BAB I PENDAHULUAN. dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan. Melalui sekolah, siswa dapat belajar

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu cara mencerdaskan kehidupan bangsa adalah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu faktor yang menentukan perkembangan suatu bangsa ke arah

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tiga tahun yang lalu, WHO sebagai organisasi kesehatan dunia telah

BAB I PENDAHULUAN. dalam pemenuhan kebutuhan (

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu cara untuk mengembangkan diri adalah melalui dunia

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia dalam hidupnya tidak terlepas dari proses pembelajaran.

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi merupakan suatu pengaturan individu yang sengaja dibentuk untuk

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi dalam dunia medis, telah membawa banyak

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Tinggi Theologia adalah suatu lembaga pendidikan setingkat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam memasuki era globalisasi ini, negara Indonesia dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. Individu mulai mengenal orang lain di lingkungannya selain keluarga,

BAB I PENDAHULUAN. yang cacat, termasuk mereka dengan kecacatan yang berat di kelas pendidikan umum,

ABSTRAK Pearson Alpha Cronbach

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, diantaranya dalam bidang pendidikan seperti tuntutan nilai pelajaran

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut H.Dadang Hawari, permasalahan pengkonsumsian alkohol. kesehatan jiwa maupun psikososial (ekonomi, politik, sosial-budaya,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman yang maju mengikuti pertumbuhan ilmu

BAB I PENDAHULUAN. Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan

BAB 1 PENDAHULUAN. Menengah Pertama individu diberikan pengetahuan secara umum, sedangkan pada

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang unik dan terus mengalami perkembangan di

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pendidikan formal merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia dari masa ke

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah salah satu bentuk pendidikan formal yang

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial; mereka tidak dapat hidup sendiri dan

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya, menurut beberapa tokoh psikologi Subjective Well Being

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu dalam hidupnya tidak terlepas dari proses belajar. Individu

BAB I PENDAHULUAN. bentuk percakapan yang baik, tingkah laku yang baik, sopan santun yang baik

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia diharapkan memiliki kemampuan untuk beradaptasi

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan merupakan salah satu pondasi dasar suatu bangsa, sehingga pendidikan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. Pembinaan Masyarakat Kristen (BIMAS Kristen, 2010) Departemen Agama Propinsi

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan negara di segala bidang. Agar mendapatkan manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. perilaku yang diinginkan. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan dapat dilaksanakan dengan sebaikbaiknya

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang, baik di bidang ekonomi, politik, hukum dan tata kehidupan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan adanya globalisasi yang berpengaruh pada bidang-bidang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Guru berperan penting dalam proses pendidikan anak di sekolah, bagaimana

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap orang ingin berhasil dalam hidupnya dan semua orang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan. Remaja merupakan generasi penerus yang diharapkan dapat. memiliki kemandirian yang tinggi di dalam hidupnya.

LAMPIRAN. Lampiran 1

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya maupun mengenai diri mereka sendiri. dirinya sendiri dan pada late childhood semakin berkembang pesat.

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan dan membentuk

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses yang melibatkan penguasaan suatu kemampuan, keterampilan, serta

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lia Liana Iskandar, 2013

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata motivasi berasal dari bahasa Latin yaitu movere, yang berarti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Motivasi Berprestasi Pada Atlet Sepak Bola. Menurut McClelland (dalam Sutrisno, 2009), motivasi berprestasi yaitu

B A B PENDAHULUAN. Setiap manusia yang lahir ke dunia menginginkan sebuah kehidupan yang

Abstrak. i UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperoleh pengetahuan atau menambah wawasan. Penyelenggaraan. melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. dan pendidikan tinggi ( Mengenyam pendidikan pada

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan perilaku maupun sikap yang diinginkan. Pendidikan dapat

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan elemen penting bagi pembangunan bangsa. Pendidikan menurut UU No. 20 tahun 2003, merupakan usaha sadar dan

BAB I PENDAHULUAN. menyelesaikan seluruh mata kuliah yang diwajibkan dan tugas akhir yang biasa

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk membantu individu

I. PENDAHULUAN. Sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan formal, yang masih

BAB I PENDAHULUAN. Persaingan di era globalisasi sangat menuntut sumber daya manusia yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam perkembangan remaja dalam pendidikan formal seperti di sekolah,

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan suatu masa peralihan dari masa kanak-kanak

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

BAB I PENDAHULUAN. dengan keluarga utuh serta mendapatkan kasih sayang serta bimbingan dari orang tua.

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan dari proses pembelajaran di sekolah tersebut. Pendidikan dapat

BAB I PENDAHULUAN. Pada era gobalisasi ini, perkembangan masyarakat di berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. dalam buku Etika Profesi Pendidikan). Pendidikan di Sekolah Dasar merupakan jenjang

BAB II LANDASAN TEORI. Bab ini menguraikan definisi dan teori-teori yang dijadikan landasan berpikir

BAB I PENDAHULUAN. Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan

BAB I PENDAHULUAN. daya yang terpenting adalah manusia. Sejalan dengan tuntutan dan harapan jaman

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan sumber daya yang memiliki potensi untuk dapat

BAB I PENDAHULUAN. Pendukung Pendidikan Khusus untuk Siswa Cerdas/Berbakat Istimewa, terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya

BAB I PENDAHULUAN. terpenting dalam suatu perkembangan bangsa. Oleh karena itu, perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pendidikan sangat penting. Hal ini disebabkan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. mencerdaskan kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Sistem pendidikan nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi dewasa ini pada akhirnya menuntut semakin

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah salah satu bidang kehidupan yang dirasakan penting

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Beberapa tahun terakhir, beberapa sekolah di Daerah Istimewa Yogyakarta mulai

Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu terlahir dengan memiliki kapasitas untuk belajar yang

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan perilaku yang diinginkan. Sekolah sebagai lembaga formal merupakan sarana dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan. Melalui sekolah, siswa dapat belajar dan melatih kemampuan akademis, meningkatkan kedisiplinan dan tanggung jawab, membangun jiwa sosial dan jaringan pertemanan, serta mengembangkan diri dan berkreativitas. Pemerintah gencar menyanangkan program wajib belajar 12 tahun, yaitu sampai tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), sehingga banyak lembaga pendidikan taraf SMA meningkatkan kualitas mereka demi menarik minat siswa. Salah satunya adalah SMAN X di kota Bandung. SMAN X ini menyediakan fasilitas yang cukup menunjang kegiatan pembelajaran, misalnya memiliki laboratorium dan perpustakaan. Selain itu, SMAN X Bandung juga memiliki kegiatan ekstrakurikuler yang cukup beragam, seperti basket, karate, cheerleader, futsal, taekwondo, PMR, dan science club yang memungkinkan siswa menjadi aktif dan mengukir prestasi di luar bidang akademik. SMAN X Bandung memiliki 3 tingkatan kelas, yaitu kelas X, XI, dan XII, setiap tingkat kelas memiliki masing-masing 9 kelas. Setiap tingkat kelas memiliki aktivitas belajar masing-masing. Siswa kelas X difokuskan pada proses adaptasi terhadap lingkungan sekolah dan kegiatan pembelajaran di sekolah 1

2 tersebut. Maka dari itu, sekolah mengadakan MOS (Masa Orientasi Siswa) selama seminggu kepada siswa kelas X. Sementara itu, siswa kelas XI difokuskan pada pelajaran yang sudah dispesifikkan. Di kelas XI, siswa sudah memilih jurusan yang akan ditekuninya hingga lulus SMA. Selain itu, beberapa siswa kelas XI yang memiliki minat dan melibatkan diri pada organisasi di sekolah mulai menduduki posisi-posisi inti (misalnya Ketua, Sekretaris, dan Bendahara OSIS). Pada siswa kelas XII difokuskan pada Ujian Nasional. Jadi para siswa kelas XII tidak lagi terlibat dalam kegiatan organisasi sekolah dan kegiatan ekstrakulikuler. Siswa kelas XI memiliki tanggung jawab yang lebih besar bila dibandingkan dengan siswa kelas X. Di kelas XI, mata pelajaran lebih spesifik sesuai dengan jurusan (IPA, IPS, Bahasa), tugas yang diberikan lebih banyak dan sistem penilaian dari guru semakin ketat. Siswa kelas XI harus kembali beradaptasi dengan proses pembelajaran dan juga terhadap teman-teman sekelas yang baru. Penjurusan ini diharapkan dapat membantu siswa untuk lebih fokus pada pelajaran-pelajaran tertentu yang sesuai dengan jurusan yang nantinya akan diujikan pada ujian akhir. Jadi awal persiapan untuk mengikuti ujian akhir nasional secara perlahan mulai dibentuk dari siswa kelas XI, yang bertujuan agar siswa lebih siap dalam menghadapi ujian akhir ketika di kelas XII nanti. Di luar jam pelajaran, siswa kelas XI memiliki kegiatan lain seperti mengikuti organisasi dan kegiatan ekstrakulikuler sehingga siswa harus dapat membagi waktunya dengan baik. Walaupun memiliki banyak kegiatan, siswa kelas XI harus tetap menjalankan kewajiban utamanya sebagai seorang siswa, yaitu belajar. Dengan

3 belajar siswa diarahkan untuk mempersiapkan masa depannya. Semakin giat siswa belajar maka semakin baik hasil yang diperolehnya. Belajar merupakan suatu proses adaptasi perilaku yang bersifat progresif. Ini berarti bahwa belajar akan mengarah pada keadaan yang lebih baik dari keadaan sebelumnya. Disamping itu, belajar juga membutuhkan proses yang berarti belajar membutuhkan waktu untuk mencapai suatu hasil (Skinner, 1958). Dalam proses belajar dibutuhkan motivasi belajar, yaitu keseluruhan daya penggerak psikis di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, menjamin kelangsungan kegiatan belajar dan memberikan arahan pada kegiatan belajar itu demi mencapai tujuan (Winkel, 1996). Motivasi dapat dimunculkan siswa kelas XI di SMAN X Bandung dengan menetapkan tujuannya bersekolah, menentukan nilai yang ingin diperolehnya, membagi waktu antara belajar dan bermain, mampu mempersiapkan diri dalam menghadapi ujian sehingga pada akhirnya siswa dapat meningkatkan prestasinya di sekolah. Siswa pun tetap dapat mengarahkan dirinya dalam belajar, serta mampu dan yakin dalam menghadapi setiap permasalahan yang dijumpai sehingga tetap dapat mencapai hasil belajar yang optimal. Bagaimana siswa dapat mengatur dan mengarahkan perilakunya untuk mencapai hasil belajar yang optimal disebut sebagai Self-Regulation Akademik (Deci & Ryan 2001). Self-regulation Akademik terdiri atas empat tipe yaitu, External Regulation dan Introjected Regulation (merupakan tipe regulasi dari Motivasi Ekstrinsik), Identified Regulation, dan Intrinsic Regulation (merupakan tipe regulasi dari Motivasi Intrinsik) (Deci, 2001).

4 Berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 25 orang siswa kelas XI SMAN X Bandung, sebanyak 68% siswa masih memiliki motivasi ekstrinsik. Menurut Deci dan Ryan (1985), individu yang memiliki motivasi ekstrinsik berarti melakukan sesuatu karena dorongan dari luar dirinya yang bersifat sebagai bantuan. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari wawancara, siswa mengatakan bahwa mereka tidak memiliki jadwal belajar yang teratur di rumah karena kurangnya pengawasan dari orang tua, mereka jarang mengerjakan PR dari guru karena tidak ada hukuman jika tidak mengerjakannya, mereka pun cenderung mengabaikan tugas di kelas apabila guru tidak mengawasi dan akan melihat pekerjaan temannya jika tugas tersebut harus dikumpulkan. Terdapat dua tipe dalam motivasi ekstrinsik, yang pertama tipe External Regulation, yaitu siswa melakukan kegiatan belajar untuk menghindari hukuman (punishment) ataupun ingin mendapatkan reward dari lingkungannya. Tipe berikutnya, Introjected Regulation mengarah pada siswa yang melakukan kegiatan belajar untuk menghindari rasa bersalah dan malu pada dirinya sendiri atau pada orang-orang di lingkungannya. Perilaku yang muncul pada siswa yaitu, siswa membaca buku pelajaran pada saat menjelang ujian untuk menghindari rasa bersalah apabila tidak dapat menjawab soal-soal yang diberikan dengan baik, setidaknya ia tidak mengabaikan kewajibannya. Siswa yang termotivasi secara ekstrinsik akan mengalami kesulitan jika dihadapkan pada tantangan-tantangan akademik, karena siswa melakukan kegiatan belajarnya untuk nilai instrumental (menghindari punishment dan mendapat reward) bukan karena menyukai kegiatan belajar itu

5 (http://www.unco.edu/cebs/psychology/kevinpugh/motivation_project/resources/ ryan_deci00.pdf). Ketika siswa mengaitkan perilaku belajarnya dengan konsekuensi eksternal (reward dan punishment) maka mereka akan mengurangi ketertarikan pada kegiatan belajar. Mereka belajar hanya untuk mengejar reward yang dijanjikan bukan karena mereka memang menyukai kegiatan belajar, apabila reward dan punishment dihilangkan maka minat siswa akan kegiatan belajar juga menurun dan ini akan berdampak pada prestasinya di sekolah. Sementara itu, sebanyak 32% siswa kelas XI SMAN X Bandung yang disurvei telah termotivasi secara intrinsik. Individu yang memiliki motivasi intrinsik melakukan suatu kegiatan karena adanya kepuasan dan kenikmatan dalam melakukan kegiatan tersebut (Deci, 1975; Deci & Ryan, 2001). Dari hasil wawancara, siswa kelas XI di SMAN X Bandung ini mengatakan bahwa mereka memiliki jadwal belajar yang teratur di rumah dan selalu belajar walaupun tidak diawasi, selalu mengerjakan PR dari guru dan apabila mereka mengalami kesulitan maka mereka membawa PR tersebut ke sekolah kemudian bertanya cara penyelesaian pada teman ataupun guru yang bersangkutan. Di kelas, mereka juga berusaha untuk fokus ketika guru menerangkan, serta mengerjakan tugas walaupun tidak ada yang mengawasi. Pada motivasi intrinsik terdapat dua tipe self-regulation akademik. Tipe pertama Identified Regulation, yaitu siswa melakukan kegiatan belajar karena dapat mengidentifikasikan nilai dari perilaku belajar tersebut. Pada tipe yang kedua, yaitu Intrinsic Regulation, siswa telah dapat mengintegrasikan nilai-nilai dari perilaku belajar serta menyadari bahwa perilaku tersebut didasari atas

6 kemauan dan keinginannya sendiri. Misalnya, siswa melakukan kegiatan belajar, mengerjakan tugas-tugas sekolah, dan mentaati peraturan yang berlaku karena didasari keinginannya sendiri tanpa paksaan dari lingkungan serta kesenangannya melakukan kegiatan tersebut. Siswa yang termotivasi secara intrinsik akan lebih siap dalam menghadapi tantangan-tantangan akademik serta dapat mencari pemecahan dari permasalahan yang dihadapinya. Hal ini disebabkan karena motivasi intrinsik mengacu pada kualitas belajar yang tinggi dan kreativitas siswa (http://www.unco.edu/cebs/psychology/kevinpugh/motivation_project/resources/ ryan_deci00.pdf). Siswa yang termotivasi secara intrinsik melakukan kegiatan belajar karena memang menyukai kegiatan belajar bukan karena paksaan dari lingkungan serta imbalan yang akan didapatkannya jika melakukan kegiatan itu. Siswa akan tetap melakukan kegiatan belajar tanpa harus didorong oleh lingkungan. Berdasarkan survei yang dilakukan, dapat diketahui bahwa siswa kelas XI di SMAN X Bandung menggunakan tipe Self-regulation akademik yang berbeda-beda. Siswa yang harus selalu diingatkan dan diawasi dalam melakukan kegiatan belajar, serta mengharapkan imbalan (hadiah dan pujian) merupakan siswa yang menggunakan tipe regulasi ekstrinsik. Sementara siswa yang melakukan kegiatan belajar karena adanya keinginan dari dalam diri serta menikmati kegiatan tersebut termasuk dalam kelompok siswa yang menggunakan tipe regulasi yang intrinsik. Perbedaan inilah yang menyebabkan peneliti tertarik

7 untuk mengetahui gambaran tipe Self-Regulation Akademik yang digunakan oleh siswa kelas XI di SMAN X Bandung. 1.2 Identifikasi Masalah Seperti apakah tipe Self-Regulation Akademik pada siswa kelas XI di SMAN X Bandung. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai tipe Self-Regulation Akademik pada siswa kelas XI di SMAN X Bandung. 1.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tipe dari Self-Regulation Akademik serta kaitannya dengan faktor-faktor yang mempengaruhi tipe Self- Regulation Akademik pada siswa kelas XI di SMAN X Bandung. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis Untuk memberi informasi bagi disiplin ilmu psikologi, khususnya psikologi pendidikan yang berkaitan dengan Self-Regulation Akademik. Memberi rujukan bagi penelitian selanjutnya mengenai Self-Regulation Akademik.

8 1.4.2 Kegunaan Praktis Memberi informasi kepada kepala sekolah dan staff pengajar SMAN X Bandung mengenai Self-Regulation Akademik siswa kelas XI di SMAN X Bandung, agar kepala sekolah dan staff pengajar mengetahui dan memahami seperti apa regulasi diri siswa kelas XI dalam bidang akademik kemudian mengarahkan para siswa untuk mengembangkan tipe Self-Regulation yang intrinsik khususnya pada tipe Intrinsic Regulation guna mencapai hasil belajar optimal. 1.5 Kerangka Pikir Remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Menurut Santrock (2003), masa remaja adalah saat meningkatnya kemandirian. Kemandirian adalah kemampuan untuk menguasai, mengatur, atau mengelola diri sendiri. Remaja yang memiliki kemandirian ditandai oleh kemampuannya untuk tidak tergantung secara emosional terhadap orang lain, mampu mengambil keputusan secara mandiri dan konsekuen terhadap keputusan tersebut, serta mengenal prinsip tentang benar dan salah juga penting dan tidak penting (Steinberg, 1995). Apabila dilihat dari segi usia, siswa kelas XI di SMAN X Bandung saat ini berada di tahap perkembangan remaja akhir, yaitu dalam rentang usia 15-22 tahun (Santrock, 2003). Sebagai remaja, siswa kelas XI menunjukkan perkembangan kemandiriannya dengan memilih kegiatan yang akan dilakukan sesuai dengan kehendaknya sendiri, dan melakukan pertimbangan dalam pengambilan

9 keputusan. Dalam bidang akademik, siswa yang mandiri sudah menentukan tujuannya bersekolah dan dapat mengarahkan dirinya untuk mencapai tujuan itu secara otonom. Siswa menetapkan nilai yang akan diraihnya di kelas XI kemudian menyusun strategi belajar dan memotivasi dirinya untuk mencapai nilai itu. Siswa yang mandiri melakukan kegiatan belajar atas kemauan dari dalam dirinya dan tidak lagi didorong dan dikontrol oleh faktor eksternal, maka siswa ini termotivasi secara intrinsik. Sementara siswa yang belum mandiri masih membutuhkan dorongan dan kontrol dari faktor eksternal dalam kegiatan belajarnya, sehingga apabila kontrol ini hilang maka keinginan untuk belajar pun menurun bahkan hilang, yang berarti siswa ini termotivasi secara ekstrinsik. Siswa kelas XI juga membutuhkan self-regulation akademik dalam kegiatan belajarnya agar ia dapat mengatur dan mengarahkan perilakunya dalam belajar. Menurut Deci dan Ryan (2001), Self-regulation akademik adalah proses yang dilakukan individu dalam mengatur dan mengarahkan perilakunya untuk mencapai hasil belajar yang optimal. Dalam Self-Regulation Akademik, terdapat dua motivasi, yaitu ekstrinsik dan intrinsik. Deci dan Ryan juga menjelaskan tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi motivasi siswa yaitu, faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan kebutuhan (need), yang di dalamnya terdapat tiga kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh siswa, yaitu kebutuhan kompetensi, otonomi, dan berelasi. Kebutuhan kompetensi merujuk pada kebutuhan individu untuk dapat mengekspresikan kapasitas yang dimilikinya dan merasa efektif dalam lingkungannya (White dalam Deci & Ryan, 1959). Kebutuhan ini akan semakin

10 terpuaskan ketika individu mendapatkan feedback positif dari lingkungan, seperti mendapat pujian dari guru dan orang tua. Misalnya siswa kelas XI di SMAN X Bandung mendapatkan nilai yang tinggi pada sebuah mata pelajaran dan mendapat pujian dari teman-teman, guru, dan orang tuanya. Hal ini menimbulkan perasaan positif pada siswa itu sehingga rasa percaya dirinya meningkat yang selanjutnya akan memotivasinya untuk meningkatkan keterampilan serta kapasitas yang dimilikinya dan selanjutnya mendorong siswa untuk mengembangkan tipe regulasi instrinsik. Kebutuhan otonomi merupakan kebutuhan individu untuk bertindak sesuai dengan minat yang ada di dalam dirinya serta mampu membuat keputusan untuk mengatur tingkah lakunya (decharms dalam Deci & Ryan, 1968). Apabila kebutuhan otonomi ini terpenuhi maka siswa akan semakin termotivasi untuk mengarahkan perilakunya kepada tujuan yang telah ditetapkan dan mengarahkan siswa pada tipe self regulation yang intrinsik. Pada siswa kelas XI di SMAN X Bandung misalnya, seorang anak mengemukakan minatnya pada orang tua, kemudian orang tuanya memberikan dukungan dan ikut serta mengarahkan minat itu maka anak itu akan lebih termotivasi untuk melakukan sebuah kegiatan karena memang menyukai kegiatan tersebut bukan karena mengharapkan reward. Kebutuhan yang terakhir adalah kebutuhan berelasi yang merupakan kebutuhan individu untuk berinteraksi dengan orang lain, merasa terhubungkan dan merasa peduli serta dipedulikan oleh orang lain (Baumiester & Leary dalam Deci & Ryan, 1995). Di lingkungan sekolah, siswa kelas XI di SMAN X Bandung memiliki kelompoknya sendiri yang dipilih untuk menjadi teman

11 dekatnya. Dalam hubungan ini mereka dapat saling berbagi perasaan secara utuh pada kelompoknya dan lebih erat secara emosional karena merasa diterima oleh kelompoknya. Pada saat siswa mengalami kesulitan dalam memahami pelajaran maka ia dapat meminta bantuan pada teman-teman yang ada di kelompoknya sehingga siswa memiliki motivasi untuk mencapai tujuannya dalam meraih prestasi yang optimal. Maka dari itu dengan terpenuhinya kebutuhan berelasi maka motivasi siswa kelas XI pun semakin tinggi. Tetapi kondisi ini terkadang membuat siswa memiliki ketergantungan yang besar pada kelompoknya sehingga menjadi tidak mandiri dan tidak dapat menetapkan tujuan serta mengambil keputusan sendiri. Di sisi lain, apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi maka siswa menjadi tidak percaya diri, merasa dikucilkan bahkan ditolak, yang pada akhirnya menyebabkan siswa menarik diri dari lingkungannya. Selanjutnya hal ini akan menghambat siswa untuk bertanya atau mencari dukungan dari lingkungan apabila mengalami kesulitan di sekolah. Sebaiknya, kebutuhan berelasi ini terpenuhi secara seimbang, yaitu siswa dapat berinteraksi secara timbal balik dengan orang-orang di lingkungannya namun tidak menjadi ketergantungan dan tetap mandiri. Siswa kelas XI termotivasi oleh hasrat untuk memenuhi ketiga kebutuhan itu. Apabila individu mempersepsi suatu tindakan tertentu akan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya maka individu tersebut akan semakin teregulasi secara intrinsik dan melakukan perilaku yang menetap (Ryan & Powelson, 1991; Deci & Ryan, 2000). Ketika ketiga kebutuhan ini didukung dan terpuaskan maka individu akan lebih memotivasi diri dan merasa sejahtera, sebaliknya jika ketiga kebutuhan

12 ini gagal dipenuhi akan menyebabkan berkurangnya motivasi dan kesejahteraan diri (Deci & Ryan, 2006). Selanjutnya faktor eksternal yang dapat mempengaruhi motivasi siswa kelas XI adalah persepsi siswa terhadap lingkungan sosial (social context), yaitu guru, orang tua, dan teman. Persepsi siswa kelas XI di SMAN X Bandung terhadap lingkungannya dapat berupa informational dan ada kalanya siswa memaknai lingkungannya sebagai controlling. Lingkungan informational merupakan lingkungan yang memberi dukungan dan feedback positif pada individu tentang sebaik apa individu tersebut mengerjakan sebuah tugas. Berbeda halnya dengan lingkungan yang controlling, lingkungan ini membuat individu seakan-akan tidak dapat secara bebas memilih aktivitasnya (Deci & Ryan, 1985). Lingkungan yang controlling memiliki efek yang bertolak belakang tidak hanya dengan motivasi intrinsik namun juga pada faktor-faktor yang berkaitan dengan kesejahteraan pribadi (Deci, Connell, & Ryan, 1989). Sedangkan di sisi lain Deci dan Ryan (1995) menyadari perbedaan seseorang dalam kecenderungan untuk menginterpretasi faktor lingkungan, dan terdapat bukti bahwa lingkungan yang informational membuat seseorang lebih terorientasi secara intrinsik. Lingkungan sosial yang pertama yaitu guru. Menurut Erik Erikson (Dalam Santrock, 2003), guru yang baik dapat menghasilkan perasaan mampu (sense of industry), dan bukan rasa rendah diri dalam diri siswa-siswanya. Deci dan Ryan (2001) mengungkapkan bahwa guru yang mendukung otonomi siswa mengarahkan siswa untuk mengembangkan motivasi intrinsik. Perilaku yang ditampilkan guru seperti mendengarkan pendapat siswa, tidak memberikan kritik,

13 tidak memaksa siswa untuk melakukan kehendak guru, menghargai usaha yang dilakukan siswa, serta memberi siswa kesempatan untuk mengerjakan tugas dengan cara mereka sendiri. Sementara itu, guru yang memberikan kontrol pada siswa mengarahkan siswa untuk mengembangkan motivasi ekstrinsik. Perilaku yang muncul yaitu, guru memerintahkan siswa untuk mengerjakan tugas sesuai dengan keinginan guru, menentukan dan memberikan jawaban pada tugas yang dikerjakan siswa tanpa memberi kesempatan pada siswa untuk mengerjakan terlebih dahulu, serta memberikan kritik pada siswa bila tidak menunjukkan perilaku yang diinginkan. Lingkungan sosial yang kedua, yaitu orang tua. Menurut Grolnick & Ryan (Dalam Deci & Ryan, 2001) orang tua yang mendukung otonomi anak akan menunjukkan perilaku seperti mendorong anak untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri, menerima sudut pandang dan pendapat anak, serta meminimalisir kontrol dan tekanan pada anak. Orang tua yang mendukung otonomi anak, akan mengarahkan anak mengembangkan motivasi intrinsik. Sebaliknya, orang tua yang menunjukkan perilaku seperti menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapi anaknya tanpa memberi kesempatan pada anak untuk mengemukakan pendapat, serta memegang kendali dalam pembicaraan dan juga mengarahkan anak dalam berbicara sehingga komunikasi yang terjalin hanya satu arah merupakan orang tua yang bersifat controlling sehingga mendorong anak untuk mengembangkan motivasi ekstrinsik. Anak yang termotivasi secara ekstrinsik menjadi tidak mandiri dan selalu mencari dukungan dari lingkungan.

14 Lingkungan sosial yang ketiga adalah teman. Teman sebaya merupakan sumber status, persahabatan dan rasa saling memiliki yang penting dalam situasi sekolah. Kelompok teman sebaya juga merupakan komunitas belajar di mana peran-peran sosial dan standar yang berkitan dengan kerja dan prestasi dibentuk (Santrock, 2003). Teman yang mendukung otonomi siswa menampilkan perilaku seperti memberi kesempatan pada siswa untuk mengemukakan pendapatnya dan tidak memaksakan siswa itu apabila memiliki pendapat yang berbeda dari kelompoknya. Siswa yang mendapat dukungan dari lingkungan teman-temannya akan mengembangkan motivasi intrinsik, ia merasa nyaman dan tidak tertekan ketika berada dalam lingkungan teman-temannya. Sementara itu, teman yang memaksakan kehendaknya untuk selalu diikuti dan tidak memberi kesempatan pada siswa untuk mengemukakan pendapat merupakan teman yang tidak mendukung otonomi siswa. Hal ini menyebabkan siswa akan mengembangkan motivasi ekstrinsik karena selalu dikontrol dan dituntut untuk memenuhi keinginan teman-temannya. Masing-masing motivasi di dalam Self-Regulation Akademik memiliki dua tipe regulasi, yaitu External Regulation dan Introjected Regulation yang merupakan tipe dari Motivasi Ekstrinsik, serta Identified Regulation dan Intrinsic Regulation yang merupakan tipe dari Motivasi Intrinsik (Deci dan Ryan, 2001). Pada tipe External Regulation, perilaku individu tergantung dan dikontrol oleh tuntutan eksternal untuk mendapatkan reward atau menghindari punishment (Deci dan Ryan, 2001). Apabila dikaitkan dengan siswa kelas XI SMAN X Bandung maka perilaku yang muncul seperti menjawab pertanyaan guru di kelas agar

15 memperoleh nilai tambahan, mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan oleh gurunya agar terhindar dari hukuman, dan mendapatkan hadiah dari orang tua karena memperoleh nilai yang baik. Pada tipe Introjected Regulation, perilaku individu dikontrol untuk menghindari perasaan malu atau perasaan bersalah ketika tidak dapat memenuhi tuntutan lingkungannya (Deci dan Ryan, 2001). Misalnya, ketika siswa gagal dalam ujian sehingga tidak naik kelas, maka merasa malu pada teman-teman, guru, dan orang tuanya, serta merasa bersalah karena tidak belajar secara optimal. Selanjutnya untuk tipe Identified Regulation, perilaku dilakukan individu karena bernilai secara pribadi bagi dirinya. Di sini individua sudah dapat menetapkan tujuan yang penting bagi dirinya (Deci dan Ryan, 2001). Pada siswa kelas XI hal ini muncul dalam perilaku seperti belajar secara teratur, mengurangi waktu bermain dan berkumpul bersama teman-teman, mengulang pelajaran yang telah dipelajari di sekolah dan selalu mengerjakan PR yang diberikan oleh guru. Siswa melakukan kegiatan belajar karena merasa bahwa belajar merupakan hal penting baginya untuk dapat meraih prestasi yang optimal. Pada tipe Intrinsic Regulation, perilaku dilakukan individu berdasarkan atas kemauan dan keinginannya sendiri serta diikuti dengan perasaan nyaman dan puas dari dalam dirinya (Deci dan Ryan, 2001). Terlihat ketika siswa meraih prestasi yang optimal, di mana hal tersebut berdasarkan usahanya sendiri dan merupakan keinginan dari dalam dirinya, maka ia akan merasa nyaman dan puas dengan keberhasilannya tersebut.

16 Keempat tipe Self-Regulation Akademik merupakan suatu proses kontinum, dimulai dari tipe regulasi yang cenderung ekstrinsik sampai pada tipe regulasi yang cenderung intrinsik, yaitu External Regulation,Introjected Regulation, Identified Regulation dan Intrinsic Regulation (Deci dan Ryan, 2001). Perbedaannya adalah pada derajat internalisasi. Internalisasi merupakan suatu proses perubahan dari gaya regulasi yang ekstrinsik ke intrinsik. Semakin individu menginternalisasikan aturan dan nilai-nilai yang ada di lingkungan ke dalam dirinya, maka individu tersebut akan semakin teregulasi secara intrinsik (Deci & Ryan, 2001). Keempat tipe ini dimiliki oleh setiap siswa, yang membedakannya adalah tipe self-regulation akademik mana yang paling mendominasi siswa dalam mengatur perilaku belajarnya.

17

18 1.6 Asumsi Siswa kelas XI di SMAN X Bandung membutuhkan motivasi untuk mencapai hasil belajar optimal. Motivasi siswa kelas XI di SMAN X Bandung dapat dibedakan menjadi dua, yaitu motivasi ekstrinsik dan intrinsik. Siswa kelas XI di SMAN X Bandung memiliki tipe Self-Regulation Akademik yang berbeda-beda. Tipe Self-Regulation Akademik siswa dapat dibedakan atas External Regulation, Introjected Regulation, Identified Regulation, dan Intrinsic Regulation. Siswa kelas XI di SMAN X Bandung memiliki pemenuhan kebutuhan dasar (otonomi, relasi, dan kompetensi) yang berbeda-beda. Semakin banyak kebutuhan yang terpenuhi maka semakin mengarahkan siswa pada regulasi intrinsik.