BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruh yang cukup besar dalam membentuk perilaku seorang anak. 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Berawal dari sebuah adegan di film Arwah Goyang Karawang, Julia

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pidana korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. buruk bagi perkembangan suatu bangsa, sebab tindak pidana korupsi bukan

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil,

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah.

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara hukum, sesuai Pasal 1 ayat (3)

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian normatif (dokcrinal research) yaitu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai 5 sub pokok bahasan

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya

BAB I PENDAHULUAN. Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut. untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat

Kasus Korupsi PD PAL

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. A. Dasar Hakim dalam Menerapkan Sanksi Pidana Di Bawah Minimum. Khusus Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Keywords: Financial loss of countries, corruption, acquittal, policy, prosecutor

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap bangsa mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam hal

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenomena minuman keras saat ini merupakan permasalahan yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. penerapannya dilakukan secara kumulatif.

permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan

KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI

KADIS PENDIDIKAN MTB DAN PPTK RUGIKAN NEGARA Rp200 JUTA LEBIH.

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. pada kerugian keuangan dan perekonomian negara. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) disebutkan:

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah

III. METODE PENELITIAN. hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

II. TINJAUAN PUSTAKA. menyebutkan unsur-unsur tindak pidananya saja, tetapi dalam konsep hal tersebut

ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB I PENDAHULUAN. ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan dengan asas-asas dan norma-normanya dan juga oleh

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

I. PENDAHULUAN. untuk menguntungkan diri sendiri atau korporasi, dengan cara menyalahgunakan. pada kerugian keuangan dan perekonomian negara.

BAB I PENDAHULUAN. secara tegas tercantum dalam penjelasan umum Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

STUDI KASUS TINDAK PIDANA TERKAIT JABATAN NOTARIS ROMLI ATMASASMITA 1

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Singkatnya korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk. semakin melemahkan citra pemerintah di mata masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Korupsi merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan aturan hukum namun sudah menjadi budaya dalam setiap lapisan masyarakat. Perbuatan Korupsi merupakan ancaman yang serius dan membahayakan perkembangan kehidupan negara berkembang khususnya bangsa Indonesia, karena dapat menghambat pertumbuhan perekonomian suatu negara. Latar belakang dari Korupsi ini sebenarnya telah dijelaskan dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU PTPK ) sebagaimana secara tegas dimuat pada isi dari konsideran butir a yang menyatakan : Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Pokok diatur juga dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK dan Pasal 3 UU PTPK. Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Pasal 3 menyatakan bahwa : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup 1

2 atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) Korupsi adalah Perbuatan yang tidak baik yaitu seperti tindakan kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, dan perilaku yang menyimpang dari kesucian 1, sedangkan Korupsi menurut Henry Campbell Black dalam Black s Law Dictionary yaitu Suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak hak dari pihak pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain 2 Kajian hukum pidana pada dasarnya terdapat 3 (tiga) hal yang menjadi pilar yaitu Perbuatan Pidana, Pertanggungjawaban Pidana dan Sanksi Pidana. 3 Pilar ketiga pada sanksi pidana dapat diartikan juga dengan istilah lain yaitu hukuman, penghukuman, pemidanaan, penjatuhan hukuman, pemberian pidana dan hukuman pidana. 4 Sanksi pidana juga dapat dikategorikan sebagai penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan dengan memenuhi syarat syarat tertentu. 5 Hukum pidana mengenal asas legalitas, hal ini dituangkan dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP ) yang menyatakan Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang undangan pidana yang telah ada sehingga mengandung makna bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali sudah diatur sebelumnya dalam Undang Undang. Hal ini berlaku juga terhadap ketentuan sanksi pidana, seperti di dalam UU PTPK memuat ketentuan pidana minimum dan ketentuan pidana maksimum. Dengan demikian dalam penjatuhan sanksi pidana, Hakim tidak boleh 1 Adami Chazawi, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, edisi revisi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016, hlm 1. 2 Henry Campbell Black, Black s Law Dictionary, edisi VI, West Publishing, St. Paul, 1990, hlm 176. 3 Moeljatno, Asas Asas Hukum Pidana, edisi revisi, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm 1. 4 Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm 185. 5 Ibid, hlm 186.

3 menjatuhkan sanksi pidana di bawah ketentuan pidana minimum dan lebih dari ketentuan pidana maksimum. Pada faktanya, berbeda dengan yang dialami oleh Hendra Saputra, terdakwa dalam kasus tindak pidana korupsi terkait proyek pengadaan videotron yang tidak sesuai dengan spesifikasi teknis. Hendra Saputra didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum (selanjutnya disebut JPU) pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut Pengadilan Tipikor) dengan dakwaan sebagai berikut yaitu dakwaan primair Pasal 2 ayat (1) UU PTPK dan dakwaan subsidair yaitu Pasal 3 ayat (1) UU PTPK. Selanjutnya JPU memberikan tuntutan terhadap Hendra Saputra yaitu pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan. Putusan Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan Tinggi (selanjutnya disebut PT ) No. 55/Pid/TPK/2014/PT.DKI jo. Putusan Pengadilan Negeri (selanjutnya disebut PN ) Jakarta Pusat No. 36/PID.SUS/TPK/2014/PN.JKT.PST menyatakan bahwa Hendra Saputra memang terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan korupsi sesuai dengan dakwaan primair JPU yaitu melanggar Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, sehingga Majelis Hakim juga menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Pertimbangan Hukum dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat adalah Menimbang, bahwa Majelis Hakim akan menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan menyimpangi ketentuan minimum Pasal 2 ayat (1) didasarkan bahwa Hendra Saputra sebenarnya hanya alat yang digunakan oleh saksi Riefan Afrian dalam memenuhi niatnya untuk mengikuti dan memenangkan pekerjaan pengadaan videotron pada Gedung Kementrian UKM RI tahun 2012, sehingga Terdakwa Hendra Saputra adalah korban atas rekayasa yang diskenariokan oleh saksi Riefan Afrian. Isi dari Putusan Majelis Hakim diatas dengan dasar pertimbangannya, memperlihatkan adanya suatu perbedaan yang mendasar yaitu antara ancaman pidana yang diputus oleh Majelis Hakim yakni 1 (satu) tahun dan denda Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan ancaman pidana yang sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK yakni terkait ancaman pidana minimum 4 (empat) tahun

4 dan maksimum paling lama 20 (dua puluh) tahun penjara dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti dan memahami lebih lanjut mengenai putusan pemidanaan yang tidak sesuai dengan ketentuan pidana minimum khusus, ke dalam bentuk skripsi berjudul ANALISIS PEMIDANAAN DALAM PUTUSAN PT JAKARTA PUSAT NO. 55/PID/TPK/2014/PT.DKI DIKAITKAN DENGAN KETENTUAN PIDANA MINIMUM KHUSUS DALAM PASAL 2 AYAT (1) UU PTPK. 1.2 Rumusan Masalah Dengan memperhatikan uraian yang tertuang dalam latar belakang dan keberadaan kesenjangan antara Das Sollen dan Das Sein, penulis mengemukakan rumusan masalah sebagai berikut : Apakah penjatuhan sanksi pidana oleh Majelis Hakim PT Jakarta Pusat dalam Putusan No. 55/Pid/TPK/2014/PT.DKI. dengan terdakwa Hendra Saputra tidak bertentangan dengan ketentuan pidana minimum khusus dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK?. 1.3 Tujuan Penelitian a. Tujuan Praktis 1) Untuk lebih mengetahui dan memahami pengertian dan hakekat asas legalitas dalam rumusan tindak pidana. 2) Untuk lebih mengetahui dan memahami konsekuensi penerapan hukum pidana materiil. b. Tujuan Akademik Untuk memenuhi salah satu persyaratan akademik sebelum memperoleh gelar Sarjana Hukum sebagai tugas akhir pada Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan Surabaya.

5 1.4 Manfaat Penelitian 1. Untuk mengetahui penerapan asas legalitas yang menyangkut sanksi dalam kasus tindak pidana korupsi Pasal 2 ayat (1) UU PTPK. 2. Untuk mengetahui dan memahami upaya hukum yang dapat ditempuh akibat dari adanya putusan PT No. 55/Pid/TPK/2014/PT.DKI. 1.5. Metode Penelitian 1.5.1 Tipe Penelitian Penelitian ini menggunakan metodologi Yuridis Normatif (Doctrinal). Maksudnya yaitu upaya melakukan penyelesaian masalah dengan cara meneliti dan mengkaji norma hukum positif dengan menggunakan konsep norma (Law in book) yaitu dengan melakukan studi pustaka dengan melihat fungsi hukum sebagai norma. 1.5.2 Pendekatan Masalah Penulisan dan penyusunan makalah skripsi ini menggunakan tiga pendekatan yaitu Pendekatan Peraturan Perundang undangan (Statute Approach), Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach), dan Pendekatan Kasus (Case Approach). Yang dimaksud dengan Pendekatan Peraturan Perundang undangan (Statute Approach) yaitu dilakukan dengan menelaah semua undang undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani 6, Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach) yaitu menggunakan pandangan dan doktrin doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum 7, dan Pendekatan Kasus (Case Approach) yaitu dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus yang berkaitan dengan isu yang telah menjadi putusan pengadilan yang memiliki kekuatan yang tetap 8. 1.5.3 Bahan Hukum 6 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2005, hlm 93. 7 Ibid, hlm 95. 8 Ibid, hlm 94.

6 Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibedakan sebagai berikut : a. Bahan Hukum Primer, yaitu berupa perundang undangan dan Putusan Pengadilan dalam hal ini yaitu : Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Undang Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258). Undang Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 387). Undang Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang Undang No. 31 Tahun 1999. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150). Undang Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara. Undang Undang No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Undang Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Rancang Undang Undang Kitab Hukum Pidana 2015. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016. Putusan Pengadilan Negeri yang terkait Tindak Pidana Korupsi No. 36/PID.SUS/TPK/2014/PN.JKT.PST. Putusan Pengadilan Tinggi yang terkait Tindak Pidana Korupsi No. 55/Pid/TPK/2014/PT.DKI.

7 b. Bahan Hukum Sekunder, yang memiliki hubungan / kaitan erat dengan bahan hukum primer karena bersifat untuk menjelaskan. Sehingga dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, antara lain literatur, asas asas, konsep, doktrin dan ilmu hukum (yurisprudence), serta karya ilmiah dari para sarjana yang berkaitan dengan kejahatan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. 1.5.4 Langkah Penelitian a. Langkah pengumpulan bahan hukum Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan melalui studi pustaka dengan cara inventarisasi, klasifikasi, dan sistematisasi. Inventarisasi dilakukan dengan tujuan untuk mengumpulkan bahan bahan hukum yang berkaitan dengan rumusan masalah yang hendak diteliti diatas. Selanjutnya, bahan hukum tersebut diklasifikasikan dengan cara memilah milah bahan hukum tersebut disesuaikan dengan rumusan masalah yang hendak diteliti diatas. Kemudian, untuk lebih mempermudah dalam hal memahami dan mempelajarinya, maka bahan hukum tersebut disusun secara sistematik. b. Langkah analisa Sebagai tipe penelitian yuridis normatif, maka langkah analisa yang digunakan adalah dengan metode deduksi. Yaitu pola pikir atau bernalar menggunakan pemikiran berawal dari pengetahuan atau hal yang bersifat umum yang dapat diperoleh dari bahan hukum primer maupun sekunder yang mana diimplementasikan pada permasalahan yang terjadi, sehingga dapat diperoleh suatu jawaban/kesimpulan yang bersifat khusus atas Tindak Pidana Korupsi yang telah terjadi dan mengenai penjatuhan sanksi pidana korupsi. Untuk memperoleh jawaban yang benar, maka digunakan penafsiran otentik, penafsiran sistematis dan penafsiran teologis. Penafsiran otentik adalah penafsiran yang pasti dari arti kata yang ditentukan didalam peraturan perundang undangan itu sendiri. Penafsiran sistematis adalah penafsiran dengan cara melihat / memperhatikan susunan pasal yang

8 berhubungan dengan pasal pasal lainnya yang berada di dalam undang undang itu sendiri maupun dengan pasal pasal lain dari undang undang lain untuk dapat memperoleh pengertian yang lebih mantab. Sedangkan penafsiran teleologis adalah penafsiran yang digunakan untuk memahami hukum dalam kaitannya dengan maksud dan tujuan pembuat UU atau tujuan UU tersebut (the aims of the legislation) yang biasa ditemukan pada bagian konsideran dan penjelasan umum UU. 1.6 Pertanggungjawaban Sistematika Pertanggungjawaban sistematika dari penulisan ini terdiri dari 4 (empat) bab dan setiap bab dibagi menjadi beberapa sub bab. Adapun keempat bab tersebut sebagai berikut : BAB I :PENDAHULUAN, Bab ini merupakan langkah awal dari penulisan penelitian yang dimulai dengan latar belakang, dengan mengemukakan kasus Tindak Pidana Korupsi oleh Hendra Saputra yang diadili di PT No. 55/Pid/TPK/2014/PT.DKI jo. putusan PN No. 36/PID.SUS/TPK/2014/PN.JKT.PST dengan amar putusan melanggar Pasal 2 ayat (1) dikenakan sanksi pidana selama 1 (satu) tahun. Sub bab selanjutnya mengemukakan Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif (doctrinal). BAB II :ASAS LEGALITAS DALAM SISTEM PEMIDANAAN TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UU PTPK, Bab ini terbagi dalam 2 (dua) sub bab, yang pertama yaitu Arti dan Hakekat Asas Legalitas. Pada sub bab pertama dikemukakan secara umum Pengertian dan Penjelasan Asas Legalitas baik itu dari Tindak Pidananya dan Sanksinya. Sedangkan pada sub bab kedua akan mengemukakan pengertian dan tujuan dari Sanksi Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Menurut UU PTPK. BAB III :ANALISIS PUTUSAN KASUS KORUPSI OLEH HENDRA SAPUTRA, Bab ini terdiri dalam 2 (dua) sub bab, yang pertama adalah Kronologis Kasus Hendra Saputra dan yang kedua yaitu Analisis Hukum. Sub bab pertama dikemukakan mengenai Kronologis Kasus Hendra Saputra dalam Tindak Pidana

9 Korupsi melalui Putusan PT Jakarta Pusat jo. Putusan PN Jakarta Pusat serta dilengkapi dengan pertimbangan hukum oleh Hakim dan Amar Putusannya. Sub bab berikutnya Analisa Putusan PT Jakarta Pusat jo. Putusan PN Jakarta Pusat dengan menyimpangi ketentuan dalam UU PTPK Pasal 2 ayat (1) yang mengatur tentang Sanksi Minimal Khusus untuk Tindak Pidana Korupsi. BAB IV :PENUTUP, Bab ini terdiri dari Kesimpulan dan Saran. Kesimpulan merupakan jawaban singkat dan ringkas atas permasalahan yang dikemukakan. Sedangkan saran merupakan preskripsi atau rekomendasi yang ditujukan untuk lembaga pengadilan dalam menjatuhkan sanksi pidana pada kasus yang akan datang.