I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat. Sehubungan

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

VI. RANCANGAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PENGEMBANGAN PETERNAKAN

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 2.1 Uraian Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur

I. PENDAHULUAN. Permintaan dunia terhadap pangan hewani (daging, telur dan susu serta produk

LAPORAN KINERJA 2014 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. penting pembangunan. Sehingga pada tanggal 11 Juni 2005 pemerintah pusat

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

PENCAPAIAN SWASEMBADA DAGING SAPI DAN KERBAU MELALUI PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMIC)

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI, DAN KEBIJAKAN

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan Produk

BAB I PENDAHULUAN. Strategis Kementerian Pertanian tahun adalah meningkatkan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai.

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah telah ditindaklanjuti dengan ditetapkannya Undang-undang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

OPERASIONAL PROGRAM TEROBOSAN MENUJU KECUKUPAN DAGING SAPI TAHUN 2005

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Perkembangan Koperasi tahun Jumlah

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang. subsektor peternakan. Suatu negara dapat dikatakan sistem

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang. peluang karena pasar komoditas akan semakin luas sejalan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Proyeksi Populasi Sapi dan Nasional

RILIS HASIL AWAL PSPK2011

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

BAB I PENDAHULUAN. Potensi usaha peternakan di Indonesia sangat besar. Kondisi geografis

BAB I PENDAHULUAN. beli masyarakat. Sapi potong merupakan komoditas unggulan di sektor

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pembentukan Gross National Product (GNP) maupun Produk Domestik Regional

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN

I. PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan di Indonesia diletakkan pada pembangunan bidang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR LAMPIRAN... x

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

LAPORAN AKHIR PEMANTAPAN PROGRAM DAN STRATEGI KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI DAGING SAPI

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya melimpah

PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. 1 http ://cianjur.go.id (diakses15 Mei 2011)

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013

Tabel. 2.1 Pencapaian Kinerja Pelayanan Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh Provinsi Aceh

I. PENDAHULUAN. orang pada tahun (Daryanto 2010). Daryanto (2009) mengatakan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian di Indonesia merupakan bagian integral dari

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013

RILIS HASIL PSPK2011

I. PENDAHULUAN. Undang No 22 tahun 1999 tentang Kewewenangan Untuk Menggali Potensi

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk

PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Kebijakan otonomi daerah yang bersifat desentralisasi telah merubah

PENGEMBANGAN AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN YANG TERINTEGRASI DE-NGAN PEMBANGUNAN WILAYAH (KASUS JAWA BARAT)

Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik

MATRIKS ARAH KEBIJAKAN WILAYAH MALUKU

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

Analisis Isu-Isu Strategis

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Masalah pokok dalam pembangunan

Peran dan fungsi pemerintah pada era otonomi daerah adalah. berupa pelayanan dan pengaturan (fasilitator, regulator dan dinamisator)

BAB I PENDAHULUAN. efetivitas rantai pemasok. Menurut Wulandari (2009), faktor-faktor yang

I PENDAHULUAN. 2,89 2,60 2,98 3,35 5,91 6,20 Makanan Tanaman Perkebunan 0,40 2,48 3,79 4,40 3,84 4,03. Peternakan 3,35 3,13 3,35 3,36 3,89 4,08

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan peraturan perundang-undangan.undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang

Ayam Ras Pedaging , Itik ,06 12 Entok ,58 13 Angsa ,33 14 Puyuh ,54 15 Kelinci 5.

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus

I. PENDAHULUAN. sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber

I. PENDAHULUAN. Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun

PENDAHULUAN Latar Belakang

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

FOKUS PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN DAN KESWAN TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Usaha sektor peternakan merupakan bidang usaha yang memberikan

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

OLEH DR. Drh. RAIHANAH, M.Si. KEPALA DINAS KESEHATAN HEWAN DAN PETERNAKAN ACEH DISAMPAIKAN PADA :

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat. Sehubungan dengan itu, tugas pemerintah selaku salah satu unsur penyelenggara negara antara lain adalah melaksanakan pembangunan perekonomian untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Pembangunan bidang ekonomi ini mencakup berbagai sektor dan subsektor pembangunan, di antaranya adalah sektor pertanian dan subsektor peternakan. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar tiga hingga enam persen dalam beberapa tahun terakhir, data BPS tahun 2006 menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin secara kuantitatif masih sebanyak lebih dari 39 juta jiwa atau 18% dari seluruh penduduk. Dari jumlah tersebut, 63% atau lebih dari 25 juta jiwa di antaranya bertempat tinggal di daerah pedesaan. Karena pedesaan selalu identik dengan pertanian, maka secara sederhana dapat disimpulkan bahwa penduduk miskin pedesaan tersebut sebagian besar bergantung kepada sektor pertanian. Tim IPB (2008) mengemukakan bahwa faktor utama penyebab kemiskinan di bidang pertanian adalah rendahnya penguasaan sumberdaya produktif dan rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Selain kedua faktor tersebut, struktur ekonomi masih memposisikan penduduk miskin hanya sebagai penghasil surplus, tetapi surplus yang dihasilkan itu tidak dinikmati oleh penduduk miskin tersebut. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa pengurangan penduduk miskin di pertanian tidak saja perlu ditinjau dari sudut pandang petani dan keluarganya serta hubungannya dengan lingkungan sosial dan ekonomi, namun juga perlu dicermati hubungan atau keterkaitan antar sektor dan antar wilayah. Keberhasilan 1

pembangunan pertanian akan ditentukan oleh arah pembangunan di aspek makro (seperti moneter dan fiskal), juga secara sektoral seperti kebijakan sektor industri akan menentukan keterkaitannya dengan subsistem hulu dan seberapa besar pertanian dapat memperoleh manfaat dari kebijakan tersebut. Perhepi (2004) mengemukakan bahwa rekonstruksi dan restrukturisasi pertanian dan pembangunan pertanian merupakan upaya mendesak untuk dilakukan demi masa depan petani dan pertanian, yang juga merupakan masa depan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Rekonstruksi dan restrukturisasi tersebut mencakup antara lain dalam hal : 1) cara berfikir untuk dapat melihat pertanian secara lebih proporsional, 2) sikap dan kepedulian dengan memberikan apresiasi dan menghindari perlakuan tidak adil, 3) birokrasi pemerintahan yang melayani dan memfasilitasi pembangunan pertanian dengan prinsip good governance, serta 4) kerangka pendekatan dalam memandang sektor pertanian dan pembangunan perdesaan. Dalam hal kerangka pendekatan, petani harus ditempatkan sebagai fokus sekaligus sebagai perhatian utama dalam pembangunan pertanian. Permasalahan pertanian tidak hanya terkait masalah komoditas, tetapi juga berhubungan dengan konteks masyarakatnya, sehingga selain aspek teknis dan ekonomis, dimensi sosial budaya dan politik menjadi hal yang penting dalam pembangunan pertanian. Berkaitan dengan hal-hal di atas, pendekatan kawasan atau wilayah 1) harus juga menjadi komponen penting dalam kerangka pembangunan pertanian karena adanya perbedaan nature masing-masing daerah, baik yang berkaitan dengan keadaan sosial budaya, geobiofisik maupun ekonomi dan politik. Saragih (2000) menyatakan bahwa pertanian juga harus tetap dilihat sebagai sistem 1) Hampir sama dengan pengertian tersebut, beberapa literatur terakhir menyebut pendekatan cluster, yang pada intinya adalah terdapat kegiatan-kegiatan ekonomi yang menuju spesialisasi, pemusatan kegiatan di suatu lokasi tertentu yang saling terkait dan saling mendukung. Tujuannya adalah efisiensi dan efektivitas dengan menurunkan komponen biaya produksi suatu komoditas. Lihat antara lain Daryanto (2007). 2

rangkaian nilai komoditas, atau yang dikenal sebagai sistem agribisnis. Pengembangan sistem agribisnis merupakan salah satu strategi pembangunan wilayah yang potensial mengintegrasikan antar sektor dan antar wilayah. Lebih dari itu, pendekatan agribisnis merupakan paradigma baru pembangunan ekonomi (wilayah, nasional) yang berbasis pertanian (as a new way to seeing agriculture), yang di dalamnya termasuk peternakan. Dengan demikian, pengembangan agribisnis merupakan pengembangan pertanian sebagai satu kesatuan sistem pertanian yang terintegrasi secara utuh dan harmonis dengan pendekatan wilayah. Tujuan pembangunan subsektor peternakan nasional sebagaimana diemban oleh Departemen Pertanian saat ini adalah : 1) peningkatan kualitas dan kuantitas bibit ternak; 2) pengembangan usaha budidaya untuk meningkatkan populasi, produktivitas dan produksi ternak; 3) peningkatan dan mempertahankan status kesehatan hewan; 4) peningkatan jaminan keamanan pangan hewani yang aman, sehat, utuh dan halal; dan 5) peningkatan pelayanan prima kepada masyarakat peternakan. Selanjutnya, arah kebijakan pembangunan subsektor peternakan berfokus pada empat sasaran, yakni : 1) pencapaian swasembada daging sapi; 2) restrukturisasi perunggasan; 3) revitalisasi persusuan; 4) penanggulangan penyakit avian influenza. Terkait hal tersebut, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan peternakan harus mengarah pada pencapaian keempat fokus sasaran tersebut. Bahkan lebih dari itu, pengembangan agribisnis peternakan di Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan pilihan strategis, bukan saja untuk pencapaian swasembada daging tetapi juga terutama karena subsektor ini merupakan basis ekonomi sebagian besar masyarakat pedesaan, menyerap tenaga kerja, memberikan sumbangan besar terhadap produk domestik regional bruto dan struktur pendapatan asli daerah, menjadi katup pengaman pada saat terjadinya rawan pangan, serta masih berperan penting sebagai simbol status sosial dan budaya (adat) masyarakat setempat. 3

Permasalahan vital pada subsektor peternakan menurut Daryanto (2007) adalah menurunnya populasi sapi potong sebesar rata-rata 3,1% per tahun dalam beberapa tahun terakhir, dan terlebih lagi, penurunan tersebut terjadi di wilayah sentra produksi, yakni Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Lampung dan Bali. Senada dengan itu, Yusdja, dkk. (2003), menyatakan bahwa isu penting untuk agribisnis sapi potong adalah penurunan populasi yang terus terjadi dari tahun ke tahun. Banyak program yang telah dilaksanakan tetapi tidak memberikan dampak yang meyakinkan pada penyelamatan ternak potong khususnya pada wilayah produksi. Untuk itu, kebijakan implementasi program pengembangan ternak sapi potong harus diprioritaskan atau dikonsentrasikan pada daerah provinsi penghasil ternak sapi. Sejak dimasukkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada awal tahun 1900-an (tahun 1912 sapi Bali di Pulau Timor dan sapi Madura di Pulau Flores bagian barat serta tahun 1914 sapi Ongole dari India ke Pulau Sumba) dengan jumlah awal 842 ekor, populasi kedua jenis ternak sapi potong tersebut telah mencapai 555.383 ekor pada akhir tahun 2007, di mana sapi Bali mencapai lebih dari sepuluh kali sapi Ongole (Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur, 2004; 2008). Provinsi Nusa Tenggara Timur pernah dijuluki sebagai gudang ternak karena menjadi sumber ternak sapi bibit dan sapi potong bagi daerah lain di Indonesia, bahkan pernah mengekspor ternak potong (sapi dan kerbau) ke Singapura hingga tahun 2007. Saat ini, berdasarkan jumlah populasi sapi potong, Provinsi Nusa Tenggara Timur hanya menduduki urutan ketujuh dari 33 provinsi di Indonesia setelah berturut-turut Jawa Timur, Jawa Tengah, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali dan Sumatera Selatan (Ditjen Peternakan, 2007). Di Provinsi Nusa Tenggara Timur, beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan subsektor peternakan adalah yang terkait dengan perencanaan program, pembibitan ternak, pakan ternak, pengendalian penyakit 4

hewan menular dan pengolahan / pemasaran ternak dan produk ternak. Sejalan dengan itu, Wiendiyati, dkk. (2008) menggolongkan kendala pembangunan peternakan di Provinsi Nusa Tenggara Timur ke dalam aspek-aspek sumberdaya alam, sumberdaya manusia, kelembagaan dan kebijakan pemerintah, kesehatan ternak, ekonomi dan pasar, serta sosial budaya. Dinas Peternakan Provinsi NTT (2008) menyatakan bahwa beberapa masalah khusus pembangunan peternakan dan upaya pemecahannya adalah : 1. Bidang Pembibitan Ternak : a) Populasi dan produktivitas ternak sapi kurang optimal sehingga perlu pemeliharaan plasma nutfah yang ada serta mengefektifkan seleksi dan penyingkiran serta manajemen budidaya yang lebih baik; dan b) Pemotongan sapi betina produktif cukup tinggi sehingga perlu pengendalian pemotongan secara bertahap (antara lain melalui peraturan daerah) sehingga dapat mengefektifkan perbaikan pembibitan ternak. 2. Bidang Pakan Ternak : a) Petani kurang serius mengembangkan tanaman pakan sehingga upaya pemberdayaan petani dengan pemberian insentif untuk pengembangan tanaman pakan di pekarangan rumah dan di kebun; b) Padang penggembalaan sebagai lahan peternakan semakin sempit karena berbagai kebutuhan pembangunan, selain karena ekspansi gulma. Untuk itu perlu dilakukan pengukuhan status lahan peternakan terutama oleh pemerintah kabupaten selain pemanfaatan kelebihan produksi hijauan pakan pada musim hujan; c) Kurangnya sumber air di lahan peternakan, sehingga pengadaan sumber air (untuk kebutuhan ternak dan tanaman pakan) sangat diperlukan melalui kerjasama dengan pihak lain. Berdasarkan parameter teknis peternakan, pertumbuhan populasi ternak sapi potong di Provinsi Nusa Tenggara Timur relatif rendah pada beberapa tahun terakhir, di mana pada akhir tahun 2007 hanya 2,02% dari populasi awal. Angka tersebut diperoleh dari angka kelahiran sebesar 24,22% dikurangi kematian ternak 5

sebesar 5,25%, pemotongan ternak untuk dikonsumsi dalam daerah sebesar 8,85%, pengeluaran ternak (antar pulau ke wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat) sebesar 8,09% dari populasi. Wiendiyati, dkk. (2008) menyatakan pula bahwa pertambahan populasi ternak sangat bervariasi tergantung kondisi ternak, pakan dan kesehatan ternak. Pada daerah-daerah dengan ketersediaan pakan relatif memadai sepanjang tahun, maka angka pertambahan populasinya cukup signifikan dengan tingkat kematian ternak maupun anak ternak yang relatif rendah. Hasil monitoring dan evaluasi pembangunan peternakan yang dilaksanakan oleh Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana Kupang menunjukkan bahwa pada tahun 2007, nilai capaian kinerja peningkatan ketersediaan bibit sapi potong hanya mencapai 85,00 %, nilai capaian kinerja peningkatan kualitas bibit sapi potong baru mencapai 56,92% dan kinerja peningkatan ketersediaan bibit unggul sapi potong baru mencapai 56,39%. Dari segi peningkatan populasi sapi potong, nilai capaian kinerja sebesar 82,52%, kinerja peningkatan produksi dan produktivitas sapi potong mencapai 90,28%, sedangkan kinerja peningkatan ketersediaan pakan ternak baru mencapai 19,18%. Sementara itu, presentase bibit ternak sapi potong yang memenuhi standar SNI baru mencapai 62,16% pada tahun 2006, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 55,96% (Wiendiyati, dkk., 2008). Terlepas dari nilai capaian kinerja yang relatif rendah dan permasalahan tersebut, subsektor peternakan masih merupakan salah satu subsektor terpenting dalam pembangunan perekonomian daerah Nusa Tenggara Timur, khususnya pembangunan pertanian. Hal tersebut ditunjukkan oleh besarnya sumbangan subsektor peternakan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Nusa Tenggara Timur maupun terhadap sektor / lapangan usaha Pertanian, yang pada tahun 2007 mencapai 11,40% terhadap total PDRB atau lebih dari 28% terhadap PDRB sektor / lapangan usaha Pertanian, di mana pertumbuhan 6

ekonomi subsektor peternakan mencapai 2,45% (BPS Provinsi NTT, 2008). Dari segi penyerapan tenaga kerja, penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja pada lapangan pekerjaan utama pertanian sebanyak 68,53% dari sejumlah 2.009.643 angkatan kerja atau 45,17% terhadap total penduduk yang berjumlah 4.448.873 jiwa pada tahun 2007, sedangkan rumah tangga peternak sapi potong mencapai 138.058 rumah tangga pada tahun 2003. Terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah, di mana pemerintah daerah dituntut untuk secara proaktif mengupayakan sumber-sumber baru untuk pendanaan pembangunan, subsektor peternakan memberikan sumbangan yang cukup berarti terhadap pendapatan asli daerah. Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dari subsektor peternakan menunjukkan trend peningkatan dari tahun ke tahun. Jika pada tahun 2005, realisasi penerimaan PAD yang dikelola Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur baru mencapai Rp. 898.097.000, maka pada tahun 2006 jumlah tersebut telah mencapai Rp. 935.281.000 (meningkat 4% dari tahun sebelumnya) dan tahun 2007 bertambah menjadi Rp. 1.321.751.450 atau terjadi peningkatan sebesar 21% dari tahun sebelumnya (Dinas Peternakan Provinsi NTT, 2008). Perubahan paradigma pembangunan sebagai dampak reformasi dan ditetapkannya kebijakan desentralisasi pembangunan memungkinkan pemberian otonomi yang lebih luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah untuk menyusun, menetapkan, mengendalikan dan mengevaluasi pelaksanaan rencana pembangunan. Perencanaan sebagai salah satu unsur manajemen dalam rangka menggerakkan dan mengarahkan seluruh elemen suatu organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, memiliki peran penting untuk keberhasilan organisasi tersebut. Perencanaan strategis sebagai salah satu bentuk 7

perencanaan sangat dibutuhkan dalam setiap organisasi, termasuk lembaga publik pemerintahan bahkan sampai pada tingkatan terendah sekalipun. Bagi organisasi pemerintah, perencanaan strategis sebagai suatu proses perencanaan jangka menengah atau jangka panjang dilakukan karena syarat keharusan untuk pelaksanaan tugas pokok dan fungsi organisasi atau mandat pembangunan dan pemerintahan yang diemban. Sejalan dengan hal tersebut, perencanaan strategis dibutuhkan untuk eksistensi pengembangan organisasi itu sendiri, dalam keterkaitannya dengan dokumen perencanaan lain dan untuk memenuhi tuntutan formal peraturan perundang-undangan. Kedua alasan tersebut dilandasi oleh kenyataan terbatasnya sumberdaya yang tersedia untuk melakukan kegiatan pembangunan secara efektif dan efisien, sehingga perlu dilakukan pilihan-pilihan yang rasional agar pelaksanaan pembangunan tetap berkelanjutan dan memiliki dayasaing / keunggulan tertentu. Perencanaan strategik pengembangan agribisnis peternakan sapi potong merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan karena sapi potong merupakan komoditas andalan subsektor peternakan dan sektor pertanian secara umum di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Selain itu, perencanaan jangka menengah yang berhubungan dengan pengembangan agribisnis peternakan sapi potong tahun 2010-2014 diperlukan dalam rangka pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Oleh karenanya, perlu dan penting untuk dilakukan suatu penelitian tentang strategi pengembangan agribisnis peternakan sapi potong di Provinsi Nusa Tenggara Timur. 1.2. Rumusan Masalah diteliti adalah : Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah yang hendak 8

1. Bagaimana keragaan kinerja pembangunan peternakan dan kelembagaan peternakan di Provinsi Nusa Tenggara Timur? 2. Faktor-faktor apa yang berpengaruh strategis terhadap pengembangan agribisnis peternakan sapi potong yang selama ini dilaksanakan di Provinsi Nusa Tenggara Timur? 3. Bagaimana strategi alternatif yang dapat digunakan untuk pengembangan agribisnis peternakan sapi potong di Provinsi Nusa Tenggara Timur? 4. Bagaimana strategi prioritas yang dapat direkomendasikan kepada Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam rangka pengembangan agribisnis peternakan sapi potong? 1.3. Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan mengidentifikasi, memformulasi dan menyusun rencana strategis pengembangan agribisnis peternakan sapi potong di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Secara spesifik, tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengkaji keragaan kinerja pembangunan peternakan dan kelembagaan peternakan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2. Mengindentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh strategis terhadap pengembangan agribisnis peternakan sapi potong di Provinsi Nusa Tenggara Timur. 3. Menyusun strategi alternatif pengembangan agribisnis peternakan sapi potong di Provinsi Nusa Tenggara Timur. 4. Merumuskan strategi prioritas terpilih untuk pengembangan agribisnis peternakan sapi potong di Provinsi Nusa Tenggara Timur. 9

1.4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai sumbangan pemikiran bagi Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur khususnya Dinas Peternakan dalam rangka perencanaan strategis pembangunan peternakan daerah jangka menengah / panjang. Penelitian ini diharapkan juga dapat bermanfaat sebagai salah satu referensi bagi penelitian dengan topik yang relevan dengan manajemen strategi pengembangan peternakan. Bagi masyarakat umum (dunia usaha) yang bergerak di bidang agribisnis peternakan, penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai masukan-masukan khusus dalam rangka pengambilan keputusan manajerial untuk pengembangan usaha bidang peternakan khususnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah wilayah administratif pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan pada kabupaten-kabupaten potensial pengembangan peternakan sapi potong serta pada institusi penyelenggara tugastugas pembangunan peternakan yakni Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur dan dinas terkait di tingkat kabupaten / kota. Lingkup waktu penggunaan data dalam penelitian ini dibatasi hingga keadaan Desember 2008. Adapun data kelembagaan pembangunan peternakan dipakai data terbaru tahun 2009 dan sebagai pembandingnya data tahun-tahun sebelumnya, dalam relevansinya dengan produk hukum yang terkait. Lingkup perencanaan strategis dimaksud dalam penelitian ini adalah dalam rangka pengembangan agribisnis peternakan sapi potong di Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk jangka menengah / panjang, yang diselaraskan dengan periodisasi kepemimpinan daerah dan dokumen perencanaan di tingkat yang lebih tinggi. 10

Untuk Selengkapnya Tersedia di Perpustakaan MB-IPB