BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak enak dan berkaitan dengan ancaman kerusakan jaringan. Keadaan psikis sangat mempengaruhi nyeri, misalnya emosi dapat menimbulkan sakit kepala atau memperhebatnya. Nyeri merupakan suatu perasaan pribadi dan ambang toleransi nyeri berbeda-beda pada setiap orang (Tjay & Rahardja, 2002). Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri didefinisikan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya atau potensi rusaknya jaringan atau keadaan yang menggambarkan kerusakan jaringan tersebut. Berdasarkan definisi tersebut nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif (aspek fisiologi sensorik nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional dan psikologis) (Sunaryanto, 2009). Nyeri sampai saat ini merupakan masalah dalam dunia kedokteran. Nyeri bukan hanya berkaitan dengan kerusakan struktural dari sistem saraf dan jaringan saja, tetapi juga menyangkut kelainan transmiter yang berfungsi dalam proses penghantaran impuls saraf. Dilain pihak, nyeri juga sangat mempengaruhi morbiditas, mortilitas, dan mutu kehidupan (Sunaryanto, 2009). Rasa sakit atau nyeri sendi sering menjadi penyebab gangguan aktivitas sehari-hari penderita. Hal ini mengundang penderita untuk segera mengatasinya apakah dengan upaya farmakoterapi, fisioterapi dan atau pembedahan. Farmakoterapi berawal dengan pemberian analgetika sederhana dan edukasi (Lelo, 2004). Analgetika atau obat penghilang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran (Tjay & Rahardja, 2002). Dalam prakteknya dokter selalu menanggulangi keluhan rasa sakit atau nyeri pada pasien dengan pemberian obat-obatan analgetika sederhana, dan pada kenyataannya belum mampu mengontrol rasa sakit akibat inflamasi (Fajriani, 2008). 1
2 Nyeri sering kali dapat diatasi oleh obat-obat yang menekan aktivitas zat perantara disuatu titik disepanjang perjalanan jalur nyeri (Sherwood, 2001). Atas dasar kerja farmakologisnya, terapi nyeri dibagi dalam dua kelompok besar, yakni Analgetika narkotik dan Analgetika perifer (non-narkotik) (Tjay &Rahardja, 2002). Analgetika narkotika, kini disebut juga opioida (mirip opiat) adalah obatobat yang daya kerjanya seperti opioid endogen dengan memperpanjang aktivitas dari reseptor-reseptor opioid. Zat-zat ini bekerja terhadap reseptor opioid di SSP, hingga persepsi nyeri dan respons emosional terhadap nyeri berubah (dikurangi) (Tjay & Rahardja, 2002). Analgetika perifer (non-narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat non-narkotik dan tidak bekerja sentral. Analgetika antiradang termasuk dalam kelompok ini. Keuntungan terapi analgesik non-narkotik tidak menimbulkan ketergantungan fisik atau toleransi, analgetika anti radang termasuk dalam kelompok ini (Mycek, 2001). Secara kimiawi analgetika perifer dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yakni asetaminofen (parasetamol, panadol, tempra, tylenol, dumin),salisilat (asetosal, salisilamida, dan benorilat), penghambat prostaglandin (NSAIDs) seperti ibuprofen, derivat-antranilat (mefenaminat, glafenin), derivat-pirazolon (propifenazon, isopropilaminofenazon, dan metamizol) dan golongan lainnya seperti benzidamin (Tantum) (Tjay & Rahardja, 2002). Asetaminofen (parasetamol), merupakan analgesik perifer (non-steroid) yang populer dan banyak digunakan di Indonesia, dalam bentuk sediaan tunggal atau dalam bentuk kombinasi (siswandono & Soekadjo, 2000). Asetaminofen merupakan pengganti yang baik untuk efek analgesik dan antipiretik aspirin pada penderita dengan keluhan saluran cerna dan pada mereka dengan perpanjangan waktu perdarahan yang tidak menguntungkan atau pada mereka yang tidak memerlukan efek anti-inflamasi aspirin karena toksisitasnya lebih rendah dan asetaminofen telah menggantikan fenasetin pada semua pengobatan nyeri kepala. Pada dosis terapi normal, asetaminofen bebas dari efek samping bermakna namun asetaminofen sendiri dapat menyebabkan kerusakan hati apabila digunakan selama 10 hari berturut-turut dalam rentang dosis terapi (Mycek, 2001).
3 Asetaminofen berasal dari asetilasi gugus amino dari p-aminofenol, pada dosis terapi relatif aman tetapi pada dosis yang lebih besar dan pada pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan methemoglobin dan kerusakan hati. P- aminofenol adalah produk metabolik dari anilin yang toksisitasnya lebih rendah dibanding anilin dan turunan orto dan meta, tetapi akan terlalu toksik jika digunakan langsung sebagai obat sehingga perlu dilakukan modifikasi struktur untuk mengurangi toksisitasnya (siswandono & Soekadjo, 2000). Modifikasi struktur molekul senyawa yang telah diketahui aktivitas biologisnya merupakan salah satu strategi dalam pengembangan obat. Modifikasi tersebut bertujuan untuk mendapatkan senyawa baru yang mempunyai aktivitas lebih tinggi, masa kerja yang lebih panjang, tingkat kenyamanan yang lebih tinggi, toksisitas atau efek samping yang lebih rendah, lebih selektif dan lebih stabil. Selain itu modifikasi struktur molekul juga digunakan untuk mendapatkan senyawa baru yang bersifat antagonis atau antimetabolit (Siswandono & Soekadjo, 2000). Sifat-sifat kimia fisika merupakan dasar yang sangat penting untuk menjalaskan aktivitas biologis obat. Sifat kimia fisika yang berhubungan dengan aktivitas biologis antara lain adalah kelarutan, koefisien partisi, adsorbsi, aktivitas permukaan, derajat ionisasi, isosterisme, ikatan kimia, seperti ikatan-ikatan kovalen, ion, hidrogen, dipol-dipol, van der waals dan hidrofob, jarak antar atom dari gugus-gugus fungsional, potensial redoks, pembentukan kelat dan konfigurasi molekul dalam ruang (isomer) (siswandono & Soekadjo, 2000). Dalam keadaan tertentu sifat-sifat tersebut dikaitkan dengan fungsi kimia seperti kelarutan lemak/air (log P). Pada proses distribusi obat, penembusan membran biologis terutama dipengaruhi oleh sifat lipofil molekul obat, seperti kelarutan lemak/air, sifat elektronik obat, seperti derajat ionisasi, dan suasana PH. Sifat sifat lipofil, elektronik dan sterik suatu gugus atau senyawa dapat dinyatakan dalam berbagai macam parameter sifat kimia fisika dan parameterparameter tersebut digunakan untuk menghunbungkan secara kuantitatif struktur kimia dan aktivitas biologis obat (siswandono & Soekadjo, 2000). Secara teoritis penambahan gugus p-toluolbenzoilklorida pada struktur p- aminofenol akan meningkatkan parameter lipofilitas dan sterik dari p-aminofenol.
4 Dari hasil perhitungan teoritis menggunakan perangkat lunak ChemDraw Ultra versi 13.02, 4-hidroksifenil-4-metilbenzamida mempunyai Log P 2,94 dan MR (Molar Refraction) = 66,28 cm 3 /mol. Sedangkan p-aminofenol sendiri mempunyai Log P = 0,28 dan MR = 40,25 cm 3 /mol. Data tersebut menunjukkan terjadinya peningkatan harga Log P 4-hidroksifenil-4metilbenzamida terhadap p-aminofenol yang berarti adanya peningkatan parameter lipofilitas. Peningkatan lipofilitas ini mengakibatkan penembusan membran biologi tubuh yang lebih baik. Selain itu terdapat juga peningkatan nilai MR yang mengakibatkan naiknya parameter sterik sehingga akan menyebabkan keserasian interaksi senyawa dengan reseptor dalam sel meningkat. Kedua hal ini menyebabkan meningkatnya aktivitas biologi. Untuk mendapatkan 4-hidroksifenil-4-metilbenzamida dilakukan reaksi substitusi nukleofilik dengan cara menempelkan gugus nukleofil ke gugus karbonil pada p-aminofenol dengan menggunakan reaksi Schotten-Baumann yang dimodifikasi. Sebagai pelarut digunakan aseton yang merupakan pelarut semi polar yang mampu melarutkan senyawa organik dan juga berbagai garam. Pelarut semi polar juga lebih mendorong arah reaksi ke substitusi nukleofilik 2 karena tidak membantu terjadinya ionisasi dibandingkan pelarut polar (air) yang mendorong reaksi substitusi nukleofilik 1 karena membantu terjadinya ionisani ion ( Fessenden & Fessenden, 1999). Uji kemurnian dari senyawa hasil preparasi dilakukan dengan penentuan titik lebur dan kromatografi lapis tipis (KLT) dimana titik lebur suatu senyawa padat dapat memberikan petunjuk derajat kemurniannyadan dapat juga membantu dalam mengidentifikasinya. Meskipun tidak selalu benar, tapi dapat dipertimbangkan bahwa jarak titik lebur yang tajam (<2 0 C), yakni antara mulai tampak titik-titik cairan dalam kapiler sampai tidak tampak lagi padatan sedikitpunmemberikan petunjuk yang dapat dipercaya bahwa senyawa tersebut adalah murni. (Firdaus, 2011). Identifikasi struktur dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer ultraviolet (UV-Vis) dan spektrofotometer infra merah (IR) serta spektrometer resonansi magnet inti proton hidrogen ( 1 H-NMR). Identifikasi struktur dengan spektrofotometer UV-Vis dapat dilihat melalui penyinaran pelat dengan sinar
5 ultraviolet (lampu ultraviolet) di dalam tempat yang gelap. Senyawa seperti itu akan memancarkan sinar yang diserap sehingga tampak sebagai noda yang terang pada pelat.keberadaan senyawa ditandai dengan noda hitam pada saat penyinaran. Identifikasi struktur dengan spektrofotometer IR ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi suatu senyawa yang belum diketahui dari sediaan yang berupa cairan, padatan, atau gas. Spektrometer IR digunakan karena spektrum yang dihasilkan spesifik untuk senyawa tersebut, cepat dan relatif murah, dapat digunakan untuk mengidentifikasi gugus fungsional dalam molekul, spektrum inframerah yang dihasilkan oleh suatu senyawa adalah khas dan oleh karena itu dapat menyajikan sebuah fingerprint (sidik jari) untuk senyawa tersebut. Identifikasi struktur dengan spektrometer H-NMR diperoleh dari sediaan dalam bentuk larutan. Penyiapan sediaan untuk spektrometer H-NMR memerlukan pemilihan pelarut, pengaturan konsentrasi zat terlarut agar dapat terukur, penurunan konsentrasi sedemikian rupa sehingga keberadaan pengotor dalam sediaan tidak mengganggu homogenitas medan dalam pengukuran sediaan. Keberadaan partikel padat dalam larutan sedapat mungkin dipindahkan karena dapat menimbulkan gangguan medan magnet statis dan menyebabkan menurunannya resolusi spektrometer (Firdaus, 2011). Modifikasi p-aminofenol dengan dengan toluen dan benzil klorida menghasilkan senyawa turunan (4-hidroksifenil-4-metilbenzamida) yang didapat dengan melakukan substitusi atom H gugus hidroksi pada atom karbonil benzoilklorida dapat dilihat pada gambar 1 : + + HCl p-aminofenol p-toluolbenzoil klorida 4-hidroksifenil-4-metilbenzamida Gambar 1. Sintesis 4-hidroksifenil-4-metilbenzamida
6 Untuk menguji aktivitas analgesik senyawa 4-hidroksifenil-4- metilbenzamida, dapat dilakukan dengan metode yang menggunakan zat kimia sebagai penginduksi nyeri (metode Writhing Test). Pemilihan metode pengujian aktivitas analgesik ini tidak hanya pengukuran intensitas, tetapi juga lama kerja obat untuk menghindari kerusakan permanen suatu jaringan akibat observasi berulang.metode ini tidak hanya sederhana dan dapat dipercaya tetapi juga memberikan evaluasi yang cepat terhadap jenis analgetik perifer. Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit (Musculus) karena mudah diperoleh, relatif murah, mempunyai sistem syaraf yang mirip dengan syaraf manusia dan sering digunakan untuk uji analgesik suatu nyawa (Thompson, 1990). 1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah senyawa 4-hidroksifenil-4-metilbenzamida dapat dihasilkan melalui modifikasi struktur dari senyawa p-aminofenol dengan p- toluolbenzoil klorida? 2. Apakah senyawa 4-hidroksifenil-4-metilbenzamida memiliki aktivitas analgesik yang lebih besar dibandingkan dengan asetaminofen? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Mendapatkan senyawa baru turunan p-aminofenol, yaitu senyawa 4- hidroksifenil-4-metilbenzamida yang dihasilkan melalui modifikasi dari senyawa p-aminofenoldengan p-toluolbenzoil klorida. 2. Mengetahui aktivitas analgesik senyawa 4-hidroksifenil-4-metilbenzamida pada mencit ( Mus musculus) dan membandingkan aktivitas analgesiknya dengan asetaminofen.
7 1.4 Hipotesis 1. Senyawa 4-hidroksifenil-4-metilbenzamida dapat dihasilkan melalui modifikasi struktur dari senyawa p-aminofenol dengan p-toluolbenzoil klorida. 2. Senyawa 4-hidroksifenil-4-metilbenzamida memiliki aktivitas analgesik pada mencit (Mus musculus) dan aktivitas analgesiknya lebih besar dibandingkan dengan asetaminofen. 1.5 Manfaat penelitian Mendapatkan senyawa baru, yaitu 4-hidroksifenil-4-metilbenzamida yang diharapkan memiliki aktivitas analgesik yang lebih besar dari asetaminofen. Sehingga dapat digunkan sebagai alternatif calon obat analgesik.