1 PENDAHULUAN. Pembangunan perikanan pada masa pemerintahan orde baru belum. dapat memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi, antara lain

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG

2 KERANGKA PEMIKIRAN

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. negara Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BUPATI SUKAMARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Paragraf 2 Kepala Sub Bagian Keuangan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV TUJUAN DAN SASARAN STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 30 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA ZONASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL KABUPATEN SINJAI TAHUN

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

2 penelitian berjudul Pola Pemanfaatan Sumberdaya Udang Dogol (Metapenaeus ensis de Haan) Secara Berkelanjutan di Perairan Cilacap dan Sekitarnya ; Su

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 72 TAHUN 2008 TENTANG

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEBIJAKAN PENATAAN RUANG DI PERAIRAN LAUT

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. mulai dari yang terdapat di daratan hingga di lautan. Negara Kesatuan Republik

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES

REVITALISASI KEHUTANAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB V RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN, DAN PENDANAAN INDIKATIF

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut.

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Bab 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Daerah. Era Otonomi Daerah ditafsirkan sebagai penambahan. pelayanan prima kepada masyarakat.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PROFILE DINAS PERIKANAN DAN KELAUTAN

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

Ikhtisar Eksekutif TUJUAN PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 074 TAHUN 2015

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan perikanan pada masa pemerintahan orde baru belum dapat memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi, antara lain rendahnya tingkat kesejahteraan nelayan dan adanya indikasi overfishing (tangkap lebih) di beberapa wilayah perairan seperti pantai Utara Pulau Jawa dan perairan Selat Malaka. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah pada masa lalu yang lebih berorientasi kepada pembangunan di darat (continental oriented), sedangkan sektor perikanan dan kelautan belum mendapat perhatian dan bahkan menjadi sektor pinggiran (pheripheral sector). Memasuki era reformasi, sistem pemerintahan telah bergeser dari sentralistik menjadi desentralistik dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kini diganti oleh Undangundang Nomor 32 Tahun 2004. Undang-undang ini mengatur tentang kewenangan daerah dalam mengelola sumber daya di wilayah laut yang meliputi: (1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut; (2) pengaturan administratif; (3) pengaturan tata ruang; (4) penegakan hukum; (5) pemeliharaan keamanan; dan (6) pertahanan kedaulatan negara. Pada awal pelaksanaan undang-undang tersebut muncul berbagai permasalahan di wilayah pesisir dan laut yang disebabkan oleh kurangnya sosialisasi kepada masyarakat. Contoh dari permasalahan tersebut adalah timbulnya konflik antar nelayan yang domisilinya berbeda kabupaten. Dalam ilmu sosiologi, konflik ini dikenal dengan istilah konflik primordial. Mereka beranggapan bahwa, nelayan dari kabupaten lain tidak boleh melakukan penangkapan ikan di wilayah perairannya. Hal ini merupakan penafsiran yang keliru terhadap Pasal 3 dan Pasal 10 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999

yang dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 diatur dalam Pasal 18. Pada pasal tersebut disebutkan bahwa kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Pasal 3 dan Pasal 10 Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 atau Pasal 18 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 dimaknai oleh daerah sebagai daerah kekuasaan atau demarkasi. Padahal, makna kedua pasal tersebut adalah sebagai daerah pengelolaan dalam menjamin pembangunan perikanan yang berkelanjutan (sustainable fisheries) dan bertanggung jawab (responsible fisheries). Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, kesalahan penafsiran ini antara lain disebabkan oleh kurangnya sosialisasi kepada masyarakat. Ironisnya, maraknya multi tafsir yang salah yang dilakukan masyarakat daerah terhadap kedua pasal tersebut, pemerintah belum membuatkan aturan turunan atau peraturan pelaksanaan mengenai kewenangan daerah dalam mengelola sumber daya di wilayah laut. Masalah lain yang timbul di sektor perikanan dan kelautan adalah adanya kecenderungan di beberapa daerah yang menjadikan sumber daya ikan menjadi salah satu sumber utama penghasilan asli daerah (PAD). Hal ini dikhawatirkan dapat menambah tekanan terhadap sumber daya ikan akibat penangkapan yang tidak terkendali karena tidak memperhatikan aspek-aspek pembangunan berkelanjutan. Di Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Indramayu merupakan yang paling menonjol dalam perolehan PAD yang diantaranya dari sub sektor perikanan laut. Sekitar 43% produksi ikan laut Provinsi Jawa Barat berasal dari daerah ini. Namun yang mengkhawatirkan adalah tingkat pemanfaatan sumber daya ikan pada tahun 2004 yang sudah mencapai 254,89% dari jumlah tangkapan yang 2

diperbolehkan (JTB) atau sekitar 203,91% dari hasil tangkapan maksimum lestari (maximum sustainable yield/msy) yang hanya sebesar 32.754,12 ton per tahun (Darsono. 2004). Hal ini dikhawatirkan upaya perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu tidak sesuai dengan kaidah pembangunan berkelanjutan. Dalam teori pembangunan berkelanjutan, selain aspek ekologi juga aspek sosial, ekonomi, hukum dan kelembagaan memegang peranan yang penting. Berdasarkan aspek ekonomi, pada umumnya nelayan, lebih khusus lagi para buruh nelayan masih miskin. Hal ini diperlihatkan dari pendapatan rata-rata nelayan di daerah pesisir Indramayu masih sekitar Rp 13.000 per hari (Bappeda Indramayu 2000). Masih banyaknya masyarakat nelayan yang miskin merupakan indikasi bahwa upaya meningkatkan kesejahteraan nelayan bukanlah merupakan hal yang mudah. Ada beberapa hal yang menyebabkan produktivitas dan pendapatan nelayan belum optimal, antara lain: (1) kualitas sumber daya manusia relatif masih rendah; (2) sarana dan prasarana perikanan belum memadai; (3) teknologi masih tertinggal; dan (4) kondisi lingkungan cenderung menurun (Bappeda Indramayu 2000). Berbagai masalah sosial, antara lain rendahnya kualitas SDM anggota rumah tangga nelayan (RTP) terlihat dari jumlah buta huruf mencapai 14,6% serta banyaknya jumlah anak usia sekolah yang tidak sekolah sekitar 31,81% (Supriyanto, 2003). Selain itu banyaknya pengangguran terselubung masyarakat pesisir Indramayu terlihat dari tingginya angka beban tanggungan atau rasio ketergantungan yang menggambarkan jumlah orang yang secara ekonomi tidak aktif per seratus penduduk yang aktif secara ekonomi. Peningkatan jumlah nelayan sebesar 72,16% dalam tujuh tahun terakhir yaitu dari 6.325 rumah tangga pada tahun 1993, menjadi 11.496 rumah tangga pada tahun 2000 yang sebagian besar merupakan nelayan skala kecil yang melakukan kegiatan penangkapan di daerah dekat pantai (kurang dari 4 mil). Kondisi ini berpotensi 3

memunculkan berbagai macam konflik persaingan dalam memanfaatkan sumber daya ikan (Bappeda Indramayu 2000). Berdasarkan aspek ekologi, terjadi kerusakan hutan mangrove sekitar 50% dari 17.782 ha luas hutan mangrove yang ada serta kerusakan terumbu karang di Pulau Biawak dan sekitarnya mencapai 47,58% (Diskan Jabar, 2004) mengakibatkan semakin menurunnya kualitas dan kuantitas sumber daya ikan. Hal ini disebabkan oleh kegiatan pemanfaatan sumber daya yang berlebihan tanpa memperhatikan kaidah ekologis. Hal lain yang mempengaruhi kelestarian sumber daya ikan di Indramayu adalah pencemaran. Di perairan Indramayu, pencemaran berasal dari tumpahan atau kebocoran pipa minyak PT Pertamina, limbah industri, sampah domestik maupun sedimentasi yang berasal dari sungai (Kompas, 2005). Berdasarkan aspek hukum dan kelembagaan, belum adanya peraturan daerah yang mengatur pengelolaan perikanan, khususnya perikanan tangkap yang berkelanjutan. Hal ini merupakan akar permasalahan tersebut di atas, karena tidak adanya perangkat hukum sebagai acuan dalam koordinasi antar instansi yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan sumber daya ikan, sehingga penegakan hukum tidak dapat terlaksana dengan baik. Fenomena permasalahan tersebut di atas mengakibatkan terjadinya konflik pemanfaatan dan konflik kewenangan dalam pengelolaan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu. Dalam jangka panjang, contoh kasus tersebut dapat berdampak negatif terhadap kelangsungan sumber daya ikan, berkurangnya keanekaragaman hayati hingga kepunahan beberapa jenis sumber daya ikan. Dengan demikian, perlu segera dilakukan langkah-langkah antisipatif untuk membenahi pengelolaan sumber daya ikan. Langkah-langkah pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan hendaknya mempertimbangkan berbagai aspek, yakni aspek ekologi, ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan kelembagaan. 4

Diharapkan melalui analisis kebijakan pengelolaan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu dengan merujuk pada prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai implementasi perikanan yang bertanggung jawab dalam kerangka code of conduct for responsible fisheries (CCRF) 1995 dari FAO, maka permasalahan yang ada dapat di eliminasi dan diatasi dengan baik. 1.2 Perumusan Masalah Permasalahan yang ada di Kabupaten Indramayu dapat diidentifikasi sebagai berikut: (1) kerusakan lingkungan, (2) over fishing, (3) konflik, (4) rendahnya tingkat pendapatan nelayan. Melihat banyaknya permasalahan yang ada dalam sektor perikanan dan kelautan khususnya perikanan tangkap, maka sudah saatnya kebijakan pengelolaan perikanan tangkap bersifat antisipatif dengan menekankan pada pentingnya suatu kelembagaan yang mampu meminimumkan kerusakan lingkungan dan mendorong akselerasi perekonomian serta perlindungan bagi masyarakat nelayan yang berpotensi menjadi korban kerusakan lingkungan. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu selaku pengambil kebijakan harus melihat potensi sumber daya ikan dan sumber daya manusia sebagai suatu modal pembangunan. Peluang daerah sangat besar dalam mengoptimalkan pengelolaan potensi sumber daya ikan dengan mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, budaya masyarakat dan kelestarian fungsi ekologis sumber daya pesisir dan lautan. Pengelolaan potensi sumber daya ikan harus terencana dan terkendali pemanfaatannya agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada masa kini dan masa yang akan datang. Di wilayah perairan Indramayu diduga potensi perikanannya sudah kritis, sehingga harus ada upaya dari pemerintah daerah untuk mengendalikan over fishing, agar dalam jangka panjang dapat memberikan manfaat dan dapat 5

meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi para nelayan. Apabila kita membiarkan perikanan dalam kondisi produksi faktual saat ini, dikhawatirkan tidak akan menghasilkan produksi perikanan yang efisien dan berkelanjutan. Oleh karenanya, perhatian terhadap tekanan pemanfaatan sumber daya ikan yang dikaitkan dengan jumlah potensi lestari harus menjadi fokus utama dalam menciptakan pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Berbagai kajian telah banyak dilakukan oleh para peneliti sebelumnya dengan topik dan tujuan yang berbeda (Lampiran 2). Sehubungan dengan faktafakta empiris di atas, maka fokus penelitian ini disusun dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: (1) Bagaimana status keberlanjutan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu ditinjau dari aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, etika, dan kelembagaan? (2) Faktor-faktor pengungkit apa saja yang berpengaruh terhadap menciptakan keberlanjutan sumber daya ikan di perairan Kabupaten Indramayu? (3) Strategi apakah yang dapat diterapkan di Kabupaten Indramayu? 1.3 Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk merumuskan alternatif kebijakan pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Kabupaten Indramayu. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Mengkaji status keberlanjutan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu ditinjau dari aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, etika, dan kelembagaan. (2) Mengkaji faktor-faktor pengungkit yang berpengaruh terhadap keberlanjutan sumber daya ikan di perairan Kabupaten Indramayu. (3) Menyusun strategi pengelolaan perikanan tangkap di lokasi penelitian. 6

1.4 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah mengkaji mengenai kebijakan pengelolaan perikanan tangkap berdasarkan analisis keberlanjutan sumber daya dan efisiensi penggunaan alat tangkap dengan membandingkan rencana strategis (Renstra) yang disusun Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu, khususnya Dinas Perikanan dan Kelautan untuk jangka waktu lima tahun. Sedangkan batasan penelitian ini adalah: (1) Mengukur status keberlanjutan sumber daya perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu atas dasar enam indikator keberlanjutan, yaitu ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, etika dan kelembagaan. (2) Data produksi perikanan tangkap serta jumlah alat tangkap yang digunakan untuk menganalisis kebijakan ini diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu, dengan mengenyampingkan daerah penangkapannya (fishing ground). 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: (1) Bagi para pemangku kepentingan perikanan tangkap terutama pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan. (2) Bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perikanan tangkap, penelitian ini diharapkan memberikan gambaran status keberlanjutan perikanan tangkap. (3) Bagi pengelolaan perikanan tangkap, penelitian ini diharapkan memberikan solusi yang konstruktif dalam menciptakan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan berdasarkan CCRF 1995. 7

(4) Bagi penelitian selanjutnya, diharapkan menjadi rujukan terutama mengenai kondisi keberlanjutan sumber daya ikan di perairan Kabupaten Indramayu. 1.6 Hipotesis Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah : Pemanfaatan sumber daya ikan di Kabupaten Indramayu pada masa kini tidak berkelanjutan. 8