BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang penelitian Filariasis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filarial yang ditularkan melalui berbagai jenis nyamuk. Terdapat tiga spesies cacing penyebab Filariasis yaitu: Wucheria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Semua spesies tersebut terdapat di Indonesia, namun lebih dari 70% kasus filariasis di Indonesia disebabkan oleh Brugia malayi. Cacing tersebut hidup di kelenjar dan saluran getah bening sehingga menyebabkan kerusakan pada sistem limfatik yang dapat menimbulkan gejala akut dan kronis. Gejala akut berupa peradangan kelenjar dan saluran getah bening (adenolimfangitis) terutama di daerah pangkal paha dan ketiak, namun dapat pula timbul di daerah lain. Gejala kronis terjadi akibat penyumbatan aliran limfe terutama di daerah yang sama dengan terjadinya peradangan dan menimbulkan gejala seperti kaki gajah (elephantiasis) (KEMENKES, 2012). Filariasis dapat ditularkan oleh seluruh jenis spesies nyamuk. Di Indonesia diperkirakan terdapat lebih dari 23 spesies vektor nyamuk penular filariasis yang terdiri dari genus Anopheles, Aedes, Culex, Mansonia, dan Armigeres. Untuk menimbulkan gejala klinis penyakit filariasis diperlukan beberapa kali gigitan nyamuk terinfeksi filaria dalam waktu yang lama (KEMENKES, 2012). Filariasis menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia sesuai dengan resolusi World Health Assembly (WHA) pada tahun 1997. Program eliminasi filariasis di dunia dimulai berdasarkan deklarasi WHO tahun 2000. Untuk 1
2 mencapai eliminasi, di Indonesia ditetapkan dua pilar yang akan dilaksanakan yaitu: Memutuskan rantai penularan dengan pemberian obat massal pencegahan filariasis (POMP filariasis) di daerah endemis dan mencegah serta membatasi kecacatan karena filariasis. Upaya penanggulangan penyakit menular lewat vektor, selain dapat dilakukan dengan pemberian pengobatan terhadap penderita, juga dapat dilakukan upaya-upaya pengendalian vektor guna mencegah penularan penyakit (KEMENKES, 2012). Pemutusan rantai penularan filariasis dapat dengan menghilangkan perkembangbiakan nyamuk, membasmi larva dan membunuh nyamuk dewasa. Pada saat ini, pengendalian serangga secara kimiawi menggunakan insektisida masih merupakan hal yang paling sering dilaksanakan (Sudarto, 2011). Berdasarkan cara insektisida masuk ke dalam tubuh serangga, insektisida dapat dibagi menjadi racun lambung/perut yaitu insektisida yang membunuh serangga jika termakan serta masuk ke dalam pencernaannya, racun kontak yang masuk tubuh serangga melalui kulit dan racun inhalasi yang bekerja lewat sistem pernapasan (Djojosumarto, 2008). Kontrol nyamuk adalah strategi penting untuk mencegah transmisi penyakit dan outbreak epidemik. Tetapi saat ini telah terjadi resistensi terhadap berbagai pestisida kimia. Untuk mengatasi hal tersebut, dibutuhkan metode alternatif untuk mengontrol vektor. Saat ini sedang dikembangkan produk alami sebagai alternatif untuk menghindari efek negatif insektisida sintetik. Biopestisida dapat digunakan sebagai alternatif dari insektisida sintetik karena polusi yang dihasilkan dan efek
3 toksisitas terhadap manusia lebih rendah (Elango et al., 2012). Salah satu tanaman yang mempunyai efek insektisidal adalah tanaman tahi kotok (Tagetes erecta L.). Tagetes erecta L. merupakan tanaman hias yang sangat mudah di temukan di Indonesia dan mempunyai aroma yang menyengat (Hartati et al., 1999). Tanaman Tagetes erecta L. mengandung beberapa zat aktif yang dapat berpotensi sebagai insektisida diantaranya saponin, flavonoid tagetin, terpenoid, karotenoid, terthyenil, helenial, flavoxanthin, quercetagetin, tagetol, linolol dan ocimen (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991). Daun dan bunga dari tanaman Tagetes erecta L. mengandung senyawa golongan terpenoid yang disebut-sebut memiliki aktivitas biosidal dan repelan yang dapat melawan berbagai spesies nyamuk (Vasudevan et al.. 2005). Terpenoid dapat menghambat jalur saraf dari nyamuk sehingga mengganggu metabolisme dan pergerakannya (Hudayya dan Jayati, 2012). Berdasarkan penelitian sebelumnya yang menggunakan tumbuhan tahi kotok (Tagetes erecta L.) yang dilakukan oleh Istiyana (2016), di dapatkan hasil yaitu minyak atsiri yang berbahan dasar daun Tahi kotok (Tagetes erecta L.) dengan konsentrasi 100% berpengaruh efektif sebagai insektisidal alami bagi nyamuk Culex quinquefasciatus. Berdasarkan hal tersebut maka pada penelitian ini akan di lakukan uji daya insektisidal dari minyak atsiri berbahan dasar daun tahi kotok (Tagetes erecta L.) dengan konsentrasi 80% untuk melihat efek insektisidal dan waktu mortalitas terhadap nyamuk Culex quinquefasciatus dewasa.
4 B. Perumusan masalah 1. Apakah penggunaan minyak atsiri dari daun tahi kotok (Tagetes erecta L.) dengan konsentrasi 80% dapat digunakan sebagai bahan dasar obat anti nyamuk elektrik cair terhadap nyamuk Culex quinquefasciatus dewasa? 2. Berapa waktu yang dibutuhkan dari minyak atsiri yang berbahan dasar daun tahi kotok (Tagetes erecta L.) dengan konsentrasi 80% untuk mematikan nyamuk Culex quinquefasciatus dewasa sebesar 50% atau 90%? 3. Adakah perbedaan KT 50 dan KT 90 antara minyak atsiri berbahan dasar daun tahi kotok (Tagetes erecta L.) konsentrasi 80% dengan transflutrin 12,38 g/l? C. Tujuan Penelitian 1. Menguji daya insektisidal dari minyak atsiri daun tahi kotok (Tagetes erecta L.) dengan konsentrasi 80% sebagai bahan dasar dari obat anti nyamuk elektrik cair terhadap nyamuk Culex quinquefasciatus dewasa. 2. Mengetahui waktu yang dibutuhkan minyak atsiri daun tahi kotok (Tagetes erecta L.) dengan konsentrasi 80% untuk membunuh nyamuk Culex quinquefasciatus dewasa. 3. Membandingkan KT 50 dan KT 90 antara minyak atsiri daun tahi kotok (Tagetes erecta L.) konsentrasi 80% dengan transflutrin12,38 g/l.
5 D. Keaslian penelitian Terdapat beberapa penelitian terkait efektivitas penggunaan minyak atsiri daun tahi kotok (Tagetes erecta L.) sebagai insektisida alami untuk pengendalian nyamuk oleh beberapa peneliti, antara lain: 1. Vasudevan et al., (2005) yang melakukan penelitian mengenai komponen bioaktif yang terdapat pada Tagetes erecta yang menunjukkan fungsi insektisida, fungisida dan nematosida. 2. Nikkon et al., (2011) yang meneliti efek mosquitosidal ekstrak etanol dari bunga Tagetes erecta dan fraksinya yaitu kloroform dan petroleum eter dalam melawan larva Culex quinquefasciatus. 3. Salinas-Sánchez et al., (2012) yang meneliti aktivitas bioinsektisidal dari ekstrak daun Tagetes erecta L. dengan pelarut hexane, aceton dan ethanol terhadap larva neonatus Spodoptera frungiperda J.E. Smith (Lepidoptera: Noctuidea). 4. Bhatt. (2013) yang meneliti aktivitas larvasidal minyak atsiri dari Cymbopogon flexeous (Lemon grass) dan Tagetes erecta (Marigold) dalam melawan larva Aedes aegypti. 5. Rahmah. (2013) yang meneliti efektivitas ekstrak etanol daun Tagetes erecta L. terhadap mortalitas larva dan imago serangga vector demam berdarah Aedes aegypti.
6 6. Pavitha dan Poornima. (2012) yang meneliti efektivitas repelan dari bunga Tagetes erecta dan daun Clistemon brachyandrus Lindl terhadap larva Anopheles stephensi, Culex infulus dan Aedes aegypti. 7. Istiyana. (2016) yang meneliti aktivitas daun tahi kotok (Tagetes erecta L.) dengan konsentrasi 100% sebagai bahan dasar obat anti nyamuk elektrik cair terhadap mortalitas nyamuk Culex quinquefasciatus dewasa. 8. Badriyah. (2016) yang meneliti daya insektisidal dari daun tahi kotok (Tagetes erecta L.) sebagai bahan dasar obat anti nyamuk elektrik cair terhadap mortalitas nyamuk Aedes aegypti dewasa. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah pada penelitian ini menggunakan minyak atsiri dari daun tahi kotok (Tagetes erecta L.) dengan konsentrasi 80% sebagai bahan dasar obat anti nyamuk elektrik alami terhadap nyamuk Culex quinquefasciatus. E. Manfaat penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam memberikan info penggunaan daun tahi kotok (Tagetes erecta L.) dalam pengendalian vektor nyamuk terutama nyamuk Culex quinquefasciatus dewasa sehingga persebaran dan penularan penyakit Filariasis dapat dikendalikan dan ditekan. Selain itu, dengan penggunaan daun tahi kotok (Tagetes erecta L.) sebagai insektisida alternatif, diharapkan dapat mengurangi penggunaan insektisida kimia yang dapat menimbulkan efek samping bagi kesehatan dan lingkungan.