UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1951 TENTANG MENAIKKAN JUMLAH MAKSIMUM PORTO DAN BEA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

dokumen-dokumen yang mirip
Presiden Republik Indonesia,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Presiden Republik Indonesia,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1959 TENTANG POS INTERNASIONAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1959 TENTANG POS INTERNASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1959 TENTANG POS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1959 TENTANG POS DALAM NEGERI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 4 TAHUN 1959 (4/1959) 9 MARET 1959 (JAKARTA) Sumber: LN 1959/12; TLN NO.

UNDANG-UNDANG DARURAT (UUDRT) NOMOR 42 TAHUN 1950 (42/1950) TENTANG BEA-BEA IMIGRASI Presiden Republik Indonesia

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1951 TENTANG PENIMBUNAN BARANG-BARANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG DARURAT (UUDRT) NOMOR 41 TAHUN 1950 (41/1950) TENTANG MENAIKAN BEA YANG DIKENAKAN UNTUK MEMPEROLEH DOKUMEN- DOKUMEN IMIGRASI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1957 TENTANG PERIZINAN PELAYARAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1959 TENTANG POS DALAM NEGERI

PENGENAAN TAMBAHAN OPSENTEN ATAS BENSIN DAN SEBAGAINYA (Undang-Undang Darurat Nomor 21 Tahun 1951 Tanggal 29 September 1951)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1946 TENTANG KEADAAN BAHAYA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Mengingat pula pasal 119 ayat (3) Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMUNGUTAN PAJAK VERPONDING ATAS TAHUN 1951 (Undang-Undang Darurat Nomor 14 Tahun 1951 Tanggal 10 September 1951) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

b.bahwa berhubung dengan itu "Postordonnantie 1935" perlu dicabut dan diganti dengan Undang-undang baru;

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1951 TENTANG PENGELUARAN SURAT PERBENDAHARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1952 TENTANG DAFTAR SUSUNAN PANGKAT DAN KENAIKAN PANGKAT PEGAWAI NEGERI SIPIL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1953 TENTANG

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1959 TENTANG PENGELUARAN PINJAMAN OBLIGASI BERHADIAN TAHUN 1959 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG (UU) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 36 TAHUN 1953 (36/1953) 18 DESEMBER 1953 (JAKARTA) Sumber: LN 1953/86; TLN NO.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1955 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PERJALANAN DINAS DALAM NEGERI BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

Mengingat : pasal 23 ayat (2) juncto pasal 22 ayat (1) Undang-undang Dasar;

UNDANG-UNDANG DARURAT (UUDRT) NOMOR 19 TAHUN 1950 (19/1950) TENTANG PERATURAN PENSIUN DAN ONDERSTAND KEPADA PARA ANGGOTA TENTARA ANGKATAN DARAT

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ORDONANSI PENGANGKUTAN UDARA (Luchtvervoer-ordonnantie).

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA (UUDRT) NOMOR 21 TAHUN 1951 (21/1951) TENTANG PENGENAAN TAMBAHAN OPSENTEN ATAS BENSIN DAN SEBAGAINYA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1985 TENTANG BEA METERAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UU 25/1964, PERUBAHAN DAN TAMBAHAN ORDONANSI ATURAN BEA METERAI 1921

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

STANDAR PENETAPAN HARGA INDONESIA Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1977 tanggal 26 April 1977 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA (UUDRT) NOMOR 17 TAHUN 1951 (17/1951) TENTANG PENIMBUNAN BARANG-BARANG. Presiden Republik Indonesia,

MATA UANG. INDISCE MUNTWET PENGHENTIAN. PENETAPAN SEBAGAI UNDANG-UNDANG.

Presiden Republik Indonesia Serikat,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1953 TENTANG BANK TABUNGAN POS. Presiden Republik Indonesia,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1975 TENTANG PENGURUSAN, PERTANGGUNGJAWABAN DAN PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH

NOMOR 13 TAHUN 1985 TENTANG BEA METERAI

UNDANG-UNDANG (UU) 1948 No. 21. (21/1948) Peraturan tentang menambah dan mengubah Undang - undang tahun 1947 No. 12, tentang Pajak Radio.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT,

Presiden Republik Indonesia, Mengingat: Pasal 97 ayat 1 jo. Pasal 89 dan Pasal 109 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia;

UNDANG-UNDANG DARURAT (UUDRT) NOMOR 22 TAHUN 1950 (22/1950) TENTANG PENURUNAN CUKAI TEMBAKAU PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1955 TENTANG PEMUNGUTAN SUMBANGAN DARI PABRIKAN-PABRIKAN ROKOK BAGI "BADAN URUSAN TEMBAKAU"

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1964 TENTANG PERUBAHAN DAN TAMBAHAN ORDONANSI ATURAN BEA METERAI 1921 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Presiden Republik Indonesia Serikat,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Indeks: SUMBANGAN. BADAN URUSAN TEMBAKAU. PABRIKAN- PABRIKAN ROKOK. PENETAPAN MENJADI UNDANG-UNDANG.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Keuangan Negara perlu diperkuat; b. bahwa atas beberapa jenis tembakau belum dikenakan cukai;

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1958 TENTANG PENGELUARAN UANG KERTAS PERBENDAHARAAN TAHUN 1958 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT

UU 2/1959, PENETAPAN UNDANG UNDANG DARURAT NO Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 2 TAHUN 1959 (2/1959)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa perlu diadakan peraturan untuk menentukan penggantian kerugian bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat;

Kampanye WALHI Sulsel 1

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1951 TENTANG TARIP UANG TERA. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1955 TENTANG PENGAWASAN TERHADAP URUSAN KREDIT. Presiden Republik Indonesia,

Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1975 Tentang : Pengangkutan Zat Radioaktip

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1954 TENTANG PENETAPAN PERATURAN ISTIRAHAT BURUH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1964 TENTANG PERUBAHAN DAN TAMBAHAN ATURAN BEA MATERAI 1921 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PERJALANAN DINAS DALAM NEGERI BUAT PEGAWAI NEGERI SIPIL. Pasal 1.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 12 TAHUN 1985 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1961 TENTANG PEMBERIAN TUGAS BELAJAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1956 TENTANG MENGADAKAN SUATU TARIP MINIMUM DAN MAKSIMUM DALAM TARIP BEA-MASUK *)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 1954 TENTANG PEMBERIAN TUNJANGAN ISTIMEWA KEPADA KELUARGA PEGAWAI YANG TEWAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 240 TAHUN 1961 TENTANG PENDIRIAN PERUSAHAAN NEGARA POS DAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Berita Resmi Pemerintah Daerah Kotapraja Yogyakarta Triwulan ke IV Tahun Nomor: 4 Peraturan Daerah Kotapraja Yogyakarta Tahun 1960

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1963 TENTANG DANA KESEJAHTERAAN PEGAWAI NEGERI

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1952 TENTANG DAFTAR PERNYATAAN KECAKAPAN PEGAWAI NEGERI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1950 TENTANG PERATURAN PERJALANAN DINAS DALAM NEGERI BUAT PEGAWAI NEGERI SIPIL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 83 TAHUN 1958 TENTANG PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1964 TENTANG PERUBAHAN DAN TAMBAHAN ORDONANSI PAJAK PENDAPATAN 1944 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1957 TENTANG PERATURAN PAJAK DAERAH. Presiden Republik Indonesia,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : TENTANG PENYELENGGARAAN JASA TITIPAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1961 TENTANG PENCABUTAN HAK-HAK ATAS TANAH DAN BENDA-BENDA YANG ADA DI ATASNYA

Mengingat : Pasal-pasal 96 dan 109 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia; Mendengar :

Transkripsi:

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1951 TENTANG MENAIKKAN JUMLAH MAKSIMUM PORTO DAN BEA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dianggap sangat perlu menaikkan porto dan bea yang sekarang, dan untuk keperluan itu mengubah beberapa jumlah maksimum, yang ditetapkan di beberapa pasal dari "Postordonnantie 1935" (Staatsblad 1934 No. 720). Menimbang : bahwa karena keadaan-keadaan yang mendesak, penaikan porto dan bea tersebut di atas itu perlu segera diadakan; Mengingat : pasal 96 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia; Memutuskan : Menetapkan : UNDANG-UNDANG DARURAT TENTANG MENAIKKAN JUMLAH MAKSIMUM PORTO DAN BEA. Pasal 1. "Reglement voor de Brieven- en Pakketpost", ditetapkan dengan ordonansi tanggal 29 Desember 1934 pasal 1 (Postordonnantie 1935), Staatsblad 1934 No. 720), sebagai telah diubah dan ditambah, terakhir dengan Staatsblad 1947, No. 134, diubah dan ditambah lebih lanjut sebagai berikut I. Pasal 4, ayat (1), huruf a s/d h harus dibaca : a. tiap-tiap surat yang beratnya tidak lebih dari 20 gram, 30 sen dan untuk tiap-tiap 20 gram berikutnya atau sebagian dari 20 gram, 20 sen;

b. tiap-tiap kartupos dan tiap-tiap bagian dari kedua bagian sebuah kartupos dengan balasan terbayar, 10 sen; c. surat kabar dan lampiran-lampirannya, 2 sen untuk tiap-tiap 25 gram atau bagian dari 25 gram, yang portonya hanya berlaku apabila berperangko berlangganan, dalam hal-hal dan dengan syarat-syarat yang akan ditetapkan oleh Kepala Jawatan; porto surat kabar dan lampiranlampirannya yang harus dibayar di muka dan yang tidak berperangko berlangganan, adalah sama dengan porto, yang harus dibayar di muka untuk barang-barang cetakan; d. barang-barang cetakan dan dokumen-dokumen, 5 sen untuk tiap-tiap 50 gram atau bagian dari 50 gram, akan tetapi dengan minimum untuk tiaptiap kiriman dokumen setinggi-tingginya 30 sen; e. barang cetakan Braille, 2 sen untuk tiap-tiap 1000 gram atau bagian dari 1000 gram; f. bungkusan 6 sen untuk tiap-tiap 50 gram atau bagian dari 50 gram dengan minimum setinggi-tingginya 25 sen untuk tiap-tiap kiriman; g. pospaket f 6.- untuk tiap-tiap pospaket; h. tiap-tiap kiriman fonopos yang beratnya tidak lebih dari 20 gram, 15 sen dan untuk tiap-tiap 20 gram berikutnya atau bagian dari 20 gram, 10 sen. II. Dalam pasal 4, ayat (2), sesudah c, "." (titik) di belakang yang tertulis setelah c, diubah menjadi ";" (titik koma), dan sesudah itu dimuat : "d. penyerahan bungkusan-bungkusan." III. Kalimat kedua dari kepala pasal 7, harus dibaca sebagai berikut : "Upah simpan dan bea untuk membungkus lagi pospaket-pospaket." IV. Pasal 7, ayat (3) harus dibaca : "Dalam hal-hal yang ditunjuk oleh Kepala Jawatan, untuk pospaket-pospaket dapat dipungut upah simpan dan bea untuk membungkus lagi, yang harus ditetapkan dengan atau menurut Peraturan Pemerintah".

V. Dalam pasal 17, ayat (1), bawah huruf a, "25" diubah menjadi "40"; bawah b 1 "20" diubah menjadi "40" dan bawah b II "25" diubah menjadi "40"; bawah huruf c "15" diubah menjadi "25". VI. Dalam pasal 21, ayat (2), " 121/2 " diubah menjadi "25 ", "25 sen " diubah menjadi "50" sen". Pasal 2. Undang-undang darurat ini mulai berlaku pada hari diundangkan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang darurat ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 17 Januari 1951. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SOEKARNO. Diundangkan pada tanggal 18 Januari 1951. MENTERI PERHUBUNGAN DAN MENTERI KEHAKIMAN,PENGANGKUTAN, WONGSONEGORO.DJUANDA.

UMUM PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG DARURAT NO 3 TAHUN 1951 TENTANG MENAIKKAN JUMLAH MAKSIMUM PORTO DAN BEA Telah lama dirasakan bahwa tarip-tarip pos yang sekarang berlaku ini tidak lagi seimbang dengan tingkatan harga yang didapat dalam masyarakat.tingkatan itu menunjukkan bahwa bagi semua barang-barang keperluan hidup harga menjadi beberapa (5 sampai 20) kali lebih tinggi. Pun gaji-gaji dan upah-upah tidak terkecuali dari pada kenaikan itu. Segala sesuatu ini berarti bahwa juga bahan-bahan yang diperlukan oleh Jawatan Pos, Telegrap dan Telepon (kertas, biaya percetakan) gaji-gaji dan upah-upah pegawai, pendek-kata ongkos exploitasi umum, mengingati kenaikan tahadi. Padahal tarip-tarip pos, telegrap dan telepon masih tinggal pada tingkat yang lama.oleh karena ketiadaan imbangan itu maka Jawatan Pos, Telegrap dan Telepon menderita kerugian yang ta' sedikit jumlahnya. Di Negeri lain juga disini pada zaman dahulu Jawatan-jawatan Pos, Telegrap dan Telepon selalu bisa mendapat keuntungan, setidak-tidaknya dapat menutupi semua pengeluaran. Sekalipun mengingat bahwa tujuan Jawatan itu tidak mengejar keuntungan, melainkan mementingkan sifat sosial ekonomi, sudah teranglah kiranya, bahwa exploitasi harus dijalankan sedemikian caranya hingga kerugian harus dapat dihindarkan, atau diperkecilkan. Untuk menutup sebahagian dari kekurangan exploitasi Jawatan Pos, Telegrap dan Telepon yang akan dihadapi dalam tahun yang berjalan dan tahun yang akan datang, dianggap perlu menaikkan tarip-tarip pos yang sekarang berlaku. Berhubung dengan itu maka oleh Kementrian Perhubungan telah disampaikan sebuah rancangan-tarip baru kepada Dewan Ekonomi dan Keuangan dari Dewan Menteri untuk mendapat persetujuan. Persetujuan ini bermula tidak diperolehnya karena Dewan tersebut berpendapat bahwa tarip-tarip itu dianggap masih agak rendah dan melihat keadaan monetair, patut dinaikkan. Sesuai dengan keinginan Dewan tesebut dengan memperhatikan maksimum porto dan bea yang ditetapkan menurut aturan-aturan internasional, telah dibuat pula sebuah rancangan tarip baru yang pada akhirnya dapat disetujui oleh Dewan yang tersebut di atas. Tentang tarip-tarip itu, dapat diterangkan bahwa jumlah maksimum

yang dapat dipungut, ditetapkan dengan postordonnantie 1935 (Staatsblad 1934 No.720) sedang jumlah yang berlaku ditetapkan dengan postverordening 1935 (Staatsblad 1934 No. 721). Jumlah yang berlaku ini tidak boleh melampaui jumlah maksimum tersebut di atas. Oleh karena penaikan tarip-tarip pos yang dirancangkan itu akan melampaui batas-batas maksimum yang telah ditetapkan dalam postordonnantie 1935 maka dianggap perlu terlebih dahulu mengubah dan menaikkan jumlah-jumlah maksimum yang termaktub dalam ordonansi tersebut (Staatsblad 1934 No. 720). Untuk keperluan itu rancangan Undang-undang Darurat ini diajukan. Dengan terlaksananya perobahan-perobahan yang dimaksudkan itu dapat diharap bahwa pemasukan uang kas Negara akan bertambah dengan f. 1.5000.000.- sebulan yang dapat dipakai untuk menutup sebagian dari kekurangan eksploitasi Jawatan Pos. Sebagai penjelasan kenaikan harga maksimum porto dan bea yang termaktub dalam pasal 1 bab I, V dan VI dan mengenai perobahan termaksud dalam pasal 1 bab II, III dan IV, dipermaklumkan sebagai berikut: Pasal 1. bab I. a. Surat-surat. Jumlah maksimum porto yang sekarang dapat dipungut adalah 15 sen untuk tiap-tiap surat yang beratnya tidak lebih dari 20 gram dan untuk tiap-tiap 20 gram berikutnya atau sebagian dari 20 gram, 10 sen, dan jumlah yang direncanakan adalah berturut 30 sen dan 20 sen. Dalam menaikkan porto dalam perhubungan dalam Negeri sekarang ini, perlu diperhatikan bahwa dalam tahun 1940 jika hendak mengirim surat dengan kapal terbang, bea biasa harus ditambah dengan 7 1/2 sen bea udara untuk tiap-tiap surat yang beratnya tidak lebih dari 20 gram dan untuk tiap-tiap 20 gram berikutnya atau sebagian dari 20 gram. Berpegang kepada dasar yang semenjak itu diterima oleh dunia international, yaitu bahwa kapal udaralah yang harus dipandang seberapa mungkin sebagai alat pengangkutan biasa untuk surat-surat (termasuk juga warkat pos dan kartu pos), maka sekarang semua surat sedapat-dapatnya diangkut dengan pos udara dengan tidak memungut bea udara. Dilihat dari sudut ini dan mengingat akan kenaikan harga barang-barang yang didapat sekarang dalam masyarakat dan yang berlipat ganda itu, maka kenaikan porto untuk surat-surat yang direncanakan dapat dikatakan tidak melampaui batas kepatutan.

b Kartupos. Jumlah maksimum porto yang sekarang dapat dipungut ialah 7 1/2 sen untuk tiap-tiap kartupos dan tiap-tiap bagian dari kedua bagian sebuah kartupos dengan balasan terbayar, dan jumlah yang direncanakan adalah 10 sen. Kartupos itu dimaksud antara lain sebagai alat surat-menyurat yang murah bagi masyarakat yang kurang mampu. Karena itu porto kartupos selalu ditetapkan serendah-rendahnya. Kalau diingat, bahwa Jawatan Pos dalam hal ini mempunyai tugas sosial dan kebudayaan, maka untuk kartupos, 10 senlah porto yang dapat dianggap paling tepat, suatu beban yang pula mudah dapat dipikul oleh rakyat jelata dizaman sekarang. c. Surat kabar. Dalam dunia Internasional untuk surat kabar tidak diadakan porto tersendiri; oleh karena surat kabar termasuk golongan barangbarang cetakan, maka dalam hubungan luar Negeri dan dalam Negeri porto surat kabar sama dengan porto untuk barang-barang cetakan. Akan tetapi mengingat akan tujuan surat kabar, yaitu penerangan umum untuk masyarakat, dianggap perlu sekali diadakan porto tersendiri yang sekedar rendahan dari porto untuk barang-barang cetakan lain akan tetapi hanya berlaku apabila berperangko berlangganan, dalam hal-hal dan dengan syarat-syarat yang akan ditetapkan oleh Kepala Jawatan Pos, Telegrap dan Telepon. Porto maksimum untuk surat kabar tersebut yang sekarang jumlahnya 1 sen untuk tiap-tiap 25 gram atau bagian dari 25 gram, menurut rencana ditetapkan menjadi 2 sen untuk tiap-tiap 25 gram atau bagian dari 25 gram, kenaikan mana mengingat alasan-alasan yang diuraikan di atas bawah surat-surat dapat dianggap patut, dan tidak sukar dapat dipikul oleh fihak yang berkepentingan. Porto surat kabar yang tidak berperangko berlangganan, adalah sama dengan porto yang harus dibayar di muka untuk barang cetakan. d. Barang cetakan dan dokumen. Jumlah maksimum porto yang sekarang dapat dipungut adalah 3 sen untuk tiap-tiap 50 gram atau bagian dari 50 gram, akan tetapi dengan minimum untuk tiap-tiap kiriman dokumen, porto minimum mana sama besarnya dengan porto surat untuk tingkatan berat pertama (15 sen). Maksimum porto yang direncanakan adalah 5 sen untuk tiap-tiap 50 gram atau bagian dari 50 gram, dengan minimum tersebut untuk tiap-tiap kiriman dokumen. Kenaikan ini jika mengingat akan alasan-alasan tersebut di atas bahwa surat-surat tidak begitu tinggi dan akan dapat dipikul oleh yang berkepentingan dengan tidak banyak kesukaran. e. Barang cetakan braille. Jumlah maksimum porto yang sekarang dapat dipungut adalah 1 1/2 sen untuk tiap-tiap 1000 gram atau bagian dari

1000 gram. Maksimum porto yang direncanakan adalah 2 sen untuk tiaptiap 1000 gram atau bagian dari 1000 gram. Walaupun maksimum porto yang direncakan ini masih dapat ditinggikan, tetapi umumnya dapat dimengerti bahwa porto tulisan braille itu harus rendah. Lagi pula kiriman sejenis ini sedikit jumlahnya, sehingga akibat keuangannya tidak berarti. f. Bungkusan. Jumlah maksimum porto yang sekarang dapat dipungut adalah 6 sen untuk tiap-tiap 50 gram atau bagian dari 50 gram dengan minimum setinggi-tingginya 25 sen untuk tiap-tiap kiriman. Dalam rencana ini maksimum porto dan minimum untuk tiap-tiap kiriman tidak diubah akan tetapi dipandang perlu dengan mempergunakan hak yang diberikan dalam Perjanjian Pos Parijs 1947 pasal 40 ayat 1, pada penyerahan (aflevering) dipungut bea penyerahan - yang jumlah uangnya akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah - dari penerima bungkusan-bungkusan sebagai pengganti ongkos mengadministrasi bungkusan-bungkusan yang perlu diadakan berhubung dengan banyaknya pengaduan tentang kehilangan bungkusan-bungkusan. Mengadakan kembali bea ini yang telah dihapuskan dalam tahun-tahun yang dahulu ketika perusahaan P.T.T. masih memperoleh kelebihan pendapatan yang baik, adalah beralasan. g. Pospaket. Jumlah maksimum porto yang sekarang dapat dipungut adalah 400 sen untuk tiap-tiap pospaket. Maksimum porto yang direncanakan adalah 600 sen. Berhubung dengan alasan-alasan yang diuraikan di atas bawah surat-surat perlu sekali, porto pospaket disesuaikan dengan tingkatan harga yang didapat dalam masyarakat. h. Kiriman fonopos. Jumlah maksimum porto yang sekarang dapat dipungut adalah 10 sen untuk tiap-tiap kiriman yang beratnya tidak lebih dari 20 gram dan 7 1/2 sen untuk tiap-tiap 20 gram berikutnya atau bagian dari 20 gram. Meskipun porto yang direncanakan adalah berturut-turut 15 sen dan 10 sen. Jika mengingat akan alasan-alasan yang diuraikan di atas mengenai surat-surat, maka kenaikan ini tidak berarti. Dengan sengaja porto kiriman ini tidak dinaikkan setinggi-tingginya. Kiriman fonopos adalah kiriman pos jenis baru yang diadakan tidak lama sebelum perang. Agar supaya perkembangan jawatan ini jangan tertahan, dianggap cukup menaikkan porto untuk kiriman pos seperti direncanakan ini. bab II. bea penyerahan bungkusan. Berhubung dengan akan diadakannya bea penyerahan untuk bungkusan maka pasal 4 ayat (2) dari "Postordonnantie 1935" harus ditambah seperti direncanakan ini.

bab III. Ternyata dalam praktek bahwa seringkali pospaket-pospaket diterima di kantor tujuan dalam keadaan rusak oleh sebab bungkusan tidak sempurna sehingga kantor itu terpaksa membungkus kembali pospaketpospaket itu, dan menyimpan agak lama pospaket-pospaket itu, penerima harus mengambil sendiri pospaket termaksud itu. Berhubung dengan sangat naiknya harga kertas patutlah penerima memikul ongkos extra itu (ongkos simpan dan ongkos bungkusan). Berhubung dengan akan diadakannya upah simpan dan bea ini maka kalimat kedua dari kepala pasal 7 dari "Postordonnantie 1935" harus diubah sebagai direncanakan. bab IV. Perobahan pasal 7, ayat (3) dari "Postordonnantie 1935" seperti direncanakan harus diadakan berhubung dengan akan diadakannya upah dan bea untuk membungkus lagi pospaket, yang jumlah uangnya harus ditetapkan dengan atau menurut Peraturan Pemerintah. bab V. 1. Bea mencatat surat-surat, 2. Bea mempertanggungkan harga suratsurat, 3. Bea mempertanggungkan harga pos paket, 4. Bea tebusan untuk kiriman surat tercatat dan pospaket. Dalam rangkaian kenaikan-kenaikan tarip, bea-bea pun harus dinaikkan, berhubung dengan alasan-alasan tersebut di atas mengenai surat : 1. Bea mencatat yang sekarang adalah 25 sen untuk tiap-tiap surat tercatat menjadi 40 sen. 2. Bea mempertanggungkan harga surat yang sekarang berlaku adalah 20 sen untuk tiap-tiap R. 250,- atau sebagian dari R. 250,- menjadi 40 sen. 3. Bea mempertanggungkan harga pospaket-pospaket yang sekarang berlaku adalah 25 sen untuk tiap-tiap R. 250,- atau sebagian dari R. 250,- menjadi 40 sen. 4. Bea tebusan untuk kiriman surat tercatat atau pospaket yang sekarang berlaku adalah 15 sen, menjadi 25 sen. Kenaikan tersebut, berhubung dengan alasan yang telah berkalikali di atas dikemukakan, dapat dikatakan tepat dan sesuai dengan keadaan sekarang. Pasal 1. bab VI. Bea maksimum untuk mengirimkan uang dengan poswesel yang sekarang berlaku adalah 121/2 sen untuk jumlah sampai dengan 25 rupiah dan 25 sen untuk tiap-tiap 50 rupiah atau sebagian dari itu untuk jumlah lebih dari 50 rupiah, menjadi berturut-turut 25 sen dan 50 sen. Dalam rangkaian kenaikan porto dan bea tersebut di atas haruslah bea

untuk poswesel pun berhubung dengan alasan-alasan tersebut di atas, diubah. Kenaikan bea ini dianggap tepat dan sesuai dengan keadaan sekarang. Meskipun mungkin ta' perlu, baiklah kiranya ditegaskan bahwa tarip-tarip dan bea-bea yang disebut dalam postordonnantie dan Undang-undang ini adalah jumlah-jumlah maksimum yang dapat dipungut. Jumlah uang tarip-tarip dan bea-bea baru yang akan berlaku, sesudah Undang-undang darurat yang direncanakan ini ditetapkan, dan yang tidak melampaui maksimum ini,akan ditetapkan dengan peraturan Pemerintah.