I. PENDAHULUAN. bahan makanan utama, khususnya protein hewani. Sementara itu kekayaan

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI

PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing).

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah Kanada, sehingga 2/3 luas wilayah Indonesia merupakan. untuk menuju Indonesia yang lebih maju dan sejahtera.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. BT dan 6 15'-6 40' LS. Berdasarkan pada ketinggiannya Kabupaten Indramayu

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR PANTAI UTARA DAERAH KABUPATEN CIREBON

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. semua makhluk baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Dari ketiga

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. seperti tercantum dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 di dalam

I. PENDAHULUAN. negara Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan salah satu sektor yang diandalkan pemerintah untuk

BAB I PENDAHULUAN. negara yang memiliki kawasan pesisir yang sangat luas, karena Indonesia

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

I. PENDAHULUAN. mangrove. Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan

- 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan lautan Indonesia yang kaya dan beragam sumberdaya alamnya telah dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia sebagai salah satu sumber bahan makanan utama, khususnya protein hewani. Sementara itu kekayaan hidrokarbon dan mineral lainnya yang terdapat di wilayah ini juga telah dimanfaatkan untuk menunjang pembangunan ekonomi nasional. Selain menyediakan berbagai sumberdaya tersebut, wilayah pesisir Indonesia memiliki berbagai fungsi lain, seperti transportasi dan pelabuhan, kawasan industri, agribisnis dan agroindustri, rekreasi dan pariwisata, serta kawasan pemukiman dan tempat pembuangan limbah. Dalam kaitannya dengan pembangunan sumberdaya pesisir dan laut pemerintah telah membuat suatu kebijakan yang strategis dan antisipatif, yaitu dengan menjadikan matra laut sebagai sektor tersendiri dalam GBHN 1993, yang sebelumnya merupakan bagian dari berbagai sektor pembangunan. Dibalik peran strategis dan prospek yang cerah dari ekosistem pesisir dan lautan beserta sumberdaya alam yang terdapat di dalamnya bagi pembangunan nasional, terdapat berbagai kendala dan kecenderungan yang mengancam kapasitas keberlanjutan (sustainable capacity) kedua ekosistem ini dalam menunjang kesinambungan pembangunan. Berbagai kasus ; seperti pencemaran perairan Teluk Jakarta, Selat Malaka, Surabaya dan kota pantai lainnya ; kondisi tangkap lebih (overfishing) yang menimpa beberapa stok ikan di Pantai Utara Jawa, Selat Bali, Selat Malaka, dan Sulawesi Selatan ; degradasi fisik habitat pesisir utama (mangrove, terumbu karang dan padang lamun); dan abrasi pantai

merupakan sebagian indikator bahwa pelaksanaan kebijakan pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan di Indonesia menuju ke arah yang tidak optimal dan tidak berkelanjutan. Pemerintah biasanya dijadikan kambing hitam dan disalahkan karena kegagalan dalam meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat pesisir dan lautan, dan dalam menerapkan aturan untuk melindungi sumberdaya pesisir dan lautan tempat masyarakat pesisir menggantungkan kehidupannya. Undangundang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah telah memberikan landasan yang cukup kuat bagi pemerintah baik di pusat maupun daerah untuk mengambil dan membagi tanggung jawab dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan. Melalui konsep desentralisasi, pemerintah propinsi dan kabupaten/kota diberi tanggung jawab yang lebih besar dalam kegiatan pengelolaan pesisir dan laut. Dengan demikian, pemerintah daerah dapat menentukan metode dan cara yang lebih baik sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat dan kapasitas yang dimiliki untuk mengelola sumberdaya pesisir dan lautan. Undang-undang nomor 22 tahun 1999 juga memberikan kesempatan dan tanggung jawab kepada pemerintah daerah dan masyarakat untuk mengambil peran yang lebih besar dalam menentukan pengelolaan sumberdaya mereka. Penerapan peraturan ini memerlukan kehati-hatian karena apabila pemerintah daerah dan masyarakat belum memiliki kapasitas cukup untuk menentukan pengelolaan yang tepat maka pilihan pengelolaan bisa berdampak negatif bagi sumberdaya wilayah pesisir dan lautan. Untuk itu diperlukan upaya-upaya peningkatan kemampuan pemerintah daerah dan masyarakat 2

untuk memahami dan menyadari metode yang tepat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang baik. Sumberdaya pesisir dan laut di Propinsi DKI Jakarta berada di wilayah Kepulauan Seribu. Wilayah Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau karang di wilayah DKI Jakarta yang terdiri dari 110 pulau yang menyebar secara tidak teratur, memiliki potensi yang sangat tinggi dalam sub sektor perikanan dan kelautan. Potensi ini meliputi kawasan lahan daratan, pantai/pesisir dan perairannya yang kesemuanya memerlukan pengelolaan yang dapat mengakomodir semua kepentingan dengan selaras baik dari aspek ekonomi maupun aspek kelestarian lingkungan. Saat ini status kondisi dasar laut di Kepulauan Seribu berdasarkan persentase tutupan terumbu karang batu di 40 stasiun pengamatan menunjukkan sangat baik 0, baik 4, sedang 8 dan rusak 28 (Sukarsono dan Sukarno, 1992 dalam Dahuri et al., 2004). Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Dinas Perikanan DKI Jakarta dan PKSPL IPB tahun 2001, menyatakan bahwa di seluruh Pulau Kelurahan Pulau Panggang memperlihatkan bahwa persen tutupan karang hidup berkisar antara 2,61 37,50% yang berarti pada tingkatan buruk hingga sedang. Gambaran data kerusakan tersebut lebih rinci terdapat pada tabel berikut: Tabel 1. Kondisi dasar laut berdasarkan persentase tutupan karang Tahun Lokasi % Tutupan Terumbu Karang Hidup Kondisi 1993 P. Pramuka 58.65-70.17% Baik 1995 P. Pramuka 2.00-17.34% Buruk 2001 Seluruh Pulau di kelurahan Pulau Panggang (13 pulau) 2.61-37.50% Buruk hingga Sedang Sumber: Dinas Perikanan DKI Jakarta dan PKSPL-IPB,2001 3

Hal di atas menunjukkan bahwa tekanan yang semakin besar terhadap lingkungan fisik wilayah berakibat pada degradasi lingkungan dan terancamnya kelestarian sumberdaya alam wilayah pesisir dan laut. Ancaman yang lebih serius adalah hilangnya sumber penghidupan masyarakat, hilangnya keanekaragaman hayati, dan hilangnya nilai estetika panorama bawah laut yang berkaitan dengan dimensi ekologis terumbu karang. Nirmala (2003) menyebutkan bahwa nelayan setempat sudah merasakan akibat langsung dari kerusakan lingkungan laut, berupa semakin menurunnya hasil tangkapan ikan dalam 10 tahun terakhir dan semakin kecilnya ukuran ikan yang tertangkap (Tabel 2.). Tabel 2. Penurunan Hasil Tangkapan Ikan Karang di Kawasan Kelurahan Pulau Panggang No. Keterangan Sebelum Tahun 2000 Setelah Tahun 2000 1. Jumlah Pengumpul Ikan Hias 21 12 2. Bibit Kerapu Alam Ukuran Bibit 3. Ikan plaktor, Notaris, Udang Lobster, Udang Karang 1000 3kor / 3 bln 100 300 gram Frekuensi dijumpai 5 kali / bulan 300 ekor / 3 bulan < 100 gram Frekuensi dijumpai 1-2 kali / bulan 4 Ikan Hias yang tertangkap 150-200 ekor /hari 100-150 ekor /hari Sumber : Sensusiwati (2002) dan Nirmala (2003). Untuk menciptakan pengelolaan yang baik dan tepat, maka diperlukan suatu strategi dan sistem pengelolaan alam yang lebih mendukung dan berkelanjutan (sustainable). Sistem pengelolaan berbasis masyarakat (PBM) atau Community Based Management (CBM) adalah salah satu alternatif yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi segenap pengguna sumberdaya dan pihak-pihak yang terkait (stakeholders) dalam upaya pengelolaan wilayah pesisir 4

dan laut dalam rangka memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut secara lestari. Dalam pengelolaan berbasis masyarakat ditekankan pada pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaan. Pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang melibatkan masyarakat akan membawa dua keuntungan sekaligus. Pertama, untuk memelihara fungsi ekologi dengan melindungi habitat tempat hidup, tempat bertelur dan tempat memijah biota-biota laut. Kedua, untuk memelihara fungsi ekonomi kawasan bagi masyarakat setempat, sehingga terjadi keberlanjutan bagi peningkatan produksi perikanan maupun pendapatan dari sektor lain seperti pariwisata dan budidaya. 1.2. Rumusan Masalah Isu yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Kepulauan Seribu hingga saat ini berkisar pada pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat lokal yang sangat bergantung pada keberadaan sumberdaya alam. Hal ini mengakibatkan terancamnya sumberdaya sehingga terjadi degradasi lingkungan secara cepat, dimana masyarakat cenderung melakukan eksploitasi sumberdaya dengan cara yang dapat merusak lingkungan. Masyarakat Kepulauan Seribu, Kelurahan Pulau Panggang khususnya, sangat menggantungkan hidupnya sebagai nelayan penangkap ikan baik ikan konsumsi maupun ikan karang atau ikan hias, pengambil terumbu karang dan bunga-bunga karang untuk aquarium serta sebagai pembudidaya rumput laut. Kurangnya pemahaman masyarakat untuk melestarikan ekosistem laut serta tekanan ekonomi menyebabkan mereka melakukan pola-pola penangkapan ikan yang cenderung destruktif sehingga menyebabkan rusaknya ekosistem pesisir dan laut. 5

Hasil forum kajian masyarakat Kelurahan Pulau Panggang, Sosialisasi Daerah Perlindungan Laut oleh Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Propinsi DKI Jakarta serta symposium yang dilakukan kelompok masyarakat lokal setempat pada tahun 2002, menyatakan bahwa masyarakat menghendaki adanya suatu lokasi yang diperuntukkan sebagai Daerah Perlindungan Laut di wilayah Kelurahan Pulau Panggang. Tujuan dibentuknya Daerah Perlindungan Laut adalah untuk melindungi ekosistem di wilayah tersebut, dimana melibatkan masyarakat dalam pengelolaannya. Berkenaan dengan hal tersebut, untuk menyelamatkan kawasan Kepulauan Seribu, dan didahului oleh suatu kajian tentang kesesuaian kawasan, dikembangkan program konservasi laut dengan dukungan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, yaitu berupa kegiatan Pengembangan Daerah Perlindungan Laut yang berlokasi di Perairan Sekitar Pulau Pramuka Kelurahan Pulau Panggang Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. Di sisi lain partisipasi masyarakat dan pemerintah setempat sangat menentukan keberhasilan pembentukan dan pengelolaan DPL-BM. Jika partisipasi dan kesadaran masyarakat semakin besar dan luas, maka pembentukan DPL-BM di setiap desa pesisir akan menciptakan suatu system untaian DPL-BM skala kecil, maka menarik untuk dikaji dalam penelitian ini dengan rumusan masalah sebagai berikut : a. Apa saja kegiatan konservasi yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, khususnya Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan, dan bagaimana metode kegiatannya? 6

b. Sejauh mana tingkat partisipasi masyarakat lokal dalam program pengelolaan Daerah Perlindungan Laut? c. Bagaimana hubungan karakteristik masyarakat dengan tingkat partisipasi masyarakat lokal dalam Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut? d. Apa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan Daerah Perlindungan Laut di masa mendatang? 1.3. Tujuan Sejalan dengan latar belakang dan perumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah : a. Menginventarisasi dan mengidentifikasi kegiatan yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, khususnya Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan serta menganalisa metode yang digunakan dalam kegiatan tersebut. b. Menganalisis tingkat partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan Daerah Perlindungan Laut. c. Mengidentifikasi hubungan antara karakteristik masyarakat dengan tingkat partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan Daerah Perlindungan Laut. d. Merekomendasikan upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Darah Perlindungan Laut di masa mendatang. 1.4. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut: 7

a. Memberikan gambaran partisipasi masyarakat lokal tehadap program konservasi laut, khususnya Daerah Perlindungan Laut. b. Sebagai bahan evaluasi atas Program Daerah Perlindungan Laut yang telah dilakukan di Kepulauan Seribu. c. Sebagai dasar acuan bagi para pengambil keputusan untuk mengembangkan konsep dan arahan strategi pengembangan Daerah Perlindungan Laut dengan melibatkan partisipasi masyarakat. 1.5. Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini adalah terbatas pada kegiatan konservasi pesisir dan laut yang dilakukan oleh Sub Dinas Eksplorasi, Eksploitasi, Konservasi, Rehabilitasi, dan Pengendalian Sumberdaya Pesisir dan Laut (Sub Dinas Kelautan) dari tahun 2002 sampai penelitian dilaksanakan. IKHTISAR Indonesia sangat kaya dengan sumberdaya alam laut. Banyak sekali pembangunan nasional yang telah dilakukan dengan mengandalkan ekosistem pesisir dan laut beserta sumberdaya alam yang terdapat di dalamnya, namun pelaksanaan kebijakan pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan di Indonesia menuju ke arah yang tidak optimal dan tidak berkelanjutan. Hal ini menyebabkan kegagalan pemerintah dalam meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat pesisir dan laut. Sebagai implementasi Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, diperlukan upaya-upaya peningkatan kemampuan Pemerintah Daerah dan masyarakat untuk memahami, mencari dan menyadari metode yang tepat dalam pengelolaan 8

sumberdaya pesisir dan laut yang baik. Salah satu alternatif yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi segenap pengguna sumberdaya dan pihak-pihak yang terkait (stakeholders) dalam upaya pengelolaan wilayah pesisir dan laut adalah sistem pengelolaan berbasis masyarakat (PBM) atau Community Based Management (CBM). 9