAN JENIS SINDROM KORONER AKUT DENGAN KUALITAS HIDUP ASPEK FISIK PASIEN PASCA SERANGAN JANTUNG YANG DIRAWAT DI RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN. dan mortalitas yang tinggi di dunia. Menurut data World Health Organization

ASUHAN KEPERAWATAN PADA USILA DENGAN GANGGUAN SISTEM CARDIOVASKULER (ANGINA PECTORIS)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan manifestasi klinis akut penyakit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

B A B I PENDAHULUAN. negara-negara maju maupun berkembang. Diantara penyakit-penyakit tersebut,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. di Jalan Wirosaban No. 1 Yogyakarta. Rumah Sakit Jogja mempunyai visi

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan terpotongnya suplai oksigen dan nutrisi yang mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. kardiovaskuler secara cepat di negara maju dan negara berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. koroner. Kelebihan tersebut bereaksi dengan zat-zat lain dan mengendap di

BAB I PENDAHULUAN. menurun sedikit pada kelompok umur 75 tahun (Riskesdas, 2013). Menurut

HUBUNGAN JENIS SINDROMA KORONER AKUT DENGAN KUALITAS HIDUP ASPEK SEKSUAL PASIEN PASCA SERANGAN JANTUNG DI RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

Jurnal Keperawatan, Volume XI, No. 2, Oktober 2015 ISSN ANALISIS FAKTOR RISIKO GAGAL JANTUNG DI RSUD dr. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh PTM terjadi sebelum usia 60 tahun, dan 90% dari kematian sebelum

BAB 1 PENDAHULUAN. yang merajarela dan banyak menelan korban. Namun demikian, perkembangan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

pernah didiagnosis menderita PJK (angina pektoris dan/atau infark miokard)

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit kardiovaskuler merupakan penyakit yang masih menjadi masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit infeksi dan malnutrisi, pada saat ini didominasi oleh

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah salah satu manifestasi klinis

BAB 1 PENDAHULUAN. SL, Cotran RS, Kumar V, 2007 dalam Pratiwi, 2012). Infark miokard

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke yang disebut juga sebagai serangan otak atau brain attack ditandai

BAB I PENDAHULUAN. tidak menular yang lebih dikenal dengan sebutan transisi epidemiologi. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan pembunuh nomor satu di seluruh dunia. Lebih dari 80% kematian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Prevalensi depresi pada populasi umum sekitar 4 % sampai 7 %.

BAB I PENDAHULUAN. gangguan kesehatan yang semakin meningkat di dunia (Renjith dan Jayakumari, perkembangan ekonomi (Renjith dan Jayakumari, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan oksigen miokard. Biasanya disebabkan ruptur plak dengan formasi. trombus pada pembuluh koroner (Zafari, 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik. dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang

BAB I PENDAHULUAN. (dipengaruhi oleh susunan saraf otonom) (Syaifuddin, 2006). Pembuluh

BAB 1 PENDAHULUAN. terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit negara-negara industri (Antman

BAB 1 PENDAHULUAN. atau gabungan keduanya (Majid, 2007). Penyakit jantung dan pembuluh darah

HUBUNGAN PENGETAHUAN HIPERTENSI DENGAN POLA HIDUP SEHAT LANSIA DI UNIT REHABILITASI SOSIAL PUCANG GADING SEMARANG ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. di negara-negara barat. Penyakit jantung koroner akan menyebabkan angka

PREVALENSI TINGKAT KECEMASAN PADA PASIEN INFARK MIOKARD LAMA DI POLIKLINIK JANTUNG RSUP PROF. Dr. R.D. KANDOU

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia. Fenomena yang terjadi sejak abad ke-20, penyakit jantung dan UKDW

BAB I PENDAHULUAN. 1.2 Rumusan Masalah. 1.3 Tujuan MAKALAH INFARK MIOKARD AKUT

BAB 1 : PENDAHULUAN. Kanker payudara dapat tumbuh di dalam kelenjer susu, saluran susu dan jaringan ikat

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab terjadinya IMANEST dapat disebabkan oleh rupturnya plak. (Liwang dan Wijaya, 2014; PERKI, 2015).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. fungsi aorta dan cabang arteri yang berada di perifer terutama yang memperdarahi

BAB I PENDAHULUAN. Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. dunia sebanyak 7,4 juta dan terus mengalami peningkatan (WHO, 2012). Hingga

BAB 1 PENDAHULUAN. kelemahan dan kematian sel-sel jantung (Yahya, 2010). Fenomena yang terjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. proses transportasi bahan-bahan energi tubuh, suplai oksigen dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Profesor Shahryar A. Sheikh, MBBS dalam beberapa dasawarsa terakhir

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan usia harapan hidup penduduk dunia membawa dampak

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) termasuk ke dalam penyakit

BAB I PENDAHULUAN. di masyarakat. Pola penyakit yang semula didomiasi penyakit-penyakit menular

BAB 1 PENDAHULUAN. darah. Kejadian hipertensi secara terus-menerus dapat menyebabkan. dapat menyebabkan gagal ginjal (Triyanto, 2014).

HUBUNGAN LAMA KERJA DAN POLA ISTIRAHAT DENGAN DERAJAT HIPERTENSI DI POLI PENYAKIT DALAM RSUD ULIN BANJARMASIN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada saat ini penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh perilaku yang tidak sehat. Salah satunya adalah penyakit

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan uji Chi Square atau Fisher Exact jika jumlah sel tidak. memenuhi (Sastroasmoro dan Ismael, 2011).

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian di bidang ilmu Kardiovaskuler.

BAB I PENDAHULUAN. penyebab utama kematian di dunia. Menurut organisasi kesehatan dunia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Persutujuan Pembimbing. Jurnal

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Status kesehatan masyarakat ditunjukkan oleh angka kesakitan, angka

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit Acute Myocardial Infarction (AMI) merupakan penyebab

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan gangguan neurologis fokal maupun global yang terjadi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penyakit gagal ginjal kronik. Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Lima belas juta orang di dunia setiap tahunnya terkena serangan

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab nomor satu kematian di

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN RAWAT ULANG PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER DI RUANG JANTUNG RSU dr. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG

Transkripsi:

KECEMASAN BERHUBUNGAN DENGAN FREKUENSI ANGINA: STUDI KORELATIF PADA PASIEN PASCA SINDROM KORONER AKUT Fitria Rachmi 1, Aan Nuraeni 2, Ristina Mirwanti 2 1 Alumni Fakultas Keperawatan, Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat 2 Departemen Kritis, Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat E-mail: aan.nuraeni@unpad.ac.id ABSTRAK Latar Belakang: Kecemasan pada pasien sindrom koroner akut (SKA) yang menjalani rawat jalan masih sedikit diteliti, padahal kecemasan pada pasien rawat jalan merupakan hal yang penting untuk dikaji karena pasien berada di rumah dan jauh dari fasilitas kesehatan. Beberapa konsep menyatakan bahwa kecemasan pada pasien SKA dapat memperburuk keadaan jantung, namun demikian bagaimana kaitan antara cemas dengan frekuensi angina masih belum banyak diteliti. Tujuan: Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi hubungan kecemasan dengan frekuensi angina pada pasien SKA. Metode: Desain penelitian ini adalah correlational study. Penelitian dilakukan di Poliklinik Jantung di satu Rumah Sakit di Jawa Barat. Jumlah sampel sebanyak 100 responden dengan SKA yang di ambil menggunakan teknik consecutive sampling. Data dikumpulkan dengan menggunaan kuesioner ZSAS dan SAQ selama satu bulan, kemudian data dianalisis menggunakan analisis deskriptif dan korelasi Rank Spearman. Hasil: Mayoritas responden memiliki tingkat kecemasan normal dan frekuensi angina minimal. Sedangkan responden yang mengalami cemas berat sebesar 3% dan mengalami frekuensi angina berat sebesar 8%.Hasil perhitungan p-value sebesar 0,00 yang lebih kecil dari α (0,05) dan r -0,508 maka terdapat hubungan yang bermakna antara kecemasan dengan frekuensi angina. Kesimpulan: Terdapat hubungan antara kecemasan dengan frekuensi angina pada pasien dengan SKA. Semakin tinggi tingkat kecemasan seseorang maka frekuensi angina semakin berat. Kata Kunci: Angina, Cemas, Rawat jalan, Sindrom koroner akut PENDAHULUAN Penyakit kardiovaskuler masih menjadi penyebab kematian nomor satu di dunia. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat lebih dari 17,5 juta jiwa di dunia meninggal akibat penyakit kardiovaskuler, 7,3 juta diantaranya disebabkan oleh penyakit jantung iskemik (PJI) yang salah satu gejalanya merupakan sindrom koroner akut (SKA). Sedangkan prevalensi pasien yang menderita penyakit jantung koroner (PJK) yang didefinisikan sebagai infark miokard sebanyak 2% di Indonesia dan 2,1% di Jawa Barat (Riskesdas, 2013). Sindrom koroner akut adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan adanya iskemia mendadak pada miokard akibat hilangnya aliran darah ke otot jantung, sehingga menyebabkan berhentinya suplai oksigen bagi sel-sel jantung (David & Neil, 2005). Dalam keadaan normal, pembuluh darah arteri koroner dapat mengalirkan darah hampir 10% dari curah jantung per menit, yaitu kira-kira 50-70 ml darah per 100 gram otot jantung (miokard). Sedangkan dalam keadaan penyempitan pembuluh darah koroner (stenosis) yang mencapai 70% dalam kondisi stres dan aktivitas fisik berlebihan, aliran darah koroner tidak dapat mencukupi kebutuhan otot jantung yang mengakibatkan MEDISAINS: Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Kesehatan, Vol 16 No 1, APRIL 2018 Halaman 1

iskemia (Kusmana & Hanafi, 2003). Padahal efisiensi jantung sebagai pompa bergantung pada nutrisi dan oksigenasi otot jantung melalui sirkulasi koroner (Price & Wilson, 2006). SKA sering dipahami sebagai penyakit yang tergolong susah disembuhkan dan sering menimbulkan kematian mendadak. Ketika pasien SKA merasakan atau mengetahui kondisi sakitnya merupakan penyakit yang susah disembuhkan dan dapat mengancam kehidupan, hal ini akan mengakibatkan pasien SKA mengalami kecemasan. Kecemasan merupakan respon psikologi yang paling awal muncul dan paling sering muncul pada pasien SKA, sedangkan kecemasan pada pasien SKA dapat memperburuk keadaan jantung. Menurut Moser dan Dracub (1996), pasien infark miokard akut yang mengalami kecemasan dalam 48 jam pertama akan memiliki risiko komplikasi 4,9 kali lebih besar daripada pasien yang tidak mengalami kecemasan. Pasien SKA yang menjalani rawat inap sebagian besar mengalami kecemasan sedang dan berat. Tetapi, pada pasien SKA yang menjalani rawat jalan tingkat kecemasan belum diketahui dan ketika pasien SKA tersebut sedang berada di rumah atau di luar lingkungan fasilitas kesehatan tidak ada yang dapat menjamin bahwa pasien SKA tersebut tidak mengalami cemas karena terkadang dirinya sendiri pun tidak menyadari bahwa dirinya itu sedang cemas. Selain itu, angina pada pasien SKA juga dapat muncul secara tiba-tiba bahkan pada saat istirahat, sedangkan terapi definitif tidak semuanya dilakukan karena ada pasien yang menolak untuk dilakukan tindakan revaskularisasi jantung sehingga resiko terjadinya angina menjadi lebih tinggi. Oleh karena itu, jika pada penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kecemasan dengan frekuensi angina maka hal ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi perawat atau tenaga kesehatan lainnya untuk membekali pasien pasca serangan akut dengan pengetahuan tentang manajemen kecemasan pada saat mereka akan kembali ke rumah. METODE Desain penelitian ini menggunakan desain penelitian correlational study. Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Jantung di satu Rumah Sakit di Jawa Barat. Penelitian ini telah mendapat rekomendasi persetujuan etik (ethical clearance) dari Komite Etik melalui surat dengan nomor LB.04.01/A05/EC/157/V/2015. Populasi dalam penelitian adalah pasien dengan SKA yang berobat di Poliklinik Jantung di satu Rumah Sakit di Jawa Barat. Dalam penelitian ini didapatkan 116 orang responden dan hanya 100 responden yang sesuai kriteria sehingga dimasukan ke dalam analisis. Instrument dalam penelitian menggunakan kuesioner ZSAS dan SAQ. Data tentang kecemasan dihitung skornya kemudian dikategorikan ke dalam kategori normal (22-44), ringan-sedang (45-59), berat (60-74), dan panik (75-100) selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif dan analisis korelasi Rank Spearman. HASIL Pada karakteristrik respon didapatkan hasil sebagian besar responden merupakan MEDISAINS: Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Kesehatan, Vol 16 No 1, APRIL 2018 Halaman 2

dewasa madya (50%), berjenis kelamin laki-laki (72%), menikah (87%), berpendidikan terakhir SMA (41%), bekerja (85%), penghasilan keluarga per bulan antara Rp 1.000.000 Rp 3.000.000 (49%), lama terdiagnosis penyakit lebih dari 1 tahun (50%), berperan sebagai kepala keluarga (80%), tidak mengikuti rehabilitasi jantung (65%), tidak mempunyai kolesterol tinggi (60%), serta sudah tidak merokok (92%), lama pengobatan > 1 tahun (50%) serta riwayat recaskularisasi dengan medikasi (47%). Pada variable kecemasan didapatkan hasil sebanyak 3 orang (3%) mengalami kecemasan berat, 37 orang (37%) mengalami kecemasan ringan sampai sedang, dan 60 orang (60%) mengalami kecemasan normal. Sedangkan pada variable frekuensi angina, sebanyak 8 orang (8%) mengalami frekuensi angina berat, 7 orang (7%) mengalami frekuensi angina sedang, 18 orang (18%) mengalami frekuensi angina ringan, dan lainnya mengalami frekuensi angina minimal sebanyak 67 orang (67%) (Table 1). Hasil analisis uji Rank Spearman pada tabel 2 didapatkan nilai p<0,01 maka dan koefisien korelasi (r) -0,508, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kecemasan dengan frekuensi angin pada pasien sindrom koroner akut. Hubungan kedua variabel ini memiliki kekuatan korelasi cukup kuat serta arah negatif yang berarti semakin tinggi skor kecemasan maka skor frekuensi angina semakin kecil atau dengan kata lain, semakin tinggi tingkat kecemasan maka frekuensi angina semakin berat (Table 2). PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa pada pasien sindrom koroner akut yang menjalani rawat jalan di Poliklinik Jantung, sebanyak 3% responden mengalami kecemasan berat dan 37% responden mengalami kecemasan ringan sampai sedang. Menurut Ihdaniyati (2009), pada individu yang mengalami kecemasan berat seringkali melakukan mekanisme koping yang maladaptif. Walaupun hanya 3% responden yang mengalami kecemasan berat, tetapi responden yang mengalami kecemasan ringan sampai sedang dan kecemasan normal tetap harus menjadi perhatian tenaga kesehatan khususnya perawat karena apabila kecemasan tidak ditangani maka lama kelamaan dapat menjadi stres bahkan depresi. Selain itu, kecemasan pada pasien sindrom koroner dapat memperburuk keadaan jantung, salah satunya menyebabkan angina. Selain mengalami kecemasan berat dan kecemasan ringan sampai sedang, pasien sindrom koroner akut yang menjalani rawat jalan di Poliklinik Jantung juga mengalami kecemasan normal sebanyak 60 orang (60%). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hampir sebagian besar responden mengalami kecemasan normal. Hal ini menunjukkan bahwa pada pasien sindrom koroner akut yang menjalani rawat jalan kemungkinan sudah memiliki strategi koping yang baik. Hal tersebut dapat dilihat dari segi kesehatan fisik, keyakinan atau pandangan positif, keterampilan sosial, dan dukungan sosial (Lazarus dan Folkman, 1984 dalam Nasir dan Muhith, 2011). MEDISAINS: Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Kesehatan, Vol 16 No 1, APRIL 2018 Halaman 3

Tabel 1. Karakteristik Responden n=100 Karakteristik Frekuensi Persentase Usia Dewasa dini 1 1% Dewasa madya 50 50% Dewasa lanjut 49 49% Jenis Kelamin Laki laki 72 72% Perempuan 28 28% Status Perkawinan Menikah 87 87% Belum Menikah 2 2% Janda / duda 11 11% Pendidikan Terakhir Tidak Sekolah 2 2% SD 19 19% SMP 14 14% SMA/Sederajat 41 41% Diploma 8 8% S1/S2 16 16% Pekerjaan Bekerja 85 85% Tidak bekerja 15 15% Penghasilan < 1 juta 20 20% 1 3 juta 49 49% >3 juta 31 31% Peran dalam keluarga Kepala keluarga 80 80% IRT 19 19% Anak 1 1% Mengikuti rehabilitasi Ya 35 35% Tidak 65 65% Kolesterol tinggi Ya 40 40% Tidak 60 60% Kebiasaan merokok Masih 8 8% Tidak 92 92% Lama Pengobatan 0 5 bulan 10 10% 6 bulan 1 tahun 40 40% >1 tahun 50 50% Riwayat revaskularisasi Medikasi 47 47% PCI 4 4% Medikasi + PCI 40 40% Medikasi +CABG 7 7% Medikasi + PCI + CABG 2 2% Kecemasan Normal 60 60% Ringan sampai Sedang 37 37% Berat 3 3% Frekuensi Angina Minimal 67 67% Ringan 18 18% Sedang 7 7% Berat 8 8% MEDISAINS: Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Kesehatan, Vol 16 No 1, APRIL 2018 Halaman 4

Tabel 2. Hubungan Kecemasan dengan Frekuensi Angina n=100 Variabel Kesemasan Normal Ringan- Berat Frekuensi Angina sedang r p-value f % f % f % Minimal 50 50% 17 17% 0 0% -0,508 0,000 Ringan 6 6% 11 11% 1 1% Sedang 1 1% 5 5% 1 1% Berat 3 3% 4 4% 1 1% Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien sindrom koroner akut mengalami angina berulang. Angina berulang yang terjadi pada pasien SKA bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti usia, jenis kelamin, lama pengobatan, riwayat pengobatan, kolesterol tinggi, kebiasaan merokok, dan kecemasan. Usia berpengaruh pada risiko penyakit kardiovaskuler, usia menyebabkan perubahan pada jantung dan pembuluh darah (Overbaugh, 2009). Sebab proses aterosklerosis lebih intensif dan mulai memunculkan gejala pada saat proses penuaan. Menurut Price (2006), bahwa insidensi sindrom koroner akut yang menimbulkan gejala angina meningkat lima kali lipat dari usia 40 sampai 60 tahun. Berdasarkan jenis kelamin, angina berulang lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang mengalami frekuensi angina berat 75% diantaranya adalah laki-laki dan sisanya adalah perempuan (25%). Pada frekuensi angina sedang, laki-laki masih mendominasi dengan jumlah 71,4%. Hal ini disebabkan karena sindrom koroner akut lebih banyak terkena pada laki-laki, selain itu estrogen endogen pada perempuan lebih protektif sehingga dianggap dapat meningkatkan status imunitas perempuan sebelum menopause, namun setelah menopause perempuan memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terjadi angina tetapi tidak sebesar insiden pada laki-laki (Supriyono, 2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang mengalami frekuensi angina sedang dan berat lebih banyak terdapat pada responden yang baru menjalani pengobatan selama 6 bulan sampai 1 tahun dibandingkan dengan responden yang sudah menjalani pengobatan lebih dari 1 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama atau semakin rutin responden menjalani pengobatan, maka frekuensi angina semakin berkurang. Berdasarkan hasil penelitian, responden yang mengalami frekuensi angina berat seluruhnya hanya mendapatkan terapi medikasi, sedangkan responden yang mendapatkan terapi medikasi dan PCI mengalami penurunan menjadi 71,4% frekuensi angina sedang. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada pasien SKA yang hanya melakukan terapi medikasi mengalami frekuensi angina berat, tetapi pada pasien SKA yang melakukan terapi revaskularisasi jantung tidak mengalami frekuensi angina berat. Hal ini menunjukkan bahwa terapi revaskularisasi jantung sangat efektif dilakukan untuk mengurangi terjadinya angina berulang. MEDISAINS: Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Kesehatan, Vol 16 No 1, APRIL 2018 Halaman 5

Ketika pasien SKA mengetahui kondisi penyakitnya yang susah disembuhkan dan dapat mengancam kehidupan, hal ini akan mengakibatkan kecemasan. Kecemasan pada pasien SKA berperan terhadap timbulnya serangan jantung dan terjadi peningkatan kejadian infark miokard. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Huffman, et al (2010) menunjukkan bahwa kecemasan akan mengakibatkan terjadinya peningkatan aktivitas saraf simpatis dan akan mengeluarkan hormon katekolamin yang menyebabkan frekuensi nadi meningkat dan sekaligus meningkatkan kebutuhan jantung akan oksigen, sedangkan pembuluh darah koroner jantung pada pasien SKA mengalami aterosklerosis sehingga oksigen tidak bisa masuk ke jantung. Sebagai mekanisme kompensasi, miokardium mengubah metabolisme aerob menjadi metabolisme anaerob sehingga terjadi peningkatan asam laktat yang dapat mengakibatkan nyeri dada atau angina (Price & Wilson, 2006). Hasil penelitisn ini menunjukkan adanya hubungan antara kecemasan dengan frekuensi angina dengan kekuatan hubungan cukup kuat dan arah negatif yang berarti semakin tinggi skor kecemasan maka skor frekuensi angina semakin kecil yang memiliki arti semakin tinggi tingkat kecemasan seseorang maka frekuensi angina semakin berat. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Shibesi (2007) yang menunjukkan bahwa semakin tinggi derajat kecemasan pasien, maka semakin tinggi pula risiko terjadinya serangan infark miokard, dengan kata lain kecemasan dapat menjadi prediktor timbulnya angina. Penelitian yang dilakukan oleh Huffman, et al (2010), menemukan ketika pasien sindrom koroner akut mengalami cemas, maka akan terjadi peningkatan aktivitas saraf simpatis yang akan mengakibatkan terjadinya vasokontriksi pada pembuluh darah koroner sehingga oksigen tidak bisa masuk ke jantung dan meningkatkan proses metabolisme anaerob yang akhirnya dapat menimbulkan nyeri dada atau angina. KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian menunjukkan, kecemasan dengan frekuensi angina mempunyai hubungan yang bermakna dengan kekuatan korelasi cukup kuat dengan arah negative. Pada pasien sindrom koroner akut yang mengalami kecemasan ternyata mengalami angina berulang. Oleh karena itu, manajemen cemas sangat penting untuk diajarkan kepada pasien sindrom koroner akut dan atau keluarga pasien dengan sindrom koroner akut agar tidak mengalami frekuensi angina berulang. DAFTAR PUSTAKA David, E., & Neil, R. (2005). Cardiology. (1st ed). London: Elseiver. Huffman, J.C., Celano, C.M., & Januzzi, J.L. (2010). The Relationship Between Depression, Anxiety, and Cardiovascular Outcomes in Patients with Acute Coronary Syndromes. Neuropsychiatric Disease and Treatment, 123-136. Ihdaniyati, A.I. (2009). Hubungan Tingkat Kecemasan dengan Mekanisme Koping pada Pasien Gagal jantung Kongestif di RSU Pandan Arang Boyolali. Berita Ilmu Keperawatan.1(4): 19-24. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: DKI Kusmana, D., & Hanafi, M. (2003). Patofisiologi Penyakit Jantung MEDISAINS: Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Kesehatan, Vol 16 No 1, APRIL 2018 Halaman 6

Koroner. Jakarta: FKUI. Moser, D.K., & Dracub, K. (1996). Is Anxiety Early After Myocardial Infarction Associated with Subsequent Ischemic and Arhytmic Events? Psychosomatic Medicine. 58(): 395-401. Nasir, A., & Muhith, A. (2011). Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa, Pengantar dan Teori. Jakarta: Salemba Medika. Overbaugh, K.J. (2009). Acute Coronary Syndrome. American Journal Nursing, Volume 109. Price, S.A., & Wilson, L.M. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC. Shibeshi, W.A. (2007). Anxiety Worsens Prognosis in Patient With Corornary Artery Disease. Journal of the American of Cardiology. 49(20): 2021-2027. Supriyono, M. (2008). Faktor-Faktor Resiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Penyakit Jantung Koroner pada Kelompok Usia < 45 Tahun. Diakses dari Situs Web Perpustakaan Universitas Diponegoro, http://eprints.undip.ac.id/18090/ WHO. 2014. Global Health Observatory Data Repository. Diakses January 19, 2015, dari http://apps.who.int/gho/data/view.mai n.cod MEDISAINS: Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Kesehatan, Vol 16 No 1, APRIL 2018 Halaman 7