BAB I PENDAHULUAN. seorang laki-laki dan seorang perempuan. yang berbicara masalah keluarga dan perkawinan. 1

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup

BAB I PENDAHULUAN. menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya salah satu kebutuhan manusia adalah perkawinan. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang

BAB 1 PENDAHULUAN. menyangkut urusan keluarga dan urusan masyarakat. 1. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-tuhanan Yang Maha Esa.

BAB I PENDAHULUAN. bentuknya yang terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga.

BAB I PENDAHULUAN. tersebut senada dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 1.

BAB I PENDAHULUAN. suatu kelompok dan kemampuan manusia dalam hidup berkelompok ini dinamakan zoon

BAB I PENDAHULUAN. Akomodatif artinya mampu menyerap, menampung keinginan masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. Hidup bersama di dalam bentuknya yang terkecil itu dimulai dengan adanya

BAB 1 PENDAHULUAN. 1960), hal Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, Cet. 5, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hal. 48.

SKRIPSI PELAKSANAAN PERKAWINAN MELALUI WALI HAKIM DI KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN LUBUK KILANGAN KOTA PADANG

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. seorang laki-laki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. dilindungi oleh Negara. Perkawinan menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1

TINJAUAN TEORITIS ASAS MONOGAMI TIDAK MUTLAK DALAM PERKAWINAN. Dahlan Hasyim *

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri untuk hidup bersama

BAB I PENDAHULUAN. hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu hingga kini. Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami isteri memikul amanah dan

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban.

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

BAB I PENDAHULUAN. dari perkawinan itu adalah boleh atau mubah. Namun dengan melihat

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Allah SWT telah menghiasi alam semesta ini dengan rasa cinta dan kasih

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah merupakan makhluk sosial yang

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia

BAB I PENDAHULUAN. kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Sedangkan menurut

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Allah menciptakan makhluk-nya di dunia ini berpasang-pasangan agar mereka bisa

BAB I PENDAHULUAN. Sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk-nya, baik pada manusia, Allah SWT sebagai jalan bagi makhluk-nya untuk berkembang, dan

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles, seorang filsuf yunani yang terkemuka pernah berkata bahwa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk Tuhan adalah makhluk pribadi sekaligus

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Masyarakat Indonesia tergolong heterogen dalam segala aspeknya. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. dalammenjadikan dan menciptakan alam ini. Perkawinan bersifat umum,

SKRIPSI PROSES PENYELESAIAN PERCERAIAN KARENA FAKTOR KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (STUDY KASUS DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA)

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.

BAB 1 PENDAHULUAN. kebijakan dan saling menyantuni, keadaan seperti ini lazim disebut sakinah.

BAB I PENDAHULUAN. perzinaan dengan orang lain diluar perkawinan mereka. Pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian sehingga

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman adat istiadat dalam pelaksanaan perkawinan. Di negara. serta dibudayakan dalam pelaksanaan perkawinan maupun upacara

BAB I PENDAHULUAN. bersama-sama dengan orang lain serta sering membutuhkan antara yang satu

BAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Perkawinan ini menjadi sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang

POLIGAMI DALAM PERPEKTIF HUKUM ISLAM DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh: Nur Hayati ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. agar hubungan laki-laki dan perempuan mampu menyuburkan ketentraman,

BAB I PENDAHULUAN. perbedaan aturan terhadap suatu perkawinan.

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita yang dikaruniai sebuah naluri. Naluri

BAB I PENDAHULUAN. dalam ajarannya, bahwa manusia adalah zoon politicon artinya bahwa manusia

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus

BAB I PENDAHULUAN. (hidup berkelompok) yang biasa kita kenal dengan istilah zoon politicon. 1

BAB I PENDAHULUAN. bersama yang disebut dengan lembaga perkawinan. merupakan ibadah (Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam). 2

BAB I PENDAHULUAN. Internasional yang merupakan induk sepakbola dunia. Organisasi Internasional

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat sensitif dan erat sekali hubunganya dengan kerohanian seseorang.

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB I. Tuhan telah menciptakan manusia yang terdiri dari dua jenis yang berbedabeda

BAB I PENDAHULUAN. 1 Kompilasi Hukum Islam, CV. Nuansa Aulia, 2013, hlm. 2. 2

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat maka diberikan

BAB I PENDAHULUAN. ikatan tersebut masih diatur oleh norma-norma sosial. ke jenjang pernikahan. Jenjang inilah yang menandai sebuah fase kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Sudah jadi kodrat alam bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu

BAB I PENDAHULUAN. oleh karena itu manusia wajib berdoa dan berusaha, salah satunya dengan jalan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia selalu ingin bergaul (zoon politicon) 1 bersama manusia lainya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan merupakan bagian hidup yang sakral, karena harus

IZIN POLIGAMI AKIBAT TERJADI PERZINAAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DI PENGADILAN AGAMA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. yang ditakdirkan untuk saling berpasangan dan saling membutuhkan 1. Hal

BAB 1 PENDAHULUAN. melalui pernyataan bahwa manusia adalah makhluk zoonpoliticon 75, yaitu bahwa

BAB I PENDAHULUAN. insan manusia pria dan wanita dalam satu ikatan suci dengan limpahan dari

BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status

KEDUDUKAN ANAK DAN HARTA DALAM PERKAWINAN SIRI DITINJAU DARI UU NOMOR 1 TAHUN 1974

AKIBAT PERKAWINAN DIBAWAH UMUR DALAM KELANGSUNGAN HIDUP. ( Studi Kasus Pengadilan Agama Blora)

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sepanjang masa dalam mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat yang

BAB I PENDAHULUAN. terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga,

BAB I PENDAHULUAN. islam adalah realisasi dari tujuan utama ibadah dan perinciannya tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan manusia perkawinan merupakan salah satu hal. yang penting terutama dalam pergaulan hidup masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. seorang diri. Manusia yang merupakan mahluk sosial diciptakan oleh Tuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

BAB I PENDAHULUAN. sunnatullah yang umumnya berlaku pada semua mahkluk-nya. Hal ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN. ini banyak dijumpai pasangan yang lebih memilih untuk melakukan nikah siri

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

I. PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia sejak zaman. dibicarakan di dalam maupun di luar peraturan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. Qur anul Karim dan Sunnah Rosullulloh saw. Dalam kehidupan didunia ini, Firman Allah dalam Q.S. Adz-Dzaariyat : 49, yang artinya :

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan keberadaan anak sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.

BAB I PENDAHULUAN. itu, harus lah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai azas pertama

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial atau bermasyarakat tidak dapat hidup menyendiri, tanpa berhubungan dan bergaul dengan manusia lainnya. Sudah kodrat manusia saling membutuhkan satu sama lainya. Seseorang tidak akan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri baik itu kebutuhan fisik maupun kebutuhan psikis. Sejak dilahirkan manusia telah dilengkapi dengan naluri untuk senantiasa hidup bersama dengan orang lain, hal inilah yang memicu adanya kelompok sosial. Salah satu bentuk terkecil dari kelompok sosial adalah keluarga, pada hakikatnya keluarga terwujud dari adanya perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Perkawinan merupakan aspek yang penting dalam kehidupan manusia di samping kelahiran dan kematian. Al-Qur an menyebutkan kurang lebih 70 ayat yang berbicara masalah keluarga dan perkawinan. 1 Perkawinan merupakan perintah Allah SWT kepada manusia sebagai bentuk ibadah agar terhindar dari perbuatan maksiat. Perkawinan merupakan suatu ikatan yang menghalalkan hubungan antara seorang laki-laki dengan perempuan sebagai suami istri dimana sebelum terjadinya ikatan tersebut masih diatur oleh norma-norma kesusilaan. 1 Khoirudin Nasution, pengantar dan pemikiran hukum keluarga Islam(perdata) Indonesia, ACAdeMia+TAZZAFA, Yogyakarta, 2007, hlm.11. 1

Menikah merupakan salah satu fase kehidupan yang lazim dilakukan oleh setiap manusia dewasa yang siap secara lahir maupun batin serta memiliki rasa tanggung jawab dalam membangun rumah tangga. Setiap orang yang telah memenuhi persyaratan tersebut dianjurkan agar menginjakkan kakinya ke jenjang pernikahan, jenjang inilah yang menandai sebuah fase kehidupan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup seseorang pada masa mendatang. Kehidupan berkeluarga memiliki banyak tantangan dan mengandung sejumlah harapan positif. Tidak dipungkiri dalam pernikahan terdapat banyak manfaat jika kita dapat mengelolanya dengan baik. 2 Masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk dalam berbagai aspek misalnya adat istiadat, kesukuan dan agama, masing-masing mempunyai pandangan hidup yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, khususnya dalam hal perkawinan dan kehidupan keluarga. Keseluruhan aspek tersebut memiliki tata aturan sendiri-sendiri mengenai tata cara serta segala hal yang berkaitan dengan perkawinan. Hukum perkawinan yang berlaku bagi tiaptiap adat, suku serta agama tersebut satu sama lain ada perbedaan, akan tetapi tidak saling bertentangan. Secara umum di Indonesia aturan mengenai perkawinan terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Nomor 1 Tahun 1974) dan penjelasannya terdapat dalam tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3019 yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974. Untuk kelancaran dan pedoman dalam pelaksanaan undang-undang 2 Happy Susanto, Nikah Siri Apa Untungnya?, Visimedia, Ciganjur, 2007, hlm.1. 2

tersebut pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Lembaran Negara Nomor 12 Tahun 1975) pada tanggal 1 April 1975, maka dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 mulailah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dilaksanakan di seluruh Indonesia. Bagi suatu negara dan bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-Undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsipprinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita. 3 Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka undang-undang ini di satu sisi harus dapat mewujudkan prinsipprinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945, sedangkan di sisi lain harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Undang-Undang Perkawinan ini sudah menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan. Dalam undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. 4 Sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikeluarkan, perihal perkawinan diatur dalam Buku I KUH Perdata. Satu pasal 3 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hlm.6. 4 Ibid, hlm.7. 3

pun tidak ada yang menjelaskan tentang kata perkawinan itu, kecuali menyebutkan bahwa undang-undang memandang perihal perkawinan hanya dalam hubungan- hubungan perdata (Pasal 26 KUH Perdata). Pasal 26 KUH Perdata mengakui suatu perkawinan yang sah hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam undang-undang. KUH Perdata tidak melihat suatu perkawinan dari sudut biologis khususnya hubungan kelamin untuk membuahkan anak sebagai maksud dari perkawinan itu. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa orang yang tidak dapat melakukan hubungan kelamin dan orang-orang yang tidak dapat memberikan keturunan tidak dilarang untuk melangsungkan perkawinan. Kecuali itu, dari ketentuan Pasal 26 KUH Perdata tersebut dapat juga dinyatakan bahwa undang-undang tidak memandang pada aturan-aturan yang ditentukan oleh suatu agama. Penafsiran itu ada hubungannya dengan Pasal 81 KUH Perdata yang mengatakan bahwa suatu upacara pernikahan keagamaan tidak boleh dilangsungkan sebelum kedua pihak membuktikan bahwa pernikahan di hadapan pegawai catatan sipil sudah dilangsungkan. 5 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan defenisi perkawinan sebagai berikut: Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam juga diartikan mengenai hlm.42-43. 5 I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perorangan dan Kebendaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, 4

perkawinan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakan merupakan ibadah. Perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita dikenal sebagai perkawinan monogami, tetapi terdapat pula bentuk perkawinan yang dikenal dengan perkawinan poligami. Hukum perkawinan menganut asas monogami yang dinyatakan di dalam Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa: pada asasnya perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang isteri hanya boleh mempunyai seorang suami. Namun di dalam Pasal 3 Ayat (2) Undang-Undang tersebut juga dijelaskan bahwa: Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangutan. Itu artinya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menganut asas monogami terbuka. Menurut penjelasan di dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019 ditegaskan bahwa undang-undang ini menganut asas monogami. Pengadilan dalam memberi putusan selain memeriksa apakah syarat yang tersebut Pasal 4 dan 5 telah dipenuhi, harus mengingat pula apakah ketentuan- ketentuan hukum perkawinan dari calon suami mengizinkan adanya poligami. 6 Seseorang yang ingin melakukan poligami harus memiliki alasan yang dapat dijadikan dasar oleh seorang suami untuk melakukan poligami yang telah 6 Sudarsono, Op.cit, hlm.27. 5

ditentukan oleh Undang-Undang Perkawinan secara limitatif. Yakni hanya salah satu daripada yang tersebut dibawah ini, Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan: 7 a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Kalau kita perhatikan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar oleh seorang suami untuk melakukan poligami tersebut di atas, maka nampaknya alasan-alasan tersebut dirumuskan oleh pembentuk undang-undang dengan sangat umum, bahkan relatif dan sensitif sekali. 8 Menurut Undang-Undang Perkawinan sebelum melakukan poligami, pelaku poligami harus terlebih dahulu memperoleh izin dari Pengadilan Agama dengan cara mengajukan permohonan izin poligami ke Pengadilan Agama. Setelah mendapat izin dari pengadilan, barulah seseorang dapat malakukan poligami, namun untuk mendapatkan izin dari pengadilan tersebut pelaku poligami haruslah memenuhi syarat serta menjalani proses persidangan terlebih dahulu. Pengadilan dalam hal ini berwenang memberikan izin berpoligami atau menolak izin poligami dengan berbagai pertimbangan. Pada prakteknya ada masyarakat yang melakukan poligami tanpa memperhitungkan adanya pengadilan yang berwenang memberi izin poligami, 7 Abdurrahaman dan Riduan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan Di Indonesia, Alumni, Bandung, 1978, hlm.86. 8 Ibid, hlm.87. 6

mereka melakulan praktek poligami tanpa izin dari pengadilan, barulah setelah itu mereka mangajukan permohonan izin poligami ke Pengadilan Agama. Berdasarkan uraian tersebut penulis tertarik untuk mengaji tentang Permohonan izin poligami yang ditolak pengadilan. Untuk itu penulis mengambil judul Permohonan Izin Poligami Yang Ditolak Oleh Pengadilan Agama Koto Baru, Kabupaten Solok (Studi Putusan Nomor 0125/Pdt.G/2014./PA.KBr) B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah : 1. Apa saja faktor yang menyebabkan terjadinya poligami di Pengadilan Agama Koto Baru? 2. Bagaimana pertimbangan hakim menolak permohonan izin poligami? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan terjadinya poligami di Pengadilan Agama Koto Baru. 2. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim menolak permohonan izin poligami. 7

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Melatih kemampuan untuk melakukan penelitian secara ilmiah dan merumuskan hasil-hasil penelitian tersebut ke dalam bentuk tulisan. b. Untuk memperkaya ilmu pengetahuan dibidang hukum pada umumnya dan bidang hukum keperdataan, khususnya dalam hukum perkawinan yang bekaitan dengan poligami. c. Memberikan referensi bagi kepentingan akademis penulis, dan juga sebagai bahan tambahan kepustakaan bagi penulis, para pejabat dan instansi terkait sekaligus dapat memberikan informasi kepada masyarakat, khususnya kepada pihak yang melakukan poligami. 2. Manfaat Praktis Adapun manfaaat praktis yang diharapkan oleh penulis dari penulisan ini adalah menambah pengetahuan penulis sendiri, sumbangan pemikiran bagi masyarakat untuk lebih mengetahui mengenai poligami serta diharapkan dapat menjadi pedoman ataupun acuan oleh para pelaku hukum maupun pemerintah dalam mengambil kebijakan dalam hal perkawinan terutama masalah poligami. E. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian Ditinjau dari jenisnya, maka penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif (yuridis normatif), yaitu suatu penelitian yang dilakukan 8

dengan cara mengkaji data sekunder seperti bahan hukum primer, sekunder, tersier atau bahan kepustakaan yang ada. Bila ditinjau dari sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptifeksplanatoris, dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama atau dalam menyusun teori-teori baru. 9 2. Sumber dan Jenis Data Guna menjawab permasalahan yang telah diungkapkan di atas dan demi kesempurnaan penulisan, maka diperlukan suatu data. Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari : a. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Andalas b. Perpustakaan Universitas Andalas c. Perpustakaan Daerah Provinsi Sumatera Barat Disamping itu untuk melengkapi data juga digunakan buku-buku hukum dari koleksi pribadi dan penelusuran data melalui internet. Menurut Amiruddin dan Zainal Asikin, dalam penelitian hukum normatif hanya dikenal data sekunder saja. 10 Data sekunder tersebut jenis datanya berbentuk bahan-bahan hukum, antara lain : a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat. 11 Bahan hukum primer yang digunakan untuk menunjang data 9 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 13. 10 Amiruddin dan Zainal Asikin, Ibid, hlm. 31. 9

adalah berupa undang-undang dan peraturan-peraturan yang telah menjadi hukum positif di Indonesia yang sehubungan dengan masalah poligami, terdiri atas : 1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: 2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: 3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahum 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.: 4) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. 5) UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu berupa buku-buku hukum, artikel dari berbagai majalah, juga yang diperoleh melalui internet, skripsi, tesis, yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dikaji. 12 c. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang lebih dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukum, 11 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta 2006, Hlm. 52. 12 Amiruddin dan Zainal Asikin, Op.cit, hlm. 32. 10

seperti kamus (hukum), dan ensiklopedia sebagai pedoman dalam menyusun karya tulis ilmiah. 13 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen. Studi dokumen adalah metode pengumpulan data dengan cara mempelajari dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. 4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data a. Pengolahan Data Data yang telah diperoleh selanjutnya dilakukan pengolahan data, untuk itu digunakan beberapa cara, yaitu : 1) Editing, yaitu meneliti kembali terhadap catatan-catatan, berkasberkas, atau informasi-informasi yang dikumpulkan oleh pencari data yang diharapkan akan dapat meningkatkan mutu kehandalan (reabilitas) data yang hendak dianalisis, kemudian disusun data-data tersebut ke dalam pembahasan. 14 2) Coding, yaitu dengan memberi tanda-tanda/kode-kode tertentu setelah data-data diedit untuk memudahkan dalam menganalisa data. b. Analisis Data Untuk menganalisa data yang telah diperoleh, penulis menggunakan analisis data kualitatif, yaitu tidak menggunakan angka-angka (tidak menggunakan rumus matematika) atau rumus statistik, melainkan 13 Ibid. 14 Soerjono Soekanto, Op.cit, hlm. 168-169. 11

dengan menggunakan kata-kata atau dengan uraian kalimat yang merupakan pandangan para pakar, peraturan perundang-undangan, termasuk data yang penulis peroleh dari berbagai lieratur sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan yang sangat logis yang merupakan jawaban dari permasalahan yang diteliti. F. Sistematika Penulisan Untuk dapat memudahkan pemahaman dalam pembahasan dan untuk memberi gambaran yang jelas mengenai keseluruhan penulisan karya ilmiah maka penulis menyiapkan suatu sistematika dalam penyusunan penulisan skripsi.sistematika penulisan merupakan suatu uraian susunan penulisan itu sendiri secara teratur dan rinci. Sistematika penulisan skripsi terdiri dari 4 (empat) bab, masing-masing bab tersebut berhubungan satu dengan yang lainnya. Setiap bab terbagi lagi kedalam sub-sub bab yang membantu suatu pokok permasalahan tertentu. Adapun sistematika skripsi ini adalah sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian dan penulisan, manfaaat penelitian metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi uraian mengenai pengertian, pengaturan, tujuan pernikahan dan poligami. 12

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini diuraikan mengenai pembahasan tentang aturan tentang poligami. Penilaian hukum dalam perkara permohonan poligami menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. BAB IV PENUTUP Bagian ini merupakan bagian akhir dari seluruh kegiatan penulisan yang berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan merupakan uraian akhir yang ditarik dari hasil pembahasan secara menyeluruh pada bab-bab sebelumnya sekaligus merupakan jawaban dari pokok permasalahan yang ada dalam bab pendahuluan. Sementara itu saran berisi usulan atau rekomendasi penulis terhadap topik yang dibahas. 13