BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Biji Labu Kuning (Cucurbita

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. coba setelah pemberian polisakarida krestin (PSK) dari jamur Coriolus versicolor

BAB IV METODE PENELITIAN. Forensik, Ilmu Patologi Anatomi dan Farmakologi.

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. desain The Post Test-Only Control Group (rancangan eksperimental

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2 Rataan bobot badan ayam (gram) yang diberikan ekstrak tanaman obat dari minggu ke-1 sampai dengan minggu ke-4

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini menggunakan subyek tikus putih Rattus norvergicus jantan

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil penimbangan berat badan dan pengukuran gula darah tikus model selama penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. yang meliputi persentase hepatosit normal, pembengkakan hepatosit, hidropik,

BAB 6 PEMBAHASAN. tingkat waktu kematian terhadap kemampuan pergerakan silia cavitas nasi hewan

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah Histologi, Patologi Anatomi dan

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian dengan rancangan eksperimental dengan (Post Test Only

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Rata-rata penurunan jumlah glomerulus ginjal pada mencit jantan (Mus

BAB I PENDAHULUAN. untuk menelitinya lebih jauh adalah Coriolus versicolor.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian menggunakan rancangan eksperimental dengan Post Test Only

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. Kesehatan Jiwa, dan Patologi Anatomi. ini akan dilaksanakan dari bulan Februari-April tahun 2016.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bahan pewarna saat ini memang sudah tidak bisa dipisahkan dari

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan percobaan post-test only control group design. Pengambilan hewan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 3 METODE PENELITIAN. Pemeliharaan hewan coba dilakukan di Animal Care Universitas Negeri

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai usaha dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Misalnya

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak etanol daun sirsak (Annona

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelainan hati dapat diketahui dengan pemeriksaan kadar enzim dari

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Penelitian Pengaruh ekstrak jahe terhadap jumlah spermatozoa mencit yang terpapar 2-ME

BAB III METODE PENELITIAN. dibagi menjadi kelompok kontrol dan perlakuan lalu dibandingkan kerusakan

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran kortikosteroid mulai dikenal sekitar tahun 1950, dan preparat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental in vivo pada hewan. uji dengan posttest only control group design

BAB I PENDAHULUAN. meningkat, terlebih dengan adanya isu back to nature serta krisis berkepanjangan

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

UJI TOKSISITAS AKUT MONOCROTOPHOS DOSIS BERTINGKAT PER ORAL DILIHAT DARI GAMBARAN HISTOPATOLOGI HEPAR MENCIT BALB/C

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. pendekatan post-test only control group design. Hewan uji dirandomisasi baik

PANDUAN PRAKTIKUM HISTOLOGI II MODUL 2.3 KARDIOVASKULER DAN HEMATOLOGI DARAH

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kesehatan bahkan menyebabkan kematian.

1 Universitas Kristen Maranatha

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

BAB III METODE PENELITIAN. dengan menguji antioksidan dari rimpang jahe merah (Zingiber officinale Rosc.)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh ekstrak etanol biji labu kuning terhadap jumlah spermatozoa mencit yang diberi 2-ME

I. PENDAHULUAN. progresif. Proses ini dikenal dengan nama menua atau penuaan (aging). Ada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu 4 (LPPT 4) Universitas

STRUKTUR MIKROSKOPIS HATI TIKUS PUTIH (Rattus novergicus) AKIBAT PEMBERIAN EKSTRAK TANAMAN Tristaniopsis whiteana Griff.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Rhodamine B merupakan zat warna golongan xanthenes dyes. Pewarna

BAB III METODE PENELITIAN. Anatomi, Ilmu Jiwa, dan Ilmu Farmakologi. dengan desain penelitian Post Test Only Control Group Design dimana

BAB 1 PENDAHULUAN (Sari, 2007). Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara termasuk

BAB IV METODE PENELITIAN

S E L. Suhardi, S.Pt.,MP

BAB I PENDAHULUAN. Umumnya anti nyamuk digunakan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

Sel sebagai unit dasar kehidupan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 033 tahun 2012 tentang Bahan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Rancangan penelitian dalam penelitian ini menggunakan rancangan

BAB III METODE PENELITIAN. Desain pada penelitian ini adalah eksperimen laboratorium dengan

BAB I PENDAHULUAN. Warna merupakan salah satu sifat yang penting dari makanan, di samping juga

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Fakultas Matematika dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Jejas hati imbas obat (drug-induced liver injury; DILI) atau biasa dikenal

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekstraksi dan Penapisan Fitokimia

FUNGSI PHOSPOR DALAM METABOLISME ATP

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pakan. Biaya untuk memenuhi pakan mencapai 60-70% dari total biaya produksi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. perlakuan pemberian ekstak biji klabet (Trigonella foenum-graecum L) secara oral

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang menggunakan metode

BAB I PENDAHULUAN. manusia dari semua kelompok usia dan ras. Jong (2005) berpendapat bahwa

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan dari penelitian ini adalah Histologi, Patologi

BAB III METODE PENELITIAN. dengan the post test only control group design karena pengukuran. dilakukan sesudah perlakuan pada hewan coba.

PS-S1 Jurusan Biologi, FMIPA, UNEJ (2017) JARINGAN IKAT SYUBBANUL WATHON, S.SI., M.SI.

BAB 5 PEMBAHASAN. Sistematika pembahasan dilakukan pada masing-masing variabel meliputi

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental in vivo pada hewan uji

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Perbedaan Rerata Berat Badan Tikus Putih (Rattus novergicus) Pre

BAB VI PEMBAHASAN. salam dapat menurunkan ekspresi kolagen mesangial tikus Sprague dawley DM.

BAB 1 PENDAHULUAN. ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan dalam jumlah kecil, dengan

Tujuan Praktikum Menentukan waktu beku darah (waktu koagulasi darah) dari seekor hewan/manusia.

BAB I PENDAHULUAN. diperuntukkan sebagai makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia,

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Hewan Coba

EFEK TOKSIK XENOBIOTIK Nasruddin Syam, SKM, M.Kes

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik yang menggunakan

PRAKTIKUM II : DARAH, PEMBULUH DARAH, DARAH DALAM BERBAGAI LARUTAN, PENGGOLONGAN DARAH SISTEM ABO DAN RHESUS.

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kunyit untuk warna kuning. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan

Metabolisme karbohidrat - 4

III. METODE PENELITIAN. test-only control group design. Menggunakan 20 ekor tikus putih yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. diinduksi aloksan, dengan perlakuan pemberian ekstrak Buah Jambu Biji (Psidium

HASIL DAN PEMBAHASAN

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

I. PENDAHULUAN. Roundup adalah herbisida yang menggunakan bahan aktif glifosat yang banyak

METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan metode acak

Transkripsi:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Biji Labu Kuning (Cucurbita moschata) telah selesai dilaksanakan. Bahan yang diperlukan untuk membuat ekstrak biji C. moschata adalah biji C. moschata sejumlah 1 kg dibuat menjadi serbuk biji C. moschata sejumlah 900 gram yang selanjutnya dimaserasi menggunakan alkohol 70%, dievaporasi menggunakan evaporator, dan dilakukan penguapan menggunakan waterbath dengan suhu 70 o C sehingga didapatkan ekstrak C. moschata sejumlah 54,8 gram. Rendemen ekstrak yang diperoleh adalah 6,08%. Ekstrak biji C. moschata dosis 400 mg/kgbb yang digunakan setara dengan dosis 44,33 mg/kgbb untuk manusia, dan setara dengan 729,1 mg biji C. moschata. Ekstrak biji C. moschata dosis 600 mg/kgbb yang digunakan setara dengan dosis 66,49 mg/kgbb untuk manusia, dan setara dengan 1.093 mg biji C. moschata. Ekstrak biji C. moschata dosis 900 mg/kgbb yang digunakan setara dengan dosis 99,74 mg/kgbb untuk manusia, dan setara dengan 1.640 mg biji C. moschata. Pemberian ekstrak biji C. moschata selama 30 hari pada mencit setara dengan 34 bulan pemberian perlakuan pada manusia (Benitz, 1970). Subyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit dengan usia 8 minggu, karena pada usia tersebut hewan uji sudah dikatakan dewasa sehingga di harapkan fungsi organ sudah berfungsi dengan baik. Berat badan mencit yang

2 digunakan adalah 30 40 gram, karena pada berat badan tersebut adalah berat badan ideal mencit dewasa (Malole, 1989). Pemberian ekstrak biji C. moschata dilakukan secara peroral menggunakan sonde selama 30 hari. Ekstrak biji C. moschata diberikan kepada mencit dilarutkan dengan CMC Na 0,5% yang berfungsi sebagai emulgator. Dalam Handbook of Pharmaceutical Excipient disebutkan bahwa CMC Na 0,5% merupakan senyawa yang tidak toksik dan tidak menimbulkan iritan, sehingga aman untuk digunakan sebagai pelarut. Pengamatan kerontokan bulu dan kematian terhadap hewan uji yang telah diberikan perlakuan yang dapat dilihat pada Tabel 4. Persentase kematian hewan uji dapat dilihat pada Tabel 5. Pengamatan terhadap berat badan mencit dapat dilihat pada Gambar 9. Kerontokan bulu dapat dilihat pada tabel 4. Kerontokan bulu tidak terjadi pada hewan uji yang tidak mengalami kematian sebelum hari ke-31. Kerontokan bulu hewan uji terjadi beberapa hari sebelum mengalami kematian. Hal ini dikarenakan kondisi fisik hewan uji yang semakin turun dan menunjukkan bahwa hewan uji sedang tidak sehat. Data persentase kematian hewan uji dapat dilihat pada Tabel 5.

3 Tabel 1. Data Kerontokan Bulu dan Kematian Hewan Uji Kelompok Kontrol Perlakuan I (CM 400) Perlakuan II (CM 600) Perlakuan III (CM 900) Mencit ke- Uraian Bulu mulai rontok pada hari ke- 1 - - 2 - - 3 - - 4 - - 5 - - 6 - - Terjadi kematian pada hari ke- 1 - - 2 - - 3 - - 4 10 13 5 - - 6 21 23 1 - - 2 13 15 3 12 14 4 10 13 5 10 13 6 8 10 1 9 11 2 11 13 3 11 13 4 19 21 5 - - 6 12 14 Keterangan : (-) menunjukkan tidak mengalami tanda yang disebutkan. Persentase kematian hewan uji dapat dilihat pada Tabel 5. Pengamatan terhadap berat badan mencit dapat dilihat pada Gambar 9. Kematian hewan uji dapat dilihat pada Tabel 5. Pada Tabel 5, kematian hewan uji pada kelompok perlakuan CM 400, CM 600 dan CM 900 lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan persentase 33%, 83%, dan 83%.

Berat Badan 4 Pada kelompok perlakuan CM 600 dan CM 900 persentase kematian hewan uji lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok dosis terkecil yaitu CM 400. Persentase kematian hewan uji semakin meningkat seiring dengan meningkatnya dosis yang diberikan. Tabel 2. Persentase Kematian Hewan Uji Kelompok Jumlah Tikus per Kelompok Jumlah Mati Persentase Kontrol 6 0 0% CM 400 6 2 33% CM 600 6 5 83% CM 900 6 5 83% 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 0 5 10 15 20 25 30 35 Waktu (hari) Kontrol CM 400 CM 600 CM 900 Gambar 1. Grafik Berat Badan Hewan Uji Pada pengamatan berat badan hewan uji (Gambar 9) yang dilakukan setiap hari selama 30 hari terlihat terjadi penurunan berat badan pada minggu terakhir dibandingkan dengan berat badan minggu pertama pada setiap kelompok perlakuan. Hasil uji statistik perubahan berat badan hewan uji menunjukkan bahwa

5 antar kelompok kontrol, CM 400, CM 600, dan CM 900 tidak terjadi perbedaan yang signifikan. Pada hari ke 31 dilakukan pembedahan seluruh hewan uji yang sebelumnya telah dikorbankan menggunakan kloroform. Kloroform adalah salah satu cara terbaik untuk mengorbankan hewan uji dengan cara inhalasi, karena prosesnya yang cepat dan tidak meninggalkan bekas luka pada kondisi fisik hewan uji (Malole, 1989). Pembedahan dilakukan menggunakan seperangkat alat bedah dan diambil organ hepar dan ginjal. Organ tersebut difiksasi menggunakan formalin 10%. Formalin digunakan sebagai pengawet organ karena dapat bereaksi dengan protein sehingga membentuk rangkaian-rangkaian antara protein yang berdekatan, sehingga protein mengeras dan tidak dapat larut (Standen, 1966 cit Herdiantini, 2003). Preparat histologi organ hepar dan ginjal menggunakan pewarnaan dengan metode Harris Hematoxylin-Eosin (HE). Metode pewarnaan HE bertujuan untuk mempertajam dan memperjelas jaringan yang akan diamati di bawah mikroskop. Metode pewarnaan HE memiliki beberapa kelebihan, yaitu memiliki 2 komponen yang mampu mewarnai berdasarkan sifat jaringannya, hematoksilin mampu mewarnai unsur basofilik jaringan, dan eosin dapat mampu mewarnai unsur asam jaringan (Culling, 1974). Data pengamatan gambaran histologi hepar hewan uji kelompok kontrol, perlakuan CM 400, CM 600, dan CM 900 dapat dilihat pada Gambar 10. Data persentase kerusakan sel hepar dapat dilihat pada Tabel 6.

6 a a a b (Kontrol) (CM 400) b a d b d c c a (CM 600) (CM 900) Gambar 2. Gambaran melintang histologi hepar pada perbesaran 40x10 kali Pada gambaran histologi sel hepar nampak adanya sel normal (a), degenerasi parenkim (b), degenerasi hidropik (c), dan nekrosis (d). Berdasarkan hasil pengamatan mikroskopis hepar pada Gambar 10, struktur hepatosit yang mengalami degenerasi parenkim, degenerasi hidropik, dan nekrosis sangat berbeda dengan struktur hepatosit normal. Pada jaringan hepar normal terlihat inti sel yang masih terlihat jelas, sitoplasma tidak rusak, serta susunan sel hepatosit yang radial dari vena sentral menuju perifer. Sedangkan pada jaringan hepar abnormal terlihat inti sel yang mengalami degenerasi parenkim/perdarahan, degenerasi hidropik dan nekrosis. Pada degenerasi parenkim ditandai dengan adanya inti yang terlihat terdesak ke tepi, vakuola (ruang-ruang kosong) yang disebabkan karena sel hepatosit membengkak dan granular-granular terlihat jelas. Degenerasi parenkim ini disebut cloudy swelling yaitu terbentuknya vakuolavakuola yang terlihat seperti berawan. Sedangkan pada degenerasi hidropik ditandai dengan vakuola yang berisi air di dalam sitoplasmanya dan tidak mengandung lemak atau glikogen, sehingga sel hepatosit terlihat lebih terang

7 dibandingkan sel yang mengalami degenerasi parenkim. Sel yang mengalami nekrosis mengalami kematian sel dengan perubahan inti yang terlihat lebih kecil, kromatin dan serabut retikuler menjadi berlipat-lipat (Kumar, 2013). Data skor kerusakan sel hepar hewan uji dijumlah untuk menghitung persentase kerusakan sel hepar. Data persentase sel hepar normal dan sel hepar yang mengalami kerusakan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 3. Jumlah Persentase Sel Hepar Normal dan Sel Hepar yang Mengalami Kerusakan setelah Pemberian Ekstrak Biji C. moschata Jumlah Kerusakan (%) Perlakuan Jumlah Sel Normal (%) Degenerasi Degenerasi Nekrosis Parenkim Hidropik Kontrol 78,58 8,16 0,25 13 CM 400 42,16 31,41 6,75 19,67 CM 600 17,91 28,67 20,25 33,16 CM 900 5,25 30,67 8,83 55,25 Tabel 6 menunjukkan bahwa kelompok kontrol memiliki jumlah sel hepatosit normal lebih banyak (78,58)% dari pada sel hepar yang mengalami kerusakan. Hasil penelitian Rofiqoh (2015) menunjukkan bahwa persentase sel hepar normal pada kelompok kontrol adalah 84,6% yang berarti pada kelompok kontrol tetap ada kerusakan sel hepar. Pada kelompok dosis 400 mg/kgbb dan dosis 600 mg/kgbb diperoleh jumlah kerusakan sel hepar lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok dosis 900 mg/kgbb. Pada kelompok dosis 900 mg/kgbb, sel hepar yang mengalami nekrosis (55,25)% lebih banyak dibandingkan dengan sel yang mengalami degenerasi parenkim (30,67)% dan degenerasi hidropik (8,83)%. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya kandungan atau dosis pada ekstrak biji C. moschata yang diberikan kepada hewan uji.

8 Data skor kerusakan sel hepar diuji statistik menggunakan uji Kruskal- Wallis dan dilanjutkan dengan Mann-Whitney. Hasil uji statistik dapat dilihat pada Tabel 7. Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan adanya perbedaan signifikan dari 4 kelompok tersebut. Uji Mann-Whitney antara kelompok kontrol dengan perlakuan menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. CM 900 merupakan kelompok perlakuan dengan skor kerusakan hepar tertinggi dibandingkan dengan CM 600 dan CM 400, namun dari ketiga kelompok perlakuan tersebut tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Tabel 4. Data Rerata Skor Histologi Hepar ± Standard Error No. Kelompok Nilai Skor Kerusakan Hepar 1. Kontrol 1,47 ± 0,81 a 2. CM 400 2,10 ± 0,45 b 3. CM 600 2,71 ± 0,05 b 4. CM 900 3,14 ± 0,03 b Keterangan: Angka yang diikuti huruf berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan. Pada penelitian ini pemberian ekstrak biji C. moschata secara subkronik menimbulkan degenerasi parenkim, degenerasi hidropik, dan nekrosis. Kerusakan sel hepar berupa degenerasi dapat terjadi karena adanya akumulasi bahan toksik atau metabolit lain. Hal tersebut mengakibatkan proses detoksifikasi menjadi terhambat atau berjalan lebih lambat sehingga sel hepar yang belum selesai bekerja mendetoksifikasi akan terkena paparan zat toksik dan terakumulasi dalam sel hepatosit (Kumar, 2013). Salah satu kandungan dari ekstrak biji C. moschata yang diduga menyebabkan efek toksik adalah tannin yang mengakibatkan defisiensi oksigen dalam sel hepar.

9 Degenerasi merupakan perubahan morfologi sel akibat dari luka yang tidak mematikan dan bersifat reversibel. Tetapi apabila degenerasi berjalan terusmenerus dan diberikan dosis yang berlebihan, maka akan mengakibatkan nekrosis atau kematian sel yang tidak dapat pulih kembali atau irreversible (Kumar, 2013). Degenerasi hidropik dimulai ketika paparan ekstrak biji C. moschata memutus rantai pernapasan di mitokondria. Hal ini menyebabkan suplai oksigen ke sel mengalami penurunan sehingga fosforilasi oksidatif (metabolisme aerobik) berhenti dan sel mengandalkan glikolisis untuk menghasilkan energi (metabolisme anaerobik). Glikolisis menghasilkan akumulasi asam laktat dan fosfat organik yang akan menurunkan ph intrasel dan mengakibatkan penurunan aktivitas berbagai enzim seluler. Gangguan tersebut dapat mengakibatkan produksi ATP menurun sehingga terjadi jejas sel hepar dikarenakan keberlangsungan hidup sel bergantung pada metabolisme oksidatif di mitokondria (Bowen dan Lockshin, 1981). Jejas sel berupa perubahan mitokondria menyebabkan adanya kegagalan oksidasi yang mengakibatkan penurunan ATP sehingga terjadi gangguan transport akif yang mengakibatkan sel tidak mampu memompa ion Na + keluar sehingga konsentrasi ion Na + di dalam sel meningkat. Hal tersebut berpengaruh pada proses osmosis yang menyebabkan influks air ke dalam sel sehingga mengakibatkan sel menjadi membengkak seperti vakuola, nukleus membesar, dan juga terlihat jelas granular-granular di dalam nukleus yang disebut sebagai degenerasi parenkim (Mitchell, dkk., 2008). Pada kelompok perlakuan dapat terlihat adanya nekrosis (Gambar 10), hal tersebut disebabkan oleh paparan ekstrak biji C. moschata dalam jangka waktu

10 yang cukup lama sehingga terakumulasi dalam sel dan menjadi toksik. Pada dosis tinggi kandungan tersebut dapat berubah menjadi reaksi oksidatif yang menyebabkan nekrosisnya sel hepar (Mitchell, dkk., 2008). Sedangkan kerusakan inti sel pada kelompok kontrol dapat disebabkan oleh kondisi awal hepar atau sel hepar yang telah mengalami kerusakan sebelumnya atau karena faktor lain seperti faktor psikologis hewan uji, penyakit yang menyerang hewan uji, proses pembuatan preparat yang kurang sempurna dan faktor imunitas hewan uji (Setiawati, 2007). Mekanisme terjadinya kematian sel atau nekrosis dapat diakibatkan senyawa kimia yang mengandung racun. Kerusakan membran sel akan mengakibatkan zat toksik dapat masuk melewati sitoplasma, merusak organelorganel sel dan merusak inti sel sehingga menyebabkan perubahan morfologi sel berupa pengerutan inti sel dan terjadi kondensasi kromatin (piknotik), nukleus pecah menjadi fragmen-fragmen sisa inti berupa zat kromatin yang tersebar didalam sel (karioeksis), penghancuran dan pelarutan inti sel sehingga sel menghilang (kariolisis), membran sel mengalami lisis sehingga batas antar sel tidak nampak jelas. Bentukan sel seperti ini disebut nekrosis (Mitchell, dkk., 2008). Parameter selanjutnya yang dinilai dalam penelitian ini adalah histologi ginjal mencit. Parameter pengamatan histologi ginjal mencit dibagi menjadi dua, yaitu skor perdarahan ginjal, dan jumlah sel PMN pada ginjal. Data gambaran histologi ginjal mencit pada perbesaran 10x dapat dilihat pada Gambar 11. Data uji statistik skor perdarahan ginjal dapat dilihat pada Tabel 8. Berdasarkan hasil pengamatan mikroskopis ginjal pada Gambar 11, struktur sel ginjal yang mengalami perdarahan sangat berbeda dengan struktur sel normal.

11 Pada kelompok kontrol sel ginjal tampak normal karena tidak terlihat adanya perdarahan. Pada perlakuan CM 400, CM 600, dan CM 900 sel ginjal tampak abnormal karena terlihat adanya perdarahan. Hal tersebut sejalan dengan teori dosis-respon yaitu semakin tinggi dosis yang diberikan maka semakin tinggi pula respon yang ditimbulkan (Setiawati, 2007). (Kontrol) (CM 400) (CM 600) (CM 900) Gambar 3. Gambaran melintang histologi ginjal pada perbesaran 10x10 kali (perdarahan ditunjukkan dengan anak panah hitam) Data skor perdarahan ginjal diuji statistik menggunakan Kruskal-Wallis dan dilanjutkan dengan Mann-Whitney. Hasil uji statistik dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 5. Data Rerata Skor Perdarahan Ginjal ± Standard Error No. Kelompok Nilai Skor Perdarahan Ginjal Mencit 1. Kontrol 0,71 ± 0,16 a 2. CM 400 1,41 ± 0,22 b 3. CM 600 1,15 ± 0,12 b 4. CM 900 1,43 ± 0,13 b Keterangan: Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan adanya perbedaan signifikan dari 4 kelompok tersebut. Uji Mann-Whitney antara kelompok kontrol dengan perlakuan

12 menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. CM 900 merupakan kelompok perlakuan dengan skor perdarahan ginjal tertinggi dibandingkan dengan CM 600 dan CM 400, namun dari ketiga kelompok perlakuan tersebut tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Perdarahan pada sel ginjal disebabkan karena adanya jejas (perubahan), seperti trauma, peradangan, atau erosineoplastik pada pembuluh darah yang menyebabkan keluarnya darah akibat pecahnya pembuluh darah (Robbins dan Kumar, 1995). Faktor yang dapat menyebabkan perdarahan sel ginjal dalam penelitian ini adalah kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasikan substansi xenobiotik dan metabolitnya di dalam sel (Hodgson, 2004). Senyawa aktif yang terkandung dalam ekstrak biji C. moschata jika diberikan dalam dosis tepat akan bermanfaat bagi tubuh, namun jika dalam dosis berlebihan akan berpotensi menyebabkan toksisitas pada organ ginjal. Hal ini dikarenakan tumbuhan memproduksi beberapa senyawa kimia beracun yang berguna sebagai mekanisme pertahanan terhadap hewan herbivora, khususnya serangga dan mamalia (Sudharmono, 2014). Salah satu kandungan dalam biji C. moschata yang memiliki efek terhadap sel ginjal adalah tannin. Tannin merupakan salah satu senyawa yang dapat menyebabkan defisiensi oksigen terhadap jaringan akibat pembentukan hemoglobin menjadi tidak adekuat (Hagerman, 2002). Beberapa sel didalam tubuh bergantung pada suplai oksigen yang kontinyu, karena energi yang diperoleh dari reaksi-reaksi kimia oksidatif inilah yang mampu menggerakkan sel dan mempertahankan integritas berbagai komponen sel. Oleh karena itu, jika tidak ada supplai oksigen dalam sel, maka berbagai aktivitas

13 pemeliharaan dan sintesis sel berhenti dengan cepat. Jika reaksi ini berlangsung cukup lama, maka sel akan mencapai titik di mana sel tidak lagi dapat mengkompensasi dan tidak dapat melangsungkan metabolisme dan akhirnya menyebabkan kematian sel. Manifestasi dari kematian sel inilah yang dapat menyebabkan perdarahan dalam sel ginjal mencit yang diberi perlakuan ekstrak biji C. moschata (Hagerman, 2002). Data gambaran histologi ginjal pada perbesaran 40x dapat dilihat pada Gambar 12. Data uji statistik skor jumlah PMN ginjal dapat dilihat pada Tabel 9. (Kontrol) (CM 400) (CM 600) Gambar 4. Gambaran melintang histologi ginjal pada perbesaran 40x10 kali (sel PMN ditunjukkan dengan anak panah hitam). Berdasarkan hasil pengamatan mikroskopis ginjal pada Gambar 12, struktur sel ginjal yang memiliki sel PMN sangat berbeda dengan struktur sel normal. Pada kelompok kontrol sel ginjal tampak normal karena tidak terlihat adanya sel PMN. Pada perlakuan CM 400, CM 600, dan CM 900 sel ginjal tampak abnormal karena

14 terlihat adanya sel PMN. Jumlah sel PMN semakin banyak seiring dengan bertambahnya dosis yang diberikan kepada hewan uji. Suatu bentuk perlawanan tubuh manusia terhadap berbagai macam senyawa toksik adalah leukosit atau sel darah putih. Tipe leukosit yang terdapat dalam tubuh adalah sel bergranular seperti neutrofil polimorfonuklear, basofil polimorfonuklear, eosinofil polimorfonuklear, serta sel yang yang tidak bergranular seperti monosit dan limfosit. Pada penelitian ini dilakukan pengamatan dengan menghitung jumlah sel PMN seperti neutrofil, basofil, dan eosinofil karena sel PMN merupakan sel imun tubuh yang dapat merespon pertama apabila terjadi kerusakan atau paparan senyawa toksik dalam sel. Neutrofil merupakan granulosit polimorfonuklear yang mengandung granula halus berwarna ungu atau merah muda sehingga pada saat diamati dibwah mikroskop terlihat sitoplasma neutrofil tampak bening. Eosinofil polimorfonuklear mudah dikenali karena sitoplasmanya dipenuhi oleh granul eosinofilik besar berwarna merah muda terang. Basofil polimorfonuklear memiliki ukuran granul yang lebih bervariasi, tidak begitu berhimpitan dan terpulas biru tua atau coklat. Jumlah sel PMN tersebut akan mengalami peningkatan jika terdapat agen infeksius ataupun agen toksik yang masuk kedalam tubuh (Underwood, 2000). Data skor jumlah PMN ginjal diuji statistik menggunakan Kruskal-Wallis dan dilanjutkan dengan Mann-Whitney. Hasil uji Kruskal-Wallis dan Mann- Whitney dapat dilihat pada Tabel 9.

15 Tabel 6. Data Rerata Skor Histologi Jumlah PMN Ginjal ± Standard Error No. Kelompok Nilai Skor jumlah PMN Ginjal Mencit 1. Kontrol 0,31 ± 0,54 a 2. CM 400 1,33 ± 0,62 b 3. CM 600 0,71 ± 0,79 b 4. CM 900 1,13 ± 0,26 b Keterangan: Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan adanya perbedaan signifikan dari 4 kelompok tersebut. Uji Mann-Whitney antara kelompok kontrol dengan perlakuan menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Kelompok perlakuan CM 400, CM 600, dan CM 900 menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan. Berdasarkan pengamatan tersebut, gambaran histologi ginjal menunjukkan adanya kerusakan sel ginjal berupa peradangan yang dibuktikan dengan adanya sel PMN (Polymorfonuclear) yang merupakan sel darah putih untuk melawan paparan senyawa toksik yang masuk kedalam tubuh. Adanya sel PMN tersebut disebabkan oleh senyawa yang bersifat nefrotoksik yakni tannin yang terkandung dalam eksrak biji C. moschata. Hagerman (2002) menjelaskan bahwa asupan besar tannin dapat menyebabkan iritasi usus, iritasi ginjal, kerusakan hepar, iritasi lambung, dan sakit pencernaan. Penggunaan bahan yang mengandung tannin dosis tinggi tidak dianjurkan dalam jangka waktu yang panjang atau berlebihan. Faktor yang paling sering menimbulkan kerusakan sel ginjal adalah defisiensi oksigen akibat senyawa tannin yang terdapat pada ekstrak biji labu kuning (C. moschata). Senyawa tannin dapat menyebabkan terjadinya pembengkakan sel akibat gangguan oksidasi. Hal ini diperkuat oleh Underwood (2000) yang menyatakan bahwa degenerasi parenkimatosa atau disebut juga

16 degenerasi albuminosa merupakan degenerasi yang hanya terjadi pada mitokondria dan retikulum endoplasma akibat rangsangan yang mengakibatkan gangguan oksidasi. Sel dengan gangguan tersebut tidak dapat mengeliminasi air sehingga tertimbun di dalam sel, sehingga sel mengalami pembengkakan. Dan sistem pertahanan tubuh akan berusaha untuk menormalkan kembali kondisi tersebut. Sehingga, jika semakin banyak sel PMN yang ada di dalam sel, maka kerusakan yang terjadi juga semakin parah (Underwood, 2000). Hasil pengamatan dan uraian pembahasan tetang histologi hepar dan ginjal mencit diatas menunjukkan bahwa ekstrak biji C. moschata memberikan efek toksik terhadap organ hepar dan ginjal mencit yang dapat menyebabkan fungsi organ hepar dan ginjal mencit terganggu. Hal tersebut dibuktikan dengan peningkatan persentase kerusakan sel hepar mencit, perdarahan yang terjadi pada sel ginjal mencit, dan peningkatan jumlah PMN pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol.

17