BAB 1 PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman dan globalisasi yang terjadi di

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Juga

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu ilmu yang saat ini berkembang dengan pesat, baik secara teoritis

BAB I PENDAHULUAN. Francisca, Miss Indonesia 2005 menganggap pendidikan adalah hal yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. (rohani) dan sosial, dan bukan hanya suatu keadaan yang bebas dari penyakit,

BAB I PENDAHULUAN. hatinya lahir dalam keadaan yang sehat, dari segi fisik maupun secara psikis atau

BAB I PENDAHULUAN. berbagai peran dalam kehidupannya, seperti menjadi suami atau istri bagi

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga merupakan suatu sistem sosial yang terdiri dari sejumlah individu yaitu

BAB I PENDAHULUAN. perhatian serius. Pendidikan dapat menjadi media untuk memperbaiki sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan, dan keterampilan. Hal ini akan membuat siswa mampu memilih,

BAB I PENDAHULUAN. memerhatikan kesehatannya, padahal kesehatan itu penting dan. memengaruhi seseorang untuk dapat menjalani kehidupan sehari-harinya

BAB I PENDAHULUAN. Dunia saat ini sedang memasuki era baru yaitu era globalisasi dimana hampir

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dilihat berdasarkan data dari Badan Narkotika Nasional (BNN), tercatat

BAB I PENDAHULUAN. pula dengan individu saat memasuki masa dewasa dini. Menurut Harlock (1980),

BAB I PENDAHULUAN. maupun mental dengan pengaruh perubahan perilaku yang tidak disadari. Pola

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Resiliensi yang berdasarkan (Benard, Bonnie 2004) dalam buku Resiliency : What

BAB I PENDAHULUAN. bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya.

BAB I PENDAHULUAN. pasangan suami istri, dengan harapan anak mereka akan menjadi anak yang sehat,

BAB I PENDAHULUAN. Semua orangtua berharap dapat melahirkan anak dengan selamat dan

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Lingkungan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, sampai dengan bulan

BAB I PENDAHULUAN. yang berkompetensi dalam berbagai bidang, salah satu indikator kompetensi

BAB I PENDAHULUAN. Pengasuhan oleh orang tua tunggal adalah salah satu fenomena di zaman

BAB I PENDAHULUAN. memasuki suatu era yang cukup memprihatinkan, khususnya bidang pendidikan. Badan Pusat

BAB I PENDAHULUAN. suatu jenis penyakit yang belum diketahui secara pasti faktor penyebab ataupun

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang optimal. Menurut definisi yang dikembangkan oleh AAMD

BAB I PENDAHULUAN. Banyak bermunculan fenomena perceraian yang terjadi, dimana tingkat perceraian di

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga Pemasyarakatan ini merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah

BAB I. Saat ini banyak bermunculan berbagai jenis penyakit sehingga membuat. banyak orang merasa cemas. Salah satu jenis penyakit tersebut adalah

BAB I PENDAHULUAN. negara lain, tapi juga terjadi di Indonesia. Keberadaan perempuan, yang

Social competence. Ps tinggi. W tinggi. Kyi tinggi

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah individu yang menempuh perkuliahan di Perguruan Tinggi

Studi Deskriptif Mengenai Resiliensi pada Warakawuri di Komunitas AW Bandung Descriptive Study about Warakawuri Resilience at AW Community in Bandung

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan tugas pemerintah untuk menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. setiap anak berhak memperoleh pendidikan yang layak bagi kehidupan mereka,

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Masyarakat berlomba-lomba untuk memenuhi kebutuhan tersebut agar

BAB I PENDAHULUAN diprediksikan mencapai jiwa atau 11,34%. Pada tahun terjadi peningkatan mencapai kurang lebih 19 juta jiwa.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian mengenai efektivitas individual

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang tidak mencerminkan kehidupan keluarga yang utuh dan harmonis.

BAB I PENDAHULUAN. tidak berfungsi dan dapat menyebabkan kematian. Menurut Organisasi Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam tahap perkembangan tersebut, manusia mengalami perubahan fisik dan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya yang tidak dapat mereka atasi. Masalah yang sering membuat

Studi Deskriptif Mengenai Personal Strengths pada Siswa Miskin Kelas 2 SMAN 1 Margahayu Kabupaten Bandung

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB 1 PENDAHULUAN. di kota-kota lain di Indonesia. Tidak memandang dari status sosial mana individu

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan

BAB I PENDAHULUAN. Ada beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai resiliency pada

BAB I PENDAHULUAN. Setiap pasangan memiliki harapan serta keinginan-keinginan menjalani

BAB I PENDAHULUAN. heran bila kesadaran masyarakat awam tentang pentingnya pendidikan berangsurangsur

BAB I PENDAHULUAN. beragam. Hal ini didukung oleh berkembangnya ilmu pengetahuan, serta semakin

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bukunya Resiliency : What We Have Learned. Teori ini digunakan karena sesuai

BAB I PENDAHULUAN. Rumah Sakit pemerintah, fungsi sosial inilah yang paling menonjol. Menurut WHO,

BAB I PENDAHULUAN. yang menerjang sebagian besar wilayah pantai barat dan utara Propinsi Nanggroe

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Memiliki kondisi fisik yang cacat bukanlah hal yang diinginkan oleh setiap

BAB I PENDAHULUAN. Ketika dua orang memasuki perkawinan, mereka mengikat komitmen untuk saling

BAB I PENDAHULUAN. pengangguran di Indonesia. Badan Pusat Statistik menyebutkan, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pada umumnya dalam menyokong pembangunan suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan peralihan antara masa kanak-kanak menuju

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia terdapat beberapa jenjang pendidikan, mulai dari Play Group

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kusta merupakan penyakit tertua di dunia yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. mendalam di seluruh dunia dikarenakan jumlah penderita autisme yang semakin

BAB I PENDAHULUAN. kandungan, masa bayi, balita, usia sekolah dan remaja. Setiap tahapan tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis wilayah Indonesia sebagian besar terletak di kawasan rawan bencana

BAB I PENDAHULUAN. lebih baik pula. Pendidikan memiliki peran penting bagi setiap bangsa, khususnya

BAB I PENDAHULUAN. Dengan keberhasilan itulah, individu berharap memiliki masa depan cerah yang

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan anak yang sehat secara fisik dan mental. Pada kenyataannya tidak

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu akan mengalami perubahan pada dirinya baik secara fisik

BAB I PENDAHULUAN. istri. Ketika pasangan suami istri memutuskan untuk memiliki anak, mereka

BAB I PENDAHULUAN. Sejak terbentuknya seorang manusia baru yakni sejak terjadinya konsepsi

BAB I PENDAHULUAN. adalah belajar/berprestasi, hormat dan patuh pada ayah-ibu. Jika peran setiap

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN jiwa, yang terdiri dari tuna netra jiwa, tuna daksa

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan akhir kehidupan. Dalam proses tersebut, manusia akan mengalami tahap

BAB I PENDAHULUAN. dengan bertambahnya usia. Semakin bertambahnya usia maka gerak-gerik, tingkah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Keadaan disabilitas yang adalah keterbatasan fisik, kecacatan baik fisik maupun mental, serta berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. tercantum dalam pasal 31 UUD 1945 (Amandemen 4) bahwa setiap warga negara

BAB 1 PENDAHULUAN. karena pendidikan merupakan sarana untuk mendapatkan pembelajaran,

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dirinya, masykarakat, bangsa dan negara (Undang-undang Sisdiknas RI

BAB I PENDAHULUAN. Institusi pendidikan sangat berperan penting bagi proses tumbuh kembang

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk berbagai macam transaksi keuangan. Kartu kredit diberikan kepada

repository.unisba.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hal yang sangat mendasar untuk perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang, baik di bidang ekonomi, politik, hukum dan tata kehidupan dalam

BAB I PENDAHULUAN. sekaligus mendebarkan hati. Kelahiran anak dalam kondisi sehat dan normal adalah harapan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan

BAB I PENDAHULUAN. pernikahan, keluarga yang harmonis adalah dambaan setiap orang. Semua ini bisa

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kedalam ABK antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa,

BAB I PENDAHULUAN. Ai Nuraeni, 2014 Pembelajaran PAI Untuk Siswa Tunarungu Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. seseorang yang memasuki tahap perkembangan dewasa awal yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu ikatan lahir dan batin antara pria dan wanita

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara.

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. masa pernikahan. Berbagai harapan mengenai keinginan memiliki anak pun

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

2015 PEMBELAJARAN TARI MELALUI STIMULUS GERAK BURUNG UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KINESTETIK PADA ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB YPLAB LEMBANG

Bab I. Pendahuluan. hasil pemantauan LSM 2006, jumlah anak jalanan di Kota Bandung sebanyak 4000

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH. Olahraga merupakan suatu kegiatan yang melibatkan fisik dan mental

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan penyalahgunaan narkoba di Indonesia akhir-akhir ini

BAB I PENDAHULUAN. dianggap penting. Melalui pendidikan, individu dapat belajar. pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam Undang-Undang

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman dan globalisasi yang terjadi di Indonesia, terdapat berbagai perubahan dan perkembangan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Salah satu perkembangan yang terjadi adalah meningkatnya pemahaman masyarakat mengenai hak hak sebagai seorang warga negara Indonesia, yang salah satunya adalah hak untuk memperoleh pelayanan pendidikan yang memadai. Seperti yang dituangkan dalam UU Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 pasal 5 yang menjelaskan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu; warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Dari pemaparan pasal di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa seluruh warga negara, termasuk warga negara yang memiliki keterbatasan fisik dan keterbelakangan mental, memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang layak.

Untuk menjamin setiap warga negara dapat memeroleh pendidikan yang layak, maka pemerintah Indonesia membangun sekolah sekolah, baik sekolah umum, sekolah inklusi, maupun sekolah bagi anak berkebutuhan khusus atau yang biasa dikenal dengan sekolah luar biasa (SLB). Sekolah luar biasa merupakan sekolah yang menampung anak anak berkebutuhan khusus, anak anak yang karena keterbatasannya tidak dapat memperoleh pendidikan di sekolah sekolah umum. Dengan adanya sekolah luar biasa ini diharapkan anak anak yang memiliki keterbatasan dapat memperoleh pendidikan yang tepat, sehingga mereka mampu menumbuh kembangkan semua potensi yang mereka miliki secara optimal dan terintegrasi agar bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat (http://memeww.blogspot.com/2009/12/meneliti-keseharian-penderita-slb.html). Berdasarkan statisitik, di Propinsi Jawa Barat sendiri terdapat 7 SLB A yaitu sekolah luar biasa yang khusus menampung anak anak dengan keterbatasan penglihatan (tunanetra), 7 SLB B yaitu sekolah yang khusus menampung anak anak dengan keterbatasan pendengaran (tunarungu), 15 SLB C yaitu sekolah yang khusus menampung anak anak yang mengalami keterbelakangan mental (tunagrahita) rendah, ada sekitar 144 SLB campuran, dan terdapat 2 buah SLB untuk anak - anak yang mengalami tunaganda di Jawa Barat (http://forum.upi.edu/v3/index.php?topic=1900.0).

Di SLB maupun di sekolah umum, guru merupakan pelaksana utama dalam pemberian pengajaran terhadap siswa siswa dan tidak jarang guru menghadapi kendala dalam melaksanakan tugas tugas dan tanggung jawabnya sebagai guru. Guru SLB sendiri dapat dikatakan menghadapi tantangan yang lebih besar dibandingkan guru guru di sekolah umum. Ini dapat terjadi mengingat tanggung jawab yang berbeda dibandingkan guru guru di sekolah umum, sistem pengajaran yang berbeda, siswa yang memiliki keterbatasan khusus, serta kebijakan kebijakan khusus yang hanya berlaku di SLB. Kurikulum di sekolah luar biasa berbeda dengan di sekolah umum, yaitu kurikulum di sekolah luar biasa lebih menekankan pada penguasaan keterampilan atau life skill, dengan perbandingan 60 % life skill dan 40 % akademik. Diharapkan ketika lulus SMA, siswa - siswa berkebutuhan khusus ini memiliki keterampilan yang dapat mereka gunakan untuk bekerja sehingga setidaknya tidak lagi menjadi beban bagi orangtua mereka (http://www.pos-kupang.com/read/artikel /52072/ tamukita/2010/8/27/drs-falentinus-bhalu-ria-siswa-slb-harus-bisa-mandiri). Ini menjadi tantangan tersendiri bagi guru karena mengajarkan keterampilan tertentu kepada anak yang memiliki keterbatasan khusus tidaklah semudah mengajarkannya pada siswa normal, mengajarkan keterampilan pada siswa yang memiliki keterbatasan khusus membutuhkan waktu yang lama dan kesabaran yang tinggi dari pihak siswa maupun dari guru pengajar. Kurangnya jumlah guru SLB di Indonesia

saat ini membuat tantangan tantangan guru SLB yang sudah berat menjadi semakin berat karena berbeda dengan siswa siswa pada umumnya, dalam mengajar siswa siswa berkebutuhan khusus guru harus memberikan perhatian yang besar. Oleh karena itu, pada umumnya sistem pengajaran di SLB bersifat individual. Salah satu SLB yang terdapat di kota Bandung adalah SLB C X. Sekolah ini merupakan SLB berstatus sekolah swasta yang menerima siswa siswa dengan keterbelakangan mental atau disebut sebagai tunagrahita. Selain menerima siswa dengan keterbelakangan mental, sekolah ini juga menerima siswa - siswa down syndrome dan autis. Ada dua kategori siswa tunagrahita yang bersekolah di SLB C X yaitu siswa - siswa yang tergolong mampu didik yaitu mereka yang memiliki IQ di atas 50, dan siswa - siswa yang tergolong mampu latih yaitu mereka yang memiliki IQ di bawah 50. Usia siswa yang bersekolah di SLB C X ini juga bervariasi, mulai dari anak anak usia taman kanak kanak sampai dengan mereka yang berumur di atas 40 tahun (kelas keterampilan). Usia siswa yang bervariasi ini menjadi tantangan sendiri bagi guru guru yang mengajar di SLB C X ini. Seperti kurikulum sekolah luar biasa pada umumnya, kurikulum di sekolah ini juga lebih menekankan pada penguasaan keterampilan. Untuk siswa - siswa yang tergolong mampu didik diajarkan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Untuk siswa - siswa yang tergolong mampu latih, mereka diajarkan keterampilan keterampilan untuk

mengurus diri mereka sendiri atau disebut sebagai KMDS (kemampuan menolong diri sendiri). Menjadi guru bagi siswa - siswa tunagrahita membutuhkan kesabaran dan dedikasi yang tinggi karena keterbelakangan mental membuat siswa - siswa tunagrahita mengalami keterbatasan dalam hal emosi, intelegensi, dan fungsi fungsi mental lainnya. Tidak jarang siswa tunagrahita mengalami tantrum dan menenangkan siswa tunagrahita yang sedang tantrum tentu saja lebih sulit dan membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan menenangkan anak balita sekalipun. Berkomunikasi dengan siswa - siswa tunagrahita juga membutuhkan kesabaran yang sangat tinggi karena mereka juga mengalami keterbatasan dalam hal komunikasi. Selain mengajar siswa siswa yang memiliki keterbatasan khusus, guru guru juga harus menghadapi tuntutan dari orangtua siswa tunagrahita yang menginginkan anak anaknya dapat melakukan hal hal seperti anak normal, sedangkan pada kenyataannya anak tunagrahita memiliki kemampuan yang berbeda dengan anak normal. Keterbatasan yang dialami siswa tunagrahita membuat guru harus menaruh perhatian yang sangat besar kepada siswa - siswa tersebut, terutama agar jangan sampai mereka menyakiti diri sendiri maupun menyakiti orang lain. Sekolah ini memiliki asrama untuk menampung siswa - siswa yang berasal dari luar kota dan juga siswa - siswa yang dititipkan oleh departemen sosial (DEPSOS). Di sekolah ini

tidak ada perbandingan yang pasti mengenai berapa jumlah guru dan siswa dalam setiap kelas, jumlah siswa dan guru disesuaikan dengan jumlah siswa yang ada di setiap tingkat. Terdapat 19 orang guru yang terlibat secara langsung dalam mengajar siswa siswa tunagrahita. Walaupun sekolah ini merupakan sekolah swasta namun tidak semua guru berstatus pegawai swasta, terdapat juga guru guru yang berstatus pegawai negeri sipil. Persyaratan utama yang harus dipenuhi untuk dapat mengajar di sekolah ini adalah guru harus merupakan lulusan S1 pendidikan luar biasa dan harus lulus tes MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventory) yang diselenggarakan oleh yayasan yang menaungi SLB C X. Beratnya tugas yang harus dijalani oleh para guru SLB ini dapat ditafsirkan sebagai adversity. Terdapat dua perbedaan penghayatan guru terhadap adversity yang dihadapi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai guru SLB C. Ada guru yang memandang adversity sebagai tantangan sehingga guru akan optimistis dalam menjalankan tugas serta tanggung jawabnya karena akan melihat situasi yang berat itu sebagai tantangan yang mendorongnya untuk meningkatkan kinerjanya. Sebaliknya, bagi guru yang memandang adversity sebagai hambatan, maka akan mengembangkan sikap pesimistis dalam menjalankan tugas serta tanggung jawabnya dan karenanya akan lebih rentan mengalami depresi sehingga semakin menenggelamkan kinerjanya.

Ketika seorang guru menghadapi situasi pekerjaan yang rentan dengan adversity, maka bagaimana guru menghayati adversity tersebut apakah dihayati sebagai hambatan yang membuatnya pesimistis atau sebagai tantangan yang membuatnya optimistis dipengaruhi oleh pandangan guru tentang mengapa situasi situasi, situasi buruk maupun situasi baik, dapat terjadi padanya atau yang disebut sebagai explanatory style. Explanatory style ini akan membentuk kepribadian seseorang menjadi optimistis atau pesimistis (Martin E.P. Seligman, Ph.D., Learned Optimism, 1990). Guru yang optimistis ketika mengalami kegagalan, tidak akan berfokus pada kegagalan yang dialami dan menyesal terus menerus, namun justru dapat segera bangkit dari kegagalan yang dialaminya. Seorang guru yang optimistis juga melihat masalah masalahnya sebagai sesuatu yang dapat diatasi, dapat menghadapi stress secara lebih efektif, dan mencari dukungan sosial. Guru yang pesimistis cenderung kurang bersemangat dalam menjalankan pekerjaannya yang rentan dengan adversity karena berpikir bahwa situasi baik bersifat sementara sedangkan situasi buruk bersifat menetap, menyeluruh dan terjadi karena kesalahannya sendiri sehingga merasa bahwa apapun yang ia lakukan tidak akan dapat mengubah atau mengurangi adversity yang ia alami. Selain guru yang pesimistis dan optimistis, juga terdapat guru yang memiliki explanatory style moderat yaitu guru yang tidak terlalu optimistis namun juga tidak terlalu pesimistis.

Explanatory style optimis, explanatory style moderat dan explanatory style pesimis guru SLB dalam memandang dan menjalankan pekerjaannya kemudian akan memengaruhi tindakan guru dalam menghadapi serta mengatasi adversity yang terjadi dan pada akhirnya akan memengaruhi ketahanan atau resiliency yang dimiliki dalam menjalankan tugas serta tanggung jawabnya sebagai seorang guru SLB. Perbedaan tipe explanatory style yang dimiliki oleh seorang guru memiliki kontribusi yang berbeda juga terhadap resiliency dalam menjalankan tugas serta tanggung jawabnya di SLB C X. Guru dengan explanatory style optimis akan resilience dalam menjalani pekerjaannya dan karenanya yakin bahwa dirinya dapat mengatasi adversity serta akan berusaha menjadi orang yang pantang menyerah. Walaupun explanatory style optimis memiliki banyak keuntungan, namun Martin Seligman juga mengungkapkan sisi negatif dari explanatory style optimis. Seseorang dengan explanatory style optimis akan menyalahkan situasi eksternal ketika mengalami kegagalan atau situasi buruk, walaupun mungkin saja situasi buruk atau kegagalan tersebut disebabkan karena dirinya sendiri. Hal ini akan membuat seseorang tidak belajar untuk mengakui kekurangan atau kesalahan yang ia miliki dan bertanggung jawab terhadap setiap tindakannya. Bertanggung jawab terhadap setiap tindakan yang dilakukan ini penting agar seseorang dapat merubah dirinya menjadi orang yang lebih baik lagi dari sebelumnya (Martin E.P. Seligman, Ph.D., Learned Optimism, 1990). Selain itu, seseorang yang optimistis cenderung hanya melihat sisi positif dari setiap

situasi yang dialaminya dan menutup mata terhadap situasi negatif. Optimisme yang diperlukan agar seseorang dapat resilience, dalam pekerjaan maupun dalam hidupnya, adalah optimisme yang realistis yaitu menyadari bahwa outcome positif diperoleh tidak secara otomatis, namun diperoleh melalui usaha, pemecahan masalah, dan perencanaan serta menyadari bahwa dalam setiap situasi tidak hanya terdapat sisi positif namun juga terdapat sisi negatif dan sisi negatif tersebut tidak dapat diabaikan (resiliency guide, www.reachinginreachingout.com). Penjelasan yang diungkapkan bahwa tidak selamanya optimistis membawa keuntungan, menandakan bahwa tidak dapat ditentukan apakah seorang guru yang memiliki explanatory style optimis akan memiliki resiliency yang lebih tinggi daripada guru yang memiliki explanatory style moderat karena resiliency guru dalam menghadapi situasi pekerjaan yang rentan dengan adversity ini diperoleh melalui pembelajaran dan kerja keras bukan diperoleh secara otomatis. Sebaliknya, guru dengan explanatory style pesimis akan kurang resilience dalam menjalakan pekerjaannya karena memandang bahwa pekerjaannya merupakan situasi yang penuh tekanan sedangkan dirinya tidak memiliki cukup kekuatan untuk mengatasi keadaan tersebut. Guru yang pesimistis juga akan lebih memiliki kemungkinan untuk melepaskan pekerjaannya karena merasa tidak berdaya dalam menghadapi situasi pekerjaannya yang rentan dengan adversity.

Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Charles P. Martin-Krumm, Philippe G Sarazin, Christopher Peterson, dan Jean-Pierre Famose terhadap mereka yang mengalami kegagalan dalam pertandingan olahraga ditemukan bahwa explanatory style optimis dapat membantu agar orang dapat bertahan ketika menghadapi adversity. Sebaliknya, explanatory style pesimis dapat membuat orang mudah merasa cemas ketika menghadapi tekanan dan membuat konsekuensi konsekuensi yang ia alami karena adversity menjadi semakin intens (misalnya : semakin menurunnya kepercayaan diri dan semakin tingginya tingkat kecemasan). Hasil penelitian tersebut menandakan bahwa explanatory style memiliki kontribusi terhadap resiliency, dapat berupa kontribusi positif, yang memperkuat resiliency, atau kontribusi negatif, yang memperlemah resiliency. Melihat kondisi serta situasi yang telah dipaparkan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti seberapa besar kontribusi explanatory style, yang merupakan pembentuk kepribadian optimistis, moderat, dan pesimistis, terhadap resiliency pada guru SLB C X dalam menjalani beban, tanggung jawab, dan tugas - tugasnya secara menyeluruh. 1.2 Identifikasi Masalah Melalui penelitian ini, ingin diketahui seberapa besar kontribusi explanatory style terhadap resiliency pada guru SLB C X Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran explanatory style dan resiliency dengan tujuan untuk memeroleh gambaran kekuatan kontribusinya. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Ilmiah - Memberikan informasi tambahan bagi bidang Psikologi khususnya Psikologi Pendidikan serta Psikologi Industri dan Organisasi mengenai kontribusi explanatory style terhadap resiliency terutama pada guru SLB C. - Selanjutnya penelitian ini dapat pula digunakan sebagai bahan pertimbangan dan referensi bagi peneliti yang akan melakukan penelitian serupa maupun penelitian lanjutan mengenai resiliency dan explanatory style. 1.4.2 Kegunaan Praktis - Memberi informasi yayasan yang menaungi SLB C X Bandung mengenai kontribusi explanatory style terhadap resiliency. Informasi tersebut dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan melakukan training and development untuk meningkatkan job performance guru guru yang akan dan sedang mengajar di SLB C X.

- Sebagai informasi bagi guru SLB C X Bandung mengenai pentingnya explanatory style untuk meningkatkan resiliency yang mereka miliki dan informasi tersebut dapat dijadikan sebagai bahan untuk mengevaluasi diri sehingga guru SLB C dapat mengoptimalkan kemampuan diri mereka dan mampu bertahan serta mengendalikan diri dalam menghadapi berbagai tuntutan, stress, hambatan, tanggung jawab dan masalah yang mungkin terjadi baik di lingkungan sekolah, lingkungan keluarga, maupun lingkungan masyarakat umum. 1.5 Kerangka Pikir Tunagrahita merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan kondisi anak yang kecerdasannya jauh di bawah rata rata dan ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial (Dra. Hj. T. Sutjihati Somantri, M.Si., psi., Psikologi Anak Luar Biasa, 2007). Mengingat keterbatasan intelektual yang dimiliki oleh anak anak tunagrahita, maka tidak memungkinkan baginya untuk mengikuti sistem pendidikan klasikal di sekolah umum, oleh karena itu anak anak tunagrahita membutuhkan sistem pendidikan disesuaikan dengan kemampuan yang mereka miliki (Dra. Hj. T. Sutjihati Somantri, M.Si., psi., Psikologi Anak Luar Biasa, 2007). Sistem pendidikan yang dikhususkan untuk pendidikan bagi anak tunagrahita adalah sekolah luar biasa (SLB) C.

Tugas tugas guru SLB C adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, mengevaluasi peserta didik, memberikan bimbingan dan konseling, serta melakukan home visit bagi siswa siswanya. Tugas tugas guru yang mengajar di SLB C dapat dikatakan lebih berat dibanding guru guru yang mengajar di sekolah umum karena guru guru yang mengajar di SLB C harus mendidik siswa siswa yang mengalami keterbelakangan mental, terutama mengajarkan siswa membaca dan menulis. Hal tersebut tidaklah mudah karena berhubungan dengan hambatan hambatan, terutama dalam hal emosional dan kognitif sehingga guru harus memiliki daya tahan dan kesabaran yang lebih tinggi untuk mengajar siswa siswa tersebut. Hambatan hambatan serta tantangan tantangan yang dialami guru dalam menjalankan tugasnya menjadi seorang pengajar di SLB C dapat dihayati sebagai adversity oleh guru. Ketika seorang guru menghadapi adversity, tindakan yang akan dilakukan untuk menghadapi adversity tersebut bergantung pada belief guru terhadap setiap situasi yang terjadi padanya, eksplanasi dan interpretasi terhadap situasi buruk dan situasi baik yang terjadi padanya. Terdapat perbedaan yang signifikan dalam cara guru menghayati adversity yang mereka alami, perbedaan cara guru dalam menghayati situasi, situasi buruk maupun situasi baik, dipengaruhi oleh explanatory style. Explanatory style dapat didefinisikan sebagai cara seseorang dalam menjelaskan penyebab penyebab dari situasi, situasi buruk maupun situasi baik,

yang terjadi padanya (Martin E.P. Seligman, Ph.D., Learned Optimism, 1990). Terdapat tiga jenis explanatory style dalam diri seseorang yaitu explanatory style optimis, explanatory style pesimis, dan explanatory style moderat. Explanatory style seseorang dapat diukur melalui tiga dimensi penting yaitu permanence, pervasiveness, dan personalization (Martin E.P. Seligman, Ph.D., Learned Optimism, 1990). Permanence terkait dengan cara pandang seseorang mengenai seberapa lama penyebab - penyebab situasi buruk atau situasi baik akan menetap dalam dirinya. Seorang guru yang memiliki explanatory style optimis ketika dihadapkan pada situasi buruk akan memandang bahwa penyebab situasi tersebut bersifat sementara saja. Seorang guru yang memiliki explanatory style optimis ketika mengalami kegagalan, hanya akan merasa tidak berdaya sementara saja dan ia juga akan dapat segera bangkit kembali. Sedangkan guru yang memiliki explanatory style pesimis, ketika dihadapkan pada situasi buruk akan menghayati bahwa penyebab situasi buruk bersifat menetap dan percaya bahwa situasi tersebut akan selalu mempengaruhi kehidupannya. Ketika mengalami kegagalan, seorang guru yang memiliki explanatory style pesimis akan merasa tidak berdaya dalam jangka waktu yang lama sehingga ia akan sulit untuk bangkit kembali. Dimensi pervasiveness terkait dengan jangkauan dari penyebab - penyebab situasi yang tidak menguntungkan (Martin E.P. Seligman, Ph.D., Learned Optimism,

1990). Ada dua cara pandang yang berbeda yaitu specific dan universal. Seorang guru yang memiliki explanatory style optimis akan memiliki cara pandang bahwa penyebab situasi buruk bersifat specific atau tertentu. Seorang guru yang memiliki explanatory style optimis ketika menghadapi situasi buruk, akan merasa tidak berdaya pada satu aspek atau area spesifik dalam kehidupannya saja, yaitu aspek kehidupan yang terkait dengan situasi buruk yang terjadi padanya sedangkan aspek kehidupan lainnya tidak terpengaruh oleh situasi buruk tersebut. Seorang guru yang memandang bahwa penyebab situasi buruk bersifat spesifik, akan resilience dalam menjalankan pekerjaannya sebagai guru SLB. Berbeda dengan guru yang memiliki explanatory style optimis, seorang guru yang memiliki explanatory style pesimis akan memandang bahwa penyebab situasi buruk bersifat universal atau menyeluruh. Ketika dihadapkan pada situasi buruk, seorang guru yang memiliki explanatory style pesimis akan menyerah dan merasa sangat tidak berdaya dalam seluruh area atau aspek kehidupannya, walaupun pada kenyataannya situasi buruk tersebut hanya terjadi pada salah satu area kehidupannya saja. Hal tersebut akan menyebabkan guru kurang resilience dalam menjalankan pekerjaannya sebagai guru SLB. Berbeda dengan kedua dimensi sebelumnya, dimensi personalization terkait dengan bagaimana penghayatan seseorang terhadap dirinya sendiri karena dimensi personalization terkait dengan self esteem yang dimiliki oleh seseorang (Martin E.P. Seligman, Ph.D., Learned Optimism, 1990). Seorang guru yang memiliki explanatory

style optimis akan memiliki self esteem yang lebih tinggi dibanding guru yang memiliki explanatory style pesimis. Hal ini dikarenakan ketika dihadapkan pada situasi buruk, seorang guru yang memiliki explanatory style optimis akan menyalahkan situasi eksternal sebagai penyebab situasi tersebut, sedangkan seorang guru yang memiliki explanatory style pesimis akan menyalahkan dirinya sendiri sebagai penyebab situasi buruk yang terjadi padanya. Sebaliknya, ketika mengalami situasi baik, guru yang memiliki explanatory style optimis akan menganggap bahwa situasi baik tersebut disebabkan karena dirinya sedangkan guru yang memiliki explanatory style pesimis akan menganggap bahwa situasi baik disebabkan oleh eksternal. Explanatory style guru terhadap situasi yang dialami dalam pekerjaannya sebagai guru SLB akan memengaruhi tindakannya dalam menghadapi hambatan dan tantangan dalam mengajar yang dihayati sebagai adversity, apakah akan menyerah pada adversity atau berusaha untuk mengubah adversity menjadi situasi yang lebih favorable baginya. Ketiga jenis explanatory style yang diungkapkan oleh Martin Seligman yaitu explanatory style optimis, explanatory style moderat, dan explanatory style pesimis memiliki kontribusi yang berbeda beda terhadap resiliency guru dalam menjalankan tugas serta tanggung jawabnya. Guru yang memiliki explanatory style optimis akan lebih resilience dalam menjalankan tugas tugasnya sebagai guru karena ketika mereka mengalami adversity, yang dapat dihayati sebagai situasi buruk

namun juga dapat dihayati sebagai situasi baik yang membuatnya merasa tertantang, guru akan persistence, berusaha untuk tidak mudah menyerah dan berusaha bangkit kembali ketika menghadapi kegagalan atau hambatan. Guru yang memiliki explanatory style optimis juga akan lebih memiliki energi untuk menghadapi hambatan serta tantangan karena mereka menganggap bahwa hambatan serta tantangan bukanlah penghalang untuknya dan guru juga tidak akan mudah mengalami stress walaupun menghadapi situasi yang sulit dan menghadapi tantangan yang sangat berat sekalipun. Guru yang memiliki explanatory style moderat merupakan guru yang merasa optimistis pada beberapa aspek explanatory style namun merasa pesimistis pada beberapa aspek explanatory style lainnya. Guru yang memiliki explanatory style moderat juga akan dapat mengembangkan resiliency dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang guru SLB C. Sebaliknya, guru yang memiliki explanatory style pesimis akan cenderung kurang resilience dalam pekerjaannya karena ia akan mudah menyerah ketika menghadapi adversity, bahkan ia akan menjadi lumpuh karena tidak tahu bagaimana cara menghadapi adversity serta ia juga akan lebih rentan mengalami stress dibandingkan guru dengan explanatory style optimis dan explanatory style moderat. Guru yang memiliki explanatory style pesimis juga akan menganggap bahwa situasi pekerjaannya yang rentan dengan adversity

merupakan situasi buruk yang membuat ia terhambat karena itu ia akan menjadi kurang resilience dalam pekerjaannya. Resiliency merupakan kemampuan seseorang untuk dapat beradaptasi dengan baik dan mampu berfungsi secara maksimal walaupun ia berada dalam kondisi yang menekan, atau banyak rintangan dan halangan (Bonnie Benard, Resiliency What We Have Learned, 2004). Resiliency ini penting untuk dimiliki oleh guru terutama dalam menghadapi dan mengatasi stress di tempat kerja dan agar dapat bertahan dan beradaptasi dengan cara cara yang positif dalam menjalankan tugas tugas sebagai seorang guru SLB. Resiliency dapat tercermin melalui personal strengths, yang merupakan karakteristik karakteristik individu, yang disebut juga sebagai aset internal atau kompetensi personal, dan personal strengths ini terkait dengan perkembangan yang sehat dan kesuksesan dalam hidup. Personal strengths bukan merupakan faktor pembentuk resiliency namun personal strengths inilah yang memberikan gambaran mengenai resiliency yang dimiliki oleh seorang individu (Bonnie Benard, Resiliency What We Have Learned, 2004). Personal strengths ini dapat terukur dan terlihat melalui empat aspek yaitu social competence, problem solving, autonomy, dan sense of purpose and a bright future (Bonnie Benard, Resiliency What We Have Learned, 2004). Social competence meliputi karakteristik, kemampuan, dan sikap yang penting dalam membangun relasi dan kedekatan yang positif dengan orang lain di sekitarnya

(Bonnie Benard, Resiliency What We Have Learned, 2004). Social competence ini dapat diukur melalui keterampilan responsiveness, communication, empathy dan caring, serta compassion, altruism, dan juga forgiveness. Seorang guru yang memiliki keterampilan social competence yang baik akan lebih mampu membina relasi yang positif dengan rekan sesama guru, orang tua siswa, siswa siswa yang ia ajar, serta orang orang yang memiliki hubungan dengannya dalam kaitan pekerjaannya sebagai seorang guru SLB. Relasi yang positif ini diperlukan sehingga guru bisa mendapatkan dukungan dari orang orang di sekitarnya dalam menghadapi adversity yang dialaminya. Sedangkan, guru yang kurang memiliki keterampilan social competence akan kurang mampu beradaptasi dengan lingkungan tempat ia bekerja dan ia juga akan cenderung menarik diri. Guru yang kurang memiliki social competence akan merasa sendirian karena merasa bahwa ia kurang mendapat dukungan dari orang orang di sekitarnya dalam menghadapi adversity dalam pekerjaanya sebagai guru SLB sehingga ia akan cenderung lebih cepat menyerah dan kurang memiliki daya tahan dalam bekerja. Aspek kedua adalah keterampilan guru dalam melakukan problem solving atau pemecahan masalah. Kemampuan problem solving ini meliputi kemampuan guru untuk melakukan planning, flexibility, resourcefulness, critical thinking, dan insight (Bonnie Benard, Resiliency What We Have Learned, 2004). Seorang guru yang memiliki kemampuan problem solving yang baik akan mampu mencari jalan keluar

terhadap masalah masalah yang ia hadapi dan ia juga mampu berpikir secara flexible sehingga guru mampu memikirkan alternatif alternatif untuk memecahkan masalah yang sedang ia hadapi. Sedangkan guru yang kurang memiliki kemampuan problem solving akan kurang mampu mencari jalan keluar ketika menghadapi masalah dan ia juga cenderung belarut larut dalam menghadapi masalah yang ia hadapi. Ketidakmampuan guru dalam melakukan problem solving akan membuat guru tidak dapat melakukan tanggung jawabnya sebagai guru dengan baik karena ia akan sulit mencari pemecahan ketika menghadapi masalah atau kesulitan. Autonomy dapat terlihat melalui positive identity, internal locus of control dan initiative, self efficacy dan mastery, adaptive distancing dan resistance, self awareness dan mindfulness, serta humor (Bonnie Benard, Resiliency What We Have Learned, 2004). Guru yang memiliki autonomy yang kuat akan lebih resilience dalam menjalankan tugas tugasnya sebagai guru karena ia mampu untuk memotivasi dirinya sendiri untuk mencapai goal yang telah ditetapkan. Selain itu, ia juga memiliki self efficacy yang tinggi yang membuat ia mampu mengubah adversity menjadi keadaan yang lebih favorable bagi guru sehingga ia merasa yakin bahwa ia mampu menjalankan tugas tugasnya dengan sebaik mungkin. Ketika menghadapi adversity, guru yang memiliki autonomy yang kuat juga mampu menggunakan humor untuk mengurangi stress akibat adversity yang ia alami di tempat kerja. Sedangkan, guru yang kurang memiliki autonomy akan merasa tidak yakin diri dan tergantung

kepada orang lain dalam mengatasi adversity yang ia alami, hal ini kemudian akan berakibat ia kurang mampu melakukan pekerjaannya sebagai guru dengan optimal. Sense of purpose atau tujuan hidup merupakan keyakinan seseorang secara mendalam bahwa hidupnya berharga dan ia memiliki tempat di dunia ini (Bonnie Benard, Resiliency What We Have Learned, 2004). Sense of purpose dan bright future dapat dikatakan merupakan pemacu terkuat bagi seseorang untuk menghasilkan outcomes yang positif walaupun mengalami adversity. Kategori ini memiliki kekuatan kekuatan yang saling berhubungan mulai dari goal direction, optimism, creativity, a sense of meaning, dan coherence. Seorang guru yang memandang secara positif tujuan hidup dan masa depannya, akan bersikap optimis dan memiliki harapan tinggi, tidak hanya terhadap tujuan dan masa depan dirinya saja namun juga tujuan dan masa depan siswa siswa yang mereka didik dan guru akan lebih bersemangat untuk mewujudkan harapan harapan yang ia miliki, terutama harapan yang ia miliki terhadap masa depan siswa siswanya. Guru yang tidak memiliki harapan positif terhadap masa depannya dan masa depan siswa siswanya akan kurang memiliki harapan dan merasa bahwa siswa siswanya tidak memiliki masa depan yang cerah, hal ini akan berakibat guru kurang bersemangat dalam mendidik siswa siswanya karena guru merasa tidak ada tujuan yang ingin dicapai mengenai masa depan dirinya dan siswa siswanya.

Adversity guru di SLB C X Explanatory Style Resiliency Guru SLB C Pervasiveness Permanence Personalization Social Competence Problem Solving Autonomy Sense of Purpose Bagan 1.5 Bagan Kerangkan Pemikiran 1.6 Asumsi - Guru yang mengajar di SLB C mengalami situasi situasi yang dikategorikan sebagai adversity. - Untuk dapat mengajar dengan optimal, guru SLB C harus memiliki pandangan yang positif terhadap adversity yang mereka alami. - Guru yang pesimistis akan memandang peristiwa baik sebagai sesuatu yang bersifat temporary, specific, dan eksternal.

- Guru yang optimistis akan memandang peristiwa baik sebagai sesuatu yang bersifat permanent, universal, dan internal. - Guru yang pesimistis akan memandang peristiwa buruk sebagai sesuatu yang bersifat permanent, universal, dan internal. - Guru yang optimistis akan memandang peristiwa buruk sebagai sesuatu yang bersifat temporary, specific, dan eksternal. - Guru yang optimistis akan memiliki daya tahan yang lebih baik pada situasi adversity. - Guru yang pesimistis akan kurang memiliki daya tahan ketika dihadapkan pada situasi adversity. 1.7 Hipotesis Terdapat kontribusi yang signifikan explanatory style terhadap resiliency.