BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka Kematian Bayi (AKB) atau Infant Mortality Rate (IMR) merupakan salah satu indikator yang sangat berguna dalam upaya pelayanan kesehatan terutama yang berhubungan dengan bayi baru lahir perinatal dan neonatal. Diperkirakan 5,9 juta anak berumur dibawah 5 tahun meninggal pada tahun 2015, dengan global angka kematian dibawah 5 tahun mencapai 42,5 per 1.000 kelahiran hidup. Dari angka kematian ini, 45% adalah neonatus dengan angka kematian neonatus mencapai 19 per 1.000 kelahiran hidup. Dari hasil data tersebut didapatkan juga beberapa penyebab tersering dari kematian neonatus pada tahun 2015 yaitu persalinan prematur, diikuti dengan komplikasi selama persalinan, dan juga sepsis neonatus, sedangkan pneumonia berada pada urutan pertama penyebab kematian bayi saat periode post-natal dengan diikuti oleh diare, trauma dan malaria. 1,2 Begitu pula dengan negara Indonesia, persalinan prematur menjadi penyebab pertama kematian neonatus di bawah umur 5 tahun pada tahun 2013 (36%). Diikuti oleh asfiksia neonatorum dengan trauma saat lahir pada urutan kedua (19%), serta kelainan kongenital (18%). 3 Tidak hanya itu, data yang didapatkan dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat menjelaskan bahwa pada tahun 2015 terdapat 4,019 bayi meninggal. Angka tersebut meningkat 82 orang dibanding tahun 2014 yang tercatat 3,937 kematian bayi. 1 Dari data yang telah dijabarkan diatas, Sustainable Development Goals (SDGs) yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mempunyai target pada tahun 2030, berhasil mencegah kematian neonatus dan anak dibawah umur 5 tahun, dengan seluruh negara yang bertujuan untuk menurunkan angka kematian 1
neonatus setidaknya paling rendah 12 per 1.000 kelahiran hidup dan angka kematian dibawah umur 5 tahun setidaknya paling rendah 25 per 1.000 kelahiran hidup. 2 Secara global, sekitar 25% dari semua kematian neonatus disebabkan oleh asfiksia neonatorum.4 Asfiksia pada bayi baru lahir (BBL) menjadi penyebab kematian 19% dari 5 juta kematian BBL setiap tahunnya. Di Indonesia juga, angka kejadian asfiksia di rumah sakit propinsi Jawa Barat adalah 25,2%, sedangkan angka kematian karena asfiksia di rumah sakit pusat rujukan propinsi di Indonesia adalah 41,94%. 5 Skor APGAR (Appearance, Pulse, Grimace, Activity, Respiration) menjelaskan kondisi dari bayi baru lahir secara langsung setelah bayi tersebut lahir dan diaplikasikan sebagai alat penilaian standar. Dan juga menyediakan mekanisme untuk merekam transisi dari fetus menuju ke neonatus. Skor APGAR berhubungan dengan banyak faktor, diantaranya adalah umur kehamilan, pengobatan pada maternal, resusitasi, dan organ jantung-paru-paru serta kondisi neurologis. 6 Tidak lupa biasanya akan dilakukan pemeriksaan pada bayi. Penilaian keadaan anak dilakukan menurut skor APGAR, yang dinilai dari tanda bunyi jantung bayi, usaha bernafas, tonus otot, reflex, dan juga warna. Setelah didapatkan angka penelitian dari masing-masing tanda, didapatkan kesimpulan, jika angka 0 menandakan anak dalam keadaan maut. Jika angka kurang dari 5, menandakan anak memerlukan pertolongan. Jika angka 7-10, menandakan keadaan bayi baik. Skor APGAR ditentukan setelah 1 menit dan 5 menit setelah lahir. 7 Beberapa faktor risiko dari asfiksia neonatorum adalah umur dari maternal, banyaknya pre-eklamsia, pemakaian obat diuretik dan adrenergik yang dilaporkan sebagai faktor resiko dari sang ibu. Faktor risiko dari intra partum adalah persalinan di rumah yang dibantu oleh perawat, letak sungsang, tali pusat yang prolaps, disproporsi sefalopelvis, dan demam. Faktor risiko dari fetus adalah oligohidromnion, cairan amnion pada mekonium, persalinan prematur, resusitasi 2
pada bayi baru lahir dan bayi berat lahir rendah. Sebagian besar dari beberapa faktor tersebut bisa teratasi dengan kualitas pre-natal care yang diberikan. 8 Sumber lain menjelaskan, faktor risiko intrapartum yang mempengaruhi kejadian asfiksia neonatorum antara lain, Sectio Caesarea atau SC darurat, kelainan dengan ekstraksi forsep atau vakum, letak sungsang atau presentasi abnormal, kelahiran kurang bulan, penggunaan anastesi umum, dan lain-lain. 5 Berdasarkan latar belakang inilah, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan berat ringannya asfiksia neonatorum dengan cara persalinan agar dapat menjadi wawasan mengenai asfiksia neonatorum bagi masyarakat dan mengurangi angka kematian bayi yang dikarenakan oleh seringnya kejadian asfiksia neonatorum. Begitu pula pengambilan data dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bogor karena lokasi pengambilan data dekat dengan lokasi peneliti agar lebih koorperatif dalam memberikan data dan mengkaji permasalahan tersebut. 1.2 Identifikasi Masalah 1. Bagaimana perbandingan persalinan pervaginam dengan SC pada banyak terjadinya asfiksia neonatorum di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bogor. 2. Apakah jenis persalinan berhubungan dengan tingkatan berat ringannya asfiksia neonatorum. 1.3 Maksud dan Tujuan 1.3.1 Maksud Penelitian Dapat melakukan pencegahan dalam peningkatan angka kematian bayi (AKB) agar program yang dilaksanakan oleh WHO dalam menurunkan AKB hingga tahun 2030 terlaksana dengan melakukan kajian ilmiah dan memberikan data 3
mengenai perbandingan persalinan pervaginam dan SC terhadap tingkatan asfiksia neonatorum di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bogor. 1.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan data dan hasil kajian ilmiah tentang perbandingan tingkatan asfiksia neonatorum pada persalinan pervaginam dan SC di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bogor yang dapat digunakan sebagai data bagi penelitian selanjutnya. 1.4 Manfaat Karya Tulis Ilmiah 1.4.1 Manfaat Akademis Hasil dari penelitian ini dapat memberi informasi mengenai tingkatan asfiksia neonatorum pada persalinan pervaginam dan SC dan bagaimana hubungan dari jenis persalinan dengan tingkat asfiksia neonatorum. 1.4.2 Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pemahaman masyarakat mengenai hubungan antara persalinan pervaginam dan SC terhadap berat ringannya asfiksia neonatorum sehingga diharapkan dapat menurunkan angka kematian bayi di masa depan. 1.5 Kerangka Penelitian dan Hipotesis Penelitian 1.5.1 Kerangka Pemikiran Persalinan bayi adalah sebuah periode kontraksi uterus yang regular sampai ekspulsi plasenta. Pada waktu sebelum persalinan, posisi janin pada jalan lahir nantinya penting agar dapat merancang rute dari persalinan tersebut. 9 4
Jika ibu sudah mengalami masa aktif, tetapi tidak dilatasi dari servik tidak progresif, kita akan membedakan kejadian tersebut dengan berapa ukuran pembukaan servik dari ibu sudah terbuka dan seberapa lamanya proses tersebut terjadi. Setelah itu, bisa dilakukan evaluasi penyebab dari lamanya proses dilatasi servik sang ibu. Jika, resiko disproporsi sefalopelvis sangat tinggi, akan disarankan untuk persalinan SC. Jika tidak didapatkan risiko tersebut, bisa memberikan Oxytocin kepada ibu dan lihat responnya. Jika respon baik, akan lanjutkan dengan persalinan pervaginam. Jika respon yang diberikan oleh sang ibu tidak baik, akan dianjurkan untuk persalinan SC. 10 Dari hasil penelitian Dewi, didapatkan bahwa persalinan SC dengan anestesi general memiliki risiko meningkatkan terjadinya asfiksia neonatorum. Begitu pula dengan sirkulasi uteroplasental sangat dipengaruhi oleh obat-obatan anastesi. Pada stadium induksi, obat-obat induksi memiliki mekanisme resistensi vaskuler sehingga aliran darah ke uteroplasenta menurun. Hal tersebut bisa menyebabkan hipoksia pada janin. 11 1.5.2 Hipotesis Penelitian 1. Angka kejadian asfiksia neonatorum pada jenis persalinan SC lebih besar dibandingkan pada jenis persalinan pervaginam di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bogor. 2. Didapatkan adanya perbedaan antara tingkatan asfiksia neonatorum dengan jenis persalinan pervaginam dan persalinan SC. 5