15 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara yang bersih adalah udara yang tidak mengandung uap atau gas dari bahan-bahan kimia beracun (Darmono, 1995). Namun seiring dengan berlanjut dan berkembangnya kegiatan pembangunan yang pada awalnya bertujuan untuk mensejahterakan kehidupan manusia, terkadang malah menimbulkan pencemaran di sekelilingnya, tidak terkecuali dengan pencemaran udara. Terpaparnya tubuh oleh polusi udara saat ini merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan, khususnya di jalan raya kota-kota besar. Lalu lintas di Indonesia dalam hal ini kendaraan bermotor, mempunyai andil yang sangat besar dalam memberikan kontribusi pada polusi udara (Pradana, 2011). Sumber pencemaran udara terbesar berasal dari asap kendaraan bermotor, yakni mencapai 60%-70%. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2011 peningkatan jumlah kendaraan bermotor di Sumatera Utara mencapai 11,28% atau sebesar 455.855 unit, yakni dari 4.039.127 pada Desember 2010 menjadi 4.494.982 unit hingga November 2011 (Pasaribu, 2011). Dari jumlah itu, penambahan sepeda motor yang paling banyak. Polres Kota Medan menyebutkan, tercatat sebanyak 2.708.511 unit dan 85,61% di antaranya sepeda motor, yang setiap tahun bertambah sekitar 31,23% (polrestamedan.com, 2011). Padahal, berdasarkan data sensus penduduk tahun 2009 jumlah penduduk di Medan hanya 2.121.053 jiwa (BPS, 2010). Itu artinya, jumlah kendaraan lebih banyak dibanding jumlah penduduk Medan. 1
16 Salah satu polutan dalam asap kendaraan bermotor adalah Timbal (Pb). Timbal (Pb) dicampurkan ke dalam bensin sebagai anti letup atau anti knock aditif dengan kadar sekitar 2,4 gram/gallon. Timbal (Pb) yang digunakan untuk anti knock adalah tetraethyl timbal (C 2 H 5 ) 4. Fungsi penambahan timbal (Pb) adalah dimaksudkan untuk meningkatkan bilangan oktana. Timbal (Pb) adalah bahan yang dapat meracuni lingkungan dan mempunyai dampak pada seluruh sistem di dalam tubuh. Timbal (Pb) dapat masuk ke tubuh melalui inhalasi, makanan dan minuman serta absorbsi melalui kulit (Albalak, 2001). Penelitian Reffiane, dkk (2011) di Semarang membuktikan bahwa ada kecenderungan dengan semakin padatnya kepadatan kendaraan yang menggunakan bahan bakar bensin maka kadar timbal (Pb) dalam udara juga meningkat karena kandungan timbal (Pb) tersebut bersifat akumulatif, sehingga kecenderungan pengaruh kadar pencemaran Timbal (Pb) terhadap kesehatan juga meningkat. Posman (2000) dalam Agustina (2010) menyebutkan pencemaran udara dari asap kendaraan bermotor seringkali dituduh sebagai sumber kontaminasi timbal (Pb) dalam makanan, selain kemasan, zat warna tekstil, dan limbah industri. Tuduhan ini bukan tidak ada alasannya. Data yang dikeluarkan Bapedal DKI tahun 1998, kadar timbal (Pb) yang melayang-layang di udara Jakarta rata-rata telah mencapai 0,5 mikrogram per m kubik udara. Untuk kawasan tertentu, seperti terminal bus dan daerah padat lalu lintas, kadar timbal (Pb) bisa mencapai 2-8 mikrogram per meter kubik. Pencemaran ini telah menyebabkan sayuran yang ditanam dekat jalan padat lalu lintas, mengandung timbal (Pb) di atas ambang batas yang ditentukan oleh WHO. Yakni antara 15,5 ppm hingga 29,9 ppm. Padahal WHO memberi ambang batas
17 hanya sampai 2 ppm. Demikian pula makanan jajanan di sekitar terminal bus tak terhindarkan lagi dari kontaminasi timbal (Pb). Sedangkan untuk di Kota Medan sendiri pada Februari 2003, hasil pengukuran yang dilakukan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Daerah Provinsi Sumatera Utara menunjukkan kadar timbal di udara ambien (bebas) Kota Medan adalah sebesar 3,5 μg/nm 3. Penelitian oleh Girsang (2008) di Kota Medan didapat kadar timbal (Pb) di udara Terminal bus Amplas dan Terminal Bus Pinang Baris sebesar > 2 µg/ m 3 pada pos-pos yang padat kendaraan bermotornya dan pada pos-pos yang kurang padat kendaraan bermotornya kadar timbal (Pb) dalam udara adalah < 2 µg/ m 3. Menurut Environment Protection Agency, sekitar 25% timbal (Pb) tetap berada dalam mesin dan 75% lainnya akan mencemari udara sebagai asap knalpot. Emisi timbal (Pb) dari gas buangan tetap akan menimbulkan pencemaran udara dimanapun kendaraan itu berada, tahapannya adalah sebagai berikut: sebanyak 10% akan mencemari lokasi dalam radius kurang dari 100 m, 5% akan mencemari lokasi dalam radius 20 Km, dan 35% lainnya terbawa atmosfer dalam jarak yang cukup jauh (Surani, 2002). Makanan pinggir jalan adalah salah contoh makanan yang berisiko tercemar timbal (Pb). Beberapa kalangan, khususnya kalangan yang sangat memperhatikan gizi dari setiap makanan yang dikonsumsi, melihat bahwa makanan pinggir jalan khususnya gorengan, sebenarnya adalah makanan sangat berbahaya bagi kesehatan. Salah satu alasannya adalah faktor kondisi sekitar pedagang gorengan yang menjadi penyebab gorengan menjadi tidak sehat untuk dikonsumsi. Kita bisa bayangkan jika membeli gorengan dari pedagang gorengan yang berjualan tepat di pinggir jalan yang
18 banyak dilalui kendaraan. Kita tidak mengetahui berapa banyak kandungan asap kendaraan bermotor yang menempel pada gorengan tadi (Fathurrahman, 2011). Berdasarkan penelitian Marbun (2009) diperoleh hasil bahwa ada pengaruh lama waktu pajanan terhadap timbal (Pb) pada makanan jajanan yang dijual di pinggir jalan Pasar I Padang Bulan Kota Medan. Dimana baru sesaat saja gorengan diangkat dari kuali ternyata sudah mengandung timbal (Pb). Adanya penelitian tersebut memunculkan dugaan kuat bahwa minyak goreng yang digunakan pedagang gorengan juga tidak terlepas dari pajanan timbal (Pb). Pajanan timbal (Pb) pada minyak goreng juga diduga disebabkan kebiasaan pedagang gorengan yang memakai minyak goreng secara berulang, wadah penggorengan dalam keadaan terbuka serta lokasi penggorengan yang tidak jauh dari jalan raya, belum lagi kebiasaan merokok si pedagang gorengan juga ikut memperburuk cemaran logam pada minyak goreng, karena salah satu sifat dari timbal (Pb) tersebut adalah dapat larut dalam lemak dan minyak. Jika saja memang terbukti bahwa salah satu instrumen pengolahan gorengan, dalam hal ini adalah minyak goreng, telah tercemar timbal (Pb), maka kita bisa pastikan bahwa semua jenis gorengan sejatinya telah tercemar timbal (Pb) yang pada awalnya bersumber dari minyak goreng itu sendiri. Sifat dari timbal (Pb) itu sendiri merupakan suatu logam berat yang lunak berwarna kelabu kebiruan dengan titik leleh 327 0 C dan titik didih 1.620 0 C. Sulit larut dalam air dingin, air panas dan air asam. Timbal (Pb) mudah larut dalam larutan garam, seperti asam nitrit, asam asetat dan asam sulfat pekat dan dapat larut dalam minyak dan lemak (Sartono, 2001).
19 Keberadaan pedagang makanan jajanan yang berjualan disekitar lampu lalu lintas (traffic light) semakin memperparah cemaran timbal (Pb) pada makanan jajanan yang diolahnya. Beragam jenis kendaraan akan berhenti saat lampu berwarna merah dan hampir keseluruhan kendaraan tersebut tidak mematikan mesin, hal ini mengakibatkan polusi udara oleh asap kendaraan bermotor yang terlokalisasi akan meningkatkan konsentrasi polutan timbal (Pb), yang pada akhirnya memajani makanan jajanan si pedagang tadi, temasuk minyak goreng yang digunakan. Menurut SNI 01-3741-2002, minyak goreng adalah bahan pangan dengan komposisi utama trigliserida berasal dari bahan nabati, dengan atau tanpa perubahan kimiawi, termasuk hidrogenasi, pendinginan dan telah melalui proses pemurnian (BSN, 2002). Dalam Peraturan Kepala BPOM Republik Indonesia Nomor HK.00.06.1.52.4011 tahun 2009 tentang penetapan batas maksimum cemaran mikroba dan kimia dalam makanan disebutkan bahwa batas maksimum cemaran timbal (Pb) pada minyak goreng adalah sebesar 0,1 mg/kg. Dari survei pendahuluan yang dilakukan, terdapat beberapa orang pedagang gorengan berjualan makanan jajanan di persimpangan jalan besar yang merupakan kawasan traffic light. Diantaranya adalah simpang Pos Padang Bulan Medan, simpang Pinang Baris Selayang Medan, persimpangan terminal Amplas Medan, persimpangan Komplek TASBI Medan dan persimpangan Aksara Medan. Pada persimpangan tersebut, lokasi penjualan gorengan hanya berjarak ±1 meter dari tepi jalan raya dan <100 meter dari lampu traffic light. Persimpangan tersebut termasuk jalur lintas padat dilalui kendaraan bermotor. Di samping itu, banyak konsumen, khususnya anak sekolah, mahasiswa maupun
20 pegawai kantoran membeli gorengan di lokasi ini. Melihat keadaan tersebut, muncul dugaan bahwa lalu lintas dan berhentinya kendaraan bermotor disekitar persimpangan tersebut dapat mengakibatkan pencemaran minyak goreng oleh asap kendaraan yang mengandung timbal (Pb), hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengetahui kandungan timbal (Pb) pada minyak sebelum dan susudah penggorengan yang digunakan pedagang gorengan sekitar kawasan traffic light Kota Medan tahun 2012. 1.2. Rumusan Masalah Pada kawasan jalan raya, timbal (Pb) dapat mencemari makanan jajanan pinggir jalan. Makanan pinggir jalan tersebut umumnya menggunakan minyak goreng, sehingga diperlukan analisa mengenai kandungan timbal (Pb) pada minyak sebelum dan sesudah penggorengan yang digunakan pedagang gorengan sekitar kawasan traffic light Kota Medan Tahun 2012. 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui kandungan timbal (Pb) pada minyak sebelum dan sesudah penggorengan yang digunakan pedagang gorengan sekitar kawasan traffic light Kota Medan tahun 2012.
21 1.3.2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui kadar logam timbal (Pb) dalam minyak sebelum penggorengan. b. Untuk mengetahui kadar logam timbal (Pb) dalam minyak sesudah penggorengan. c. Untuk mengetahui kadar timbal (Pb) pada minyak goreng tersebut apakah memenuhi syarat atau tidak memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makananan Republik Indonesia Nomor HK.00.06.1.52.4011 tahun 2009. d. Untuk mengetahui perilaku pedagang gorengan tentang paparan timbal (Pb). 1.4. Manfaat Penelitian a. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai informasi seberapa aman makanan gorengan yang dijual dipinggir jalan Kota Medan. b. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis tentang kandungan cemaran timbal (Pb) pada minyak goreng, khususnya cara penentuan kadar timbal (Pb) pada minyak goreng tersebut. c. Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya sehingga penelitian ini dapat digunakan untuk berbagai keperluan dan dapat bermanfaat.