BAB I PENDAHULUAN. dari iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi ini menandakan pemerataan pembangunan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, membayar pajak merupakan salah satu kewajiban dalam. mewujudkan peran sertanya dalam membiayai pembangunan secara

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan Pancasila dan

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan alam yang terkandung di dalamnya mempunyai fungsi penting

BAB I PENDAHULUAN. karena hampir sebagian besar sumber penerimaan dalam Anggaran. Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berasal dari pajak.

BAB I PENDAHULUAN. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak negara yang dikenakan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. ini ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dahulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia

BERITA DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 9 TAHUN 2011 PERATURAN BUPATI BANDUNG NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. mengurus keuangannya sendiri dan mempunyai hak untuk mengelola segala. sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat setempat.

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. bagi seluruh makhluk dimuka bumi. Oleh karena itu, tanah memiliki peranan yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Sejak Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 1 ayat 1 mendefinisikan pajak dengan

BAB I PENDAHULUAN. pengadaan fasilitas umum, perbaikan infrastruktur, pembangunanpembangunan

BUPATI BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI BANDUNG NOMOR 70 TAHUN 2016 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DI KABUPATEN BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. oleh setiap daerah di Indonesia, terutama Kabupaten dan Kota sebagai unit pelaksana

PERAN DAN TANGGUNG JAWAB PPAT DALAM MENGOPTIMALKAN PENERIMAAN BPHTB

BAB I PENDAHULUAN. semua itu kita pahami sebagai komitmen kebijakan Pemerintah Daerah kepada. efisien dengan memanfaatkan sumber anggaran yang ada.

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 55 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN, PENYETORAN DAN TEMPAT PEMBAYARAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 12 TAHUN 2007 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. pembayarannya bersifat wajib untuk objek-objek tertentu. Dasar hukum

BUPATI TULUNGAGUNG PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 35 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM DAN PROSEDUR PEMUNGUTAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) DALAM JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN DI KABUPATEN BADUNG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari pajak. Menurut UU Republik Indonesia No 28 tahun 2007, pajak

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah pusat dan pembangunan (Siahaan, 2010:9). Sedangkan pajak

ANALISIS PERANAN DESENTRALISASI BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH DI KABUPATEN MANOKWARI PROVINSI PAPUA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. pembeli dikenakan pajak yang berupa Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

kinerja daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

JURNAL TESIS. Oleh : RR. LAKSMI HANDAYANINGSIH NPM :

alam, retribusi, sumbangan, Bea dan Cukai, laba dari BUMN dan sumber golongan yang terdiri dari pajak langsung dan pajak tidak langsung; (2) pajak

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang hasilnya dipergunakan untuk

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 10 TAHUN 2011

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENELITIAN DAN PEMERIKSAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan suatu daerah otonom dapat berkembang sesuai dengan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. umum adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau

BAB I PENDAHULUAN. salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan dan sebagai sarana peran serta

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI PERATURAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG

KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BADUNG MEMUNGUT BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PAJAK DAERAH

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

WALIKOTA BATU PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 36 TAHUN 2013 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS PENDAPATAN KOTA BATU

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat mengartikan pajak sebagai pungutan yang dilakukan pemerintah secara

1 Universitas Bhayangkara Jaya

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi

BAB I PENDAHULUAN. untuk diselesaikan oleh pemerintah daerah. Salah satu urusan yang diserahkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. (PAD) sebagai salah satu sumber dana pembangunan perlu dipacu secara terus

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, melalui pengeluaran-pengeluaran rutin dan pembangunan yang

BAB II SISTEM PEMUNGUTAN BPHTB DALAM TRANSAKSI JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN DI KOTA TANJUNG BALAI

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan dan cita-cita Negara Indonesia yang tercantum dalam. adalah untuk melaksanakan pembangunan yang dilakukan secara

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kini, kita tidak bisa bebas dari yang namanya pajak. Bahkan

PEMERINTAH KOTA SURAKARTA PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah di Indonesia telah membawa

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari wajib pajak yang berdasarkan peraturan perundangan mempunyai. kewajiban untuk membayar pajak kepada pemerintah.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan negara, hal ini terlihat dalam Undang-Undang Dasar 1945

BUPATI JEMBRANA PERATURAN BUPATI JEMBRANA NOMOR : 9 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 54 TAHUN 2011 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tuntutan reformasi disegala bidang membawa dampak terhadap hubungan

BAB I PENDAHULUAN. 1. Gambaran Umum Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset. a. Sejarah singkat DPPKAD Kabupaten Boyolali

BUPATI BONE PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PARTISIPASI PIHAK KETIGA DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang.

BAB II TINJAUAN TENTANG PAJAK A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERANAN PBB P2 DALAM MENINGKATKAN PAD DI KABUPATEN KUNINGAN JAWA BARAT

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 47/PJ/2010 TENTANG

Oleh Sunyoto, SE. MM. Ak. Ery Hidayanti, SE. MM. Ak. Dosen Program Studi Akuntansi STIE Widya Gama Lumajang ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 37 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

BAB 1 PENDAHULUAN. Orde Baru yang menghendaki tegaknya supremasi hukum, demokratisasi dan

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, Pajak Bumi dan Bangunan

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 29 SERI E PERATURAN BUPATI BANJARNEGARA NOMOR 793 TAHUN 2011 TENTANG

2016, No b. bahwa dalam rangka efektifitas dan efisiensi penyelesaian pengembalian kelebihan pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangu

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

White Paper. BPHTB Payment Online System. Abstrak

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 73 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM DAN PROSEDUR PENGELOLAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

BUPATI JEMBER SALINAN PERATURAN BUPATI JEMBER NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak sedikit. Dana tersebut dapat diperoleh dari APBN. APBN dihimpun dari semua

BAB I PENDAHULUAN. dalam mewujudkan daerah otonom yang luas serta bertanggung jawab. Tiap

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

Draft Mei 2015 BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 42 TAHUN 2015

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG SISTEM DAN PROSEDUR PEMUNGUTAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

BAB I PENDAHULUAN. yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik. untuk mensejahterakan rakyat Indonesia secara adil dan makmur.

BUPATI KONAWE UTARA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Tuntutan reformasi disegala bidang membawa dampak terhadap

PEMERINTAH KABUPATEN DEMAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN DEMAK NOMOR 07 TAHUN 2010 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT PELELANGAN IKAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. negara. Hal ini dapat dilihat dari persentase dalam APBN tahun 2006 yang terdiri

BUPATI WONOSOBO PERATURAN BUPATI WONOSOBO NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 5 TAHUN 2012 PENERIMAAN SUMBANGAN PIHAK KETIGA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang berasal dari iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa imbalan (kontraprestasi) yang dapat langsung ditunjukkan dan yang dapat digunakan untuk membayar pengeluaran umum dan telah disepakati bersama. Pajak saat ini menjadi salah satu sumber penerimaan terbesar pembangunan bangsa dalam rangka mencapai kesejahteraan bagi warga negaranya. 1 Pada era reformasi ini, Negara Indonesia tidak hanya merubah sistem perpajakannya tetapi melakukan perubahan juga terhadap administrasi perpajakan yaitu dengan melakukan modernisasi struktur organisasi, penyempurnaan proses bisnis melalui pemanfaatan tek nologi, komunikasi dan informasi, dan penyempurnaan manajemen sumber daya manusia. 2 Modernisasi administrasi perpajakan dimaksudkan sebagai upaya menerapkan good governance dan pelayanan prima dalam pengelolaan pajak. Penerapan prinsip good governance dalam modernisasi administrasi perpajakan ini merupakan upaya preventif dalam mencegah terjadinya tindakan penyelundupan pajak. Menurut pendapat Bhata, sebagaimana 1 Chidir Ali, 1993, Hukum Pajak Elementer, Eresco, Bandung, hlm. 16 2 Liberty Pandiangan, 2008, Modernisasi & Reformasi Pelayanan Perpajakan berdasarkan UU Terbaru, PT.Elex Media Komputindo, Jakarta, hlm.7. 1

2 yang dikutip oleh Joko Widodo dalam bukunya yang berjudul Good Governance Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah ada empat unsur mendasar dari good governance, yakni akuntabilitas (accontabillity), transparansi (transparency), keterbukaan (openness), dan aturan hukum (rule of law). 3 Prinsip good governance terkait dengan transparansi dan keterbukaan dalam modernisasi administrasi perpajakan bertujuan agar tercipta pemerintahan yang terbuka dan tansparan dalam memberikan data dan informasi kepada masyarakat (wajib pajak) khususnya dalam mengeluarkan peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan di bidang perpajakan sehingga dapat tercapai kepastian hukum bagi wajib pajak. Keberhasilan pelaksanaan pembaharuan sistem perpajakan nasional ditentukan berdasarkan empat faktor, antara lain : 1. Sistem perpajakan, baik yang menyangkut perangkat undang-undang dan peraturan maupun aparat pelaksananya; 2. Sistem penunjang, seperti sistem pembukuan, akutansi, dan profesionalisme; 3. Masyarakat khususnya wajib pajak termasuk di dalamnya sistem informasi dalam arti seluas-luasnya; dan 4. Faktor internal yang berupa faktor ekonomi, sosial, budaya, dan politik serta persepsi positif dari masyarakat. 4 3 Joko Widodo, 2001, Good Governance Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Insan Cendikia, Surabaya, hlm.26. 4 Salamun A.T, 1991, Pajak, Citra dan Upaya Pembaruannya cet.2, Bina Rena Pariwara, Jakarta, hlm.233.

3 Perubahan sistem perpajakan di Negara Indonesia, yaitu dari sistem sentralisasi menjadi desentralisasi, dimana dalam pemungutannya dulu berada pada pemerintah pusat sekarang beralih ke pemerintah daerah. Pemerintah pusat hanya mendapatkan 20% (dua puluh persen) dari total pendapatan pajak yang diperoleh dari daerah atau yang dikenal dengan istilah Otonomi Daerah. Implikasi dari pelaksanaan otonomi daerah adalah memberikan akses kepada daerah untuk mengelola dua jenis pajak. Pajak yang dimaksud adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB) yang dulu dikelola oleh pemerintah pusat sekarang dikelola oleh pemerintah daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) huruf j dan huruf k Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (selanjutnya dalam tulisan ini ditulis UU No. 28 Tahun 2009) dan dalam pelaksanaannya dilimpahkan kepada daerah propinsi dan kabupaten masing-masing. Dengan demikian, kantor pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak memungut Pajak Bumi dan Bagunan untuk sektor Perdesaan dan Perkotaan (selanjutnya dalam tulisan ini disebut PBB -P2) dan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan (selanjutnya dalam tulisan ini ditulis BPHTB) sampai dengan 31 Desember 2010, sedangkan mulai tahun 2011 Direktorat Jenderal Pajak tidak berwenang lagi untuk memungut BPHTB 5. Pelaksanaan pemungutan BPHTB di daerah diatur dalam Peraturan Daerah sebagai bentuk payung hukum atas kewenangan daerah dalam melakukan pemungutan pajak. 5 Iwan Mulyawan, 2010, Panduan Pelaksanaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), Mitra Wacana Media, Jakarta, hlm. 9.

4 Wujud nyata terhadap komitmen otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk seluas-luasnya mengurus dan mengatur daerahnya masing-masing. Mengurus dan mengatur yang dimaksud adalah mengatur pelayanan, peningkatan sumber daya manusia, peran serta praka sa dalam mewujudkan daerahnya sebagai daerah yang mandiri dan mengurus urusan pemerintahan sesuai dengan sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Adapun yang menjadi tujuan dari kedua peraturan perundang-undangan tersebut yaitu mencakup tiga tujuan, antara lain : a. Pertanggungjawaban lebih bersifat horizontal daripada vertikal melalui peningkatan peran DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah); b. Pengaturan yang lebih jelas mengenai alokasi dana dari pusat ke daerah; c. Kewenangan pengelolaan keuangan diberikan secara utuh kepada daerah dengan mengedepankan pada asas partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas 6. Tujuan dibentuknya undang-undang tersebut berimplikasi terhadap kewenangan daerah melalui pungutan pajak yang dalam hal ini adalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB) yang 6 Agus Prawoto, 2011, Penilaian Pajak Bumi Bangunan Perdesaan & Perkotaan (edisi Pertama), BPFE-Yogyakarta, hal. 2.

5 mengedepankan pada asas partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas, sehingga dapat diharapkan seluruh lapisan masyarakat turut serta dalam pembangunan nasional melalui pembayaran pajak. Sebagai salah satu sumber pendapatan pemerintah daerah yang berpotensi untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (dalam tulisan ini selanjutnya ditulis PAD), BPHTB merupakan salah satu pajak obyektif atau pajak kebendaan dimana pajak terutang didasarkan pertama-tama pada apa yang menjadi obyek pajak baru kemudian memerhatikan siapa yang menjadi subyek pajak. 7 Menurut pendapat Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, dikatakan bahwa Obyek dari BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang dapat berupa tanah (termasuk tanaman di atasnya), tanah dan bangunan, atau bangunan. 8 Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan salah satunya adalah dengan melakukan pemindahan hak yang diakibatkan oleh adanya transaksi jual beli. Transaksi jual beli tanah dan bangunan merupakan suatu aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat yang dapat memberikan pemasukan berupa pajak dalam jumlah yang relatif besar bagi negara, karena jual beli merupakan suatu perbuatan hukum yang dapat menimbulkan hutang pajak. 9 Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan karena proses jual beli dilakukan oleh para pihak dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah 7 Marihot Pahalamana Siahaan, 2003, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Teori DanPraktek, Edisi I,Cetakan. I, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 59 8 Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, 2004, Hukum Pajak, Edisi Revisi, Salemba Empat, Jakarta, hlm.90 9 Budi Ispriyarso, Aspek Perpajakan dalam Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan karena Adanya Transaksi Jual Beli, Masalah-masalah Hukum.,Volume 34 No.. 4, hlm 277.

6 (selanjutnya dalam tulisan ini ditulis PPAT) dengan pembuatan Akta Jual Beli (dalam tulisan ini selanjutnya ditulis AJB). Dalam praktiknya, pembuatan AJB merupakan bagian yang tidak terpisah dari pendaftaran tanah. Sebelum dilakukan proses pendaftaran tanah untuk memperoleh hak atas tanah atas kepemilikan tanah yang baru, para pihak akan melakukan jual beli, dimana para pihak terlebih dahulu telah menyepakati harga transaksi tersebut. AJB merupakan dokumen yang membuktikan adanya peralihan hak atas tanah dari pemilik sebagai penjual kepada pembeli sebagai pemilik baru. Pada prinsipnya jual beli tanah bersifat terang dan tunai, yaitu dilakukan di hadapan PPAT dan harganya telah dibayar lunas. Apabila harga jual beli tanah belum dibayar lunas, m aka pembuatan AJB belum dapat dilakukan. Transaksi jual beli yang obyeknya berupa tanah, lebih lanjut diatur di dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (yang lebih dikenal dan selanjutnya disebut dengan UUPA). Dalam dictum mencabut UUPA menyatakan, bahwa salah satunya berisi pencabutan Buku II KUHPerdata Indonesia sepanjang yang mengenai bum i, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan ketentuan tentang Hipotek yang masih berlaku pada mulai berlakunya UUPA 10. Khusus mengenai harga transaksi dalam pembuatan AJB, para pihak dapat dengan bebas menentukan harga yang akan disepakati di dalam AJB tersebut berdasarkan harga pasar yang wajar yaitu nilai yang ditentukan atau 10 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak pakai Atas Tanah, maka sejak berlakunya UUPA maka Buku II KUHPerdata dinyatakan tidak berlaku.

7 ditetapkan oleh pembeli yang ingin membeli sesuatu dan penjual ingin menjual sesuatu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan kedua belah pihak dalam kondisi wajar tanpa ada tekanan dari pihak luar pada proses transaksi jual beli, sehingga terjadi kemufakatan. Harga pasar pada dasarnya mencerminkan harga terbaik atas suatu properti pada suatu waktu, tempat, dan keadaan atau kondisi pasar tertentu. 11 Kabupaten Badung merupakan salah satu kabupaten/kota dari 9 (sembilan) kabupaten/kota yang berada di Propinsi Bali dan sebagai salah satu daerah otonomi pemungutan BPHTB yang berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 28 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2010 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (dalam tulisan ini selanjutnya ditulis Perda No. 28 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Perda No. 14 Tahun 2010). Secara umum Perda No. 28 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Perda No. 14 Tahun 2010 Tentang BPHTB mengatur tentang kewenangan daerah untuk melakukan pemungutan pajak sebagai konsekuensi dari dialihkannya dua jenis pajak yaitu pajak PBB -P2 dan BPHTB berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009. Ketentuan Pasal 19 Perda No. 28 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Perda No. 14 Tahun 2010 Tentang BPHTB mengatur mengenai dibentuknya Peraturan Bupati Badung mengenai Tata Cara Pembayaran dan Penagihan BPHTB. Peraturan Bupati Badung Nomor 72 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (dalam 11 Adrian Sutawijaya, Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tanah sebagai Dasar Penilaian Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP)PBB di Kota Semarang, Jurnal Ekono.mi Pembangunan (Kajian EkoNo.mi Negara Berkembang), hlm. 69.

8 tulisan ini selanjutnya Perbup Badung Nomor 72 Tahun 2014) mengatur mengenai pemungutan dan pengelolaan BPHTB, meliputi proses penerimaan, penatausahaan, dan pelaporan penerimaan pajak. Pasal 9 ayat (3) Perbup Badung No. 72 Tahun 2014, mengatur mengenai penelitian/verifikasi SSPD, meliputi : penelitian/verifikasi atas kebenaran informasi yang tercantum dalam SSPD, penelitian/verifikasi atas kelengkapan dokumen pendukung SSPD, dan penelitian/verifikasi lapangan. Ketentuan norma dalam Peraturan Bupati Badung tersebut memberikan kewenangan terhadap Dinas Pendapatan Daerah (dalam tulisan ini selanjutnya ditulis Dispenda) untuk melakukan pengecekan dan pembetulan daripada SSPD yang akan dijadikan dasar pembayaran BPHTB yang ditimbulkan akibat adanya harga transaksi jual beli tanah. Sistem pemungutan pajak BPHTB pada prinsipnya menganut self assessment system yang artinya wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak. Pelaksanaan pemungutan BPHTB dalam hal ini adalah dilaksanakan oleh Dispenda Kabupaten Badung/Pasedahan Agung. Dispenda selaku validator akan memvalidasi SSPD yang telah di isi atau dihitung nilai transaksinya oleh pem ohon wajib pajak melalui verifikasi, dimana validator akan cenderung mengoreksi nilai yang tercantum dalam SSPD karena validator dalam hal ini Dispenda memiliki kewenangan untuk melakukan verifikasi penelitian atas kebenaran dan kejelasan serta kelengkapan SSPD sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (3) Perbup Badung No. 72 Tahun 2014 sehingga dari hasil verifikasi yang

9 dilakukan oleh Dispenda akan mengoreksi harga nilai transaksi. Apabila menurut hasil verifikasi yang dilakukan oleh Dispenda tidak sesuai, maka Dispenda dalam hal ini akan memperbaiki dan secara otomatis akan merubah harga yang telah disepakati oleh para pihak atau harga transaksi yang telah di isi di dalam lembar SSPD. Ketentuan dalam Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyebutkan dasar pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB) adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), kemudian di dalam Pasal 87 ayat (2) menyebutkan bahwa nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal jual beli adalah harga transaksi, dan dalam Pasal 87 ayat (3) disebutkan: Jika Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan. Berdasarkan peraturan tersebut di atas tampak jelas bahwa Nilai Jual Objek Pajak (dalam tulisan ini selanjutnya ditulis NJOP) merupakan salah satu acuan yang dapat dipakai sebagai harga transaksi dalam transaksi jual beli tanah dan atau bangunan. Dalam hal ini dengan adanya verifikasi yang ditentukan dalam Pasal 9 ayat (3) Perbup Badung No. 72 Tahun 2014, maka harga transaksi tidak akan menggunakan acuan nilai NJOP yang seharusnya menjadi acuan dasar harga transaksi. Ketentuan mengenai verifikasi yang disebutkan dalam

10 ketentuan Pasal 9 ayat (3) juga tidak menyebutkan secara eksplisit dasar patokan harga yang menjadi acuan dalam menentukan verifikasi atas harga tanah yang dijadikan obyek dalam transaksi jual beli yang terjadi. Hal tersebut menimbulkan adanya kekosongan norma dalam hal menentukan verifikasi atas harga tanah dalam transaksi jual beli. Hasil verifikasi merupakan suatu kebijakan (Freies Ermessen) yang dilakukan Dispenda sebagai bentuk kebijakan otonomi daerah Kabupaten Badung yang di dalam penerapannya dipergunakan sebagai upaya preventif dari tindakan penyelundupan pajak akibat kelemahan dari self assessment system. Hasil verifikasi dikatakan kebijakan dikarenakan tidak diaturnya tentang kewenangan Dispenda melalui Perbup Badung No. 72 Tahun 2014 untuk menentukan nilai pasar atas suatu properti yang diperoleh melalui jual beli. Kewenangan dalam melakukan verifikasi SSPD yang dilakukan oleh Dispenda Kabupaten Badung/Pasedahan Agung meliputi penatausahaan, penelitian kebenaran di lapangan dan kejelasan dari laporan wajib pajak atas hutang pajak yang tertuang di dalam lembar SSPD sesuai dengan self assessment system, sehingga harga transaksi jual beli merupakan kebebasan daripada para pihak, dimana kesepakatan harga transaksi dalam transaksi jual beli merupakan sifat keperdataan yang dilandasi oleh asas kebebasan berkontrak. Menurut Ridwan penggunaan Freies Ermessen dapat digunakan dalam tiga hal yaitu : a. Kondisi darurat yang tidak mungkin menerapkan hukum tertulis ;

11 b. Tidak ada atau belum ada peraturan yang mengaturnya; c. Sudah ada peraturannya namun redaksinya samar dan multi tafsir 12. Berdasarkan pendapat di atas, digunakannya Freies Ermessen dalam verifikasi penelitian SSPD, dapat merubah harga transaksi yang telah disepakati oleh para pihak serta terkadang dapat menghasilkan nilai jauh lebih tinggi dibandingkan dengan NJOP, sehingga atas kebijakan tersebut yang dilakukan oleh Dispenda cenderung menimbulkan permasalahan jika dikaitkan dengan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana diatur sesuai dengan ketentuan Pasal 87 ayat (1), ayat (2) huruf a dan ayat (3) Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menyatakan dasar pengenaan BHTB terhadap jual beli adalah harga transaksi dan jika harga transaksi tidak diketahui maka yang digunakan sebagai pengganti adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) PBB sesuai dengan ketentuan. Penerapan verifikasi pada prakteknya sering mengalami kendala, sehingga timbul permasalahan kesenjangan antara penentuan harga transaksi yang diverifikasi oleh Dispenda dengan harga transaksi berdasarkan NJOP atau berdasarkan atas suatu penilaian tersendiri yang dilakukan oleh Dispenda. 13 NJOP juga harus menjadi dasar acuan terhadap penentuan harga pasar yang wajar. Ketentuan harga transaksi yang diakibatkan dari hasil verifikasi tersebut mengakibatkan kerancuan dalam penerapan di lapangan dan ketidakpastian hukum mengenai dasar Dispenda dalam hal melakukan 12 Ridwan, 2009, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, FHUII Press, Yogyakarta, hlm. 81. 13 Hasil Wawancara pra penelitian dengan Chynthia Yunia Dewi selaku Notaris/PPAT di Kabupaten Badung, tanggal 18 Desember 2015.

12 verifikasi SSPD terhadap harga transaksi jual beli tanah di Kabupaten Badung. Dengan adanya kerancuan atas penerapan verifikasi mengenai permasalahan kesenjangan penentuan harga transaksi yang dilakukan oleh Dispenda, tentunya akan menjadi masalah di masyarakat dan khususnya bagi para pihak yang bertransaksi dan PPAT dalam fungsinya sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah sekaligus konsultan hukum yang dianggap mengetahui hukum dalam memberikan suatu kepastian hukum dalam hal pelayanan di bidang transaksi jual beli tanah. Dengan landasan itu, Penulis tertarik untuk mengangkat judul penelitian FREIES ERMESSEN DINAS PENDAPATAN DAERAH TENTANG VERIFIKASI NILAI OBJEK PAJAK DALAM SURAT SETORAN PAJAK DAERAH (SSPD) SEBAGAI DASAR PENGENAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN ATAU BANGUNAN (BPHTB) DI KABUPATEN BADUNG yang diharapkan Penulis dapat memaparkan esensi dari Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB) khususnya di Kabupaten Badung. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dikemukakan pokok-pokok permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah Penerapan Freies Ermessen Dispenda Kabupaten Badung Terhadap Verifikasi Nilai Setoran Pajak Daerah yang Menghasilkan Nilai Lebih Tinggi daripada NJOP dalam Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD)?

13 2. Bagaimanakah Peran PPAT dalam Verifikasi Nilai Objek Pajak dalam SSPD Sebagai Dasar Pengenaan BPHTB di Kabupaten Badung? C. Keaslian Penelitian Untuk mengetahui keaslian penelitian ini, Penulis melakukan penelusuran terhadap berbagai refrensi baik melalui media cetak maupun media elektronik. Penulis menemukan beberapa Penulisan tesis maupun jurnal dengan judul dan permasalahan yang diangkat masing-masing berbeda, diantaranya : I Kadek Pelo Periyawan, 14 dengan judul Penerapan Verifikasi Peraturan Bupati Badung Nomor 72 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan, sebagai tesis pada Fakultas Hukum Universitas Udayana, dengan rumusan masalah sebagai berikut : a. Kriteria apa yang dipergunakan Dispenda dalam melakukan verifikasi Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD) atas transaksi jual beli tanah yang menghasilkan nilai yang lebih tinggi dari surat setoran pajak daerah (SSPD) yang dilaporkan berdasarkan dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)? b. Bagaimanakah akibat hukum dari hasil verifikasi Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD) yang menghasilkan nilai lebih tinggi dari pada SSPD yang dilaporkan berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)? 14 I Kadek Pelo Periyawan, 2015, Penerapan Verifikasi Peraturan Bupati Badung Nomor 72 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Bali.

14 Hasil penelitian yang dilakukan oleh I Kadek Pelo Periyawan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa : 1. Kriteria-kriteria yang digunakan oleh Dispenda dalam melakukan verifikasi SSPD yang dilaporkan oleh wajib pajak sesuai dengan NJOP, didasarkan atas informasi dari kepala desa, developer serta dari penilaian langsung lapangan dengan mempertimbangkan aspek-aspek tanah seperti lokasi tanah, peruntukan tanah dan NJOP untuk mendapatkan nilai yang obyektif sesuai harga pasaran yang sebenarnya. 2. Dasar penentuan nilai transaksi jual beli tanah yang diberlakukan oleh Dispenda adalah sebagai berikut : a. Berdasarkan Status Peruntukan Tanah; b. Berdasarkan dari Letak Objek Tanah; c. Nilai Jual Objek Pajak. 3. Besaran nilai transaksi jual beli tanah yang ditentukan oleh Dispenda, menimbulkan akibat hukum, yaitu dilihat dari nilai pembayaran dan dari proses. Dari nilai pembayaran maka verifikasi yang melebihi NJOP akan menimbulkan nilai pajak terhutang yang ditanggung oleh wajib pajak apabila hasil verifikasi yang melebihi NJOP dan melebihi juga Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP), dan dari segi proses verifikasi dapat mengakibatkan perbaikan SSPD sesuai dengan hasil verifikasi yang dilakukan oleh Dispenda sehingga dengan dilakukannya perbaikan dan dilakukan pengesahan oleh Dispenda maka

15 SSPD dapat digunakan untuk melaporkan nilai perolehan pajak serta dapat melakukan pembayaran pajak kepada bank yang telah ditunjuk. Berdasarkan penelitian tersebut di atas yang pernah dilakukan sebelumnya, terdapat persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang dilakukan penulis. Persamaannya yaitu tempat penelitiannya Kabupaten Badung dan perbedaannnya yaitu penelitian yang dilakukan I Kadek Pelo Periawan tersebut menitikberatkan pada kriteria, dasar penentuan nilai dan besaran nilai yang akan dikenakan dalam transaksi jual beli dalam hal verifikasi yang dilakukan oleh Dispenda Kabupaten Badung. Berdasarkan uraian dan perbedaan-perbedaan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian ini belum pernah dilakukan dan dapat dipertanggungjawabkan keasliannya. Apabila ternyata dikemudian hari ditemukan penelitian yang sama, maka diharapkan karya tulis ini dapat melengkapi karya tulis-karya tulis lain sebelumnya dan bermanfaat bagi semuanya. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diberikan dalam penelitian ini meliputi dua aspek, yaitu : 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran untuk menambah pengetahuan dan bahan pustaka guna membantu perkembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang kenotariatan mengenai verifikasi nilai objek pajak dalam SSPD sebagai dasar pengenaan pajak BPHTB dalam hal jual beli tanah dan atau bangunan.

16 2. Manfaat Praktis a. Bagi Pemerintah Diharapkan hasil penelitian ini dijadikan bahan pertimbangan kebijakan Pemerintah. b. Bagi Notaris/PPAT Diharapkan hasil penelitian ini dijadikan dasar pertimbangan penghitungan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB) kaitannya dengan pembuatan akta peralihan hak jual beli tanah dan atau bangunan. c. Bagi Masyarakat Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar pertimbangan terutama bagi para pihak dalam pembuatan akta jual beli tanah dan atau bangunan terdahap penghitungan pajak BPHTB. d. Bagi Mahasiswa Fakultas Hukum Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian dan diskusi di kalangan kampus untuk menemukan solusi yang baik sebagai sumbangan yang berharga bagi perkembangan hukum di Indonesia khususnya tentang pengaturan yang ada terkait verifikasi nilai obyek pajak dalam SSPD sebagai dasar pengenaan pajak BPHTB dalam hal jual beli tanah atau dan bangunan.

17 E. Tujuan Penelitian Berdasarkan apa yang telah dipaparkan pada latar belakang penelitian diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui, menganalisis, dan menyimpulkan Penerapan Freies Ermessen Dispenda Kabupaten Badung Terhadap Verifikasi Nilai Setoran Pajak Daerah yang Menghasilkan Nilai Lebih Tinggi daripada NJOP dalam Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD). 2. Untuk mengetahui, menganalisis, dan menyimpulkan Peran PPAT dalam Verifikasi Nilai Objek Pajak dalam SSPD Sebagai Dasar Pengenaan BPHTB di Kabupaten Badung.