BAB IV ANALISIS TENTANG PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR K/ Pdt/ 2000 MENGENAI TIDAK DIPENUHINYA JANJI KAWIN

dokumen-dokumen yang mirip
Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

BAB V PENUTUP. pembatalan perjanjian distribusi makanan melalui pengadilan, sebagaimana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan di atas adalah merupakan rumusan dari Bab I Dasar Perkawinan pasal

BAB IV WALI NIKAH PEREMPUAN HASIL PERNIKAHAN SIRI MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Undang-undang perkawinan di Indonesia, adalah segala

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1.

PERBUATAN MELANGGAR HUKUM OLEH PENGUASA


BAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia

BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. Perceraian pasangan..., Rita M M Simanungkalit, FH UI, 2008.

Perbandingan Hukum Orang di Belanda dan Indonesia.

SEMINAR SEHARI PRAKTIK PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM MASYARAKAT INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

B A B I P E N D A H U L U A N. Sebagaimana prinsip hukum perdata barat di dalam KUH Perdata tersebut, telah

PERSPEKTIF YURIDIS DAN SOSIOLOGIS TENTANG PERKAWINAN ANTAR PEMELUK AGAMA DI KABUPATEN WONOGIRI T A R S I

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

PERADILAN: PROSES PEMBERIAN KEADILAN DI SUATU LEMBAGA YANG DISEBUT PENGADILAN:

SURAT PERJANJIAN KAWIN ADAT DAYAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA *)

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Oleh Sukhebi Mofea*) Abstrak

BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH. A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR

BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG NOMOR: 786/PDT.G/2010/PA.MLG PERIHAL KUMULASI PERMOHONAN IZIN POLIGAMI DAN IS BAT NIKAH

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS PERNIKAHAN SIRRI SEORANG ISTRI YANG MASIH DALAM PROSES PERCERAIAN

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( )

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PERBUATAN MELAWAN HUKUM. Romawi, yaitu teori tentang culpa dari Lex Aquilla, kemudian terjadi proses

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana di nyatakan dalam UU

BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Berikut ini adalah kasus mengenai penetapan asal usul anak:

BAB I PENDAHULUAN. seorang diri. Manusia yang merupakan mahluk sosial diciptakan oleh Tuhan

BAB IV. ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENERAPAN PERJANJIAN PRANIKAH PASCA PERKAWINAN (Studi Kasus di Desa Mojopilang Kabupaten Mojokerto)

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

P U T U S A N Nomor 391/Pdt.G/2014/PA.Lt BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. (hidup berkelompok) yang biasa kita kenal dengan istilah zoon politicon. 1

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi. Untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya, mereka harus

P E N E T A P A N Nomor : 320/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya agar berjalan tertib dan lancar, selain itu untuk menyelesaikan

BAB I PENDAHULUAN. makhluk yang tidak bisa tidak harus selalu hidup bersama-sama. bagaimanapun juga manusia tidak dapat hidup sendirian, serta saling

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM TERHADAP HEWAN PELIHARAAN YANG MENYEBABKAN KERUGIAN TERHADAP HEWAN PELIHARAAN LAIN SEBAGAI PERBUATAN YANG MELAWAN HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Sedangkan menurut

BAB I PENDAHULUAN. perzinaan dengan orang lain diluar perkawinan mereka. Pada dasarnya

P U T U S A N. NOMOR : 54/Pdt.G/2011/PA.Pts DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. sunnatullah yang umumnya berlaku pada semua mahkluk-nya. Hal ini merupakan

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM INDONESIA. Abstrak

BAB V PENUTUP A. Ikhtisar

BAB IV ANALISIS PANDANGAN TOKOH MUI JAWA TIMUR TERHADAP PENDAPAT HAKIM PENGADILAN AGAMA PASURUAN TENTANG STATUS ISTRI SETELAH PEMBATALAN NIKAH

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA BANJARMASIN TENTANG HARTA BERSAMA. A. Gambaran Sengketa Harta Bersama pada Tahun 2008 di PA Banjarmasin

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG P E R K A W I N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

Putusan di atas merupakan putusan dari perkara cerai talak, yang diajukan. oleh seorang suami sebagai Pemohon yang ingin menjatuhkan talak raj i di

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

BAB IV. rumah tangga dengan sebaik-baiknya untuk membentuk suatu kehidupan. tangga kedua belah pihak tidak merasa nyaman, tenteram dan mendapaatkan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PUTUSAN Nomor 0930/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. melawan

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia,

PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Abdul Kholiq ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum.

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu, dalam hidupnya

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

P U T U S A N. NOMOR 33/Pdt.G/2013/PA.Pts DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Hidup bersama di dalam bentuknya yang terkecil itu dimulai dengan adanya

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7

Perbuatan Melanggar Hukum Oleh: Parwoto Wingjosumarto, SH*

BAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1. A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata

P E N E T A P A N Nomor XXXX/Pdt.P/2017/PA.Ktbm DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

RAHMAD HENDRA FAKULTAS HUKUM UNRI

KETENTUAN-KETENTUAN PENTING TENTANG WANPRESTASI DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM (PMH) OLEH: Drs. H. MASRUM, M.H. (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten)

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang memiliki harapan untuk membentuk sebuah keluarga dan untuk

BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur

P E N E T A P A N Nomor : 277/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict

BAB I PENDAHULUAN. Sedangkan menurut Pendapat Umum, yang dimaksud dengan Hukum adalah:

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. MEMUTUSKAN : BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

Transkripsi:

BAB IV ANALISIS TENTANG PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 3277 K/ Pdt/ 2000 MENGENAI TIDAK DIPENUHINYA JANJI KAWIN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN A. Tidak dipenuhinya Janji Kawin Termasuk Perbuatan Melawan Hukum Perbuatan melawan hukum sendiri di Negeri Belanda telah mengalami perdebatan panjang diantara para sarjana mengenai pengertian onrechtmatige daad, karena memiliki peranan penting dalam bidang hukum perdata. Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang sama dengan Pasal 1401 BW Belanda, yang menyebutkan: Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Dari pengertian perbuatan melawan hukum tersebut dapat disimpulkan unsur-unsur dari perbuatan melawan hukum, diantaranya: 1. Perbuatan yang melawan hukum (onrechtmatige daad); 2. Harus ada kesalahan; 3. Harus ada kerugian yang ditimbulkan; 4. Adanya hubungan causal antara perbuatan dan kerugian. Dalam sejarahnya perbuatan melawan hukum sendiri mengalami perkembangan yaitu sebelum dan sesudah adanya Arrest Hoge Raad 31 Januari 66

67 1919. Sebelum tahun 1919 rumusan Hoge Raad mengenai perbuatan melawan hukum adalah: Melawan hukum adalah sekedar suatu perbuatan yang melanggar hak subjektif orang lain atau yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat sendiri. Menurut pengertian Hoge Raad sebelum 1919 ini dapat disimpukan bahwa perbuatan yang dilakukan tersebut harus melanggar hak subjektif orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat sendiri, yang telah diatur dalam undang-undang atau dengan perkataan lain bahwa melawan hukum ditafsirkan sebagai melawan undang-undang. Dengan adanya pengertian ini maka pendirian Hoge Raad mengenai perbuatan melawan hukum diartikan dalam arti sempit, karena pandangan ini disebabkan pengaruh dari ajaran Legisme yang bependapat bahwa tidak ada hukum diluar undang-undang yang mengakibatkan orang tidak dapat memberikan penafsiran diluar kaidah-kaidah tertulis. Perbuatan melawan hukum Hoge Raad ini hanya diartikan sebagai: suatu perbuatan yang melanggar hak subjektif orang lain atau yang bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku perbuatan dan dalam hal ini harus mengindahkan hak dan kewajiban hukum legal. Akibat dari pengertian perbuatan melawan hukum Hoge Raad yang sempit tersebut pada kenyataannya banyak pihak yang menjadi dirugikan karena setiap kepentingan yang diajukan ke pengadilan tetapi diluar undang-undang tidak mendapat perlindungan dan menjadi tidak berdaya. Namun kemudian pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti sempit ini, diubah dengan suatu keyakinan baru yang sekalipun masih berdasarkan pada

68 pasal dan redaksi yang sama, tetapi telah disesuaikan dengan tuntutan jaman. Hal ini dibuktikan dengan adanya Standaard Arrest dari Hoge Raad dalam perkara Cohen Vs. Lindenbaum tanggal 31 Januari 1919 yang membuat pengertian perbuatan melawan hukum memiliki arti luas. Sehingga walaupun hingga saat ini belum adanya definisi yang dapat dikatakan positif berdasarkan undang-undang, tetapi semuanya diserahkan pada ilmu pengetahuan dan yurisprudensi tentang perbuatan melawan hukum. Menurut Arrest 1919 dapat disimpulkan bahwa perbuatan melawan hukum itu adalah berbuat atau tidak berbuat jika: 1. Melanggar hak orang lain; atau 2. Bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat; atau 3. Bertentangan dengan kesusilaan; atau 4. Bertentangan dengan kepatutan yang berlaku dalam lalu lintas masyarakat terhadap diri atau barang orang lain. Maka dengan adanya Arrest dari Hoge Raad ini dapat pula menjadi salah satu patokan hakim dalam mengambil putusan dalam yurisprudensi di Indonesia, ketika suatu perkara masuk ke pengadilan dan belum ada satupun undang-undang yang mengatur tentang perkara tersebut, karena pada dasarnya pengadilan tidak boleh menolak suatu perkara yang masuk berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi : Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

69 Dalam hal pengadilan tidak boleh menolak suatu perkara yang hukumnya tidak ada dan kurang jelas, berkaitan juga dengan penemuan hukum yaitu proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas hukum lainnya untuk melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit, hal ini karena kehidupan masyarakat senantiasa bersifat dinamis dan selalu berkembang maka diperlukan suatu penemuan hukum karena hakim di Indonesia tidak semata-mata bersifat sebagai corong undang-undang tetapi harus menjamin keadilan yang dirasakan oleh masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Hakim Pengadilan Negeri Bekasi, Bapak H. Ucu Jaya Sarjana Simatupang, menjelaskan bahwa: Pada prisipnya hakim di Indonesia bukanlah sebagai corong undang-undang, karena hakim di Indonesia senantiasa dituntut untuk bersifat progresif demi rasa keadilan yang dirasakan masyarakat. Sehingga ketika suatu perkara masuk ke pengadilan dan belum ada hukum yang jelas mengaturnya, maka hakim harus senantiasa menggali dengan penemuan hukum, karena pada dasarnya sumber hukum bukan saja undang-undang tetapi disamping itu sumber hukum lainnya adalah kebiasaan, putusan hakim atau yurisprudensi, traktat dan pendapat para sarjana (doktrin). Apalagi dengan kondisi masyarakat di Indonesia yang beragam bersama dengan hukum adat yang hidup didalamnya, maka penemuan hukum senantiasa dilakukan dengan berbagai cara untuk mendapatkan informasi demi terjaminnya tujuan hukum yaitu keadilan. Hukum adat sendiri di Indonesiapun masih memiliki peran penting untuk menjadi pertimbangan-pertimbangan dalam putusan pengadilan. Demikian pula dengan Arrest Hoge Raad sebagai penemuan

70 hukum dalam bentuk yurisprudensi yang saat ini banyak dijadikan dasar untuk hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan melawan hukum. 197 Dari penjelasan diatas jelas bahwa undang-undang bukanlah satu-satunya sumber hukum yang menjadi sumber pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan tetapi terdapat beberapa sumber hukum lain yang dapat digunakan sebagai bentuk penemuan hukum, karena penemuan hukum itu sendiri memerlukan penggalian dan penemuan oleh hakim dengan mencari informasi yang berkaitan dengan perkara yang diajukan, salah satunya dengan pertimbangan hukum adat yang masih hidup di tengah-tengah masyarakat. Berkaitan dengan yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum, maka Putusan Mahkamah Agung Nomor 3277 K/ Pdt/ 2000 mengenai tidak dipenuhinya janji kawin yang berpatokan pada Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 3191 K/ Pdt/ 1987 yang pada keduanya membahas mengenai janji kawin yang pada dasarnya belum ada satupun penjelasan dalam undang-undang mengenai janji kawin ini dan penulis dalam hal ini mengenai tindakan janji kawin yang disimpulkan menurut pengertian dari Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu persetujuan antara dua pihak, yaitu pihak laki-laki dan pihak perempuan, yang masing-masing menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk menikah (bersuami istri dengan resmi) dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum, hal ini dilandasi oleh Arrest Hoge Raad 1919 karena tindakan ingkar janji telah melanggar norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat yang merupakan 197 WawancaradenganBapak Ucu Jaya Sanjaya Simatupang, Hakim Pengadilan Negeri Bekasi, Sabtu, 23 Januari 2016

71 perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian pada diri orang lain. Maka tidak dipenuhinya janji kawin ini hanyalah perbuatan biasa bukan merupakan perbuatan hukum dan pada dasarnya perbuatan melawan hukum timbul karena undang-undang bukan timbul dari perjanjian. B. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan tidak dipenuhinya janji kawin dikaitkan dengan putusan Mahkamah Agung Nomor 3277 K/ Pdt/ 2000 mengenai tidak dipenuhinya janji kawin UU Perkawinan merupakan undang-undang yang bersifat nasional yang berlaku bagi seluruh Warga Negara Indonesia baik diluar negeri maupun didalam negeri. UU Perkawinan juga berlaku bagi semua pemeluk agama yang diakui di Indonesia. Setelah diberlakukannya UU Perkawinan, peraturan-peraturan yang ada dinyatakan tidak berlaku lagi sepanjang telah diatur dalam UU Perkawinan tersebut. Namun pada kenyataannya dimasyarakat UU Perkawinan ini belum sepenuhnya menjamin segala praktek perkawinan di Indonesia. Dalam kenyataannya janji kawin banyak muncul ditengah-tengah masyarakat terutama banyak dilakukan oleh kaum lelaki dan dalam kenyataannya banyak kaum lelaki ini tidak memenuhi janjinya sehingga menimbulkan beberapa kerugian yang dapat diterima oleh wanita. Janji kawin sendiri yang pada dasarnya belum memiliki pengertian secara jelas dan bagaimana pelaksanannya menurut hukum positif, terkecuali disinggung oleh Pasal 58 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa:

72 Janji-janji kawin tidak menimbulkan hak guna menuntut di muka Hakim akan berlangsungnya perkawinan, pun tidak guna menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga, akibat kecederaan yang dilakukan terhadapnya; segala persetujuan untuk ganti rugi dalam hal ini adalah batal. Jika namun itu pemberitahuan kawin kepada pegawai catatan sipil telah diikuti dengan pengumuman kawin, maka yang demikian itu dapat menimbulkan alasan guna menuntut penggantian biaya, rugi, dan bunga berdasar atas kerugiankerugian yang nyata kiranya telah diderita oleh pihak satu mengenai barangbarangnya, disebabkan kecederaan pihak lain dan sementara itu tak boleh diperhitungkan soal kehilangan untung. Tuntutan ini berkadaluwarsa setelah lewat waktu selama delapan belas bulan, terhitung mulai pengumuman kawin. Dianggap belum cukup untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan janji kawin. Karena Pasal 58 KUHPerdata ini hanya bersifat represif atau pencegahan dan belum menjelaskan mengenai janji kawin sepenuhnya secara jelas. Dari ketentuan Pasal 58 KUHPerdata juga dapat disimpulkan bahwa janji kawin hanyalah perbuatan biasa, bukan perbuatan hukum. Kemudian sebagaimana ketentuan dalam Pasal 66 UU Perkawinan yang menyebutkan: Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas undang-undang ini, maka dengan berlakunya undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S. 1993 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158) dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku. Dari ketentuan Pasal 66 UU Perkawinan tersebut dapat disimpulkan jika UU Perkawinan belum mengatur hal-hal dalam undang-undang lain, maka undang-undang yang terdahulu masih berlaku. Begitu pula dengan ketentuan Pasal 58 KUHPerdata yang membahas mengenai janji kawin tidak menimbulkan hak guna menuntut di muka hakim dan menuntut ganti rugi. Sedangkan UU Perkawinan sendiri belum mengatur secara jelas mengenai janji kawin terkecuali

73 secara tersirat oleh bunyi Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan yang menyebutkan bahwa: Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Kata persetujuan dalam Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan yang merupakan syarat materiil dari perkawinan ini hanya menjelaskan secara tersirat dan belum menjelaskan bentuk perjanjian apa yang dimaksud, karena sama sekali tidak menyinggung mengenai janji kawin yang merupakan suatu janji yang menghasilkan persetujuan sebelum perkawinan dilangsungkan. Disamping UU Perkawinan dan KUHPerdata, Kompilasi Hukum Islam (KHI) pun hanya menjelaskan secara tersirat mengenai janji kawin melalui ketentuan yang menyinggung tentang peminangan dalam Bab III Pasal 11, 12 dan 13 KHI. Berdasarkan Pasal 11 KHI menyatakan bahwa: Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya. Pasal 12 KHI menyebutkan bahwa: (1) Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya; (2) Wanita yang ditalak suami masih berada dalam masa iddah raj iah, haram dan dilarang untuk dipinang; (3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita; (4) Putus pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang. Pasal 13 KHI menyebutkan bahwa:

74 (1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan; (2) Kebebasan pemutusan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntutan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai. Kata peminangan yang dipakai dalam KHI merupakan istilah dari hukum adat atau secara ilmu fiqih disebut khitbah sehingga walaupun isi dari Pasal 11, 12, 13 KHI lebih banyak menyinggung maksud dari janji kawin, tetapi belum memiliki istilah yang sama untuk memaknai janji kawin yang dimaksud antara UU Perkawinan, KUHPerdata dan KHI padahal dalam prakteknya janji kawin ini banyak terjadi dan sudah banyak pihak yang dirugikan. Hal ini berkaitan dengan adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor 3277 K/ Pdt/ 2000 mengenai tidak dipenuhinya janji kawin. Janji kawin sendiri pada dasarnya berbeda dengan perjanjian kawin, karena perjanjian kawin telah diatur dalam diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan. Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dilakukan oleh calon suami atau istri mengenai kedudukan harta setelah mereka melangsungkan pernikahan, sedangkan janji kawin secara definisipun bahkan belum diatur oleh hukum positif khususnya UU Perkawinan yang bersifat nasional. Maka dari itu penulis berpendapat bahwa pengaturan janji kawin ini perlu diatur secara jelas oleh undang-undang terutama mengenai definisi apa yang dimaksud dengan janji kawin agar dalam prakteknya masyarakat mengenal apa yang dimaksud dengan janji kawin, karena tidak dipenuhinya janji kawin ini sudah banyak terjadi dan merugikan salah satu pihak khususnya wanita. Walaupun telah ada Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 3181 K/ Pdt/ 1987 mengenai tidak dipenuhinya janji

75 kawin yang menjadi salah satu Yurisprudensi mengenai janji kawin, tetapi definisi mengenai janji kawin sendiri dirasa perlu dijelaskan undang-undang agar tidak ada multitafsir tentang janji kawin dan keseragaman pemahaman mengenai janji kawin itu sendiri. Disamping itu walaupun tidakada satupun pasal dalam pertimbangan hakim dalam Yurisprudensi terutama dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 3191 K/ Pdt/ 1984 yang dalam pertimbangannya hanya menyatakan telah terbukti melanggar hukum yang perbuatannya bertentangan dengan kesusilaan sebagai norma moral yang diakui dalam kehidupan masyarakat dan bertentangan dengan norma kepatutan masyarakat, bertentangan dengan filsafat Pancasila sila kedua kemanusiaan yang adil dan beradab, telah melanggar hak subjektif orang lain, menjatuhkan kehormatan dan nama baik, tidak menepati janji janjinya yang menimbulkan kerugian materil dan imateriil. Putusan Mahkamah Agung Nomor 3191 K/ Pdt/ 1984 ini dapat menjadi landasan Yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum, karena telah dilakukan penemuan hukum melalui penggalian hukum oleh hakim. Sehingga Putusan Mahkamah Agung Nomor 3191 K/ Pdt/ 1984 dapat menjadi Yurisprudensi untuk Putusan Mahkamah Agung Nomor 3277 K/ Pdt/ 2000. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Hakim Pengadilan Negeri Bekasi, Bapak H. Ucu Jaya Sarjana Simatupang, yang menguatkan pendapat penulis bahwa:

76 Mengenai janji kawin yang secara hukum positif belum diatur pengertian dan pengaturannya namun pada praktek dimasyarakat banyak terjadi maka hakim wajib berupaya menggali, mencari dasar hukum melalui penemuan hukum untuk menghendaki rasa keadilan masyarakat dan untuk menghindari serta mencegah dilakukannya perbuatan yang sama dikemudian hari dan putusannya tersebut dapat dijadikan yurisprudensi untuk perbuatan yang sama. Sehingga ketika ada perkara yang sama diajukan ke pengadilan maka yurisprudensi yang terdahulu dapat digunakan. 198 Maka dengan tidak dipenuhinya suatu janji kawin, meskipun secara pengertian dan penjelasannya belum diatur undang-undang, hakim akan senantiasa melakukan penemuan hukum dengan menggali, mencari dasar hukum hingga tidak dipenuhinya janji kawin tersebut dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum dan putusan pengadilannya tersebut menjadi yurisprudensi demi rasa keadilan dimasyakat. Sehingga dalam memutus perkara dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 3277 K/ Pdt/ 2000 sendiri pada dasarnya setelah hakim melakukan penemuan hukum, hakim berkesimpulan bahwa tidak dipenuhinya janji kawin telah sesuai jika dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum yang berlandaskan pada Arrest Hoge Raad 1919 yang diperluas pengertiannya, dalam hal ini dengan tidak dipenuhinya janji kawin pada dasarnya telah melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat dan bertentangan dengan kepatutan yang berlaku dalam lalu lintas masyarakat terhadap diri atau barang orang lain. 198 Ibid