BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Disfungsi ereksi (DE) merupakan masalah signifikan dan umum di bidang medis yang tidak berhubungan dengan proses penuaan. Disfungsi Ereksi prevalensinya meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Pria dengan diabetes, penyakit jantung iskemik dan penyakit vaskular perifer lebih banyak menderita DE (Henwood, 2009). Disfungsi ereksi (DE) menurut konsensus National Institute of Health (NIH) tahun 1992 didefinisikan sebagai ketidakmampuan mencapai dan mempertahankan ereksi untuk mencapai kepuasan seksual (NIH Consensusstatement, 1992). Disfungsi ereksi memiliki prevalensi cukup tinggi dan berdampak besar terhadap kualitas hidup pria dan pasangannya. Insidensi DE dan dampak yang ditimbulkan juga semakin besar sebanding dengan meningkatnya usia harapan hidup (Javaroni dan Neves, 2012). Prevalensi DE pada populasi jumlahnya cukup besar. Massachussets Male Aging Study (MMAS) melaporkan DE dialami lebih dari 50% laki-laki berusia 40-70 tahun (Lasker et al., 2010). Prevalensi DE di Amerika Serikat dilaporkan sebesar 46-52%, di Eropa sebesar 13-74%, di Asia 24-80% dan 40-49% di daerah lain (Shiri, 2005). Lebih dari 150 juta laki-lakimenderita DE pada tahun 1995 dan diperkirakan pada tahun 2025 DE menyerang 322 juta laki-laki di seluruh dunia (Solomon et al., 2003). Laki-laki usia lebih dari 40 tahun akan mengalami penurunan kadar testosteron secara bertahap. Laki-laki pada usia ini akan mengalami penurunan 1
2 kadar testosteron dalam darah sekitar 1,2% per tahun. Laki-laki usia 70 tahun penurunan kadar testosteron dapat mencapai 70%. Penelitian National Institutes of Health 2002 menunjukkan kurang lebih 15 juta sampai 30 juta laki-laki di Amerika mengalami disfungsi ereksi. Insidensi terjadinya gangguan bervariasi dan meningkat seiring dengan usia. Laki-laki pada usia 40 tahun mengalami disfungsi ereksi kurang lebih 5% dan pada usia 65 tahun terdapat kurang lebih 15-25% (Winaga, 2006). Prevalensi disfungsi ereksi di Indonesia belum diketahui secara pasti, diperkirakan 16% laki-laki usia 20-75 tahun mengalami disfungsi ereksi (Wibowo dan Gofir, 2008). Hasil survei Massachusets Male Aging Study (MMAS) yang dilakukan pada pria usia 40 sampai 70 tahun mendapatkan 52% responden menderita DE berbagai tingkatan dengan DE berat sebesar 9,6%, sedang 25,2% dan ringan sebesar 17,2%. Disfungsi Ereksi di Indonesia tidak terdapat survei yang cukup besar, namun dari gambaran penderita DE yang datang ke klinik diperkirakan hasilnya tidak jauh berbeda (Feldman et al, 1994). Sebuah studi yang dilakukan tahun 2011 selama setahun melibatkan 111 pria aktif secara seksual di Pusat Pelayanan Kesehatan Universitas Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia menunjukkan 75,7% pasien mengalami disfungsi ereksi dalam enam bulan sebelum dirawat di rumah sakit dan semua pasien dengan riwayat penyakit jantung iskemik telah mengalami disfungsi ereksi. Sebesar 24,7 persen dari 81 pria yang tidak aktif secara seksual yang tidak direkrut dilaporkan menderita disfungsi ereksi selama lebih dari enam bulan sebelum pemeriksaan (Veronique,2011).
3 Disfungsi ereksi dan PJK merupakan dua kondisi dengan prevalensi tinggi sering terjadi secara bersamaan. Keduanya mempunyai beberapa faktor risiko yang sama seperti diabetes mellitus, hipertensi, hiperlipidemia, obesitas dan kebiasaan merokok. Jumlah faktor risiko kardiovaskular yang bertambah maka akan meningkatkan insidensi DE dan PJK (Rodriguez et al., 2005). Aterosklerosis merupakan suatu penyakit sistemik dapat terjadi pada pembuluh darah arteria di penis dan menyebabkan DE pada pasien dengan PJK. Penelitian dari Montorsi menunjukkan angka kejadian DE pada penderita PJK cukup tinggi, berkisar antara 42% sampai dengan 57% (Montorsi, 2004), sedangkan pada penelitian Gazzaruso et al., (2004) ditemukan insidensi DE pada pasien DM dengan silent ischemia sebesar 33,8%, jika dibandingkan dengan subyek tanpa silent ischemia yang hanya mencapai 4,7%. Penderita dengan penyakit kronis masalah psikologis yang paling sering dijumpai berupa gejala depresi dan kecemasan. Depresi dan kecemasan sering dijumpai pada pasien dengan PJK. Gejala yang berhubungan dengan depresi pada pasien dengan PJK, dijumpai pada 65% pasien setelah sindroma koroner akut (SKA), dimana 16-22% diantaranya termasuk dalam tingkatan depresi mayor. Beberapa studi telah membuktikan bahwa depresi dapat mempengaruhi fungsi ereksi yang normal secara neurofisiologi. Hasil dari penelitian MMAS, laki-laki dengan depresi memiliki hampir dua kali lipat kecenderungan untuk terjadinya DE derajat sedang maupun DE berat jika dibandingkan dengan populasi yang tidak menderita depresi (Araujo et al., 1998). Depresi dan DE berhubungan dengan PJK. Keduanya secara umum didapatkan pada penderita PJK dan berkaitan dengan prognosis yang tidak baik pada laki-laki dengan PJK.
4 Hubungan antara DE dan depresi jarang diteliti pada laki-laki dengan PJK, yang terdokumentasi melalui angiografi koroner. Penelitian yang dilakukan Mulat dan koleganya menunjukkan bahwa 38,8% laki-laki penderita PJK dengan gejala depresi akan mengalami DE (Mulat et al., 2010). DE pada pasien paska SKA dapat terjadi akibat faktor psikologis dan fisiologis. Mekanisme fisiologis yang menghubungkan antara depresi dan penyakit DE salah satunya adalah adanya perubahan fungsi neuroendokrin yakni gangguan pengaturan aksis Hipotalamus-Pituitary Axis (HPA). Melalui jalur HPA depresi akan mengakibatkan hiperkolesterolemia sehingga mempengaruhi sirkulasi darah ke penis. Depresi akan menaikkan kortisol yang memicu terjadinya arterosklerosis dan meningkatkan jejas pada sel-sel endotel vaskuler (Taher,1999). Adrenalin dan asetilkolin selama ini dikenal sebagai neurotransmiter pada sistem adrenergik dan kolinergik, tetapi pada korpora kavernosa ditemukan adanya neurotransmiter yang bukan adrenergik dan bukan kolinergik (non adrenergik non kolinergik = NANC) yaitu nitric oxide (NO). Nitrit Oxide merupakan mediator neural yang memicu relaksasi otot polos korpora kavernosa. Nitrit Oxide menimbulkan relaksasi dengan mengaktifkan enzim guanilat siklase yang mengkonversi guanosine triphosphate (GTP) menjadi cyclic guanosine monophosphate (cgmp). Proses selanjutnya cgmp merangsang kalsium keluar dari otot polos korpora kavernosa, sehingga terjadi relaksasi. NO dilepaskan bila ada rangsangan seksual. CGMP dirombak oleh enzim phosphodiesterase (PDE) yang akan mengakhiri dan menurunkan kadar cgmp sehingga ereksi akan berakhir. PDE adalah enzim diesterase yang merombak cyclic adenosine
5 monophosphate (camp) dan cgmp menjadi AMP atau GMP. Ada beberapa isoform dari enzim ini, PDE 1 sampai PDE7. Masing-masing PDE terdapat pada organ yang berbeda. PDE-5 banyak terdapat di korpora kavernosa. Kadar NO yang menurun sangat berpengaruh pada kualitas fungsi ereksi (Taher, 2004). Fluoxetine merupakan salah satu obat golongan SSRI yang murah dan tersedia di Indonesia, dari segi farmakokinetika fluoxetine lebih unggul dalam waktu paruh yang panjang serta memperbaiki keluhan lemas pada pasien depresi. Perbaikan gejala depresi pada pasien yang diterapi dengan fluoxetine 20 mg/hari selama 8 minggu diharapkan akan meningkatkan skor disfungsi ereksi pada penderita depresi paska SKA yang diukur melalui IIEF5. Sampai saat ini belum ada penelitian yang meneliti efek fluoxetine terhadap disfungsi seksual pada pasien paska sindrom koroner akut (Taher,1999). B. Rumusan Masalah Disfungsi ereksi dapat terjadi pada pasien depresi paska sindrom koroner akut. Mekanisme disfungsi ereksi dapat terjadi karena kelainan organik dan psikogenik. Kelainan organik disebabkan adanya aterosklerosis,sedangkan kelainan psikogenik dapat disebabkan kondisi depresi yang meningkatkan aksis HPA sehingga menyebabkan DE. Penggunaan obat antidepresan diketahui dapat menurunkan simtom depresi dengan memperbaiki aksis HPA sehingga diharapkan akan memperbaiki disfungsi ereksi. paska SKA? C.Pertanyaan Penelitian Apakah terdapat efek fluoxetine terhadap fungsi ereksi pasien depresi
6 D. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui adanya efek fluoxetine terhadap perbaikan fungsi ereksi pada pasien depresi paska SKA. E. Manfaat penelitian 1. Manfaat bagi penderita Penderita mengalami perbaikan gejala depresi dan disfungsi ereksi setelah mendapatkan terapi antidepresan sehingga kualitas hidup meningkat. 2. Manfaat bagi peneliti Peneliti dapat mengetahui dan memahami perbaikan fungsi ereksi penderita depresi paska SKA pada kelompok yang mendapat fluoxetine 20 mg per hari selama 8 minggu dibandingkan kelompok yang mendapat plasebo. 3. Manfaat bagi institusi Institusi mendapatkan informasi berguna tentang peranan pemberian fluoksetin 20 mg per hari selama 8 minggu terhadap perbaikan disfungsi ereksi pada pasien depresi paska SKA yang bermanfaat untuk ilmu pengetahuan. F. Keaslian Penelitian Sepengetahuan penulis belum ada penelitian mengenai perubahan fungsi ereksi antara penderita depresi paska SKA pada kelompok yang mendapat fluoxetine 20 mg per hari selama 8 minggu dibandingkan kelompok yang mendapat plasebo di Indonesia.