7 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seluruh komponen tubuh tidak dapat berkembang lagi setelah mencapai usia dewasa, karena terjadi penurunan akibat proses penuaan. Penuaan sering kali dianggap suatu takdir yang tidak dapat diubah. Ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang menjadi tua diantaranya faktor internal dan eksternal. Beberapa faktor internal meliputi radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun dan gen. Faktor eksternal meliputi gaya hidup yang tidak sehat, diet yang tidak sehat, kebiasaan yang salah, polusi lingkungan, stres, dan latihan fisik yang tidak tepat. Latihan fisik adalah bagian dari aktivitas fisik yang terencana, terstruktur dan berulang. Aktivitas fisik dalam kehidupan sehari-hari dapat dikategorikan kedalam pekerjaan, olahraga, pekerjaan rumah tangga dan aktivitas-aktivitas lainnya. Olahraga merupakan hal yang penting dalam kehidupan kita, karena olahraga dapat mempertahankan dan meningkatkan kesehatan tubuh serta dapat berdampak kepada kinerja fisik tubuh dan dapat juga mencegah terjadinya penuaan dini (Adiputra, 2008). Olahraga yang baik adalah olah raga yang dilakukan secara teratur dengan memperhatikan kemampuan tubuh dan sesuai dengan takaran berolah raga. Begitu pula sebaliknya olahraga yang dilakukan secara berlebih akan berdampak pada
8 ketidakseimbangan antara pelatihan fisik dengan waktu pemulihan, hal ini dapat berefek buruk pada kondisi homeostasis dalam tubuh yang akhirnya berpengaruh juga terhadap sistem kerja organ tubuh (Adiputra, 2008). Selain itu olahraga berat atau olahraga yang melampaui batas kelelahan dapat menyebabkan peningkatan laju pembentukan radikal bebas, yang dapat menyebabkan stres oksidatif (Cooper, 2001). Stres oksidatif adalah suatu keadaan dimana radikal bebas diproduksi berlebihan dibandingkan jumlah antioksidan untuk menetralisirnya. Stres oksidatif inilah yang menyebabkan gangguan fungsi fisiologis, peningkatan risiko terjadinya penyakit dan penurunan masa hidup (Kregel dan Zhang, 2007). Apabila kondisi tersebut terjadi dalam waktu berkepanjangan, maka akan terjadi penumpukan hasil kerusakan oksidatif di dalam sel dan jaringan yang akan menyebabkan sel atau jaringan tersebut kehilangan fungsinya dan akhirnya mati (Bagiada, 2001). Pelatihan fisik memulai respon fisiologis dan biokimia yang kompleks. Setiap gerakan otot yang cepat dimulai dengan metabolisme anaerobik. Tenaganya berasal dari pemecahan Adenosin Triphosphate (ATP) dengan hasil Adenosin Diphosphate (ADP) dan berlangsung di mitokondria. Pelepasan energi disertai dengan meningkatnya aliran elektron dalam rangkaian respirasi mitokondria sehingga terbentuk oksigen reaktif superoksida (O 2 -), hydrogen peroksida (H 2 O 2 ) dan upaya pembentukan ATP. Pelatihan cenderung mengosongkan ATP dan meningkatkan jumlah ADP yang tentunya hal itu merangsang ADP katabolisme dan konversi Xanthine Dehydrogenase menjadi Xanthine Oxidase. Xanthine Oxidase inilah akan membentuk radikal bebas (O 2 -). Terbentuknya radikal bebas menyebabkan
9 ketidakseimbangan yang disebut sebagai stres oksidatif dengan hasil akhir rusaknya lemak, protein dan Deoxyribo Nucleid Acid (DNA) (Hernamawati, 2009). Radikal bebas juga dapat menyebabkan gangguan pada spermatozoa sebesar 30 80 % dari kasus infertil (Tremellen, 2008). Radikal bebas juga dapat menyebabkan kerusakan DNA spermatozoa khususnya pada integritas DNA pada inti selanjutnya dapat menimbulkan kematian sel (Tremellen, 2008). Selain menyebabkan kerusakan DNA, juga menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid membran sel dan sitosol yang merusak membran dan organel, serta menyebabkan modifikasi protein teroksidasi. Peroksida lipid dapat menyebabkan ganggguan sintesis dan sekresi GnRH hipotalamus. Kegagalan ini akan menyebabkan kegagalan hipofisis anterior untuk melakukan sintesis dan sekresi FSH (Folicle Stimulating Hormon) maupun LH (Lutenizing Hormone). Selanjutnya akan diikuti oleh kegagalan sel Leydig mensintesis testosteron dan sel sertoli tidak mampu melakukan fungsinya sebagai nurse cell, sehingga pemberian latihan fisik yang berlebih dapat menyebabkan keabnormalan morfologi spermatozoa (Kumar et al., 2005). Pada tingkat molekuler, salah satu penyebab infertilitas adalah stres oksidatif (OS) karena produk Reactive Oxygen Spesies (ROS). Sumber ROS yang berasal dari faktor enzimatis (internal) di antaranya adalah pada sel leukosit. Pada kadar yang tinggi, ROS berpotensi menimbulkan efek toksik, sehingga dapat berpengaruh pada kualitas dan fungsi spermatozoa. Peroksidasi lipid pada membran untuk ion-ion spesifik. Hasil peroksidasi lipid dengan kadar yang tinggi merupakan tanda toksisitas pada membran sel, hal ini dapat mengganggu spermatogenesis, morfologi dan
10 motilitas sperma sehingga fungsi sperma menjadi cacat dan menyebabkan infertilitas (Hayati, 2011). Peningkatan kadar ROS akan menghasilkan stres oksidatif, akibat kadar ROS yang melebihi pertahanan antioksidan tubuh sehingga menyebabkan kerusakan sel, jaringan dan organ. Proses ini adalah hasil dari ketidakseimbangan antara produksi ROS, dimana terjadi peningkatan pembentukan ROS tanpa diimbangi oleh antioksidan dalam tubuh. Pembentukan ROS adalah proses fisiologi tubuh, namun apabila terjadi peningkatan yang berlebihan maka akan berpengaruh negatif terhadap tubuh. Tingginya kadar ROS pada sperma menyebabkan 40,88% pria mengalami infertilitas (Sikka, 2004). Beberapa cara untuk mengurangi radikal bebas yang timbul akibat aktivitas fisik berlebih antara lain dengan pemberian antioksidan dan istirahat. Antioksidan adalah senyawa yang mampu menangkal atau meredam dampak negatif oksidan dalam tubuh. Antioksidan dapat berupa enzim (misalnya superoksida dismutase atau SOD, katalase, dan glutation peroksidase, vitamin (misalnya vitamin A, E, C dan beta karoten), dan senyawa lain (misalnya flavonoid, albumin, bilirubin, seruloplasmin dan lain-lain). Antioksidan enzimatik merupakan metaloenzim yang aktivitasnya sangat tergantung pada adanya ion logam. Aktivitas SOD bergantung pada logam Fe, Cu, dan Mn, enzim katalase bergantung pada Fe) dan enzim glutation bergantung pada Se (selenium). Antioksidan enzimatik bekerja dengan cara mencegah terbentuknya senyawa radikal bebas baru (Winarsi, 2007).
11 Antioksidan lain yaitu antioksidan non enzimatik yang dapat berupa senyawa nutrisi maupun non nutrisi. Kedua antioksidan non enzimatik ini disebut juga antioksidan sekunder karena dapat diperoleh dari asupan bahan makanan, seperti vitamin C, E, A dan beta karoten. Glutation, asam urat, bilirubin, albumin dan flavonoid juga termasuk dalam kelompok ini. Senyawa-senyawa ini berfungsi menangkap senyawa oksidan serta mencegah terjadinya reaksi berantai (winarsi, 2007). Melatonin merupakan suatu neurohormon yang diproduksi kelenjar pineal, ternyata memiliki efek sebagai antioksidan. Dalam suatu percobaan in vivo, efek antioksidan melatonin lebih superior dibandingkan antioksidan klasik seperti vitamin C, E dan beta karoten. Selain itu tidak seperti antioksidan lain, melatonin tidak berubah menjadi pro-oksidan. Melatonin merupakan antioksidan yang paten karena sifatnya yang larut dalam lemak dan air sehingga dapat berdistribusi luas dalam tubuh. Melatonin dapat menurunkan terjadinya stres oksidatif melalui dua cara yaitu menetralisir radikal bebas seperti O 2 -, OH, H 2 O 2, ONOO-, 1O2, LOO, NO dan dengan meningkatkan aktivitas enzim antioksidan seperti SOD, GPx, CAT (Anisimov, 2006). Berdasarkan beberapa acuan hasil penelitian dan teori tersebut, maka timbul ide untuk melakukan penelitian mengenai pemberian melatonin menghambat penurunan jumlah spermatozoa yang memiliki morfologi normal pada mencit dewasa yang diberikan latihan fisik berlebih, karena sepengetahuan peneliti pemberian
12 melatonin terhadap morfologi spermatozoa mencit yang diberikan latihan fisik berlebih belum diteliti. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Apakah pemberian melatonin menghambat penurunan jumlah spermatozoa yang memiliki morfologi normal pada mencit dewasa yang diberikan latihan fisik berlebih? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : Untuk membuktikan pengaruh melatonin dalam menghambat penurunan jumlah spermatozoa yang memiliki morfologi normal pada mencit dewasa yang diberikan latihan fisik berlebih. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Menambah pengetahuan mengenai peranan melatonin dalam menghambat penurunan jumlah spermatozoa yang memiliki morfologi normal pada mencit dewasa yang diberikan latihan fisik berlebih.