I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada sekitar akhir tahun seribu sembilan ratus enam puluhan perhatian masyarakat dunia terhadap berbagai residu senyawa asing (xenobiotics) pada pangan dan bahan pangan asal ternak masih sangat kurang, karena pada saat itu perhatian utama masyarakat masih terpusat kepada masalah residu pestisida pada buah dan sayur-sayuran (produk tanaman pangan/hortikultura). Setelah terungkapnya senyawa-senyawa pestisida DDT, dieldrin, tetrasiklin, hormon dan obat-obatan lain pada produk asal ternak, baru masyarakat menyadari dan khawatir, sehingga upaya untuk mengawasi produk-produk asal ternak mulai mendapat perhatian khusus (Bahri 1994). Pangan asal ternak memiliki nilai gizi kualitas tinggi, tetapi mempunyai kelemahan dalam hal daya simpannya yang relatif tidak tahan lama. Daging, telur dan susu mempunyai sifat mudah rusak dan akan menjadi tidak bernilai sama sekali. Disamping itu, pangan asal ternak tersebut belum tentu aman, oleh karena kondisi berbagai penyakit ternak penghasilnya akan mempengaruhi higienes dari produk tersebut. Dalam hal ini, ternak yang sehat akan menghasilkan mutu produk atau pangan asal ternak yang juga sehat/baik, dan sebaliknya pada ternak yang tidak sehat apalagi menderita penyakit akan menghasilkan produk yang kurang baik pula, bahkan dapat membahayakan kesehatan masyarakat yang mengonsumsinya. Oleh karena itu, Keamanan Produk Ternak (pangan asal ternak) bagi Manusia merupakan persyaratan mutlak yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Kasus penyakit sapi gila (mad cow) di Inggris dan beberapa negara Eropa lainnya pada akhir tahun seribu sembilan ratus sembilan puluhan, cemaran dioksin pada produk asal ternak di Belgia dan Belanda pada tahun 1999 dan kasus penyakit Antraks pada babi di Irian Jaya pada tahun 1984, pada domba dan kambing di Bogor tahun 2001, pada sapi di 1
Keamanan Pangan Asal Ternak Sulawesi Selatan tahun 2008, dan Antraks pada sapi di Jawa Tengah tahun 2011, menggambarkan betapa pentingnya masalah keamanan pangan asal ternak yang berdampak tidak hanya terhadap kesehatan manusia (konsumen), tetapi juga berdampak kepada perdagangan domestik dan global serta perekonomian negara yang terlibat dalam perdagangan tersebut (Ronohardjo et al.; Darminto dan Bahri 1999; Putro 1999; Sitepu 2000; Hardjoutomo et al. 2000; Noor et al. 2001; Alfinus et al. 2008; Djoko 2011). Permasalahan serupa juga terjadi pada cemaran kuman Salmonella pada telur di Inggris tahun seribu sembilan ratus sembilan puluhan yang berdampak kepada mundurnya seorang Pejabat di Pemerintahan Inggris. Oleh karena itu, penulis menganggap masalah keamanan pangan asal ternak ini sangat penting untuk diketahui masyarakat luas termasuk para mahasiswa di bidang peternakan, pangan maupun kesehatan hewan dan manusia. Atas dasar hal tersebut penulis menerbitkan buku keamanan pangan asal ternak, situasi, permasalahannya dan upaya penanganannya di Indonesia, sebagai salah satu referensi permasalahan keamanan pangan asal ternak dengan penekanan pada proses di tingkat on farm. B. Pengertian Pangan dan Keamanan Pangan Dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan dinyatakan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak azasi manusia yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh 2
Pendahuluan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal. Di dalam undang-undang tersebut yang dimaksud dengan Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Sedangkan pengertian Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi. Keamanan pangan ikut menentukan mutu dari pangan itu sendiri, karena pengertian mutu pangan dalam UU No. 18 tahun 2012 ini adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan dan kandungan gizi pangan. Oleh karena itu, berbicara keamanan pangan adalah bicara mutu dari pangan itu sendiri atau dengan kata lain bahwa pangan yang tidak aman untuk dikonsumsi adalah pangan yang bermutu rendah dan dapat membahayakan kesehatan manusia yang mengonsumsinya, sehingga tidak boleh dikonsumsi manusia. Dalam UU Nomor 18 tahun 2012 tentang pangan, Keamanan Pangan merupakan bagian yang penting sehingga dimuat dalam Bab tersendiri (Bab VII) dimana dalam penyelenggaraannya dilakukan melalui: sanitasi pangan, pengaturan terhadap bahan tambahan pangan, pengaturan terhadap pangan produk rekayasa genetika, pengaturan terhadap iradiasi pangan, penetapan terhadap standar keamanan pangan, pemberian jaminan 3
Keamanan Pangan Asal Ternak keamanan pangan dan mutu pangan, dan jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan. Dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 ini lebih lanjut mengatur tentang pangan tercemar yang dilarang diedarkan karena pangan tercemar ini adalah pangan yang mengandung bahan beracun, berbahaya, atau yang dapat membahayakan kesehatan atau jiwa manusia. Pangan tercemar juga merupakan pangan yang mengandung cemaran yang melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan. Untuk menjamin bahwa pangan yang beredar aman dan bermutu maka pemerintah harus menetapkan standar keamanan pangan dan mutu pangan, setiap orang yang memproduksi dan memperdagangkan pangan wajib memenuhi standar keamanan pangan dan mutu pangan, pemenuhan standar keamanan pangan dan mutu pangan dilakukan melalui penerapan sistem jaminan keamanan pangan dan mutu pangan. Sanitasi pangan dilakukan agar pangan aman untuk dikonsumsi, sanitasi pangan ini dilakukan dalam kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan dan atau peredaran pangan. Sanitasi pangan ini harus memenuhi persyaratan standar kemanan pangan. Setiap orang yang terlibat dalam rantai pangan wajib mengendalikan risiko bahaya pada pangan, baik yang berasal dari bahan, peralatan dan sarana produksi. Dalam undang-undang ini yang dimaksud pangan pokok adalah pangan yang diperuntukkan sebagai makan utama sehari-hari sesuai dengan potensi sumber daya dan kearifan lokal. Sedangkan yang dimaksud dengan pangan segar adalah pangan yang belum mengalami pengolahan yang dapat dikonsumsi langsung dan/atau yang dapat menjadi bahan baku pengolahan pangan. C. Pangan sebagai Bahan Makanan dan Komoditas Perdagangan Pangan asal ternak yang merupakan kebutuhan dasar hidup manusia mempunyai keterkaitan yang erat dengan upaya 4
Pendahuluan meningkatkan pembangunan SDM (meningkatkan kualitasnya), yaitu daya intelektualnya melalui perbaikan gizi protein hewani. Apabila bahan pangan asal ternak tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan, maka tidak hanya menyebabkan gangguan kesehatan atau kematian, tetapi juga dapat mempengaruhi pertumbuhan fisik dan inteligensia masyarakat yang mengonsumsi pangan tersebut. Oleh karena itu dengan adanya tuntutan kualitas hidup dan kehidupan yang semakin meningkat, maka pembangunan peternakan tidak hanya dituntut untuk meningkatkan kuantitas pangan, tetapi juga dituntut untuk dapat menyediakan bahan pangan asal ternak yang berkualitas dan aman bagi konsumen. Keamanan Pangan ini juga terkait dengan UU No. 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen dimana konsumen berhak atas keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang (makanan atau bahan makanan). Dalam UU Nomor 8 Tahun 1998 ini pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang (termasuk makanan/bahan makanan) yang: (a) tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan sesuai ketentuan; (b) tidak sesuai dengan mutu, komposisi sebagaimana dinyatakan dalam label; (c) tidak memasang label atau keterangan mengenai komposisi barang/makanan; (d) rusak atau tercemar tanpa informasi yang jelas. Pelaku usaha juga dilarang memperdagangkan pangan yang rusak, cacat, bekas dan tercemar dengan atau tanpa memberikan informasi yang lengkap dan benar. Produksi pangan baik oleh perseorangan atau perusahaan pada dasarnya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk masyarakat luas lainnya melalui perdagangan pangan. Dalam perdagangan pangan ini baik lokal, regional dan internasional dimaksudkan sebagai bidang usaha untuk mendapatkan penghasilan yang akan diperlukan untuk kebutuhan barangbarang lainnya. Oleh karena itu, pangan yang diproduksi dengan 5
Keamanan Pangan Asal Ternak tujuan perdagangan komersial harus memenuhi persyaratan keamanan pangan yang diatur secara lokal, regional dan global. D. Tuntutan Keamanan Pangan (terhadap Kesehatan Konsumen dan Terhadap Perdagangan Nasional, Regional dan Internasional) Perundingan putaran Uruguay mengenai general agreement on trade and tarriff (GATT) yang diikuti oleh 125 negara pada tahun 1994 memiliki dampak yang sangat luas mencakup kesepakatan dan keputusan mengenai perdagangan Internasional. Salah satu aspeknya adalah kesepakatan mengenai aplikasi tindakan sanitary and phytosanitary (SPS) yang mengatur tindakan perlindungan keamanan pangan dalam bidang kesehatan hewan dan tumbuhan yang perlu dijalankan oleh negara-negara anggota world trade organization (WTO) termasuk Indonesia. Tujuan dari ketentuan ini adalah untuk melindungi kehidupan manusia dari risiko yang ditimbulkan oleh bahan makanan tambahan (food additive) dalam pangan, cemaran (contaminants), racun (toxins) atau organisme penyebab penyakit dalam makanan atau dari penyakit zoonosis. Oleh karena itu, dalam perjanjian ini ditegaskan bahwa setiap negara harus melakukan upaya untuk menjamin keamanan pangan bagi konsumen dan mencegah penyebaran hama dan penyakit pada hewan dan tumbuhan. Dengan diberlakukannya persetujuan GATT dan berdirinya WTO serta terbentuknya perdagangan bebas ASEAN (AFTA/ Asean Free Trade Agreement) pada 2003 yang disepakati menjadi Masyarakat Ekonomi ASEAN pada tahun 2015, dan juga Asia Pacific (APEC) pada 2020 serta Asia dan Eropa (ASEM), maka dapat diperkirakan persaingan untuk memasarkan berbagai produk dari dan ke dalam negeri maupun luar negeri akan semakin ketat. Oleh karena itu, pangan termasuk yang berasal dari ternak selain merupakan kebutuhan dasar kehidupan manusia juga sebagai komoditas dagang yang dituntut keamanannya agar mempunyai 6
Pendahuluan daya saing yang tinggi sehingga pada gilirannya akan ikut memberikan sumbangan yang berarti dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional. Jaminan keamanan pangan maupun bahan pangan telah menjadi tuntutan masyarakat seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan. Hal ini juga sama dengan tuntutan dalam perdagangan nasional maupun internasional. Jaminan keamanan pangan merupakan jaminan bahwa pangan atau bahan pangan tersebut bila disiapkan dan dikonsumsi secara benar dan wajar tidak akan membahayakan kesehatan konsumen. Sebaliknya, bila tidak ada jaminan keamanan pangan, maka pangan atau bahan pangan tersebut akan sulit untuk diperdagangkan, bahkan tidak diperbolehkan untuk diperdagangkan. Oleh karena itu untuk menjamin kesetaraan dalam perdagangan global, diperlukan standar yang dapat diterima oleh semua negara yang terlibat di dalamnya (Murdiati 2006). Standar keamanan pangan yang diakui oleh dunia internasional adalah standar yang dikeluarkan oleh badan internasional yang berkompeten seperti Codex Alimentarius Commission (CAC), yang didirikan oleh FAO dan WHO pada tahun 1962. CAC ini dalam menyusun standar pangan tertentu melibatkan para pakar dunia yang tidak diragukan lagi kepakarannya yang direkrut oleh FAO maupun WHO dalam suatu komite tersendiri yang disebut Komite Kodek (Codex Committee). Komite Kodek ini melakukan sidang secara berkala untuk menetapkan standar, aturan (code of practice) dan pedoman (guidelines). CAC ini dibentuk dengan tujuan untuk melindungi kesehatan masyarakat dunia sebagai konsumen dari suatu pangan atau bahan pangan, serta menjamin terjadinya praktek yang jujur, transparan dan bertanggungjawab serta tidak saling merugikan dalam perdagangan pangan dan bahan pangan baik nasional maupun internasional. Meningkatnya perdagangan pangan dan bahan pangan secara global juga telah menyebabkan 7
Keamanan Pangan Asal Ternak meningkatnya tuntutan akan jaminan keamanan pangan yang semakin tinggi pula sehingga diperlukan adanya perjanjian perdagangan yang berkaitan dengan keamanan pangan secara global agar perdagangan yang jujur dapat diwujudkan. Sampai dengan tahun 2004, CAC telah beranggotakan sebanyak 169 negara, yang pada awal berdirinya CAC di tahun 1962 hanya beranggotakan 38 negara (Erniningsih 2004). 8