Bab III Metodologi 3.1. Daerah Studi Daerah studi dalam penelitian ini adalah Delta Mahakam, yaitu sebuah delta yang berada di muara Sungai Mahakam di pantai timur propinsi Kalimantan Timur. Delta Mahakam berada antara 0 0 21 LS 0 0 10 LS dan 117 0 15 BT 117 0 40 BT (Allen and Chamber, 1998 dalam Budhiman, 2004). Gambar 3.1 berikut menunjukkan Delta Mahakam yang menjadi daerah studi dalam penelitian. Gambar 3.1 Daerah studi, Delta Mahakam. (Sumber : Ambarwulan, 2004) 3.2. Data Penelitian Dalam penelitian ini digunakan data remote sensing Landsat MSS tahun 1983, Landsat TM tahun 1992 dan tahun1998, serta Landsat ETM+ tahun 2001 seperti terlihat pada Gambar 3.2. Data remote sensing tersebut didapat dari Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut dan Pusat Survei Sumber Daya Alam Darat BAKOSURTANAL. 19
Citra satelit yang digunakan dalam penelitian ini ada 4 buah citra yang mencakup wilayah Delta Mahakam. Selain citra Landsat MSS, semua citra tersebut memiliki tutupan awan. Hal ini wajar sebagaimana dinyatakan oleh Hussin et al (1999) bahwa sangat sulit mendapatkan citra satelit di wilayah Indonesia yang benar-benar bebas dari awan. Untuk mengatasi masalah tutupan awan ini biasanya digunakan kombinasi antara citra satelit optik dengan citra satelit radar. a b c d Gambar 3.2. Citra satelit yang digunakan dalam penelitian (a) Landsat MSS 1983. (b) Landsat TM 1992. (c) Landsat TM 1998. (d) Landsat ETM+ 2001 20
Sedangkan spesifikasi dari citra satelit yang digunakan dalam penelitian dijelaskan dalam Tabel 3.1 berikut : Tabel 3.1. Spesifikasi citra satelit Citra Satelit Tanggal Akuisisi Waktu Lokal Resolusi Spasial a. Landsat MSS 15-04-1983 9.44 80 m b. Landsat TM 11-02-1992 9.48 30 m c. Landsat TM 26-01-1998 10.10 30 m d. Landsat ETM+ 27-02-2001 10.11 30 m 3.3. Metode Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu hanya memberikan gambaran tentang obyek penelitian serta semua aspek yang berkaitan dengan obyek penelitian tersebut. Dalam hal ini penelitian hanya memberikan deskripsi mengenai perubahan kerapatan vegetasi mangrove di wilayah Delta Mahakam serta perubahan kosentrasi dan sebaran total suspended matter di perairan Delta Mahakam. 3.4. Algoritma Penelitian Di dalam penelitian ini digunakan algoritma-algoritma untuk mendapatkan klasifikasi kerapatan vegetasi dan konsentrasi TSM 1. Algoritma klasifikasi kerapatan vegetasi mangrove Tutupan vegetasi mangrove di wilayah Delta Mahakam pada penelitian ini didapatkan dengan cara digitasi dari citra satelit Landsat yang telah terkoreksi. Selanjutnya hasil digitasi tersebut diproses dengan software ER Mapper 6.4 untuk menghasilkan kelas kerapatan vegetasi mangrove. Pendekatan yang digunakan termasuk pendekatan statistik dengan cara mengaplikasikan algoritma untuk menentukan kerapatan vegetasi mangrove, yaitu: 21
2* B4 DE =... (3.1) B1 + B3 DE: density (kerapatan mangrove) B1, B3, B4 : band 1, band 3 dan band 4 citra Landsat. Algoritma ini dibangun oleh dari Nuarsa et al (2005) dengan metode regresi dan korelasi. Algoritma ini telah diaplikasikan untuk menentukan kerapatan vegetasi mangrove di Pulau Bali bagian selatan dan di Pulau Lombok bagian timur laut. Algoritma ini yang menggunakan pendekatan statistik memiliki nilai korelasi yang tinggi dengan metode-metode lainnya yang sudah ada sebelumnya. Nilai korelasi dengan metode minimum distance : 0,98; dengan metode box classifier : 0,99; dan dengan metode maximum likelihood : 0,99. Kerapatan vegetasi mangrove dibagi menjadi 5 kelas, yaitu : sangat rapat, rapat, sedang, jarang, dan sangat jarang. Selanjutnya setiap kelas kerapatan tersebut dianalisa perubahan luasannya dari tahun ke tahun. Karena data citra Landsat yang digunakan relatif banyak tertutup oleh awan, maka membandingkan luasan vegetasi mangrove hasil digitasi menjadi kurang akurat. Untuk itu kuantitas luasan setiap kelas dinyatakan dalam persentase agar dapat dibandingkan dari tahun ke tahun. 2. Algoritma pemetaan TSM Sebelum mengaplikasikan algoritma untuk pemetaan TSM, terlebih dahulu dilakukan land-sea masking terhadap citra yang telah terkoreksi. Tujuannya adalah untuk memisahkan agar wilayah daratan tidak masuk dalam penghitungan TSM. Agar dapat menghasilkan peta sebaran TSM yang akurat diperlukan real time data lapangan dan citra yang dianalisa. Karena tidak didapatkan data lapangan konsentrasi TSM wilayah Delta Mahakam yang sama dengan waktu akuisisi citra Landsat, maka dalam penelitian ini hanya mengaplikasikan algoritma yang telah dibangun oleh peneliti sebelumnya, yaitu:. 22
TSM = 1.8392*TM2-68.658... (3.2) TSM = 0.6432*(ETM1+ETM3)/2-5.9063... (3.3) TSM : konsentrasi TSM TM2 : band 2 citra Landsat TM ETM1, ETM3 : band 1 dan band 3 citra Landsat ETM+ Algoritma-algoritma tersebut dibangun oleh Ambarwulan dkk (2003). Algoritma (3.2) adalah untuk pemetaan TSM dengan citra Landsat TM. Algoritma ini telah diaplikasikan untuk pemetaan TSM di Delta Mahakam berdasarkan citra Landsat TM 27 Februari 1998. Nilai korelasi TM2 (band 2) terhadap TSM hasil pengukuran lapangan adalah 0,897. Sedangkan algoritma (3.3) adalah untuk pemetaan TSM dengan citra Landsat ETM. Algoritma ini telah diaplikasikan untuk pemetaan TSM di Delta Mahakam berdasarkan citra Landsat ETM 24 Mei 2003. Nilai korelasi kombinasi ETM1 dan ETM3 (band 1 dan band 3) terhadap TSM hasil pengukuran lapangan adalah 0,78. Algoritma-algoritma tersebut dibangun pada waktu yang tidak sama dengan waktu perekaman citra yang digunakan dalam penelitian, sehingga kemungkinan akan menghasilkan nilai konsentrasi TSM yang kurang akurat. Namun demikian hasil dari algoritma tersebut setidaknya masih dapat memberikan pola sebaran TSM di wilayah Delta Mahakam. 3.5. Tahapan Penelitian Tahapan dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 tahap kegiatan. Tahap pertama adalah tahap pemrosesan awal (pre processing) data citra Landsat. Pada tahap ini dilakukan koreksi geometrik dan koreksi radiometrik terhadap citra Landsat yang belum terkoreksi. Sehingga dihasilkan citra Landsat yang sudah terkoreksi geometrik dan radiometrik. Koreksi geometrik dilakukan untuk menyesuaikan geometrik citra dengan geometrik pada bumi. Software yang digunakan adalah Arcview Gis 3.3 dan ER 23
Mapper 6.4. Pada koreksi geometrik ini, SUTM50 dipilih sebagai map projection dan WGS84 sebagai datum. Sedangkan koreksi radiometrik dilakukan untuk menghilangkan kesalahan pengukuran radiansi suatu obyek karena pengaruh pencahayaan, kondisi atmosfer, kondisi sudut pandang obyek, sudut pandang geometrik serta karakteristik respon instrumen (Lillesand and Kiefer,1987 dalam Abu Daya, 2004) Tahap kedua adalah tahap pemrosesan data citra yang sudah terkoreksi geometrik dan radiometrik. Citra yang sudah terkoreksi kemudian didigitasi untuk mendapatkan tutupan mangrove serta dilakukan land-sea masking. Kemudian dilakukan analisa kerapatan vegetasi mangrove serta pemetaan TSM dengan mengaplikasikan algoritma yang sudah ditentukan. Selanjutnya dilakukan analisa keterkaitan antara kerapatan vegetasi mangrove dengan nilai konsentrasi TSM. Dengan asumsi bahwa vegetasi mangrove dapat bersifat sebagai sediment trap maka berkurangnya kerapatan vegetasi mangrove akan menyebabkan naiknya konsentrasi sedimen di perairan. Secara ringkas tahapan penelitian ini dapat dilihat dalam gambar alur penelitian (Gambar 3.3) berikut: 24
Citra Satelit Landsat Belum Terkoreksi Koreksi Geometrik TAHAP 1 Koreksi Radiometrik Citra Satelit Landsat Sudah Terkoreksi Digitasi Vegetasi Mangrove Land-Sea Masking Kerapatan Vegetasi Mangrove Pemetaan Sebaran dan Konsentrasi TSM TAHAP 2 Korelasi (kerapatan vegetasi mangrove dengan pola sebaran dan konsentrasi TSM) Kesimpulan Gambar 3.3. Alur penelitian 25