7 Risalah Kebijakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

dokumen-dokumen yang mirip
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

Bentuk Kekerasan Seksual

Hadirkan! Kebijakan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual. Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil Untuk SDGs Infid November 2017

PENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI

Kekerasan Seksual. Sebuah Pengenalan. Bentuk

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK. 1. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

BAB IV KETENTUAN DIBOLEHKANNYA ABORSI AKIBAT PERKOSAAN DALAM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI

PERLINDUNGAN TERHADAP KELOMPOK RENTAN PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONTEKS HAK ASASI MANUSIA

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235]

Eva Achjani Zulfa PUSANEV_BPHN

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Institute for Criminal Justice Reform

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063]

A. Analisis Terhadap Tinjauan Aborsi Menurut PP. Nomor 61 Tahun Menurut ketentuan yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu fenomena yang sering

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

Lex Et Societatis Vol. V/No. 9/Nov/2017

LAPORAN SINGKAT KOMISI VIII DPR RI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkosaan merupakan salah satu tindakan kekerasan pada perempuan.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia.

BAB II. PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana

BUPATI BA BUPATI BANYUWANGI NYUWANGI

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak diinginkan, meliputi abortus provocatus medicinalis dan abortus

BAB IV ANALISIS FIQH JINAYAH TERHADAP PIDANA CABUL KEPADA ANAK DI BAWAH UMUR

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

Menanti Tuntutan Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Oleh : Arrista Trimaya * Naskah diterima: 07 Desember 2015; disetujui: 22 Desember 2015

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannyalah yang akan membentuk karakter anak. Dalam bukunya yang berjudul Children Are From Heaven, John Gray

Aborsi pada Kehamilan akibat perkosaan: Ketentuan perundangundangan dan Fikih Islam

BAB IV. A. Analisis tentang Ketentuan Aborsi dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Banyak pihak merasa prihatin dengan maraknya peristiwa kekerasan

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan Yang Maha Esa tersebut tidak boleh dicabut oleh siapapun termasuk oleh

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebenarnya bukan hal yang baru

BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

j K ika amu korban Perkosaan

BAB III PENUTUP. Dari uraian bab-bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan:

BAB I PENDAHULUAN. yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. memberikan jaminan bahwa orang berhak membentuk suatu keluarga guna

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan-hubungan, nilai-nilai

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG MEMBANTU MELAKUKAN TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Tujuan

Kekerasan dalam Rumah Tangga

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

I. TINJAUAN PUSTAKA. kekerasan itu tidak jauh dari kebiasaan kita. Berdasarkan Undang-undang (UU) No. 23 Tahun

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB XX KETENTUAN PIDANA

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA JAMBI dan WALIKOTA JAMBI M E M U T U S K A N :

I. PENDAHULUAN. tidak sesuai dengan perundang-undangan. Sebagai suatu kenyataan sosial,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP

Wajib Lapor Tindak KDRT 1

BUPATI PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB IV ANALISIS STUDI KOMPARATIF ANTARA HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEDOFILIA

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG

BAB III ABORSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN

BAB I PENDAHULUAN. tidak bisa menangani masalahnya dapat mengakibatkan stres. Menurut

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR. A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

2015 PENGARUH PROGRAM BIMBINGAN INDIVIDUA TERHADAP KEHARMONISAN KELUARGA

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG

PEMERINTAH KOTA BATU

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

I. PENDAHULUAN. Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

BAB IV ANALISIS YURIDIS UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (UU PKDRT)

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

Transkripsi:

Kata kunci: Pemaksaan Pelacuran, Perbudakan seksual, Pemaksaan Perkawinan, pemaksaan Kontrasepsi, Pemaksaan Aborsi, Tindak pidana,, KUHP. 1. Berdasarkan usulan Komnas Perempuan dan FPL, pemaksaan pelacuran adalah tindakan yang dilakukan seseorang dengan kekerasan, ancaman kekerasan, rangkaian kebohongan, nama, identitas, atau martabat palsu, atau penyalahgunaan kepercayaan, melacurkan seseorang dengan maksud menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain. Sedangkan perbudakan seksual adalah tindakan yang dilakukan seseorang dengan membatasi ruang gerak atau mencabut kebebasan seseorang, dengan tujuan menempatkan orang tersebut melayani kebutuhan seksual dirinya sendiri atau orang lain dalam jangka waktu tertentu. Berikut ini diuraikan perbedaan pemaksaan pelacuran dan perbudakan seksual: Unsur Pemaksaan Pelacuran Perbudakan Seksual Alat/sarana kekerasan, membatasi ruang gerak, atau ancaman kekerasan, mencabut kebebasan rangkaian kebohongan seseorang (nama, identitas, atau martabat palsu), atau penyalahgunaan kepercayaan Cara melacurkan seseorang eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, dan/atau atau Tujuan menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain secara finansial pemaksaan pelacuran menempatkan orang tersebut melayani kebutuhan seksual dirinya sendiri dalam jangka waktu tertentu Berdasarkan perbandingan di atas, dapat disimpulkan bahwa: a. baik perempuan maupun laki-laki dapat menjadi korban tindak pidana pemaksaan pelacuran dan perbudakan seksual; b. pemaksaan pelacuran diartikan bahwa pelacuran tersebut dilakukan tanpa adanya persetujuan dari korban dan memanfaatkan kondisi ketidakberdayaan korban. Di kalangan masyarakat Indonesia, pelacuran dipandang negatif dan semua kasus disamakan. Mereka yang menyewakan atau menjual tubuhnya sering dianggap sebagai sampah

masyarakat, tanpa mempertimbangkan konteks dan dimensi dari setiap tindakan pelacuran. Fakta ini terus terjadi dan berkembang di masyarakat, dan semakin menjauhkan korban pemaksaan pelacuran dari perlindungan. KUHP telah mengatur pemidanaan terhadap pelacuran, tapi masih dalam lingkup yang sangat terbatas; c. sebagian besar perempuan yang terjerumus dalam dunia pelacuran bukan karena keinginannya, melainkan karena mereka merupakan korban tindak pidana perdagangan orang, terpaksa menjadi pencari nafkah utama keluarga, dan/atau merasa tidak suci setelah diperkosa atau ditipu/dijanjikan akan dikawini; d. definisi pemaksaan pelacuran dalam rumusan pasal ini diharapkan akan memberikan pemahaman kepada aparatur penegak hukum dan masyarakat tentang adanya fenomena pemaksaan pelacuran dalam masyarakat. Pasal ini juga bertujuan melindungi perempuan yang menjadi korban pemaksaan pelacuran yang seringkali mendapatkan victim blaming baik dari aparatur penegak hukum maupun masyarakat. Akibat salah mengenali korban sebagai pelaku, akhirnya pelaku yang sesungguhnya tidak pernah dijerat hukum, sehingga mengakibatkan korban baru tindak pidana pemaksaan pelacuran terus berjatuhan; e. perbedaan perbudakan seksual dengan pemaksaan pelacuran adalah perbudakan seksual dapat terjadi berupa pemaksaan pelacuran, di mana unsur tindak pidana pemaksaan pelacuran terpenuhi ditambah dengan unsur lainnya yaitu dengan membatasi ruang gerak atau mencabut kebebasan seseorang dengan tujuan menempatkan orang tersebut melayani kebutuhan seksual dirinya sendiri dalam jangka waktu tertentu. Baik perbudakan seksual maupun pemaksaan pelacuran dapat dilakukan secara individu maupun berkelompok. 2. Berdasarkan usulan Komnas Perempuan dan FPL, pemaksaan kontrasepsi adalah tindakan yang dilakukan seseorang dalam bentuk mengatur, merusak organ reproduksi, menghentikan fungsi dan/atau sistem reproduksi orang lain, dengan cara kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan, sehingga orang tersebut kehilangan hak atas tubuhnya, rusak atau tidak berfungsinya sistem reproduksinya. Sedangkan pemaksaan aborsi adalah tindakan seseorang yang dilakukan dalam bentuk memaksa orang lain untuk melakukan aborsi dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan. Berikut ini adalah unsur-unsur yang terkandung dalam definisi pemaksaan kontrasepsi dan pemaksaan aborsi: Unsur Pemaksaan Kontrasepsi Pemaksaan Aborsi Cara mengatur, memaksa orang lain untuk menghentikan dan/ atau merusak: melakukan aborsi organ, fungsi dan/atau sistem reproduksi biologis orang lain

Alat/sarana kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan Tujuan/akibat kehilangan kontrol terhadap organ, fungsi dan/atau sistem reproduksinya yang mengakibatkan Korban tidak dapat memiliki keturunan. kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan. menimbulkan gangguan psikologis, kesehatan reproduksi bahkan kehilangan nyawa. Berdasarkan perbandingan di atas,dapat disimpulkan bahwa: a. pemaksaan kontrasepsi berarti membatasi hak reproduksi seseorang yang dapat berakibat terhambatnya seseorang untuk memiliki keturunan, dan berakibat pada terganggunya kesehatan seseorang baik fisik maupun mental; b. pemaksaan aborsi dapat menimbulkan gangguan psikologis, kesehatan reproduksi bahkan kehilangan nyawa. Aborsi merupakan tindakan penghentian kehamilan yang dilakukan secara sengaja yang hanya dapat dilakukan jika terdapat kondisi tertentu dan harus ada persetujuan dari perempuan tersebut. Memang terdapat beberapa kondisi bagi seseorang untuk dapat melakukan aborsi. Pasal 75 ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa pengecualian terhadap larangan aborsi diberikan hanya dalam 2 (dua) kondisi, yaitu: (1) indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau (2) kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Dua kondisi tersebut juga harus dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan atas persetujuan dari sang ibu, karena tindakan aborsi sendiri memiliki resiko yang tinggi; c. Apabila aborsi dilakukan atas dasar paksaan, maka hal tersebut tentu akan memberikan resiko yang lebih besar kepada sang ibu. Rumusan pasal ini bertujuan untuk melindungi perempuan dari tindakan pemaksaan aborsi yang dilakukan tanpa alasan dan pertimbangan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. 3. Berdasarkan usulan Komnas Perempuan dan FPL, pemaksaan perkawinan adalah tindakan menyalahgunakan kekuasaan yang dilakukan seseorang dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau tekanan psikis lainnya sehingga seseorang tidak dapat memberikan persetujuan yang sesungguhnya untuk melakukan perkawinan.

Berikut ini ialah unsur-unsur yang terkandung dalam definisi pemaksaan perkawinan: Unsur Pemaksaan Perkawinan Cara menyalahgunakan kekuasaan Alat/sarana kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau tekanan psikis lainnya Tujuan/akibat tidak dapat memberikan persetujuan yang sesungguhnya untuk melakukan perkawinan. Selain uraian unsur-unsur di atas, perlu diperhatikan juga bahwa: a. dalam beberapa putusan pengadilan ditemukan bahwa berjanji menikahi dijadikan sebagai salah satu hal yang meringankan bagi hakim dalam memutuskan sanksi pidana terhadap pelaku perkosaan. Padahal, apabila seseorang yang merupakan korban dari suatu tindak perkosaan harus menikah dan tinggal bersama dengan seseorang yang telah memperkosanya, maka hal tersebut akan menimbulkan trauma mendalam dan berkelanjutan bagi korban. Perkawinan yang demikian tentunya bertentangan dengan keinginan korban dan bertentangan dengan upaya mewujudkan ketahanan keluarga; b. pemaksaan perkawinan juga dapat digunakan sebagai senjata bagi pelaku untuk menguasai korban baik secara fisik, seksual, dan psikis, maupun ekonomi. Rumusan pasal ini selain ditujukan untuk melindungi seseorang dari hal tersebut, juga untuk membangun landasan pikir bagi aparatur penegak hukum dalam membangun pertimbangan hukum yang logis dan berperspektif korban; c. pemaksaan perkawinan dalam hal ini tidak selalu diawali dari adanya tindak pidana perkosaan, namun juga dapat terjadi dalam kondisi dimana seseorang tersebut tidak diberi ruang untuk mengambil keputusan ketika pihak keluarga memaksa anggota keluarganya untuk kawin dengan seseorang karena alasan yang eksploitatif misalnya untuk melunasi utang keluarga, meningkatkan status sosial, atau memaksakan perkawinan dengan alasan untuk menghindari zina, sebagaimana dijumpai dalam sejumlah kasus perkawinan anak. 4. Beberapa jenis tindak pidana yang diatur dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebenarnya beririsan dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku, di antaranya: Jenis Tindak Pidana Peraturan Perundangundangan yang Berlaku Perkosaan Pasal 285-288 KUHP Pasal 46-48 UU Alasan Perlu Pengaturan dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Perlu ada ancaman pidana minimum Penyesuaian pidana dengan

Pelecehan Seksual Eksploitasi seksual dan pemaksaan pelacuran PKDRT, Pasal 81 UU Perlindungan anak Pasal 289-296 KUHP Pasal 76 E dan Pasal 82 UU Perlindungan anak Perdagangan orang dalam UU Tindak Pidana Perdagangan Orang mempertimbangkan latar belakang pelaku, kondisi korban, dan dampak yang ditimbulkan Korban tidak hanya perempuan Pelecehan seksual lebih luas dari perbuatan cabul yang dimaksud daam KUHP dan UU Perlindungan Anak Pelecehan seksual tidak harus terjadi dengan adanya kontak fisik, berbeda dengan perbuatan cabul yang mengandung makna adanya kontak fisik dan bahkan penetrasi Perlu ada ancaman pidana minimum Pembuktian lebih mudah karena tidak perlu membuktikan seluruh unsur dalam perdagangan orang yang berupa unsur proses, cara, dan tujuan. Pemaksaan aborsi Pasal 347 KUHP Mempidanakan orang yang memaksakan seseorang melakukan aborsi KUHP hanya mengatur pemidanaan terhadap orang yang melakukan aborsi Rumusan sarana delik lebih detail Perlu ada ancaman pidana minimum Berdasarkan perbandingan tersebut, perlu diperhatikan bahwa: a. pengaturan mengenai perkosaan sebenarnya telah diatur sebelumnya dalam KUHP, tepatnya pada pasal 285-288 KUHP. Hanya saja, pengaturan yang terdapat dalam KUHP belum sepenuhnya melindungi korban perkosaan terutama karena KUHP tidak mengenal perkosaan selain penetrasi penis ke vagina dan terdapat unsur yang dalam pembuktiannya korban harus menunjukkan perlawanan. KUHP juga tidak mencantumkan ancaman pidana minimum sehingga dapat dijadikan celah bagi aparat penegak hukum untuk berbuat sewenang-wenang; b. pengaturan perkosaan dalam dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual telah dibuat secara lebih detail, diantaranya penyesuaian ancaman pidana dengan mempertimbangkan latar belakang pelaku, kondisi korban, dan dampak yang ditimbulkan; c. menempatkan korban secara universal, tidak hanya fokus kepada perempuan saja, tetapi juga melindungi korban berjenis kelamin laki-laki; d. juga mencantumkan ancaman pidana minimum sehingga dapat dijadikan pedoman bagi aparat penegak

hukum untuk dapat mempertimbangkan penjatuhan hukuman yang lebih adil; e. dalam UU PKDRT, terdapat ketentuan ancaman pidana minimum dalam KDRT yang berupa perkosaan (yaitu dalam frasa kekerasan seksual dan hubungan seksual ) walaupun ketentuan ini memberikan perlindungan terbatas pada mereka yang berada dalam ranah personal saja (termasuk laki-laki dan perempuan); f. sedangkan dalam UU Perlindungan Anak, perkosaan terhadap anak (menggunakan kata persetubuhan ) telah diatur, tepatnya dalam Pasal 76 D dan Pasal 81. Sama halnya dengan UU PKDRT, UU Perlindungan Anak juga mencantumkan ancaman pidana minimum, namun UU ini hanya melindungi korban yang berusia anak. 5. Pada dasarnya makna pelecehan seksual lebih luas daripada perbuatan cabul, karena perbuatan cabul hanya terbatas jika ada kontak secara fisik dengan tubuh korban, sementara terdapat sejumlah perbuatan lain yang dikategorikan sebagai pelecehan seksual namun tidak terjadi kontak fisik secara langsung dengan korban, misalnya exhibisionis, mengintip, dan mengirim sms bernuansa seksual. Sedangkan dalam KUHP diatur dalam Pasal 289-296 KUHP. Sedikit berbeda dengan pengaturan perkosaan, korban yang diatur dalam perbuatan cabul ini tidak terbatas pada perempuan saja, dengan ditunjukkan dengan kata seorang, yang artinya bisa saja korban adalah perempuan dan/atau laki-laki. Namun pengaturan mengenai perbuatan cabul ini masih belum menyertakan ancaman pidana minimum dalam rumusan pasalnya. Sedangkan dalam UU Perlindungan Anak, pengaturan mengenai perbuatan cabul diatur dalam Pasal 76 E dan Pasal 82 dengan telah disertai ancaman pidana minimum. Pengaturan mengenai eksploitasi seksual dan pemaksaan pelacuran dalam dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. menyadari adanya kesulitan dalam membuktikan tindak pidana perdagangan orang. Oleh karenanya, rumusan pasal yang diatur dalam tidak mengatur eksploitasi seksual dan pemaksaan pelacuran dalam konteks perdagangan orang. RUU ini hanya menarik satu unsur saja yaitu eksploitasi seksual pada Pasal 13 dan pemaksaan pelacuran dalam Pasal 18. Dengan hanya ditariknya satu unsur dalam masing-masing pasal, maka proses pembuktiannya akan lebih mudah. Pengaturan mengenai pemaksaan aborsi dalam dan KUHP. Pengaturan mengenai pemaksaan aborsi dalam juga beririsan dengan Pasal 347 KUHP. Perbedaannya adalah KUHP mempidanakan orang yang melakukan aborsi, sedangkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mempidanakan orang yang memaksa seseorang melakukan aborsi.sama halnya dengan pengaturan lain (perkosaan,

perbuatan cabul), pemidanaan aborsi dalam KUHP tidak mencantumkan ancaman pidana minimum. telah mengatur kekerasan seksual dalam konteks suami istri dalam Pasal 11 ayat (3) yang menyebutkan Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi peristiwa Kekerasan Seksual dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja, publik, dan situasi khusus lainnya. Berdasarkan rumusan tersebut maka hubungan antara suami dan isteri dikategorikan sebagai hubungan yang berada dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan (termasuk kekerasan seksual) dalam rumah tangga dilarang karena merupakan perbuatan tercela. Oleh karena pengaturan mengenai kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga telah diatur dalam UU PKDRT dan juga diatur dalam RUU KS, maka jika nanti RUU KS ini disahkan, berlakulah asas lex posterior derogat legi priori yang artinya hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama.